Senin, 13 Januari 2014

Pemikiran Desentralisasi

"+"

Lahirnya Otonomi Daerah
Pada Sistem Pemerintahan Indonesia


Wacana yang banyak mendapat sorotan ketika reformasi digulirkan adalah desentralisasi atau otonomi daerah. Konon wacana desentralisasi muncul sebagai respon atas perjalanan pemerintahan Orde Baru yang sangat sentralistik. Segala sesuatu diurus dan ditangani pusat. Sedangkan daerah tidak memiliki wewenang untuk mengurus rumah tangganya sendiri, kalaupun ada itu sangat minim. Padahal yang tahu pasti mengenai apa yang terjadi dan kebutuhan daerah adalah daerah itu sendiri. Sudah barang tentu tidak akan optimal apabila kebutuhan daerah-daerah di Indonesia dengan berbagai pluralitasnya ditangani oleh pusat. Permasalahan tidak berhenti di situ. Daerah ternyata merasa bahwa dirinya hanya dijadikan lahan untuk mengeruk pendapatan negara, sementara ia tidak menikmati hasil sumber daya alamnya. Sebab hampir seluruh hasil sumber daya alam dari daerah dibawa ke pusat, wabil khusus dinikmati segelintir orang saja.
Oleh karenanya, desentralisasi dianggap sebagai salah satu pilihan terbaik untuk menjawab kebutuhan mendasar bangsa ini, sperti memelihara nation state (negara bangsa) yang sudah lama dibangun, memperkuat basis kehidupan demokrasi yang lama direnggut rezim otoriter Orde Baru, mewujudkan keadilan dalam penguasaan sumber daya antara daerah dan pusat. Desentralisasi akan mengembalikan martabat masyarakat daerah yang sejak lama kehilangan eksistensi dirinya sebagai bangsa yang merdeka. Dengan demikian, “kesejahteraan” bukan sebatas slogan dan isa[an jempol semata. Dengan desentralisasi, kesejahteraan akan benar-benar dinikati oleh seluruh masyarakat Indonesia.  
Walaupun istilah desentralisasi cukup familiar di telinga kita, namun apa maksud dan hakikat desentralisasi masih rancu. Masing-masing orang memiliki tafsiran dan pemaknaan sendiri-sendiri mengenai desentralisasi. Secara umum desentralisasi diartikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan dari pusat kepada daerah sehingga wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah termasuk di dalamnya penentuan kebijakan perencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi pembiayaan dan aparatnya. Bagi Burns et.al (1994) desentralisasi merupakan motor penggerak untuk memberdayakan orang-orang daerah. Jadi, desntralisasi bukan berarti memperlemah peranan pemerintah pusat, sebaliknya penerapan desentralisasi yang efektif memerlukan pemerintah pusat yang kuat.
Sementara itu Ranis (1994) menyebut sistem ini dengan devolusi (devolution), yaitu pemerintahan pusat menyerahkan kekuasaan (power) kepada pengambil keputusan di tingkat daerah. Hal senada dikemukakan Varghese (1995). Menurutnya konsep desentralisasi mempunyai pengertian sebagai pengalihan kekuasaan (devolution of power) dan wewenang (authority) untuk mempersiapkan dan melaksanakan perencanaan. Varghese mengemukakan beberapa karakteristik desentralisasi perencanaan, yaitu: (1) unit perencana yang lebih rendah mempunyai wewenang untuk menformulasikan tagretnya sendiri, termasuk penentuan strategi untuk mencapai target tersebut, dengan mengacu pada tujuan pembangunan nasional, (2) unit perencana yang lebih rendah diberi wewenang dan kekuasaan untuk melakukan realokasi sumber-sumber yang telah diberikan kepada mereka sesuai dengan prioritas kebutuhan daerah, dan (3) unit perencana yang lebih rendah turut berpartisipasi dalam proses perencanaan dengan unit yang lebih tinggi (pusat) di mana posisi unit yang lebih rendah bukan sebagai “bawahan” melainkan sebagai “mitra” dari pusat.    
Pada pasal 1 ayat e UU No. 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi diartikan dengan penyerahan wewenang pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah (Pasal 1 ayat f UU No. 22 tahun 1999). Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan  peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat h UU No. 22 tahun 1999). Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat Indonesia UU No. 22 tahun 1999).    
Berdasarkan pasal 7 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999 bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal. Sedangkan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi dan tenaga kerja (Pasal 11 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999).    
Secara umum, kata Emil J. Sadi (dalam Tjokroamidjojo, 1978), tujuan desentralisasi adalah untuk (1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangannya tentang masalah-masalah kecil di daerah, (2) meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka untuk dalam kegiatan usaha pembanguan sosial ekonomi, (3) menyusun program-program perbaikan sosial ekonomi pada tingkat daerah secara lebih realistis, (4) melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri, dan (5) membina kesatuan nasional.
Tentunya pemberian proporsi yang lebih besar kepada daerah untuk melaksanakan pembangunan di daerahnya membawa sejumlah implikasi. Pertama, implikasi administrasi, yakni pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk ikut melaksanakan kegiatan pembangunan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Kedua, implikasi kelembagaan, yakni kebutuhan untuk meningkatkan kasitas perencanaan dan pelaksanaan unit-unit kerja daerah. Ketiga, implikasi keuangan, yaitu kebutuhan dana yang lebih besar bagi daerah untuk dapat melaksanakan fungsinya di bidang pembangunan. Keempat, implikasi pendekatan perencanaan, yakni kebutuhan untuk memperkenalkan model pendekatan kewilayahan yang bermula dari bawah dengan melibatkan peran serta masyarakat semaksimal mungkin (Tamin, 1997; Sufyarma, 2003). 
Dengan demikian, desentralisasi akan membawa sejumlah manfaat bagi masyarakat di daerah ataupun pemerintahan nasional. Shabbir Cheema dan Rondinelli (1983) menyebutkan paling tidak ada empat belas manfaat desentralisasi, yaitu:
1. Desentralisasi merupakan cara untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang bersifat sentralistik dengen mendelegasikan sejemulah kewenangan, terutama dalam perencanaan pembangunan, kepada pejabat di daerah yang bekerja di lapangan dan tahu betul masalah yang dihadapi masyarakat.Dengan desentralisasi maka perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen.
2.     Desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat.
3.     Dengan desentralisasi fungsi dan penugasan kepada pejabat daerah, maka tingkat pemahaman dan sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat daerah akan maningkat. Kontak hubungan yang meningkat antara pejabat dengan masyarakat setempat akan memungkinkan kedua belah pihak untuk memiliki informasi yang lebih baik, sehingga dengan demikian akan mengakibatkan perumusan kebijaksanaan yang lebih realistik dari pemerintah.
4.   Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya “penetrasi” yang lebih baik daeri pemerintah pusat bagi daerah-daerah terpencil, di mana seringkali rencana pemerintah pusat tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elit lokal, dan di mana dukungan pemerintah pusat sangat terbatas.
5.  Desentralisasi memungkinkan representasi yang labih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah.
6.  Desentralisasi dapat meningkatkan kepasitas pemerintahan serta lembaga private di daerah, yang kemudian dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk mengambil alih fungsi yang selama ini dijalankan oleh departemen yang ada di pusat. Dengan desentralisasi maka peluang bagi masyarakat di daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan manajerialnya. ]
7.  Desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di pusat menjalankan tugas rutin kerena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat daerah. Dengan demikian pejabat di pusat dapat menggunakan waktu dan energi mereka untuk melakukan supervisi dan pengawasan terhadap implementasi kebijaksanaan.
8. Desentralisasi juga dapat juga menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat dapat di koordinasi secara efektif bersama dengan pejabat daerah dan sejumlah NGOs di berbagai daerah. Propinsi, Kabupaten, dan Kota dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program pemerintah, khususnya di dunia ketiga di mana banyak sekali program pedesaan yang dijalankan. 
9. Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program. Struktur semacam itu dapat menjadi wahana untuk pertukaran informasi yang menyangkut kabutuhan masing-masing daerah kemudian secara bersama menyampaikannya kepada pemerintah pusat.
10. Dengan menyediakan model alternatif cara pembuatan kebijaksanaan, desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas berbagai aktivitas yang dilakukan oleh elit lokal, yang seringkali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan.
11. Desentralisasi dapat menghantarkan kepada administrasi pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif dan kratif. Pemerintah daerah dapat memiliki peluang untuk menguji inovasi, serta bereksperimen dengan kebijaksanaan yang baru di daerah-daerah tertentu tanpa harus menjustifikasinya kepada seluruh wilayah negara. Kalau mereka berhasil dapat dicontoh oleh daerah-daerah lainnya.
12. Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen dapat memungkinkan pemimpin di daerah memberikan pelayakan secara efektif kepada masyarakat, mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi emplementasi proyek pembanguan dengan lebih baik dari pada yang dilakukan oleh pejabat di pusat.
13. Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di daerah untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan kepentingan mereka di dalam memelihara sistem politik.
14. Desentralisasi dapat meningkatkan penyedian barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah pusat sebab sudah diserahkan kepada pemerintah daerah.     


