"+"
MENUNTUT ILMU
SEBAGAI TRANSFORMASI PERUBAHAN PARADIGMA
(Studi Matan
Hadis Nabi saw. dalam Sunan al-Tarmidzi,
Kitab al ilm an Rasulullah,Bab Fadhl Thallab al-Ilm. No. Hadis 2572)
I. Pendahuluan
Kajian terhadap hadis nabi saw. merupakan
lapangan pengkajian yang tak akan pernah habis-habisnya untuk diselami yang
tetap dilakukan oleh para pemikir muslim (insider) maupun oleh para
orientalis (outsider). Diakui atau tidak, hadis selalu menjadi kajian
yang problematik dan menarik bagi para pemikir muslim maupun para orientalis
baik yang mengkajinya sebagai pembela maupun sebagai penentangnya.
Dalam kajian Hadis, kita telah paham
bahwa setiap hadis memuat dua bagian: isnad (mata rantai para perawi)
dan matn (teks atau lafadz hadis). Kedua bagian ini sama
pentingnya bagi para ahli hadis. Matn merupakan rekaman perkataan atau
perbuatan Nabi saw yang membentuk landasan ritual atau hukum Islam. Sementara isnad
menunjukkan kebenaran adanya matn. Menurut Muhammad Zubayr Siddiqi pengertian
tersebut mengandung pengertian bahwa para ahli hadis kemudian mencari dan
menempatkan hadis-hadis dengan isnad yang satu dan sama tetapi
menggunakan beberapa teks yang berbeda, juga hadis-hadis dengan teks yang satu
dan sama tetapi memiliki beberapa isnad yang berbeda. Sebagai hadis-hadis yang berdiri
sendiri-sendiri, dengan demikian studi al Hadis memuat: studi tentang isnad
dan studi tentang Matn..
Untuk meneliti isnad diperlukan
pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter pribadi yang membentuk
rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad yang berbeda-beda, sedangkan
untuk memahami signifikansi yang tepat dari matn, juga untuk menguji
keasliannya diperlukan pengetahuan tentang berbagai makna ungkapan yang
digunakan dan juga diperlukan kajian terhadap hubungannya dengan lafadz matn
di hadis-hadis yang lain.
Dalam proses penelitian Hadis, hal
yang sering dan selalu dilakukan oleh peneliti hadis adalah melakukan
pendekatan dalam pengkajiannya. Pendekatan terhadap penelitian hadis saat ini
mengalami perubahan ke arah yang lebih positif dan ketat. Di antaranya adalah
kajian penelitian yang tidak hanya menggunakan jalur sanad (karena
dianggap sudah final dengan kodifikasi/tadwin hadis oleh ulama-ulama
ahli hadis seperti Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Nasa’i, Imam Abu Dawud, Imam
Turmudzi, Imam Ibnu Majjah dan sebagainya. Namun dalam kajian kontemporer saat
ini, perkembangan penelitian hadis, sudah memulai melalui pendekatan yang lebih
terfokus pada jalur matn, direformulasi sesuai dengan konteks kekinian.
Pada dasarnya penelitian matn
dan isnad yang ada pada hadis merupakan bagian kegiatan untuk
membuktikan keontentisitasan hadis,
sehingga kita bisa mengetahui nilai (baca: derajat atau klasifikasi) sebuah hadis
yang kita teliti, apakah hadis tersebut shahih, hasan atau dhaif.
Sesuai dengan Tema judul di atas, penulis
akan mencoba mengkaji Hadis Nabi saw dalam kitab sunan al Tirmidzi,
kitab al ilm an Rasulullah, bab Fadhl Thallab al ilm no. 2572, ditinjau
dari segi matannya.
II. Pembahasan
A. Teks Hadis Sunan al Turmudzi
kitab al ilm an Rasulullah bab Fadh Thallab al ilm dengan nomer hadis 2572
Pendidikan (baca: “Thallab al ilm”,
menuntut ilmu) sangat penting dalam kehidupan manusia, karena tanpa pendidikan
seorang anak manusia tidak akan menjadi pribadi yang berkembang. Selain itu
menuntut ilmu dianggap sebagai sebuah titik tolak (turning point) yang
sedahsyat dalam menumbuhkan kesadaran sikap.
Menurut pandangan Driyakara yang terdapat dalam buku membangun pendidikan yang
memberdayakan dan mencerahkan. Dikatakan bahwa proses mencari ilmu merupakan
media kultural untuk membentuk manusia (humanisasi) yaitu media dan proses
untuk membimbing manusia muda menjadi dewasa dan seterusnya menjadi lebih
manusiawi. Dengan kata lain melalui proses menuntut ilmu; “pendidikan” merupakan
sebuah garapan kultural yang diorientasikan untuk mencapai cita-cita
kemanusiaan.
Dalam Islam sendiri menuntut ilmu
bukan hanya sekedar imbauan belaka, tapi sudah dijadikan kewajiban bagi setiap
umat manusia. Hal ini terbukti begitu banyaknya perintah yang terdapat dalam
Al-Qur'an ataupun hadits yang membahas tentang menuntut ilmu, penting
penguasaan ilmu serta berbagai hal yang mengarah kepada kewajiban mencari ilmu.
Dalam tulisan ini, penulis ingin
mengeksplorasi sebuah hadits tentang keutamaan menuntut ilmu yang terdapat pada
kitab sunan at Tirmidzi terutama hadits nomor 2572.
