REMAJA
DAN KEHIDUPAN SEKS DI MANCA NEGARA;
PERSPEKTIF KULTURAL
A.
Pendahuluan
Remaja
adalah aset bangsa, apabila remajanya bermental baik maka bisa
diharapkan sebuah bangsa akan menjadi bangsa yang baik, sebaliknya bila
remajanya rusak maka akan rusak pula bangsa tersebut. Ungkapan yang begitu
indah sekaligus menakutkan tersebut sering kita persepsikan sebagai kata
mutiara, yang biasa kita dengar dari pidato pejabat, ceramah para kiai maupun
pesan moral dari aktivis pemuda. Keindahan ungkapan tersebut terasa manakala
kita memiliki optimisme terhadap perilaku para remaja yang positif dan sesuai
dengan norma agama, memenuhi harapan generasi tua, dan tidak bertentangan
dengan budaya yang dimiliki oleh komunitas remaja. Sebaliknya optimisme ini
bisa berubah menjadi trauma kultural jika ternyata perilaku remaja menyimpang
dari rel rel harapan.
Salah
satu diantara perilaku menyimpang para remaja yang cukup meresahkan generasi
tua akhir akhir ini adalah pola kehidupan seks yang cenderung lepas kendali,
yang termanifestasikan dalam bentuk hubungan seks pra-nikah atau pre marital intercourse (PMI). Contoh
lain seperti beberapa kasus perkosaan dimana korban maupun pelakunya adalah
remaja, bisnis prostitusi dikalangan ABG, atau tindak abortus kriminalis
sebagaimana banyak diekspose beberapa media massa, serta beberapa kasus
pelecehan seksual (sexual harassment) yang dilakukan kaum pria yang tidak
terpublikasikan oleh media, adalah bentuk lain dari perilaku disorder yang
perlu disikapi secara lebih teliti. Faktor penyebab dari kehidupan remaja yang
cenderung menyimpang ini biasanya lantas di identifikasi sebagai pengaruh budaya barat, baik yang didapat
melalui media maupun pengalaman saat
mereka bersentuhan langsung dengan kehidupan
barat yang kemudian taken for
granted sebagai style baru dalam kehidupan remaja. Meskipun demikian ada
pula yang berpendapat bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah tidak jelasnya
ketentuan yuridis yang mengatur masalah tersebut,[1]
serta birokrasi yang cenderung berbelit belit didalam menempuh upaya yuridis.
Hal
ini disebabkan landasan hukum yang kita pakai sebagian besar bukanlah produk
hukum kita sendiri yang didasarkan pada budaya asli bangsa (the genuine
culture), melainkan produk hukum warisan penjajah Belanda. Sedangkan upaya penegakan hukum yang
diharapkan sesuai dengan karakter bangsa (yaitu bangsa religious) dengan
prioritas pada landasan ajaran Islam sebagai penduduk mayoritas, sampai
sekarang masih menimbulkan pro dan kontra.
B. Pola Pergaulan Remaja
Mancanegara
Pada
umumnya image yang berkembang di masyarakat selama ini, sebagaimana banyak
diciptakan oleh media massa sebagai public
opinion makers yang dikemas baik dalam bentuk berita ataupun hiburan,
adalah bahwa dunia Barat dengan budaya seks bebasnya telah -dan sedang-
menebarkan dangerous culture serta dangerous disease keseluruh penjuru
dunia, misalnya melalui semakin cepat tersebarnya virus HIV, [2] yang
telah memakan banyak korban. Hal ini diperkuat dengan realitas bentukan yang
diciptakan oleh media massa khususnya televisi, umpamanya, dengan tayangan
opera sabun (soap opera) import -
ambil contoh serial televisi Melrose
Place, Beverly Hills 90210, atau Dawson
Creek, yang memang banyak menawarkan potret kehidupan serupa.
Upaya
pelurusan terhadap image negatif tersebut perlu dilakukan melalui pendekatan
lintas budaya dalam konteks understanding other culture. Barangkali cara yang
cukup relevan dengan kasus ini adalah dengan menggunakan pisau bedah analisis
wacana dengan tujuan untuk menghindarkan tragedi blaming the others when thing goes wrong, atau menuding pihak lain
ketika terjadi suatu kesalahan.