Dengan memperhatikan uraian di atas, desentralisasi memang merupakan pilihan paling pas untuk negara plural seperti Indonesia. Sentralisasi sudah terbukti kegagalannya. Sementara untuk sistem federasi, rasanya kita belum siap dan belum mampu untuk memberlakukannya, karena sejumlah prasyarat untuk menuju hal itu sama sekali belum kita miliki. Hal ini tidak berarti bahwa desentralisasi merupakan harga mati yang tidak bisa diotak-atik. Gerbang implementasi sistem-sistem yang lain di Indonesia masih terbuka lebar. Tetapi untuk saat ini pilihan yang paling tepat adalah desentralisasi.     

Minggu, 12 Januari 2014

Jenis sama, tugas berbeda

"+"

Jenis sama, tugas berbeda
Dalam Pandangan Islam




        Sebagian orang (termasuk orang-orang Islam) menganggap bahwa agama Islam berat sebelah dan merugikan kaum wanita. Kaum wanita memerlukan kebebasan bergaul dan bekerja. Menurut sebagian besar masyarakat memandang saat sekarang, Islam tidak menempatkan kaum wanita dalam kedudukan yang layak. Lalu mereka bertanya, bagaimana kedudukan dan peran wanita Islam? Apa yang telah di dharma baktikan secara nyata oleh muslimah (wanita Islam)? Apa yang diartikan “kebebasan kaum wanita” atau emansipasi kaum wanita? Bagaimana seharusnya “hidup berkeluarga dan berumah tangga”? dua jenis manusia, laki-laki dan wanita, apakah pembagian itu adil dan tidak merugikan salah satu pihak?
        Apabila kita membahas suatu masalah yang sukar dicari penyelesaiannya, oleh akal, sebaiknya dicari hal-hal yang ada persamaannya sebagai bahan perbandingan. Kata “wanita” berarti ada kata lawannya, yaitu “pria” atau “laki-laki”. Wanita berarti “perempuan”, keduanya sama-sama manusia. Jadi manusia di bagi menjadi dua jenis kelamin, maka harus dinyakini bahwa pembagian jenis itu semata-mata hanya untuk “pembagian tugas”, dan setiap jenis punya kekhususan, punya fungsi, kedudukan dan tugas masing-masing. Apabila tugas dan kepentingan keduanya sama, tentunya cukup hanya satu jenis saja.
         Sebagai contoh, waktu dan jaman yang meliputi adanya malam dan siang. Pada awalnya, orang mengira bahwa malam dan siang adalah saling berlawanan. Ini karena yang satu gelap dan yang satunya terang. Apabila dikaji lebih dalam, keduanya tidak berlawanan, siang bukan untuk melawan malam, begitu pula sebaliknya. Antara keduanya tidak bisa dicari perbandingannya. Tentunya masing-masing melaksanakan tugas yang tidak bisa dilakukan oleh yang lain. Keduanya memiliki tugas sendiri, ada tugas siang hari, ada tugas malam hari.
        Allah telah menguraikan secara tegas dan jelas dalam Al qur’an di Surat Yunus ayat 67: “Dialah yang menjadikan malambagi kamu, supaya kamu bisa istirahat padanya dan menjadikan siang terang benerang, supaya kamu mencari karunia Allah”. Makna ayat ini, bahwa malam adalah waktu untuk istirahat, memantapkan diri, ketentraman dan ketenangan. Sementara waktu siang untuk bekerja dan berusaha. Oleh karena itu, apabila jaman ini hanya waktu siang atau malam saja, tentu tidak akan bermanfaat.

         Demikian Allah jadikan manusia, jaman dan lainnya yang berbeda macamnya, tentu tidak lain adalah untuk melaksanakan tugas dari Allah dengan sebaik-baiknya. Apabila kita banding-bandingkan, berarti kita mengabaikan tugas dan fungsi dari keduanya. 

Posisi wanita di Islam

"+"

PERAN WANITA DALAM ISLAM



Kita mengetahui, bila seorang wanita di Eropa kawin, ia akan putus hubungan dengan keluarganya. Sampai-sampai namanya sendiri dan nama keluarganya lenyap, masuk ke dalam nama suaminya. Ia juga kehilangan hak untuk membeli, menjual, menghibahkan atau berwasiat.
Berbeda dalam Islam, mesti sudah bersuami, namanya dan nama keluarganya tetap dipakai dan tercatat terus. Contohnya istri Rasulullah SAW, ia tidak dipanggil Nyonya Muhammad terhadap Aisyah binti Abubakar, ia tetap dipanggil Aisyah binti Abubakar.
Apa sebenarnya tugas utama kaum wanita? Mengapa Islam membuat batasan-batasan kepada kaum wanita? Mengapa Islam mengharuskan pakaian tertentu bagi wanita? Apakah ada keistimewaan dan fasilitas yang diberikan kepada laki-laki sehingga membuat rugi kaum wanita?
Pertanyaan tersebut bisa pelajari dari kisah Nabi Adam, Hawa, dan Iblis. Allah telah mengingatkan Adam dan Hawa terhadap bahaya godaan Iblis. Allah berfirman dalam Surat Thoha ayat 117, artinya “maka kami berkata: hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga yang menjadikan kamu celaka”.
Peringatan Allah tersebut, telah ditujukan kepada nabi Adam dan Hawa istrinya. Tetapi untuk pesan, “yang menyebabkan kamu menjadi celaka”, hanya ditujukan kepada Nabi Adam sendiri. Mengapa ancaman “menjadi celaka” hanya kepada Adam saja, dan tidak kepada istrinya?.
Dalam pandangan Islam, kaum laki-laki merupakan pemimpin. Sebagaimana dalam firman Allah SWT Surat An Nisa’ ayat 34, “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)….”. oleh karena itu, kaum laki-laki hendaknya menanggung akibat dan memikul segala resiko yang terjadi. Adam sebagai laki-laki diciptakan untuk menghadapi perjuangan dari segala kesulitan dan kepahitan hidup. Sedangkan wanita ditugaskan membantu meringankan beban laki-laki, menentramkan dan menenangkan.
Disaat kaum laki-laki mengalami kelelahan dan pergolakan batin yang hebat, dia datang kepada wanita untuk mendapatkan ketenangan, karena wanita adalah sumber kasih sayang. Ketika dahi suami diusap dengan tangannya yang halus dan tutur kata yang lembut, tentunya hilanglah segala rasa lelah dan kesal. Hal ini sebagaimana telah difirmankan oleh Allah dalam surat Ar Ruum ayat 21: “supaya kamu (laki-laki) cenderung dan merasa tentram kepadanya (istri), dan dijadikanya diantaramu rasa kasih dan sayang…”.
Makna dari ayat tersebut: Pertama, tugas kaum wanita yaitu membuat laki-laki tentram kepadanya, laki-laki bergerak di luar rumah, jauh dari tempat istrinya. Kemudian datang dengan segala rasa lelah. Ia datang untuk istirahat, melepas kelelahan, ingin mendapatkan ketenangan dan ketentraman. Istrilah yang dapat menghilangkan kelelahan dan keletihan fisik dan mental suami dan merubahnya menjadi segar, tenang dan tentram. Kedua, melahirkan anak-anak. Firman Allah dalam Surat An Nahl ayat 72: Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?".
Apabila wanita menghargai tugas utamanya, maka pada saat suaminya sibuk dengan pekerjaan, ia sibuk pula menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan oleh suami. Ketika suaminya pulang ke rumah, dilihatnya semua isi rumah rapih, teratur, tenang, terpelihara dengan baik dan segala urusan rumah tangga beres. Timbullah rasa hormat, saling cinta dan kasih sayang.

Rabu, 08 Januari 2014

Gambaran Sebagian Isi Al Qur'an

"+"