Mengenai teks hadis tentang
keutamaan orang yang menuntut ilmu, yang diriwayatkan dalam kitab sunan al
Turmudzi yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini adalah :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدٍ الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُعَلَّى حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ خَيْثَمَةَ عَنْ أَبِي
دَاوُدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَخْبَرَةَ عَنْ سَخْبَرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ كَانَ كَفَّارَةً لِمَا مَضَى
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ ضَعِيفُ الْإِسْنَادِ أَبُو دَاوُدَ يُضَعَّفُ فِي
الْحَدِيثِ وَلَا نَعْرِفُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَخْبَرَةَ كَبِيرَ شَيْءٍ وَلَا
لِأَبِيهِ وَاسْمُ أَبِي دَاوُدَ نُفَيْعٌ الْأَعْمَى تَكَلَّمَ فِيهِ قَتَادَةُ وَغَيْرُ
وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
Adapun syarah hadis di atas
adalah sebagai berikut:
قوله : ( أخبرنا محمد بن المعلى ) بن عبد الكريم الهمداني
اليامي بالتحتانية الكوفي , نزيل الري صدوق من الثامنة ( أخبرنا زياد بن خيثمة
) الجعفي الكوفي ثقة من السابعة . قوله : ( من طلب العلم ), أي العلم الشرعي ليعمل
به ( كان ) أي طلبه للعلم ( كفارة ) وهي ما يستر الذنوب ويزيلها من كفر إذا ستر ( لما
مضى ) أي من ذنوبه قيل هذا الحديث مع ما فيه من الضعف مخالف للكتاب والسنن المشهورة
في إيجاب الكفارات والحدود إلا إذا قلنا بالتخصيص يعني بالصغائر وهو موضع بحث . كذا
في زين العرب نقله السيد , والظاهر أن الكفارة مختصة بالصغائر أو بحقوق الله التي ليس
لها تدارك أو يشمل حقوق العباد التي لا يمكن تداركه لها . ويمكن أن يكون المعنى : أن
طلب العلم وسيلة إلى ما يكفر به ذنوبه كله من التوبة ورد المظالم وغيرها . . كذا في
المرقاة . قوله : (هذا حديث ضعيف الإسناد) وأخرجه الدارمي . قوله : (أبو داود اسمه
نفيع الأعمى) مشهور بكنيته كوفي , ويقال له نافع ( يضعف في الحديث( قال الحافظ متروك , وقد كذبه ابن معين من الخامسة
( ولا نعرف ) يفتح النون وكسر الراء أو بضم التحتية وفتح الراء(لعبد الله بن سخبرة)
قال في تهذيب التهذيب: روى عن أبيه وعنه أبو داود الأعمى, روى له الترمذي حديثا واحدا
وضعفه , وقال في التقريب مجهول من الرابعة ( كبير شيء ) أي كثير شيء من الأحاديث (
ولا لأبيه ) هو سخبرة بفتح السين المهملة وسكون الخاء المعجمة وفتح الموحدة وبالراء.
قال في التقريب: سخبر في إسناد حديثه ضعف وعند الترمذي عن سخبرة وليس بالأزدي , وقال
, غير هو الأزدي
.
Dari penelusuran yang dilakukan
mengenai hadis di atas, melalui CD mausuah ditemukan pula hadis dengan
redaksi matan yang sama dalam kitab musnad Ad darimi hadis no. 560
sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُعَلَّى حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ خَيْثَمَةَ عَنْ أَبِي دَاوُدَ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ سَخْبَرَةَ عَنْ سَخْبَرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ كَانَ كَفَّارَةً لِمَا مَضَى
B. Kritik Editis
Setelah membahas teks hadis diatas
selanjutnya penulis akan menjelaskan teks hadis tersebut melalui kajian kritik
editis. Kritik editis ini dimaksudkan
untuk mengetahui tema dari teks hadis tersebut yang mengungkapkan keutamaan
dari menuntut ilmu yang selanjutnya
dielaborasi dari 3 kajian yang meliputi:
1.
Analisis
Isi : yaitu
pemahaman terhadap muatan makna hadis melalui beberapa kajian, di antaranya:
a.
Kajian
Linguistik atau kebahasaan.
Yaitu
kajian dengan menggunakan prosedur-prosedur gramatikal bahasa arab. Kajian ini
sangat diperlukan untuk mengetahui teks hadis tersebut yang harus ditafsirkan
ke dalam bahasa aslinya yaitu bahasa arab.
Dari
tinjauan kajian linguistik ini bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Sakhbarah ini
dapat dianalisa dengan pendekatan arti kata perkata (secara harfiah) maupun
pendekatan arti secara kalimat utuh (secara istilah). Beberapa kata yang
menjadi tema sentral dalam hadis ini adalah kata : طلب,
العلم dan كفّارة.
Pada
lafadz dari matan hadis di atas kata طلب dalam kamus al
Munawwir dijelaskan bahwa kata طلب atau
طلب الشئ
diartikan طلب فى مهلة
yang memiliki arti mencari dengan pelan-pelan
artinya ada sebuah proses yang dilalui.
Sedangkan
dalam kamusnya Ali al-Mascatie menyebutkan, kata طلب yang berarti
mencari (to seek, look for).
Kemudian kata yang mengikuti kata طلب adalah kata علم
yang bermakna pengetahuan. Dalam kamus lisan al arab kata ilm
hanya dimaknai sebagai lawan kata jahlun.