Analisis
wacana yang ditawarkan van Dijk sebagaimana dikutip oleh Eriyanto mengatakan
bahwa sebuah teks (wacana) tidak bisa semata mata dianalisis dari struktur
teksnya atau konstruk keadaannya saja, tetapi perlu juga dilihat dari kerangka
bahasa, kultural, dan persepsi dari pemakai (pemberi makna).[3]
Dalam hal ini fenomena kehidupan seks bebas yang dipraktekkan oleh sebagian
remaja mancanegara adalah sebuah wacana bagi kita, yang oleh karena itulah,
maka tulisan ini akan mencoba menganalisisnya secara kultural dari perspektif
orang luar (the outsider). Sebagaimana diakui oleh banyak orang bahwa kebenaran
sebuah budaya adalah relatif dan subyektif dimana masing masing komunitas atau
pemilik sebuah budaya hanya akan mengakui budayalah yang paling benar.
Sedangkan budaya orang lain yang tidak sama dengan yang dipakainya dianggap
salah atau tidak baik.
Terlepas
dari kebenaran serta relativitas sebuah budaya, hal penting yang akan
dikemukakan dalam tulisan ini adalah mengenai beberapa faktor utama yang
membentuk sikap serta perilaku remaja dalam mencapai kebahagiaan hidup.
Berdasarkan perspektif psikologi, sebagaimana ditawarkan oleh Spilka, ekspresi
perilaku manusia pada umumnya ditentukan
oleh beberapa faktor penting, diantaranya adalah pekerjaan yang cocok,
perkawinan yang bahagia, rasa cinta, dan agama.[4] Keempat faktor tersebut saling melengkapi
dalam proses pembentukan kepribadian seseorang secara idealistis, yang kadang
kadang sulit untuk menentukan faktor mana yang paling dominan. Adapun mengenai
seberapa penting sebenarnya masing masing faktor (khususnya rasa cinta dan
sentimen agama) tersebut mampu mempengaruhi perilaku seks bebas remaja
mancanegara tentunya juga relatif. Maksudnya adalah bahwa hal tersebut akan
sangat bergantung pada individu masing masing, meskipun tidak menutup
kemungkinan ada beberapa faktor yang sifatnya bisa digeneralisir.
Sepertinya
hampir menjadi asumsi umum yang taken for
granted bahwa mayoritas remaja mancanegara menganut pola pergaulan bebas,
hedonis, serta individualis yang konon tidak sesuai dengan adat ketimuran
(untuk kontekstualnya baca Indonesia).[5]
Minimal informasi semacam inilah yang sering dimunculkan oleh beberapa kalangan
seperti para misionaris agama, pendidik, serta generasi tua sebagai upaya preventif
terhadap generasi berikutnya agar tidak terjebak kedalam pola pergaulan yang
salah (minimal salah dalam perspektif mereka).
Terlepas
dari benar tidaknya asumsi tersebut diatas, masalah substansial yang perlu
dicermati yaitu bahwa kehidupan remaja, yang sedang menapaki proses pembangunan
citra diri atau image building melalui proses pembelajaran sosial (social learning), adalah masa yang
sensitif terhadap perubahan karena mereka selalu mengadakan identifikasi dan
duplikasi terhadap lingkungan sekitarnya. Proses pembelajaran ini bisa
diperoleh dari berbagai sumber seperti lingkungan keluarga, masyarakat, dan tak
kalah pentingnya, media massa .
Menurut
Spilka, meskipun lingkungan keluarga (terutama orang tua) mempunyai peran yang
besar terhadap pola pergaulan remaja, namun ternyata yang lebih banyak
mempengaruhi proses interaksi sosialnya adalah lingkungan pergaulan dengan
teman sebaya atau peer group,
sedangkan fungsi agama bagi sebagian orang hanya merupakan sarana pemenuhan
kepuasan yang sangat pribadi atau personal
satisfaction.[6]
Melihat fenomena ini, oleh karenanya, bukan hal yang aneh manakala banyak
generasi muda manca negara yang lebih suka hidup secara terpisah dari orang
tuanya dengan alasan mencoba menciptakan kemandirian, meskipun dengan konsekuensi
harus mencari nafkah sendiri. Konsekuensi ekonomis ini barangkali bukan
merupakan hal yang memberatkan karena, bagi remaja Australia misalnya, mereka
mendapat dukungan finansial yang memadai dari pemerintah setempat bagi para
penganggur atau jobless sehingga
meskipun tidak mempunyai pekerjaan namun mereka tetap mendapatkan jaminan
hidup.