ISI-ISI DALAM AL QUR’AN
Al-Qur'an diturunkan ke dunia agar menjadi petunjuk bagi manusia yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah; 2 : 2) sebagai petunjuk dan pedoman hidup, Al-Qur'an mengandung beberapa pokok ajaran. Ajaran itu mengenai aqidah, ibadah, muamalah, kisah-kisah dan lain-lain.[1]
Al-Qur'an sebagai kitab suci terakhir dan paling sempurna, memiliki posisi penting dalam sistem ajaran Islam, karena merupakan representasi firman Allah SWT sebagaimana diwahyukan kepada Nabi Saw. Al-Qur'an adalah sumber utama ajaran Islam serta memiliki autentisitas tak terbantahkan. Penerimaan wahyu oleh Nabi Saw terkait erat dengan kondisi aktual ketika ia berada di Mekkah dan Madinah. Meskipun demikian substansi pesan Al-Qur'an tetap relevan sepanjang zaman.
Pada dasarnya kandungan Al-Qur'an itu terbagi menjadi  bagian-bagian, yang pertama berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah, sejarah, amsal.[2]  Susunan ayat-ayat dan surat-surat yang terkandung dalam Al-Qur'an juga tidak sebagaimana susunan yang terdapat dalam buku-buku ilmiah yang “terkesan” lebih sistematis dan kronologis,[3] dengan menggunakan suatu metode tertentu, yang kemudian dibagi ke dalam bab-bab dan pasal-pasal. Hal ini dipahami bahwa Al-Qur'an bukanlah merupakan buku ilmiah yang dikarang dan disusun oleh manusia, melainkan merupakan suatu kitab suci yang segala aspeknya telah ditentukan oleh Allah SWT.
Demikian pula dengan adanya kisah-kisah dalam Al-Qur'an,[4] tidak berarti bahwa Al-Qur'an sama dengan buku-buku sejarah yang diuraikan secara kronologis dan lengkap dengan analisanya, serta bukan sastra, meskipun didalamnya diungkap dengan menggunakan bahasa yang amat indah, akan tetapi menurut Syayid Kutub pengungkapan kisah-kisah dalam Al-Qur'an merupakan suatu metode untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai, karena bagaimanapun juga Al-Qur'an adalah kitab dakwah agama dan kisah-kisah adalah satu metode untuk menyampaikan materinya.[5]  Jelasnya bahwa adanya kisah tersebut tidak lain merupakan petunjuk, nasehat dan ibrah bagi manusia. Agar menjadi pelajaran dalam meniti hidup dan kehidupannya (QS. Hud (11) : 120).
Sastra yang memuat suatu kisah dewasa ini telah menjadi disiplin seni yang khusus diantara seni-seni lainya dalam bahasa dan kesusasteraan. Tetapi “kisah-kisah nyata” Al-Qur'an telah membuktikan bahwa redaksi kearaban yang dimuatnya secara jelas menggambarkan kisah-kisah yang paling tinggi. Disamping itu sebagai suatu metode, kisah juga memiliki daya tarik tersendiri, punya daya yang kuat bagi jiwa serta dapat menggugah kesadaran manusia kepada iman dan perbuatan yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.[6] Dan merupakan suatu keistimewaan kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur'an, bahwa didalamnya tidak terdapat unsur khayalan atau sesuatu yang tidak pernah jadi (QS. Al-Isra (17) : 105).



[1] Mahmud Zahrah, Qashash Min Al-Qur'an, dar al Kitab Al a’raby, Mesir, cet. I 1956, h. 3
[2] Dalam bagian yang berisi konsep-konsep Al-Qur'an bermaksud membentuk pemahaman yang komperhensif mengenai nilai-nilai ajaran Islam, maka dalam bagian kedua yang berisi kisah-kisah historis dan amsal, Al-Qur'an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah  melalui dari kisah-kisah tersebut manusia diajak merenungkan hakekat dan makna kehidupan, yang tentunya yang tersirat maupun tersurat dalam hikmah historis dan kisah-kisah terdahulu. Lihat Kuntowijoyo dalam bukunya Muhammad Chirzin, Glosari Al-Qur'an, Yogyakarta: Lasuardi, 2003, hl. xv-xxvi
[3] walaupun ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Qur'an satu sama lain berhubungan sistematis dan logis. Akan tetapi mengenai kisah-kisah dalam Al-Qur'an terlihat tidak sistematis dibanding buku-buku sejarah. Dalam buku sejarah dipaparkan rentetan peristiwa yang secara kronologis saling terkait, namun dalam Al-Qur'an tidak didapatkan hal semacam itu. Lihat Abdul Muin Salim Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Iman, PT. Raja Grafindo, Jakarta 1994, h. 27
[4] Pemaparan tentang kisah-kisah dalam Al-Qur'an tidak dimaksudkan sebagai uraian sejarah lengkap tentang kehidupan bangsa-bangsa atau pribadi-pribadi tertentu dan disusun dalam suatu surat tersendiri mengenai kisah-kisah tersebut Ahmad Syurbasy, Qishash at Tafsir, dar Al-Qur'an, 1962, h. 55
[5] Sayyid Quthub, At Tashwir al Fanny fi Al-Qur'an, Dar al maarif, Kairo, 1956, hl. 120
[6] Manna’ Khalil Al Qaththan, Mabahis fi ulum Al-Qur'an, Mata his fi ulum Al-Qur'an, Dinamika Utama, Jakarta, tt, h. 140

Perawian kwalitas Hadist

"+"

MENUNTUT ILMU SEBAGAI TRANSFORMASI PERUBAHAN PARADIGMA
(Studi Matan Hadis Nabi saw.  dalam Sunan al-Tarmidzi, Kitab al ilm an Rasulullah,Bab Fadhl Thallab al-Ilm. No. Hadis 2572)


I.      Pendahuluan
Kajian terhadap hadis nabi saw. merupakan lapangan pengkajian yang tak akan pernah habis-habisnya untuk diselami yang tetap dilakukan oleh para pemikir muslim (insider) maupun oleh para orientalis (outsider). Diakui atau tidak, hadis selalu menjadi kajian yang problematik dan menarik bagi para pemikir muslim maupun para orientalis baik yang mengkajinya sebagai pembela maupun sebagai penentangnya.[1]
Dalam kajian Hadis, kita telah paham bahwa setiap hadis memuat dua bagian: isnad (mata rantai para perawi) dan matn (teks atau lafadz hadis). Kedua bagian ini sama pentingnya bagi para ahli hadis. Matn merupakan rekaman perkataan atau perbuatan Nabi saw yang membentuk landasan ritual atau hukum Islam. Sementara isnad menunjukkan kebenaran adanya matn. Menurut Muhammad Zubayr Siddiqi pengertian tersebut mengandung pengertian bahwa para ahli hadis kemudian mencari dan menempatkan hadis-hadis dengan isnad yang satu dan sama tetapi menggunakan beberapa teks yang berbeda, juga hadis-hadis dengan teks yang satu dan sama tetapi memiliki beberapa isnad  yang berbeda. Sebagai hadis-hadis yang berdiri sendiri-sendiri, dengan demikian studi al Hadis memuat: studi tentang isnad[2] dan studi tentang Matn.[3].
Untuk meneliti isnad diperlukan pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter pribadi yang membentuk rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad yang berbeda-beda, sedangkan untuk memahami signifikansi yang tepat dari matn, juga untuk menguji keasliannya diperlukan pengetahuan tentang berbagai makna ungkapan yang digunakan dan juga diperlukan kajian terhadap hubungannya dengan lafadz matn di hadis-hadis yang lain.
Dalam proses penelitian Hadis, hal yang sering dan selalu dilakukan oleh peneliti hadis adalah melakukan pendekatan dalam pengkajiannya. Pendekatan terhadap penelitian hadis saat ini mengalami perubahan ke arah yang lebih positif dan ketat. Di antaranya adalah kajian penelitian yang tidak hanya menggunakan jalur sanad (karena dianggap sudah final dengan kodifikasi/tadwin hadis oleh ulama-ulama ahli hadis seperti Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Imam Abu Dawud, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majjah dan sebagainya. Namun dalam kajian kontemporer saat ini, perkembangan penelitian hadis, sudah memulai melalui pendekatan yang lebih terfokus pada jalur matn, direformulasi sesuai dengan konteks kekinian.[4]
Pada dasarnya penelitian matn dan isnad yang ada pada hadis merupakan bagian kegiatan untuk membuktikan keontentisitasan hadis,[5] sehingga kita bisa mengetahui nilai (baca: derajat atau klasifikasi) sebuah hadis yang kita teliti, apakah hadis tersebut shahih, hasan atau dhaif.
Sesuai dengan Tema judul di atas, penulis akan mencoba mengkaji Hadis Nabi saw dalam kitab sunan al Tirmidzi, kitab al ilm an Rasulullah, bab Fadhl Thallab al ilm no. 2572, ditinjau dari segi matannya.

II.   Pembahasan
A.    Teks Hadis Sunan al Turmudzi kitab al ilm an Rasulullah bab Fadh Thallab al ilm dengan nomer hadis 2572
Pendidikan (baca: “Thallab al ilm”, menuntut ilmu) sangat penting dalam kehidupan manusia, karena tanpa pendidikan seorang anak manusia tidak akan menjadi pribadi yang berkembang. Selain itu menuntut ilmu dianggap sebagai sebuah titik tolak (turning point) yang sedahsyat dalam menumbuhkan kesadaran sikap[6]. Menurut pandangan Driyakara yang terdapat dalam buku membangun pendidikan yang memberdayakan dan mencerahkan. Dikatakan bahwa proses mencari ilmu merupakan media kultural untuk membentuk manusia (humanisasi) yaitu media dan proses untuk membimbing manusia muda menjadi dewasa dan seterusnya menjadi lebih manusiawi. Dengan kata lain melalui proses menuntut ilmu; “pendidikan” merupakan sebuah garapan kultural yang diorientasikan untuk mencapai cita-cita kemanusiaan.[7]
Dalam Islam sendiri menuntut ilmu bukan hanya sekedar imbauan belaka, tapi sudah dijadikan kewajiban bagi setiap umat manusia. Hal ini terbukti begitu banyaknya perintah yang terdapat dalam Al-Qur'an ataupun hadits yang membahas tentang menuntut ilmu, penting penguasaan ilmu serta berbagai hal yang mengarah kepada kewajiban mencari ilmu.[8]
Dalam tulisan ini, penulis ingin mengeksplorasi sebuah hadits tentang keutamaan menuntut ilmu yang terdapat pada kitab sunan at Tirmidzi terutama hadits nomor 2572.
Mengenai teks hadis tentang keutamaan orang yang menuntut ilmu, yang diriwayatkan dalam kitab sunan al Turmudzi yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini adalah :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدٍ الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُعَلَّى حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ خَيْثَمَةَ عَنْ أَبِي دَاوُدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَخْبَرَةَ عَنْ سَخْبَرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ كَانَ كَفَّارَةً لِمَا مَضَى قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ ضَعِيفُ الْإِسْنَادِ أَبُو دَاوُدَ يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ وَلَا نَعْرِفُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَخْبَرَةَ كَبِيرَ شَيْءٍ وَلَا لِأَبِيهِ وَاسْمُ أَبِي دَاوُدَ نُفَيْعٌ الْأَعْمَى تَكَلَّمَ فِيهِ قَتَادَةُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ[9]