Dalam kamus al Munawir kata العلم (ج. علوم): المعرفة diartikan
pengetahuan dan dapat juga diartikan واحد العلوم المبنيّة على المبحث وألأختبار yaitu
(suatu ilmu yang dibangun atas dasar penelitian) “ilmu pengetahuan”, bisa juga diartikan علم واحد تعلوم atau محتص بعلم yang bermakna
pengetahuan (science, scientific).
Jika kita melihat dalam ensiklopedi
Al-Qur'an, ilmu berasal dari bahasa arab ilm, kata jadian dari kata alima,
ya’lamu menjadi ilmun, ma’lumun dan seterusnya yang berarti
juga pengetahuan.
Adapun kata ilm dalam konteks hadis menuntut ilmu masih bersifat umum,
maka kata ilm tersebut terkena kaidah bahwa suatu kata dalam suatu
redaksi yang tidak disebutkan objeknya maka objek yang dimaksud adalah masih
bersifat umum.
Kata yang menjadi tema sentral
berikutnya adalah kata كفّارة . Kata كفّارة
merupakan bentuk muannas dari lafadz كفّار dalam kamus Mu’jamat
al Washit, kata كفّر
jika diberi عن à كفّرت عن يمينهmemiliki arti أعطى الكفّارة contoh pada lafadz أعطيت الكفّارة (membayar denda), dan jika
digabungkan dengan الشئ
memiliki arti غطاه وستره (memiliki arti menutupi). Lafadz
كفّر dapat
dinisbatkan pada lafadz الكفر
(pengampunan); وكفّر
الله عنه الذنب contoh lafadz ini mengandung maksud غفر (mengampuni).
Dalam al Munawir ditemukan, bahwa lafadz كفّارة mempunyai arti
menutupi, menyelubungi,
bisa juga berarti menjauhkan dari (to expiate), mengampuni (a tone
for), menutupi, menyembunyikan (to cover, hide), juga dapat
diartikan penance for a sin (penebusan dosa).
Dalam
kitab syarah al sunan at tirmidzi, hadis tersebut memiliki arti
secara istilah sebagai berikut: kata من طلب العلمà( اى طلب العلم الشرعى ليعمل به ) menuntut ilmu syar’i untuk diamalkannya. Kata علم dalam teks hadis di atas terdapat (العلم) ال yang menunjukkan ma’rifat “sesuatu ilmu yang sifatnya
sudah diketahui atau sudah khusus. Dari arti di atas maka yang dimaksud العلم adalah
ilmu agama/ ilmu syariah).
Kemudian
diikuti kata كفّارة memiliki maksud:
ما يستر الذنوب ويزيلها من كفر إذا ستر ) (sesuatu yang menutupi dosa dan
menghilangkannya dari kekufuran ketika melakukan dosa. Lafadz لما مضى diartikan dengan dimaafkannya dari dosa-dosa yang telah lalu.
Namun demikian lafadz لما مضى
diartikan oleh Bapak
Suryadi sebagai suatu yang telah lalu yang lingkupnya lebih besar yaitu tidak
sekedar dosa saja namun bisa tentang banyak hal misalnya tadinya bodoh setelah
mau belajar menjadi lebih baik dari sebelumnya, dari perilaku yang tidak baik menjadi
baik dan sebagainya.
Dari penelusuran kebahasaan, hadis
no. 2572 dapat penulis disimpulkan bahwa sesungguhnya proses menuntut ilmu itu
merupakan penyebab atau menjadi perantara (sarana) terhapusnya beberapa dosa
yang telah dilalui, karena proses pencarian ilmu tersebut merupakan langkah “taubat”
yang bisa menjadikan terhapusnya dosa dan segala kedzaliman dan lain-lain.
b.
Kajian
Tematis Komprehensif
Setelah membahas hadis dari tinjauan
kebahasaan, selanjutnya akan dikaji melalui kajian tematis komprehensif, yaitu
kajian teks hadis dengan mempertimbangkan teks-teks hadis lain yang memiliki
tema yang relevan dengan tema hadis no. 2572 dalam kitab sunan al Tirmidzi,
dengan bahasa sederhana mengkaji lafadz matan hadis yang berbeda-beda
namun pada intinya menerangkan tentang pokok permasalahan yang sama.
Dalam konteks hadis tentang
keutamaan menuntut ilmu misalnya terdapat beberapa perawi yang meriwayatkannya
dengan lafadz masing-masing. Hal ini dilakukan atau dimaksudkan dalam
rangka mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif. Pada hadis no. 2578 kitab
sunan at Tirmidzi diterangkan :
حَدَّثَنَا
أَبُو الْأَشْعَثِ أَحْمَدُ بْنُ الْمِقْدَامِ الْعِجْلِيُّ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا
أُمَيَّةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ حَدَّثَنِي
ابْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ
لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ
اللَّهُ النَّارَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا
مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَإِسْحَقُ بْنُ يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ لَيْسَ بِذَاكَ الْقَوِيِّ
عِنْدَهُمْ تُكُلِّمَ فِيهِ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ
Rasulullah saw. besabda: barang
siapa menuntut ilmu hanya berobsesi untuk berdebat mengalahkan orang bodoh atau
untuk mengejar popularitas maka Allah akan memasukkannya ke neraka.
Hadis lain dalam sunan Ibn Majah no.