Akibat
adanya kecenderungan hidup terpisah dari orang tua ini adalah semakin
longgarnya kontrol orang tua terhadap kehidupan remaja. Padahal, menurut Dedy
Mulyana, masa remaja adalah tahapan dimana secara psikologis pendampingan orang
tua sangat diperlukan demi menghindarkan mereka dari proses pergaulan
serta proses social learning yang
menyesatkan.[7] Ada diantara mereka yang
kemudian mencari pasangan hidup bersama dengan lawan jenis tanpa harus terikat
oleh perkawinan yang syah, yang menurut adat timur merupakan hal tabu. Sewaktu
tinggal di Canberra ,
Australia ,
penulis pernah mengamati fenomena yang aneh
dimana beberapa pasangan remaja (mahasiswa) yang tinggal dalam satu kamar pada
salah satu apartemen mahasiswa bisa hidup dengan santai, tanpa pekewuh, seolah
olah menganggap itu hal yang lumrah. Dikatakan aneh karena perguruan tinggi setempat sebagai institusi pendidikan
terkait ternyata membiarkan saja hal ini terjadi dan menganggap perilaku
tersebut sebagai hal yang wajar. Hal yang lebih aneh lagi bahwa perguruan tinggi dimaksud seperti memaklumi dan
membiarkan praktek hubungan seksual pra nikah sebagai akibat dari fenomena
hidup bersama yang dilakukan oleh mahasiswanya. Minimal sikap aneh perguruan tinggi tersebut bisa
dilihat dari salah satu fasilitas yang diberikan kepada mahasiswa berupa kondom
yang bisa diperoleh secara cuma cuma pada sebuah tempat yang disebut student centre.[8]
Meskipun
demikian ternyata disisi lain para remaja mancanegara tidak selamanya berupa
komunitas yang egosentris (yang oleh beberapa kalangan secara salah kaprah
sering dikonotasikan dengan individualis). Secara general, budaya yang rupanya
telah mengakar tertanam pada masyarakat mancanegara (barat) dilandasi dengan
prinsip hidup yang menghormati hak asasi orang lain, maka para remajanya pun
berupaya menerapkan hal tersebut dalam kehidupan sehari hari. Budaya
menghormati hak asasi orang lain ini nampak kuat terutama karena pemerintah
setempat cukup kondusif dalam mempertahankan budaya ini, bahkan pelanggaran hak
asasi dianggap sebagai perbuatan kriminal dan bisa mengakibatkan hukuman atau
denda tertentu.
Salah
satu perbuatan yang dianggap melanggar hak asasi dan merupakan pelecehan
seksual (dalam konteks kehidupan remaja) misalnya, melontarkan ekspresi atau
sapaan terhadap lawan jenis yang bernada seronok seperti bersiul atau kata
sapaan iseng yang tidak mengenakkan hati. Hal seperti ini secara substansial
tidak terlalu mengakibatkan konsekuensi yuridis menurut sistem budaya ketimuran
(baca Indonesia ),
namun bisa menjadi masalah yang sangat serius bagi budaya barat. Kondisi
perbedaan semacam inilah yang, barangkali, sering memunculkan keluhan turis
wanita kulit putih yang berkunjung ke Indonesia ketika harus menghadapi
keisengan pria pria Indonesia .[9]
Meskipun pada umumnya para turis mancanegara menganggap bahwa masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang ramah, namun disisi lain nampaknya ada kesan negatif
mengenai sifat iseng yang sering dilakukan kaum pria.