Adapun syarah hadis di atas adalah sebagai berikut:
قوله : ( أخبرنا محمد بن المعلى ) بن عبد الكريم الهمداني اليامي بالتحتانية الكوفي , نزيل الري صدوق من الثامنة ( أخبرنا زياد بن خيثمة ) الجعفي الكوفي ثقة من السابعة . قوله : ( من طلب العلم ), أي العلم الشرعي ليعمل به ( كان ) أي طلبه للعلم ( كفارة ) وهي ما يستر الذنوب ويزيلها من كفر إذا ستر ( لما مضى ) أي من ذنوبه قيل هذا الحديث مع ما فيه من الضعف مخالف للكتاب والسنن المشهورة في إيجاب الكفارات والحدود إلا إذا قلنا بالتخصيص يعني بالصغائر وهو موضع بحث . كذا في زين العرب نقله السيد , والظاهر أن الكفارة مختصة بالصغائر أو بحقوق الله التي ليس لها تدارك أو يشمل حقوق العباد التي لا يمكن تداركه لها . ويمكن أن يكون المعنى : أن طلب العلم وسيلة إلى ما يكفر به ذنوبه كله من التوبة ورد المظالم وغيرها . . كذا في المرقاة . قوله : (هذا حديث ضعيف الإسناد) وأخرجه الدارمي . قوله : (أبو داود اسمه نفيع الأعمى) مشهور بكنيته كوفي , ويقال له نافع ( يضعف في الحديث(  قال الحافظ متروك , وقد كذبه ابن معين من الخامسة ( ولا نعرف ) يفتح النون وكسر الراء أو بضم التحتية وفتح الراء(لعبد الله بن سخبرة) قال في تهذيب التهذيب: روى عن أبيه وعنه أبو داود الأعمى, روى له الترمذي حديثا واحدا وضعفه , وقال في التقريب مجهول من الرابعة ( كبير شيء ) أي كثير شيء من الأحاديث ( ولا لأبيه ) هو سخبرة بفتح السين المهملة وسكون الخاء المعجمة وفتح الموحدة وبالراء. قال في التقريب: سخبر في إسناد حديثه ضعف وعند الترمذي عن سخبرة وليس بالأزدي , وقال , غير هو الأزدي .[10]

Dari penelusuran yang dilakukan mengenai hadis di atas, melalui CD mausuah ditemukan pula hadis dengan redaksi matan yang sama dalam kitab musnad Ad darimi hadis no. 560 sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُعَلَّى حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ خَيْثَمَةَ عَنْ أَبِي دَاوُدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَخْبَرَةَ عَنْ سَخْبَرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ كَانَ كَفَّارَةً لِمَا مَضَى[11]

B.     Kritik Editis
Setelah membahas teks hadis diatas selanjutnya penulis akan menjelaskan teks hadis tersebut melalui kajian kritik editis. Kritik editis  ini dimaksudkan untuk mengetahui tema dari teks hadis tersebut yang mengungkapkan keutamaan dari menuntut ilmu yang selanjutnya  dielaborasi dari 3 kajian yang meliputi:
1.                  Analisis Isi : yaitu pemahaman terhadap muatan makna hadis melalui beberapa kajian, di antaranya:
a.                  Kajian Linguistik atau kebahasaan.
            Yaitu kajian dengan menggunakan prosedur-prosedur gramatikal bahasa arab. Kajian ini sangat diperlukan untuk mengetahui teks hadis tersebut yang harus ditafsirkan ke dalam bahasa aslinya yaitu bahasa arab.
            Dari tinjauan kajian linguistik ini bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Sakhbarah ini dapat dianalisa dengan pendekatan arti kata perkata (secara harfiah) maupun pendekatan arti secara kalimat utuh (secara istilah). Beberapa kata yang menjadi tema sentral dalam hadis ini adalah kata : طلب, العلم dan كفّارة.
            Pada lafadz dari matan hadis di atas kata طلب dalam kamus al Munawwir dijelaskan bahwa kata طلب  atau طلب الشئ diartikan طلب فى مهلة yang memiliki arti mencari dengan pelan-pelan[12] artinya ada sebuah proses yang dilalui.
            Sedangkan dalam kamusnya Ali al-Mascatie menyebutkan, kata طلب yang berarti mencari (to seek, look for).[13] Kemudian kata yang mengikuti kata طلب adalah kata علم yang bermakna pengetahuan. Dalam kamus lisan al arab kata ilm hanya dimaknai sebagai lawan kata jahlun.[14] Dalam kamus al Munawir kata العلم (ج. علوم): المعرفة diartikan pengetahuan dan dapat juga diartikan واحد العلوم المبنيّة على المبحث وألأختبار  yaitu (suatu ilmu yang dibangun atas dasar penelitian)  “ilmu pengetahuan”, bisa juga diartikan علم واحد تعلوم atau   محتص بعلم yang bermakna pengetahuan (science, scientific).[15]
Jika kita melihat dalam ensiklopedi Al-Qur'an, ilmu berasal dari bahasa arab ilm, kata jadian dari kata alima, ya’lamu menjadi ilmun, ma’lumun dan seterusnya yang berarti juga pengetahuan.[16] Adapun kata ilm dalam konteks hadis menuntut ilmu masih bersifat umum, maka kata ilm tersebut terkena kaidah bahwa suatu kata dalam suatu redaksi yang tidak disebutkan objeknya maka objek yang dimaksud adalah masih bersifat umum.[17]  
Kata yang menjadi tema sentral berikutnya adalah kata كفّارة . Kata كفّارة merupakan bentuk muannas dari lafadz كفّار dalam kamus Mu’jamat al Washit, kata كفّر jika diberi عن à  كفّرت عن يمينهmemiliki arti أعطى الكفّارة contoh pada lafadz أعطيت الكفّارة (membayar denda), dan jika digabungkan dengan الشئ memiliki arti    غطاه وستره (memiliki arti menutupi). Lafadz كفّر dapat dinisbatkan pada lafadz الكفر (pengampunan); وكفّر الله عنه الذنب contoh lafadz ini mengandung maksud غفر (mengampuni).[18] Dalam al Munawir ditemukan, bahwa lafadz كفّارة mempunyai arti menutupi, menyelubungi,[19] bisa juga berarti menjauhkan dari (to expiate), mengampuni (a tone for), menutupi, menyembunyikan (to cover, hide), juga dapat diartikan penance for a sin (penebusan dosa).[20]
Dalam kitab syarah al sunan at tirmidzi, hadis tersebut memiliki arti secara istilah sebagai berikut: kata   من طلب العلمà( اى طلب العلم الشرعى ليعمل به ) menuntut ilmu syar’i untuk diamalkannya. Kata علم dalam teks hadis di atas terdapat (العلم) ال yang menunjukkan ma’rifat “sesuatu ilmu yang sifatnya sudah diketahui atau sudah khusus. Dari arti di atas maka yang dimaksud العلم adalah ilmu agama/ ilmu syariah).
Kemudian diikuti kata كفّارة memiliki maksud:
ما يستر الذنوب ويزيلها من كفر إذا ستر )  (sesuatu yang menutupi dosa dan menghilangkannya dari kekufuran ketika melakukan dosa. Lafadz لما مضى diartikan dengan dimaafkannya dari dosa-dosa yang telah lalu. Namun demikian lafadz لما مضى diartikan oleh Bapak Suryadi sebagai suatu yang telah lalu yang lingkupnya lebih besar yaitu tidak sekedar dosa saja namun bisa tentang banyak hal misalnya tadinya bodoh setelah mau belajar menjadi lebih baik dari sebelumnya, dari perilaku yang tidak baik menjadi baik dan sebagainya.[21]
Dari penelusuran kebahasaan, hadis no. 2572 dapat penulis disimpulkan bahwa sesungguhnya proses menuntut ilmu itu merupakan penyebab atau menjadi perantara (sarana) terhapusnya beberapa dosa yang telah dilalui, karena proses pencarian ilmu tersebut merupakan langkah “taubat” yang bisa menjadikan terhapusnya dosa dan segala kedzaliman dan lain-lain.
b.                  Kajian Tematis Komprehensif
Setelah membahas hadis dari tinjauan kebahasaan, selanjutnya akan dikaji melalui kajian tematis komprehensif, yaitu kajian teks hadis dengan mempertimbangkan teks-teks hadis lain yang memiliki tema yang relevan dengan tema hadis no. 2572 dalam kitab sunan al Tirmidzi, dengan bahasa sederhana mengkaji lafadz matan hadis yang berbeda-beda namun pada intinya menerangkan tentang pokok permasalahan yang sama.
Dalam konteks hadis tentang keutamaan menuntut ilmu misalnya terdapat beberapa perawi yang meriwayatkannya dengan lafadz masing-masing. Hal ini dilakukan atau dimaksudkan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif. Pada hadis no. 2578 kitab sunan at Tirmidzi diterangkan :
حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْعَثِ أَحْمَدُ بْنُ الْمِقْدَامِ الْعِجْلِيُّ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا أُمَيَّةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَإِسْحَقُ بْنُ يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ لَيْسَ بِذَاكَ الْقَوِيِّ عِنْدَهُمْ تُكُلِّمَ فِيهِ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ
Rasulullah saw. besabda: barang siapa menuntut ilmu hanya berobsesi untuk berdebat mengalahkan orang bodoh atau untuk mengejar popularitas maka Allah akan memasukkannya ke neraka.