222 diterangkan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ
أَنْبَأَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ
قَالَ أَتَيْتُ صَفْوَانَ بْنَ عَسَّالٍ الْمُرَادِيَّ فَقَالَ مَا جَاءَ بِكَ قُلْتُ
أُنْبِطُ الْعِلْمَ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ خَارِجٍ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ إِلَّا
وَضَعَتْ لَهُ الْمَلَائِكَةُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا بِمَا يَصْنَعُ
Rasulullah saw bersabda: Barang siapa
yang keluar dari rumahnya dalam rangka menuntut ilmu, kecuali para malaikat
akan membentangkan sayapnya karena puas akan apa yang diperbuatnya.
Dalam sunan at Tirmidzi no.
2571 dijelaskan:
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا خَالِدُ
بْنُ يَزِيدَ الْعَتَكِيُّ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الرَّازِيِّ عَنْ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ كَانَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ قَالَ
أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَرَوَاهُ بَعْضُهُمْ فَلَمْ يَرْفَعْهُ
Rasulullah saw. bersabda: Barang
siapa keluar/berkelana (baca: pergi) untuk menuntut ilmu maka dia seperti dalam
keadaan jihad di jalan Allah.
Dalam sunan at Tirmidzi no.
2570 disebutkan:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ
عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا
سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ
Rasulullah saw bersabda: Barang
siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya
menuju surga.
Dari beberapa hadis di atas dapat
disimpulkan bahwa subtansi dari teks hadis diatas dapat diambil hikmah bagi
kita untuk memberikan dorongan atau pemberi motivasi tentang pentingnya sebuah
pengetahuan yang harus dicari dan yang diharapkan nantinya adalah menjadikan
seseorang berubah ke arah yang lebih positif, yaitu berubah dari hal yang tidak
tahu menjadi tahu, dari yang tadinya tidak bisa menjadi bisa,dan dari seorang
yang memiliki sifat tidak arif menjadi bijaksana, karena pengetahuan atau ilmu
yang didapatkannya tersebut menunjukkan kepada jalan ke surga sebagai
balasannya dari akibat berbuat kebaikan. Dan karena ilmu, manusia dapat
mengenal dirinya, tahu tujuannya, tahu tugas dan kewajiban.
Dari hadis-hadis di atas dapat
dipahami, bahwa hadis tersebut adalah sebagai proses menuntut ilmu. Menuntut
ilmu merupakan proses perubahan untuk menuju sesuatu yang lebih baik, yaitu
dengan pengetahuan yang dimiliki dari hasil pencariannya. Seseorang dengan
sendirinya akan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.
Selain itu pula, dari penjelasan
hadis-hadis di atas tersirat makna esensial bahwa manusia (umat Islam) didorong
untuk selalu mengkaji dan menggali ilmu. Tetapi penulis memiliki anggapan bahwa
ilmu di sini tidak terbatas hanya pada ilmu agama saja, tetapi semua ilmu.
Lebih dari itu menurut penulis
pribadi, mengacu teks hadis di atas kata العلم
yang dimaksudkan adalah
perlu adanya prioritas keilmuan yang perlu diutamakan, dalam kasus ini yang
dimaksud adalah agama. Tapi bukan berarti ilmu yang lain tidak penting karena penulis
memiliki keyakinan kuat bahwa semua pengetahuan (baca: ilmu agama dan ilmu
umum) itu bersumber dari satu sumber yaitu Allah swt, selain itu ilmu agama
merupakan ilmu yang mendasari keimanan seseorang “sebuah baju yang melekat”.
Sehingga maksud kata العلم di atas
lebih condong ke arti ilmu agama.
Adapun persoalan dikotomi keilmuan
menurut penulis, pada dasarnya tidak ada, Karena dalam Al-Qur'an sendiri tidak
mengenal dikotomi keilmuan.
misalkan dipaksakan ada itu karena perbedaan sumber dan medan garapan, dan juga
dalam perbedaan titik tolak dari pengetahuan dan agama itu sendiri. Jika ilmu
agama (revealed knowledge) berangkat dari sebuah kepercayaan, ilmu umum
(scientific knowledge). Berangkat dari keraguan sekalipun anggapan ini
sesungguhnya tidak keselurahannya benar, karena masing-masing menyisakan
pelbagai persoalan metodologis di dalam menemukan kebenaran sejati.
Dari sekian hadis tentang keutamaan
ilmu membuktikan begitu besar apresiasi Islam yang diberikan terhadap
pengetahuan, sehingga tidak heran jika Umar bin Khattab mengatakan “Wahai semua
manusia, hendaklah kalian menuntut ilmu, karena sesungguhnya Allah swt memiliki
‘selendang kecintaan’, siapa yang mempelajari ilmu sebanyak satu bab, Allah swt
akan menyelimutinya dengan selendang tersebut.
Selanjutnya apa yang dapat kita
jadikan pelajaran dari hadis-hadis di atas? Adapun yang perlu digaris bawahi,
bahwa nilai-nilai yang dapat kita ambil untuk dijadikan pedoman adalah adanya
semangat (ghirrah) dalam menuntut ilmu dan penggalian terhadap ilmu
pengetahuan yang memiliki tujuan pada perubahan ke arah yang lebih baik.
c.
Kajian
Konfirmatif
Pada kajian ini sesungguhnya hanya
cara bagaimana kita mengkonfirmasikan makna hadis dengan petunjuk-petunjuk Al-Qur'an
sebagai sumber tertinggi.
Telah disepakati oleh mayoritas umat
Islam, bahwa Al-Qur'an itu bersifat konsep, maka ketika muncul keraguan
terhadap suatu hadis kita boleh bersikap bahwa kalau memang hadis itu benar
dari Nabi saw, tidak akan bertentangan dengan kandungan Al-Qur'an.