Karena
sistem budaya dan sistem yuridis yang sudah dipahami secara generatif ini, maka
pada umumnya perilaku remaja sebagai sub-sistem sosial kemasyarakatan pun
sedikit banyak mencerminkan norma tersebut. Sehingga secara general timbul
kesan bahwa remaja mancanegara memiliki perilaku yang sopan dan menghormati
orang lain. Salah satu indikasi adanya kesan ini, misalnya, yang ditunjukkan
oleh para remaja (baik pria maupun wanita) pada saat berada dalam kendaraan
umum yang biasanya segera memberikan tempat duduknya ketika melihat ada orang
tua yang berdiri. Etika yang berlaku diatas kendaraan umum (city bus)
dicantumkan secara tertulis pada setiap armada bus yang berbunyi: Children and students travelling on
concession cards should give up their seats when adults are standing.
Meskipun sebagian orang mempunyai asumsi bahwa remaja biasanya kurang
menghormati orang tua,[10]
peraturan yang dibuat oleh orang dewasa ternyata relatif ditaati.
Namun
sayangnya image yang diciptakan oleh media massa (minimal yang terlihat pada
film maupun soap opera televisi) serta asumsi generasi tua sendiri tentang
remaja mancanegara biasanya negatif, misalnya secara sepihak mereka
menggambarkan kehidupan remaja yang amburadul dengan mengekspose budaya
premanisme, mabuk mabukan serta penggunaan obat terlarang, free sex dan
keberaniannya memberontak terhadap orang tua. Bentuk resistensi yang kemudian
dilakukan oleh generasi tua (khususnya manula) adalah dengan cara memilih hidup
terpisah dengan keluarga (anak cucu) dengan memilih komunitas mereka di panti
panti jompo.
C. Hubungan Relasional Pria -Wanita
Salah
satu sisi yang menarik ketika mencermati pola hubungan relational antara pria
dan wanita mancanegara adalah bahwa secara general pria menempatkan wanita pada
posisi yang khusus, terutama dalam etika pergaulan. Pada umumnya pria
beranggapan bahwa wanita adalah komunitas yang perlu dilindungi serta diperlakukan secara istimewa, di
Inggris misalnya, ada budaya elite dimana pria biasanya mencium tangan wanita
sebagai bentuk penghormatan. Atau kebiasaan kaum elit yang hampir menjadi
tradisi seperti mempersilahkan wanita duduk terlebih dahulu pada sebuah
perjamuan resmi, membukakan serta menutupkan pintu mobil, serta beberapa
perlakuan khusus lain pada peristiwa peristiwa tertentu dimana wanita
selayaknya didahulukan sehingga sering kita dengar mereka mengatakan: Lady's first.
Namun
secara ideologis, pola hubungan laki laki perempuan sepertinya masih diwarnai
oleh tarik menarik antara model patriarchi yang menempatkan pria sebagai the first class dan egalitarianisme yang
menuntut persamaan hak antara pria dan wanita.[11]
Kalau dibandingkan dengan hubungan relasional yang dipraktekkan dalam budaya
timur, sebenarnya budaya barat memiliki pola yang relatif lebih egaliter,
misalnya relasi yang terjadi dalam sebuah lembaga perkawinan, dimana pria barat
lebih siap untuk berpartisipasi dalam pekerjaan pekerjaan rumah tangga
(domestik). Mekanisme pengaturan dalam pekerjaan rumah tangga biasanya tidak
didasarkan pada siapa yang mempunyai kewajiban
untuk melakukan tugas tertentu, tetapi lebih banyak pada siapa yang
mempunyai kesempatan untuk melakukan
tugas tersebut. Contoh lain dalam kehidupan kampus, misalnya, para mahasiswa
yang diberi tugas kolektif membuat karya ilmiah tidak memposisikan mahasiswi
hanya sebagai tukang ketik saja tetapi juga memberi kesempatan kepada mahasiswi
untuk berperan sebagai konseptor dan penggagas ide sesuai dengan kadar
kemampuan masing masing.
Namun
demikian fenomena adanya tarik menarik antara model patriarchi dan egalitarian
masih kelihatan yang, paling tidak, ditandai dengan semakin gencarnya tuntutan
kaum feminist didalam memperjuangkan hak hak wanita disektor publik, seperti
hak memperoleh gaji yang sama, hak untuk dalam berkiprah dlam dunia politik,
serta hak untuk memperoleh kesempatan kerja yang sama dengan kaum pria dalam
work system.