Hadis lain dalam sunan Ibn Majah no. 222 diterangkan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ قَالَ أَتَيْتُ صَفْوَانَ بْنَ عَسَّالٍ الْمُرَادِيَّ فَقَالَ مَا جَاءَ بِكَ قُلْتُ أُنْبِطُ الْعِلْمَ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ خَارِجٍ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ إِلَّا وَضَعَتْ لَهُ الْمَلَائِكَةُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا بِمَا يَصْنَعُ
Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang keluar dari rumahnya dalam rangka menuntut ilmu, kecuali para malaikat akan membentangkan sayapnya karena puas akan apa yang diperbuatnya.

Dalam sunan at Tirmidzi no. 2571 dijelaskan:
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ يَزِيدَ الْعَتَكِيُّ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الرَّازِيِّ عَنْ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ كَانَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَرَوَاهُ بَعْضُهُمْ فَلَمْ يَرْفَعْهُ
Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa keluar/berkelana (baca: pergi) untuk menuntut ilmu maka dia seperti dalam keadaan jihad di jalan Allah.

Dalam sunan at Tirmidzi no. 2570 disebutkan:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Rasulullah saw bersabda: Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya menuju surga.

Dari beberapa hadis di atas dapat disimpulkan bahwa subtansi dari teks hadis diatas dapat diambil hikmah bagi kita untuk memberikan dorongan atau pemberi motivasi tentang pentingnya sebuah pengetahuan yang harus dicari dan yang diharapkan nantinya adalah menjadikan seseorang berubah ke arah yang lebih positif, yaitu berubah dari hal yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tadinya tidak bisa menjadi bisa,dan dari seorang yang memiliki sifat tidak arif menjadi bijaksana, karena pengetahuan atau ilmu yang didapatkannya tersebut menunjukkan kepada jalan ke surga sebagai balasannya dari akibat berbuat kebaikan. Dan karena ilmu, manusia dapat mengenal dirinya, tahu tujuannya, tahu tugas dan kewajiban.
Dari hadis-hadis di atas dapat dipahami, bahwa hadis tersebut adalah sebagai proses menuntut ilmu. Menuntut ilmu merupakan proses perubahan untuk menuju sesuatu yang lebih baik, yaitu dengan pengetahuan yang dimiliki dari hasil pencariannya. Seseorang dengan sendirinya akan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.
Selain itu pula, dari penjelasan hadis-hadis di atas tersirat makna esensial bahwa manusia (umat Islam) didorong untuk selalu mengkaji dan menggali ilmu. Tetapi penulis memiliki anggapan bahwa ilmu di sini tidak terbatas hanya pada ilmu agama saja, tetapi semua ilmu.
Lebih dari itu menurut penulis pribadi, mengacu teks hadis di atas kata العلم yang dimaksudkan adalah perlu adanya prioritas keilmuan yang perlu diutamakan, dalam kasus ini yang dimaksud adalah agama. Tapi bukan berarti ilmu yang lain tidak penting karena penulis memiliki keyakinan kuat bahwa semua pengetahuan (baca: ilmu agama dan ilmu umum) itu bersumber dari satu sumber yaitu Allah swt, selain itu ilmu agama merupakan ilmu yang mendasari keimanan seseorang “sebuah baju yang melekat”. Sehingga maksud kata العلم di atas lebih condong ke arti ilmu agama.
Adapun persoalan dikotomi keilmuan menurut penulis, pada dasarnya tidak ada, Karena dalam Al-Qur'an sendiri tidak mengenal dikotomi keilmuan.[22] misalkan dipaksakan ada itu karena perbedaan sumber dan medan garapan, dan juga dalam perbedaan titik tolak dari pengetahuan dan agama itu sendiri. Jika ilmu agama (revealed knowledge) berangkat dari sebuah kepercayaan, ilmu umum (scientific knowledge). Berangkat dari keraguan sekalipun anggapan ini sesungguhnya tidak keselurahannya benar, karena masing-masing menyisakan pelbagai persoalan metodologis di dalam menemukan kebenaran sejati.
Dari sekian hadis tentang keutamaan ilmu membuktikan begitu besar apresiasi Islam yang diberikan terhadap pengetahuan, sehingga tidak heran jika Umar bin Khattab mengatakan “Wahai semua manusia, hendaklah kalian menuntut ilmu, karena sesungguhnya Allah swt memiliki ‘selendang kecintaan’, siapa yang mempelajari ilmu sebanyak satu bab, Allah swt akan menyelimutinya dengan selendang tersebut.[23]
Selanjutnya apa yang dapat kita jadikan pelajaran dari hadis-hadis di atas? Adapun yang perlu digaris bawahi, bahwa nilai-nilai yang dapat kita ambil untuk dijadikan pedoman adalah adanya semangat (ghirrah) dalam menuntut ilmu dan penggalian terhadap ilmu pengetahuan yang memiliki tujuan pada perubahan ke arah yang lebih baik.
c.                   Kajian Konfirmatif
Pada kajian ini sesungguhnya hanya cara bagaimana kita mengkonfirmasikan makna hadis dengan petunjuk-petunjuk Al-Qur'an sebagai sumber tertinggi.
Telah disepakati oleh mayoritas umat Islam, bahwa Al-Qur'an itu bersifat konsep, maka ketika muncul keraguan terhadap suatu hadis kita boleh bersikap bahwa kalau memang hadis itu benar dari Nabi saw, tidak akan bertentangan dengan kandungan Al-Qur'an.
Adapun hadis no. 2572 yang terdapat dalam kitab sunan at Tirmidzi dalam syarahnya dikatakan bahwa isi (matan) hadis ini dhoif karena menyalahi Al-Qur'an dan sunah yang masyhur dalam hal “keharusan peleburan dosa dan denda” kecuali jika kita berpendapat bahwa matan hadis ini ditakhsis (dikhususkan) dengan maksud, membatasinya pada dosa-dosa kecil saja.
Demikian penjelasan Zaenal Arobi dalam syarah kitab sunan at Turmudzi, yang mengatakan bahwa secara literal sesungguhnya peleburan dosa hanya dikhususkan pada dosa kecil atau dosa yang tidak mungkin dimaafkan. Barangkali ada kemungkinan makna lain yang dikehendaki, sehingga tidak bertentangan dengan Al-Qur'an. Makna lain tersebut adalah menuntut ilmu menjadi sarana menuju “taubat” yang bisa menjadi penghapus (baca: mentipe-x) dosa dan segala kedzaliman yang pernah dilakukan.
Ayat Al-Qur'an yang menyinggung tentang penghapusan dosa misalnya dalam surat al Ankabut ayat 7. Menurut Quraish Shihab, ayat sebelumnya mengandung janji baik kepada yang taat, yang berarti mengandung dorongan untuk beramal saleh, sedangkan yang ingin ditekankan dalam kaitan ayat ke 7 dengan hadis no. 2572 adalah kata (نكفّرنّ) yang terambil dari akar kata كفر yang diartikan oleh Quraish dengan “menutup”.
Sementara ulama berpendapat bahwa yang dimaksud di sini adalah Allah menggantikan amal buruk dengan amal saleh. Ini terjadi dengan menganugerahkan kepada pelaku sebuah petunjuk (taufiq) sehingga dapat terdorong dan mampu melakukan amal kebajikan, atau kata tersebut berarti menjadikan amal saleh yang dikerjakannya menghapus menutupi amal buruk.
Dalam konteks ini Quraish Shihab memperkuat argumentasinya dalam al Misbah dengan sabda Nabi saw, bahwa Nabi berpesan: Ikutkanlah amal saleh setelah amal buruk niscaya ini menghapusnya. (HR. Tirmidzi).[24]
2.                  Analisis Realitas Historis
Tahapan selanjutnya dalam usaha memahami konteks suatu hadis adalah dengan melakukan kajian historis. Apakah ada hal-hal yang melatarbelakangi turunnya (baca: munculnya) hadis, baik secara mikro atau makro. Dari penelusuran yang penulis lakukan dan karena keterbatasan pengetahuan penulis serta literatur tentang tema makalah ini, tidak ditemukan adanya asbabul wurud hadis, namun demikian kita dapat menghubungkan dengan sebab-sebab makro sesuai dengan kondisi Nabi saw pada saat itu.
Dalam bahasa Arab sehari-hari sebelum turunnya Al-Qur'an, ilmu hanya bermakna pengetahuan biasa. Tapi melalui ayat-ayat Al-Qur'an yang turun tahap demi tahap, kata ini berproses dan membentuk makna dan pengertian tersendiri, yang terstruktur. Memang, kata ilmu itu bisa sekedar dapat diartikan sebagai “pengetahuan” biasa, tetapi bisa lebih dari itu, tergantung dari pemahaman orang terhadap makna kata tersebut, jika pemahaman itu dilakukan dengan mempelajari dan mendalami implikasi maknawi yang terkandung dalam berbagai penggunaan kata itu dalam Al-Qur'an. Tapi yang jelas, kata-kata itu kemungkinan besar berkembang karena pernyataan Nabi yang mengandung anjuran, bahkan perintah, seperti yang kita kenal: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang Muslim”; “Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”; “Carilah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat”; “Barang siapa mati ketika sedang mengembangkan ilmu untuk menghidupkan Islam, maka di surga ia sederajat di bawah para Nabi”; “Para ilmuwan adalah pewaris (tugas) para nabi”; “ilmu pengetahuan itu adalah milik orang mukmin yang hilang, di mana saja ia mendapatkannya, maka ia lebih berhak memilikinya dari yang lain”. Pernyataan-pernyataan Nabi ini diperkuat oleh firman Allah dalam surat Al Mujadalah ayat 11, yang berbunyi:
Allah akan meninggikan martabat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat.