Adapun hadis no. 2572 yang terdapat
dalam kitab sunan at Tirmidzi dalam syarahnya dikatakan bahwa isi
(matan) hadis ini dhoif karena menyalahi Al-Qur'an dan sunah yang
masyhur dalam hal “keharusan peleburan dosa dan denda” kecuali jika kita
berpendapat bahwa matan hadis ini ditakhsis (dikhususkan) dengan maksud,
membatasinya pada dosa-dosa kecil saja.
Demikian penjelasan Zaenal Arobi
dalam syarah kitab sunan at Turmudzi, yang mengatakan bahwa
secara literal sesungguhnya peleburan dosa hanya dikhususkan pada dosa kecil
atau dosa yang tidak mungkin dimaafkan. Barangkali ada kemungkinan makna lain
yang dikehendaki, sehingga tidak bertentangan dengan Al-Qur'an. Makna lain tersebut
adalah menuntut ilmu menjadi sarana menuju “taubat” yang bisa menjadi penghapus
(baca: mentipe-x) dosa dan segala kedzaliman yang pernah dilakukan.
Ayat Al-Qur'an yang menyinggung
tentang penghapusan dosa misalnya dalam surat al Ankabut ayat 7. Menurut
Quraish Shihab, ayat sebelumnya mengandung janji baik kepada yang taat, yang
berarti mengandung dorongan untuk beramal saleh, sedangkan yang ingin
ditekankan dalam kaitan ayat ke 7 dengan hadis no. 2572 adalah kata (نكفّرنّ) yang terambil
dari akar kata كفر yang diartikan
oleh Quraish dengan “menutup”.
Sementara
ulama berpendapat bahwa yang dimaksud di sini adalah Allah menggantikan amal
buruk dengan amal saleh. Ini terjadi dengan menganugerahkan kepada pelaku
sebuah petunjuk (taufiq) sehingga dapat terdorong dan mampu melakukan
amal kebajikan, atau kata tersebut berarti menjadikan amal saleh yang
dikerjakannya menghapus menutupi amal buruk.
Dalam
konteks ini Quraish Shihab memperkuat argumentasinya dalam al Misbah dengan
sabda Nabi saw, bahwa Nabi berpesan: Ikutkanlah amal saleh setelah amal buruk
niscaya ini menghapusnya. (HR. Tirmidzi).
2.
Analisis
Realitas Historis
Tahapan selanjutnya dalam usaha
memahami konteks suatu hadis adalah dengan melakukan kajian historis. Apakah
ada hal-hal yang melatarbelakangi turunnya (baca: munculnya) hadis, baik secara
mikro atau makro. Dari penelusuran yang penulis lakukan dan karena keterbatasan
pengetahuan penulis serta literatur tentang tema makalah ini, tidak ditemukan
adanya asbabul wurud hadis, namun demikian kita dapat menghubungkan dengan
sebab-sebab makro sesuai dengan kondisi Nabi saw pada saat itu.
Dalam
bahasa Arab sehari-hari sebelum turunnya Al-Qur'an, ilmu hanya bermakna
pengetahuan biasa. Tapi melalui ayat-ayat Al-Qur'an yang turun tahap demi
tahap, kata ini berproses dan membentuk makna dan pengertian tersendiri, yang
terstruktur. Memang, kata ilmu itu bisa sekedar dapat diartikan sebagai
“pengetahuan” biasa, tetapi bisa lebih dari itu, tergantung dari pemahaman
orang terhadap makna kata tersebut, jika pemahaman itu dilakukan dengan
mempelajari dan mendalami implikasi maknawi yang terkandung dalam berbagai
penggunaan kata itu dalam Al-Qur'an. Tapi yang jelas, kata-kata itu kemungkinan
besar berkembang karena pernyataan Nabi yang mengandung anjuran, bahkan
perintah, seperti yang kita kenal: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang
Muslim”; “Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”; “Carilah ilmu sejak
dari buaian sampai ke liang lahat”; “Barang siapa mati ketika sedang
mengembangkan ilmu untuk menghidupkan Islam, maka di surga ia sederajat di
bawah para Nabi”; “Para ilmuwan adalah pewaris (tugas) para nabi”; “ilmu
pengetahuan itu adalah milik orang mukmin yang hilang, di mana saja ia
mendapatkannya, maka ia lebih berhak memilikinya dari yang lain”.
Pernyataan-pernyataan Nabi ini diperkuat oleh firman Allah dalam surat Al
Mujadalah ayat 11, yang berbunyi:
Dari
uraian di atas dapat kita ketahui bahwa Nabi saw juga senantiasa menghidupkan
tradisi keilmuan di kalangan umat Islam saat itu. Sehingga tidak heran jika
banyak ungkapan Nabi saw mengenai keutamaan ilmu seperti halnya hadis dalam sunan
al tirmidzii no. 2572 (meskipun banyak kalangan muhaddisun, hadis
no. 2572 tersebut itu termasuk hadis garib bahkan masuk pada
klasifikasi hadis dhoif).
3.
Analisis
Generalisasi
Dalam analisis generalisasi ini,
dimaksudkan untuk menangkap makna universal yang tercakup dalam hadis yang
merupakan inti dan esensi dari sebuah hadis yang kita teliti. Hadis yang
menjadi tema sentral dari makalah ini secara makna tekstual adalah: “sabda
Rasulullah saw. “Barang siapa yang menuntut ilmu maka akan diampuni dosa
yang telah lalu”.