Karena menuntut ilmu dinyatakan wajib, maka kaum muslimin pun menjalankannya sebagai ibadah. Ada pula sebuah hadis yang mengatakan bahwa “barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan jalannya ke surga”. Dan di dalam Al-Qur'an ilmu terdapat dalam doa: “Ya Tuhanku, tambahkan padaku ilmu pengetahuan” (Q.S. Thoha : 114) Tapi lebih dari itu timbul pertanyaan; mengapa menuntut ilmu itu diwajibkan? Maka orangpun mencari keutamaan ilmu itu. Di samping itu, timbul pula proses belajar mengajar sebagai konsekuensi menjalankan perintah Rasulullah itu. Dalam kenyataan sejarah perkembangan Islam, proses belajar-mengajar itu menimbulkan perkembangan ilmu, yang lama maupun baru, dalam berbagai cabangnya. Ilmu telah menjadi tenaga pendorong perubahan dan perkembangan masyarakat. Hal itu terjadi karena ilmu telah menjadi suatu kebudayaan. Dan sebagai unsur kebudayaan, ilmu mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat kaum Muslimin di masa lampau.[25]
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa Nabi saw juga senantiasa menghidupkan tradisi keilmuan di kalangan umat Islam saat itu. Sehingga tidak heran jika banyak ungkapan Nabi saw mengenai keutamaan ilmu seperti halnya hadis dalam sunan al tirmidzii no. 2572 (meskipun banyak kalangan muhaddisun, hadis no. 2572 tersebut itu termasuk hadis garib bahkan masuk pada klasifikasi hadis dhoif).
3.              Analisis Generalisasi
Dalam analisis generalisasi ini, dimaksudkan untuk menangkap makna universal yang tercakup dalam hadis yang merupakan inti dan esensi dari sebuah hadis yang kita teliti. Hadis yang menjadi tema sentral dari makalah ini secara makna tekstual adalah: “sabda Rasulullah saw. “Barang siapa yang menuntut ilmu maka akan diampuni dosa yang telah lalu”.
Dalam konteks ini penulis cenderung pada pengertian bahwa ilmu adalah suatu proses menuju kepada hal yang lebih baik, sehingga tingkah laku jelek seolah tidak nampak atau tertutupi dengan hal-hal (perilaku) yang baik-baik. Kalimat “proses menuju ke arah yang lebih baik” dapat dibahasakan dalam tujuan pendidikan. Karena menurut penulis tindakan pendidikan merupakan sebuah (baca: sebagai) proses.
Dari pemahaman di atas tentang menuntut ilmu adalah bagian dari sebuah proses ke arah positif. Maka pendidikan Islam-pun dapat dipahami sebagai proses transformasi ilmu, dengan berupaya mewujudkan tujuan akhir yaitu mewujudkan manusia yang beriman dan bertaqwa. Nilai-nilai yang akan ditransformasikan adalah pelajaran yang lebih identik dengan kurikulum.
Selain pendidikan diartikan proses transformasi keilmuan, pendidikan juga merupakan prosees pemanusiaan manusia. Suatu pandangan yang mengimplikasikan pada proses kependidikan dengan berorientasi kepada pengembangan aspek kemanusiaan manusia baik secara fisik atau biologis maupun ruhaniah psikologis.[26] Aspek fisik biologis manusia dengan sendirinya akan mengalami perkembangan pertumbuhan dan penuaan. Sedangkan aspek ruhaniah psikologis manusia melalui pendidikan dicoba “didewasakan” disadarkan dan diinsan kamilkan. Proses pendewasaan dan penyadaran  dalam kontek pendidikan ini mengandung makna yang mendasar, karena bersentuhan dengan aspek paling dalam dari kehidupan manusia yaitu kejiwaan dan keruhanian; sebagai elemen yang berpretensi positif bagi pembangunan kehidupan yang berbudaya dan berkeadaban.
Dengan dasar di atas hadis yang memiliki tema sentral pada kata طلب ,علم dan كفّاّرة dapat dipahami pada suatu proses transfer keilmuan, karena dengan ilmu dapat dijadikan petunjuk menuju kebenaran dan memanusiakan manusia sebagai proses. Kata كفّاّرة dalam hadis yang diartikan dengan “menutupi”, dimaksudkan dengan ilmu dan mengamalkannya, seseorang dengan sendirinya akan tertutupi perbuatan yang buruk itu dengan hal yang baik, sehingga perbuatan jelek tertutupi. Selain lafadz طلب, علم, كفّارة  lafadz yang menjadi perdebatan penafsiran dalam hadis di atas adalah lafadz لما مضى. Lafadz لما مضى dalam syarah sunan al tirmidzi (لما) di situ diartikan dengan dosa. Sedangkan menurut Suryadi, mengartikan (لما), (ما)-nya tersebut diartikan dengan sesuatu yang sifatnya luas tidak berhenti dengan pengertian dosa saja, karena lafadz ( لما مضى) tersebut merupakan isim mausul sehingga hadis di atas dapat dibahasakan; “dengan menuntut ilmu seseorang dengan sendirinya menyadari hal yang tidak baik dan kemudian untuk ditinggalkannya atau orang yang menuntut ilmu itu akan tahu kesalahan yang sebelumnya dia tidak tahu.” Dari sini kita melihat bahwa hadis tersebut mengisyaratkan pentingnya “melakukan proses perubahan”. Konteks ini dapat dikaitkan dengan keurgensian pendidikan bagi kehidupan manusia, karena dengan pendidikan (baca: proses mencari/menuntut ilmu) merupakan bagian dari cara mengembangkan potensi dasar manusia yaitu rasa ingin tahu.[27]
Namun kalau kita memahami hadis di atas bahwa menuntut ilmu merupakan sebuah “proses” dan di qiyaskan kepada arti “proses” dalam sebuah pendidikan, maka maksud hadis di atas dapat dimaknai sebagai pendidikan dan proses belajar. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia. Kant berkesimpulan bahwa manusia menjadi manusia karena pendidikan. Sedangkan Natsir juga menegaskan bahwa maju mundurnya suatu kaum bergantung kepada pendidikan yang berlaku di kalangan mereka.[28]
Hadis di atas merupakan isyarat dalam ajaran Islam bahwa menuntut ilmu merupakan satu hal yang sangat dianjurkan, karena hanya dengan ilmu manusia memperoleh kebahagiaan hidup. Kedudukan menuntut ilmu dalam Islam juga menempati posisi yang sangat penting.
Dalam kerangka religi, perjalanan menuntut ilmu memiliki nilai seperti halnya orang yang sedang berjihad di jalan Allah, di mana balasan bagi orang yang berjihad itu adalah surga. Begitu juga dalam langkahnya, penuntut ilmu akan dimudahkan jalannya menuju surga. Secara tekstual hadis di atas merupakan dalil pendukung yang menunjukkan bahwa ilmu adalah merupakan sarana penunjuk jalan ke surga dan jalan kebenaran.
C.    Kritik Praksis
Setelah mengadakan analisis generalisasi, langkah-langkah metode dalam memahami hadis Nabi saw.,selanjutnya adalah langkah kritik praksis, yaitu mengkaitkan makna hadis yang diperoleh dari proses generalisasi ke dalam realitas kehidupan kekinian, sehingga memiliki makna praktis bagi problematika hukum dan kemasyarakatan kekinian.
Memahami hadis tentang menuntut ilmu dalam konteks kekinian dapat dibahasakan ke dalam proses belajar. Secara umum, belajar dapat diartikan sebagai proses transfer yang ditandai oleh adanya perubahan pengetahuan, tingkah laku dan kemampuan seseorang yang relatif tetap sebagai hasil dari latihan dan pengalaman yang terjadi melalui aktifitas mental yang bersifat aktif, konstruktif, kumulatif dan berorientasi pada tujuan.[29]
Dari pengertian tersbut dapat diambil tiga pemahaman umum, pertama belajar ditandai oleh adanya perubahan pengetahuan yang lebih baik, sikap, tingkah laku dan ketrampilan yang relatif tetap dalam diri seseorang sesuai dengan tujuan yang diharapkan, menerjemahkan, menjelaskan, menerapkan ajaran Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, belajar terjadi melalui latihan dan pengalaman yang bersifat kumulatif artinya hasil belajar tidak diperoleh secara tiba-tiba, akan tetapi berlangsung melalui proses demi tahap. Dengan kata lain belajar melibatkan pengetahuan yang telah dikuasai sebelumnya (prior knowledge). Ketiga, belajar merupakan proses aktif-konstruktif yang terjadi melalui persepsi, perhatian, mengingat (memory), berpikir (thinking, reasoning) memecahkan masalah (problem solving) dan lain-lain.
Belajar merupakan proses yang dilakukan dengan kesadaran (consciousness). Dengan kesadaran tersebut seseorang akan secara aktif memberikan perhatian, mengingat, berfikir, menafsirkan, mengelompokkan, mengkaitkan, mengkonfirmasikan informasi yang diterima berdasarkan apa yang ingin dicapai dan apa yang telah diketahui.