Dalam konteks ini penulis cenderung pada
pengertian bahwa ilmu adalah suatu proses menuju kepada hal yang lebih baik,
sehingga tingkah laku jelek seolah tidak nampak atau tertutupi dengan hal-hal
(perilaku) yang baik-baik. Kalimat “proses menuju ke arah yang lebih baik”
dapat dibahasakan dalam tujuan pendidikan. Karena menurut penulis tindakan
pendidikan merupakan sebuah (baca: sebagai) proses.
Dari pemahaman di atas tentang menuntut
ilmu adalah bagian dari sebuah proses ke arah positif. Maka pendidikan Islam-pun
dapat dipahami sebagai proses transformasi ilmu, dengan berupaya mewujudkan
tujuan akhir yaitu mewujudkan manusia yang beriman dan bertaqwa. Nilai-nilai
yang akan ditransformasikan adalah pelajaran yang lebih identik dengan
kurikulum.
Selain pendidikan diartikan proses
transformasi keilmuan, pendidikan juga merupakan prosees pemanusiaan manusia.
Suatu pandangan yang mengimplikasikan pada proses kependidikan dengan
berorientasi kepada pengembangan aspek kemanusiaan manusia baik secara fisik
atau biologis maupun ruhaniah psikologis.
Aspek fisik biologis manusia dengan sendirinya akan mengalami perkembangan
pertumbuhan dan penuaan. Sedangkan aspek ruhaniah psikologis manusia melalui
pendidikan dicoba “didewasakan” disadarkan dan diinsan kamilkan. Proses
pendewasaan dan penyadaran dalam kontek
pendidikan ini mengandung makna yang mendasar, karena bersentuhan dengan aspek
paling dalam dari kehidupan manusia yaitu kejiwaan dan keruhanian; sebagai
elemen yang berpretensi positif bagi pembangunan kehidupan yang berbudaya dan
berkeadaban.
Dengan dasar di atas hadis yang
memiliki tema sentral pada kata طلب ,علم dan كفّاّرة dapat dipahami pada suatu proses
transfer keilmuan, karena dengan ilmu dapat dijadikan petunjuk menuju kebenaran
dan memanusiakan manusia sebagai proses. Kata كفّاّرة dalam hadis yang diartikan dengan
“menutupi”, dimaksudkan dengan ilmu dan mengamalkannya, seseorang dengan
sendirinya akan tertutupi perbuatan yang buruk itu dengan hal yang baik,
sehingga perbuatan jelek tertutupi. Selain lafadz طلب, علم,
كفّارة lafadz yang
menjadi perdebatan penafsiran dalam hadis di atas adalah lafadz لما مضى. Lafadz لما مضى dalam syarah sunan al tirmidzi
(لما)
di situ diartikan
dengan dosa. Sedangkan menurut Suryadi, mengartikan (لما), (ما)-nya
tersebut diartikan dengan
sesuatu yang sifatnya luas tidak berhenti dengan pengertian dosa saja, karena lafadz
( لما
مضى) tersebut merupakan
isim mausul
sehingga hadis di atas
dapat dibahasakan; “dengan menuntut ilmu seseorang dengan sendirinya menyadari
hal yang tidak baik dan kemudian untuk ditinggalkannya atau orang yang menuntut
ilmu itu akan tahu kesalahan yang sebelumnya dia tidak tahu.” Dari sini kita
melihat bahwa hadis tersebut mengisyaratkan pentingnya “melakukan proses
perubahan”. Konteks ini dapat dikaitkan dengan keurgensian pendidikan bagi
kehidupan manusia, karena dengan pendidikan (baca: proses mencari/menuntut
ilmu) merupakan bagian dari cara mengembangkan potensi dasar manusia yaitu rasa
ingin tahu.
Namun kalau kita memahami hadis di
atas bahwa menuntut ilmu merupakan sebuah “proses” dan di qiyaskan
kepada arti “proses” dalam sebuah pendidikan, maka maksud hadis di atas dapat
dimaknai sebagai pendidikan dan proses belajar. Pendidikan merupakan salah satu
kebutuhan asasi manusia. Kant berkesimpulan bahwa manusia menjadi manusia
karena pendidikan. Sedangkan Natsir juga menegaskan bahwa maju mundurnya suatu
kaum bergantung kepada pendidikan yang berlaku di kalangan mereka.
Hadis di atas merupakan isyarat
dalam ajaran Islam bahwa menuntut ilmu merupakan satu hal yang sangat
dianjurkan, karena hanya dengan ilmu manusia memperoleh kebahagiaan hidup.
Kedudukan menuntut ilmu dalam Islam juga menempati posisi yang sangat penting.
Dalam kerangka religi, perjalanan
menuntut ilmu memiliki nilai seperti halnya orang yang sedang berjihad di jalan
Allah, di mana balasan bagi orang yang berjihad itu adalah surga. Begitu juga
dalam langkahnya, penuntut ilmu akan dimudahkan jalannya menuju surga. Secara
tekstual hadis di atas merupakan dalil pendukung yang menunjukkan bahwa ilmu
adalah merupakan sarana penunjuk jalan ke surga dan jalan kebenaran.
C. Kritik Praksis
Setelah mengadakan analisis
generalisasi, langkah-langkah metode dalam memahami hadis Nabi saw.,selanjutnya
adalah langkah kritik praksis, yaitu mengkaitkan makna hadis yang diperoleh dari
proses generalisasi ke dalam realitas kehidupan kekinian, sehingga memiliki
makna praktis bagi problematika hukum dan kemasyarakatan kekinian.
Memahami hadis tentang menuntut ilmu
dalam konteks kekinian dapat dibahasakan ke dalam proses belajar. Secara umum,
belajar dapat diartikan sebagai proses transfer yang ditandai oleh adanya
perubahan pengetahuan, tingkah laku dan kemampuan seseorang yang relatif tetap
sebagai hasil dari latihan dan pengalaman yang terjadi melalui aktifitas mental
yang bersifat aktif, konstruktif, kumulatif dan berorientasi pada tujuan.
Dari pengertian tersbut dapat
diambil tiga pemahaman umum, pertama belajar ditandai oleh adanya
perubahan pengetahuan yang lebih baik, sikap, tingkah laku dan ketrampilan yang
relatif tetap dalam diri seseorang sesuai dengan tujuan yang diharapkan,
menerjemahkan, menjelaskan, menerapkan ajaran Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, belajar terjadi melalui latihan
dan pengalaman yang bersifat kumulatif artinya hasil belajar tidak diperoleh
secara tiba-tiba, akan tetapi berlangsung melalui proses demi tahap. Dengan
kata lain belajar melibatkan pengetahuan yang telah dikuasai sebelumnya (prior
knowledge). Ketiga, belajar merupakan proses aktif-konstruktif yang
terjadi melalui persepsi, perhatian, mengingat (memory), berpikir (thinking,
reasoning) memecahkan masalah (problem solving) dan lain-lain.
Belajar merupakan proses yang
dilakukan dengan kesadaran (consciousness). Dengan kesadaran tersebut
seseorang akan secara aktif memberikan perhatian, mengingat, berfikir,
menafsirkan, mengelompokkan, mengkaitkan, mengkonfirmasikan informasi yang
diterima berdasarkan apa yang ingin dicapai dan apa yang telah diketahui.
Pengertian di atas sesuai dengan
prinsip dasar belajar sebagai proses alamiah untuk mendapatkan sesuatu yang
bermakna. Sesuai dengan sifat dasar tersebut seseorang cenderung untuk belajar
secara aktif dan memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh apa yang
diinginkannya. Karena itu pada dasarnya seseorang akan mampu belajar secara
mandiri (self directed)
Dalam konteks ini belajar tidak
berarti hanya proses untuk memperoleh dan mengumpulkan pengetahuan, tetapi
lebih merupakan proses menciptakan pengetahuan atau memecahkan masalah.
Pengertian tersebut mengandung implikasi bahwa belajar merupakan proses yang
unik yang bertumpu pada usaha perorangan untuk menciptakan atau memberi makna
terhadap informasi atau secara singkat dapat dikatakan bahwa belajar adalah
proses informasi yang dilakukan oleh masing-masing individu untuk memberi atau
membentuk makna dari setiap informasi yang sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.
Dalam konteks kekinian dan
keindonesiaan, hadis tentang menuntut ilmu di atas dapat dipahami pula ke dalam
pendidikan sebagai sarana perubahan sosial dalam masyarakat. Menurut penulis
esensi dasar dari hadis tentang keutamaan seseorang menuntut ilmu adalah proses
perubahan, baik perubahan sikap intelektual, perubahan sosial, perubahan
pemahaman keilmuan, pengetahuan dan sebagainya.
Adapun proses perubahan sosial
konteks kekinian dari hadis tersebut dapat dilalui dengan berbagai cara,
diantaranya dengan pendidikan (baca: menuntut ilmu) secara sosiologis,
pendidikan selain memberikan amunisi memasuki masa depan, ia juga memiliki
hubungan dialektikal dengan transformasi sosial masyarakat. Seperti dikatakan
Emile Durkheim mengenai “on education and society” yang dikutip dalam Imam
Tholkhah dan A Barizi bahwa transformasi pendidikan selalu merupakan hasil dari
transformasi sosial masyarakat dan begitulah sebaliknya.
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan masyarakat, merupakan dua variabel
yang sulit dipisahkan dan tidak bisa dihindari. Pendidikan sebagai aspek
kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat juga harus terlihat dalam
arus perubahan itu. Keterlibatannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya
untuk mengadakan penyesuaian diri terhadap perubahan, tetapi bagaimana supaya
pendidikan itu merupakan agen perubahan sosial, maka kata kunci yang relevan
untuk dikedepankan adalah “kreativitas”.
Untuk menjadi kreatif menurut
Abdulrohman diantaranya diperlukan kecerdasan (intelegensi).
Butir-butir tujuan pendidikan nasional sendiri, sebagaimana dalam UUSPN,
diantaranya dinyatakan bertujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan kata
lain, tujuan pendidikan nasional diantaranya adalah mempersiapkan
manusia-manusia yang cerdas. Dengan kecerdasan yang dimilikinya, manusia
menjadi kreatif, dan dengan kreatifitasnya, seseorang dapat mengaktualisasikan
dirinya, mampu melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian masalah, mampu
meningkatkan kualitas hidupnya. Demikian pula kecerdasan, semakin cerdas
seseorang akan semakin dapat menentukan cara-cara menghadapi sesuatu dengan
semestinya, makin dapat bersikap kritis di satu sisi, dan membuat perubahan di
sisi yang lain. Sebab kreativitas yang merupakan produk kecerdasan yang menjadi
bagian yang sangat inheren dengan perubahan, dan sangat tidak toleran adanya status
quo, hal ini tidak lepas karena pengaruh dari proses pendidikan (baca:
menuntut ilmu).