Pengertian di atas sesuai dengan prinsip dasar belajar sebagai proses alamiah untuk mendapatkan sesuatu yang bermakna. Sesuai dengan sifat dasar tersebut seseorang cenderung untuk belajar secara aktif dan memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Karena itu pada dasarnya seseorang akan mampu belajar secara mandiri (self directed)
Dalam konteks ini belajar tidak berarti hanya proses untuk memperoleh dan mengumpulkan pengetahuan, tetapi lebih merupakan proses menciptakan pengetahuan atau memecahkan masalah. Pengertian tersebut mengandung implikasi bahwa belajar merupakan proses yang unik yang bertumpu pada usaha perorangan untuk menciptakan atau memberi makna terhadap informasi atau secara singkat dapat dikatakan bahwa belajar adalah proses informasi yang dilakukan oleh masing-masing individu untuk memberi atau membentuk makna dari setiap informasi yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Dalam konteks kekinian dan keindonesiaan, hadis tentang menuntut ilmu di atas dapat dipahami pula ke dalam pendidikan sebagai sarana perubahan sosial dalam masyarakat. Menurut penulis esensi dasar dari hadis tentang keutamaan seseorang menuntut ilmu adalah proses perubahan, baik perubahan sikap intelektual, perubahan sosial, perubahan pemahaman keilmuan, pengetahuan dan sebagainya.
Adapun proses perubahan sosial konteks kekinian dari hadis tersebut dapat dilalui dengan berbagai cara, diantaranya dengan pendidikan (baca: menuntut ilmu) secara sosiologis, pendidikan selain memberikan amunisi memasuki masa depan, ia juga memiliki hubungan dialektikal dengan transformasi sosial masyarakat. Seperti dikatakan Emile Durkheim mengenai “on education and society” yang dikutip dalam Imam Tholkhah dan A Barizi bahwa transformasi pendidikan selalu merupakan hasil dari transformasi sosial masyarakat dan begitulah sebaliknya.[30] Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan masyarakat, merupakan dua variabel yang sulit dipisahkan dan tidak bisa dihindari. Pendidikan sebagai aspek kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat juga harus terlihat dalam arus perubahan itu. Keterlibatannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya untuk mengadakan penyesuaian diri terhadap perubahan, tetapi bagaimana supaya pendidikan itu merupakan agen perubahan sosial, maka kata kunci yang relevan untuk dikedepankan adalah “kreativitas”.
Untuk menjadi kreatif menurut Abdulrohman diantaranya diperlukan kecerdasan (intelegensi).[31] Butir-butir tujuan pendidikan nasional sendiri, sebagaimana dalam UUSPN, diantaranya dinyatakan bertujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan kata lain, tujuan pendidikan nasional diantaranya adalah mempersiapkan manusia-manusia yang cerdas. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, manusia menjadi kreatif, dan dengan kreatifitasnya, seseorang dapat mengaktualisasikan dirinya, mampu melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian masalah, mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Demikian pula kecerdasan, semakin cerdas seseorang akan semakin dapat menentukan cara-cara menghadapi sesuatu dengan semestinya, makin dapat bersikap kritis di satu sisi, dan membuat perubahan di sisi yang lain. Sebab kreativitas yang merupakan produk kecerdasan yang menjadi bagian yang sangat inheren dengan perubahan, dan sangat tidak toleran adanya status quo, hal ini tidak lepas karena pengaruh dari proses pendidikan (baca: menuntut ilmu).
Dari kerangka sosiologi ini memberi pengertian bahwa suatu sistem pendidikan dibangun guna melaksanakan “amanah masyarakat” untuk menyalurkan anggota-anggota (baca: peserta didik)-nya ke dalam posisi-posisi tertentu. Artinya suatu sistem pendidikan bagaimana mampu menjadikan dirinya sebagai mekanisme alokasi posisionil bagi civitas akademika untuk menghadapi masa depan.
Ilmu (al-‘ilm) di dalam Islam, yang seringkali diterjemahkan dengan sains (science), merupakan materi pokok pendidikan yang harus diajarkan di sekolah-sekolah karena fungsinya sebagai penentu pola hidup masyarakat, seperti mobilitas sosial (berpindah-pindah atau bepergian dari satu tempat ke tempat lain), pengetahuan kehidupan (individual maupun sosial), kerangka nilai dan tradisi, dan sebagainya.
Sebagai kerangka mobilitas sosial, ilmu pengetahuan atau sains telah menemukan cara-cara mengubah satu bentuk energi ke bentuk lainnya, lebih praktis, lebih pragmatis, dan lebih berdaya guna bagi kehidupan manusia. Contoh yang sangat jelas adalah penggunaan hand phone dewasa ini mampu mendongkrak nilai-nilai keakraban dan sekaligus merenggangkan silaturrahmi fisikal antara sesama. Ini menggambarkan bahwa betapa kemajuan sains melalui pendidikan, penelitian, dan eksperimentasi memiliki pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat. Adapun pelbagai kemajuan sains dan teknologi di dalam kehidupan masyarakat bisa dirumuskan dalam kerangka yang paling mendasar sifatnya, yaitu bahwa sains itu tumbuh dan berkembang melalui proses pendidikan (baca: proses belajar atau menuntut ilmu).
Sepakat atau tidak, penulis memiliki keyakinan bahwa pendidikan (baca: proses belajar/proses menuntut ilmu) merupakan sarana mengubah masa depan. Pendidikan diyakini sebagai amunisi yang mampu memberikan kemampuan teknologis, fungsional, informatif, dan terbuka bagi pilihan utama masyarakat. Kecenderungan ini makin menguat manakala budaya global membuat masyarakat semakin terbuka dan sistematis yang lebih ditentukan oleh kompetensi rasional-individual, penguasaan teknologi dan informasi, dan kerja keras, bukan lagi ditentukan oleh sesuatu yang tidak rasional seperti karisma, kesalehan lahiriah, keturunan.[32]
Penulis juga sependapat dengan Munir Mulkan, yang dikutip Imam Tholkhah dan A Barizi dalam bukunya Membuka Jendela Pendidikan yang menurutnya pendidikan dipersepsikan sebagai wahana bagi tumbuhnya daya kritis, kreatif, akan kecerdasan personal, sosial dan kemanusiaan di tengah-tengah pluralisme. Pluralisme kehidupan mengharuskan pelaku kehidupan ini dibekali pendidikan yang bernilai positif menuju pribadi pintar, kreatif dan berbudi luhur.[33]
Sebagai contoh mislanya: orang yang cerdas/pintar selalu menggunakan nalarnya secara benar dan objektif. Orang kreatif mempunyai banyak pilihan dalam memenuhi kepentingan hidupnya. Orang arif dan luhur budi bisa menentukan pilihan tepat dan menolak cara-cara kekerasan. Kecerdasan dan kearifan bersumber dari daya kritis dan kesadaran atas nilai diri dan sosial, sehingga tumbuh kepedulian pada sesama.
Lebih dari itu, menurut Mulkhan, proses belajar haruslah dibebaskan dari doktrin legal formal, seperti baik-buruk, benar-salah, halal-haram, mukmin-kafir, dan sebagainya yang dapat mengebiri peserta didik kepada keberpihakan parsial. Proses pembelajaran hendaknya juga dijauhkan dari proses reproduksi ideologis kelas dominan yang memaksa nilai-nilai kependidikan ke arah komoditi bisnis dan langgengnya kekuasaan. Proses pembelajaran hendaknya diarahkan pada terciptanya tranformasi dan edukasi sosial secara menyeluruh.[34]
Dengan demikian penulis berkesimpulan bahwa hadis keutamaan menuntut ilmu di atas dapat dijadikan spirit dalam melakukan berbagai perubahan dengan melalui proses belajar atau menuntut ilmu, sehingga dari proses itu diibiratkan pada akan terhapusnya “sesuatu”  yang lama (baca: cara pandang) yang lain oleh cara berfiri yang baru dari pengetahuan yang  diperoleh setelah menuntu ilmu, yang jelas, belajarlah! Karena dengan belajar semua menjadi mungkin dan kebebasan memilih menjadi lebih terbuka bagi munculnya alternatif masa depan yang lebih. Seorang pelajar akan senantiasa merasa bodoh dan haus akan ilmu baru, laksana seseorang dalam kehausan lalu ia meminum air garam maka ia justru semakin haus dan haus. Sabda  Nabi Saw, “Ilmu akan menjaga dirimu dan karena itu, kamu mampu menjadi kekayaanmu” (al-‘ilm yahfazhuka wa ‘anta tahfazh al-mal). Jadi, ilmu dan orang berilmu merupakan pengawal sejati kelangsungan kehidupan manusia.