Dari kerangka sosiologi ini memberi
pengertian bahwa suatu sistem pendidikan dibangun guna melaksanakan “amanah
masyarakat” untuk menyalurkan anggota-anggota (baca: peserta didik)-nya ke
dalam posisi-posisi tertentu. Artinya suatu sistem pendidikan bagaimana mampu
menjadikan dirinya sebagai mekanisme alokasi posisionil bagi civitas akademika
untuk menghadapi masa depan.
Ilmu (al-‘ilm) di dalam
Islam, yang seringkali diterjemahkan dengan sains (science), merupakan
materi pokok pendidikan yang harus diajarkan di sekolah-sekolah karena
fungsinya sebagai penentu pola hidup masyarakat, seperti mobilitas sosial
(berpindah-pindah atau bepergian dari satu tempat ke tempat lain), pengetahuan
kehidupan (individual maupun sosial), kerangka nilai dan tradisi, dan
sebagainya.
Sebagai kerangka mobilitas sosial,
ilmu pengetahuan atau sains telah menemukan cara-cara mengubah satu bentuk
energi ke bentuk lainnya, lebih praktis, lebih pragmatis, dan lebih berdaya
guna bagi kehidupan manusia. Contoh yang sangat jelas adalah penggunaan hand
phone dewasa ini mampu mendongkrak nilai-nilai keakraban dan sekaligus
merenggangkan silaturrahmi fisikal antara sesama. Ini menggambarkan bahwa
betapa kemajuan sains melalui pendidikan, penelitian, dan eksperimentasi
memiliki pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat. Adapun pelbagai kemajuan
sains dan teknologi di dalam kehidupan masyarakat bisa dirumuskan dalam kerangka
yang paling mendasar sifatnya, yaitu bahwa sains itu tumbuh dan berkembang
melalui proses pendidikan (baca: proses belajar atau menuntut ilmu).
Sepakat atau tidak, penulis memiliki
keyakinan bahwa pendidikan (baca: proses belajar/proses menuntut ilmu)
merupakan sarana mengubah masa depan. Pendidikan diyakini sebagai amunisi yang
mampu memberikan kemampuan teknologis, fungsional, informatif, dan terbuka bagi
pilihan utama masyarakat. Kecenderungan ini makin menguat manakala budaya global
membuat masyarakat semakin terbuka dan sistematis yang lebih ditentukan oleh
kompetensi rasional-individual, penguasaan teknologi dan informasi, dan kerja
keras, bukan lagi ditentukan oleh sesuatu yang tidak rasional seperti karisma,
kesalehan lahiriah, keturunan.
Penulis juga sependapat dengan Munir
Mulkan, yang dikutip Imam Tholkhah dan A Barizi dalam bukunya Membuka
Jendela Pendidikan yang menurutnya pendidikan dipersepsikan sebagai wahana
bagi tumbuhnya daya kritis, kreatif, akan kecerdasan personal, sosial dan
kemanusiaan di tengah-tengah pluralisme. Pluralisme kehidupan mengharuskan
pelaku kehidupan ini dibekali pendidikan yang bernilai positif menuju pribadi
pintar, kreatif dan berbudi luhur.
Sebagai contoh mislanya: orang yang
cerdas/pintar selalu menggunakan nalarnya secara benar dan objektif. Orang
kreatif mempunyai banyak pilihan dalam memenuhi kepentingan hidupnya. Orang
arif dan luhur budi bisa menentukan pilihan tepat dan menolak cara-cara
kekerasan. Kecerdasan dan kearifan bersumber dari daya kritis dan kesadaran
atas nilai diri dan sosial, sehingga tumbuh kepedulian pada sesama.
Lebih dari itu, menurut Mulkhan,
proses belajar haruslah dibebaskan dari doktrin legal formal, seperti
baik-buruk, benar-salah, halal-haram, mukmin-kafir, dan sebagainya yang dapat
mengebiri peserta didik kepada keberpihakan parsial. Proses pembelajaran
hendaknya juga dijauhkan dari proses reproduksi ideologis kelas dominan yang
memaksa nilai-nilai kependidikan ke arah komoditi bisnis dan langgengnya
kekuasaan. Proses pembelajaran hendaknya diarahkan pada terciptanya tranformasi
dan edukasi sosial secara menyeluruh.
Dengan demikian penulis
berkesimpulan bahwa hadis keutamaan menuntut ilmu di atas dapat dijadikan
spirit dalam melakukan berbagai perubahan dengan melalui proses belajar atau
menuntut ilmu, sehingga dari proses itu diibiratkan pada akan terhapusnya “sesuatu”
yang lama (baca: cara pandang) yang lain
oleh cara berfiri yang baru dari pengetahuan yang diperoleh setelah menuntu ilmu, yang jelas,
belajarlah! Karena dengan belajar semua menjadi mungkin dan kebebasan memilih
menjadi lebih terbuka bagi munculnya alternatif masa depan yang lebih. Seorang
pelajar akan senantiasa merasa bodoh dan haus akan ilmu baru, laksana seseorang
dalam kehausan lalu ia meminum air garam maka ia justru semakin haus dan haus.
Sabda Nabi Saw, “Ilmu akan menjaga
dirimu dan karena itu, kamu mampu menjadi kekayaanmu” (al-‘ilm yahfazhuka wa
‘anta tahfazh al-mal). Jadi, ilmu dan orang berilmu merupakan pengawal
sejati kelangsungan kehidupan manusia.