[1] Diantara orientalis yang banyak mengkaji hadis dan cenderung meragukan bahkan menentang keontetisitas hadis, mereka itu adalah: A. Sprenger, Goldziher, J. Schact. Lihat G.G. A Juy boll, The Auntheticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1965), hlm. 1.
[2] Studi tentang isnad hadis berarti mempelajari rangkaian para perawi dalam sanad dengan cara mengetahui biografi masing-masing perawi, kuat dan lemahnya dengan gambaran umum dan sebab-sebab kuat dan lemahnya perawi secara rinci, menjelaskan  muttasil dan munqathi’ nya perawi dalam rangkaian sanad, dengan cara mengetahui lahir dan wafatnya perawi, pentadlisan sebagian perawi, terutama jika meriwayatkan syarat perawinya adalah harus muttasil dan bebas dari pemalsuan serta adanya jaminan bertemunya orang yang meriwayatkan dengan guru yang meriwayatkan hadis) dan mengetahui pendapat para ulama jarh dan ta’dil bahwa seseorang pernah  atau sama sekali tidak mendengar riwayat dari orang lain; mendalami semua sanad hadis guna menjelaskan illat hadis yang samar dan mengetahui sahaba, tabiin guna membedakan berhubungan dengan ilmu jarh wa ta’dil, serta mengetahui para perawi yang membutuhkan banyak ilmu seperti muttafiq, muftariq, mutasyabih, kunyah, laqab serta lainnya. Lihat Muhammad al-Tahhan, Metode Tahrij dan Penelitian Sanad Hadis, terj. Ridlwan Nasir (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1995), hlm. 97-98.
[3] Fazlur Rahman, dkk. Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 77.
[4] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), hlm. 4. Pendekatan pada jalur matan (baca: teks hadis Nabi saw.) juga banyak dikembangkan oleh intelektual muslim seperti Muhammad al Ghazali, Hasan Hanafi, Fazlurrahman, Mustafa al Azami yang merupakan salah satu bentuk ijtihad dalam upaya mendudukkan kembali semangat kenabian (pemahaman kembali teks hadis Nabi saw.) dengan mengambil ruh Islam dan mengontekskannya pada masa sekarang. Baca Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi Hadis …, Ibid., hlm. 55-75.
[5] Menurut Mustafa Azami yang dikutip oleh Abdul Mustaqim, bahwa otentisitas sebuah hadis sesungguhnya dapat dibuktikan juga secara ilmiah melalui metodolgi kritis hadis antara lain dengan (1) membandingkan hadis-hadis dari berbagai murid dari seorang Syeikh (guru); (2) memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang ulama yang dikeluarkan pada waktu-waktu yang berlainan (3) memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis; (4) memperbandingkan hadis-hadis dengan ayat Al-Qur'an; (5) pendekatan rasional atau dengan akal sehat yang dikontekskan masa kekinian yang tidak menafikan asbabul wurud hadis. Lihat Fazlur Rahman, dkk, Waacna Studi Hadis…, Ibid., hlm. 74.
[6] Nadjamudin Ramly, Membangun Pendidikan yang Memberdayakan dan Mencerdaskan, (Jakarta: Grafindo, 2005), hlm. xii
[7] Ibid
[8] Sebagai contoh: Datangnya iman yang dideklarasikan melalui wahyu pertama QS. Al aq 1-5  memperlihatkan keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan pembebasan dalam iman. Kelima ayat tersebut menegaskan bahwa praktis liberatif mengharuskan penguasaan ilmu pengetahuan, karena dengan ilmu dapat membuka cakrawala. Dalam konteks inilah maka ayat itu dalam batas-batas tertentu justru lebih mengesankan sebagai manifesto pendidikan yang berisi ajaran untuk melakukan perubahan sehingga menggugah terbentuknya kesadaran massif di kalangan umat Islam untuk melakukan gerakan perubahan sosial. Singgih Nugroho, Pendidikan Pemerdekaan Sistem (yogya: Pondok Edukasi, 2005) hlm. 1-2
[9] CD Mausu'ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub at-Tis'ah, 1997.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ahmad Warsun Munawwir, Kamus al Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), Cet. Ke -25, hlm. 857.
[13] Ali al Mascatie, Kamus-Arab-Inggris-Indonesia (Bandung: Al Ma’arif, 1983), cet. I, hlm. 624.
[14] Jamal ad Diin, Muhammad Ibnu Manzur, Lisan al Arab (Beirut: Dar al Fikr, 1990), hlm. 870.
[15] Al Mascatie, … Ibid., hlm. 700.
[16] Ensiklopedi Al-Qur'an, Ilmu dalam Jurnal Ulumul Qur’an no. 4 vol. 1. 1990, hlm. 56-64.
[17] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 168.
[18] Ibrahim Anis, Mu’jam al washit Juz II (Mesir: Dar al Maarif 1973), hlm. 791, lihat juga Ibrahim Madkur, Mu’jam Lughah al Arabi, Mu’jam Wajiz (tt., 1995), hlm. 537.
[19] Warsun Munawir, Kamus Al Munawwir, …., hlm. 1217.
[20] Al Mascatie…, ibid., hlm.  917-918. lihat juga Hanswehr, A Diction of Modern Written Arabic (Ithaca: Spoken Language service, 1994),  hlm. 975.
[21] Dalam kuliah Studi Hadis hari Jum’at 8 Desember 2006 di kelas A pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[22] Dalam Islam sebagaimana diredaksikan dalam Al-Qur'an tidaklah mengenal dikotomi ilmu dengan pengertian bahwa “berilmu berarti beragama dan beragama berarti berilmu” (wakullu man bighairi ilmin ya’malu, ‘amaluhu mardudatun la tuqbalu) barang siapa yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya ditolak atau tidak diterima. Namun perlu diketahui bahwa ilmu (science) tidaklah bebas nilai, melainkan bebas dinilai. Artinya bahwa rahasia kesuksesan sejati adalah terletak pada usaha harmonisasi ilmu dan agama dengan memberikan penekanan kepada kebebasan, demokrasi, etika dan sekaligus estetika akademik. Imam Tolkhah & Al-Barizi, Membuka Jendela Pendidikan … hlm 29
[23] Lihat, Ibnu Abdil Barr,  Jamiu al Bayani al Ilm,  jilid I (ttp, tt.), hlm. 70.
[24] Quraish Shihab, Tafsir al Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 10, hlm. 443 – 445.
[25] Ensiklopedi Al-Qur'an “ilmu” dalam jurnal Ulumul Qur’an No. 4 vol I 1990, hlm. 57.
[26] Malik Fajar, Kembalii ke Jiwa Pendidikan dalam Imam Tolhah dan A. Barizimembuka jendela pendidikan … hlm v)
[27] Ceramah kuliah terbatas (Kelas A) Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hari Jum’at, tgl. 8 Desember 2006.
[28] M. Natsir, Kapita Selecta (Jakarta: Bulang Bintang, 1973), hlm. 77.
[29] Abdul Mu'thi, dkk, PBM – PAI di Sekolah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 94-95.
[30] Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 38.
[31] Kecerdasan, yang sering disebut intelegensi adalah istilah yang melukiskan kemampuan manusia untuk mengetahui dan melihat problema seta memecahkannya dengan sukses, dan kemampuan untuk mempelajari dan menyesuaikan perilaku dengan lingkungan yang umumnya mempunyai bermacam aspek dan coraknya, karena dengan kecerdasan yang memadai, manusia mampu mengetahui hubungan faktor-faktor dan problem satu sama lain, mampu memberi solusi terhadap sesuatu permasalahan dengan benar dan cepat. Lihat Abdul Rohman, Pendidikan Islam dalam Perubanan Sosial dalam Ismail sm dkk (ed) Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 311 – 312.
[32] Imam Thalkhah dan A. Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, hlm. 41.
[33] Ibid., hlm. 40.
[34] Ibid., hlm. 41.