D.
Agama dan Perilaku Seks Bebas
Yang dimaksud dengan perilaku seks bebas
adalah hubungan seks yang dilakukan tanpa didasari oleh aturan atau norma
sosial yang berlaku secara umum, misalnya hubungan seks pra nikah atau pre marital intercourse (PMI),
kecenderungan berganti ganti pasangan tidak resmi, serta hubungan seks yang
dilakukan dengan lawan jenis yang bukan pasangan resminya (perselingkuhan).
Beberapa contoh tersebut merupakan asumsi umum, yang konon sering diklaim
sebagai budaya barat. Akan tetapi pembahasan dalam tulisan ini hanya akan difokuskan pada
masalah pertama (pre marital intercourse) yang banyak terjadi pada kalangan
remaja barat, yang nampaknya sudah banyak dipraktekkan pula oleh remaja kita,
meskipun kita tidak bisa secara gampang mengklaim bahwa keduanya budaya
tersebut merupakan hubungan influensial.
Dibagian depan tulisan ini telah
disebutkan bahwa salah satu faktor pembentuk perilaku manusia adalah norma
agama yang meliputi ketaatan seseorang terhadap agama yang dianutnya. Namun
demikian meskipun hampir semua agama memiliki norma etika yang hampir sama
(diantaranya anjuran untuk berbuat baik kepada sesama, larangan berhubungan
seks pra-nikah dan sebagainya), ada hal yang menarik bahwa ternyata perbedaan
sosio-kultural yang dimiliki oleh para pemeluk agama sangat berpengaruh
terhadap proses aktualisasi diri mereka dalam kehidupan keseharian. Tampaknya
pengaruh sosio-kultural terhadap perilaku seseorang ini begitu kuatnya sehingga
pada kondisi tertentu, mampu menggeser peran agama.
Menyimak pola kehidupan seks bebas yang
dipraktekkan remaja di barat (serta masyarakat bagian lain yang juga
mempraktekkan budaya serupa), ada beberapa kondisi yang menyebabkan mereka
berperilaku berbeda dengan mereka yang hidup dan dididik dalam lingkungan
budaya asli atau the genuine culture, diantaranya, (a) sistem
kepercayaan, (b) sistem kode yang berimplikasi pada sistem budaya,[12] dan (c) pandangan dunia (world view) [13] yang dimiliki oleh masing masing individu. Persoalannya
adalah seberapa jauh sebenarnya ketiga faktor penting tersebut mampu memberi
nuansa terhadap perilaku seks bebas mereka ?.
a. Sistem Kepercayaan
Yang
dimaksud dengan sistem kepercayaan disini adalah totalitas konsep yang dimiliki
oleh seseorang yang bermuara pada nilai nilai agama atau religious values, yang sudah barang tentu kadarnya berbeda antara
seorang dengan yang lainnya yang bisa disebabkan oleh faktor usia, lingkungan
pergaulan, serta latar belakang keluarga. Sebagaimana dijelaskan oleh Bryan
Turner, [14]
dalam perspektif individual, agama memiliki peran sebatas diri individu
sedangkan perannya terhadap sektor publik semakin tersubordinasi oleh paham
sekularisme, permasalahan ekonomi, dan kekuasaan politis. Paham sekularisme
yang cenderung memisahkan antara urusan agama dan dunia nampaknya lebih
mewarnai kadar religiusitas kalangan remaja barat. Dengan demikian, dibanding
dengan masyarakat yang beradat timur,
remaja barat sebagai komunitas dalam sebuah sistem sosial memiliki keunikan
tersendiri didalam melihat agama sebagai pegangan hidup, dengan kata lain,
kebanyakan dari mereka tidak memiliki concern yang signifikan terhadap agama.
Dalam kehidupan seks, misalnya, mereka lebih mendasarkan pada sisi kepuasan
individual atau individual satisfaction
ketimbang sisi religious valuenya.
Disamping
itu, menurut Argyle dan Hallahmi, kecenderungan untuk melakukan premarital
intercourse (PMI) atau hubungan seks pranikah ditengarai berhubungan erat
dengan tinggi rendahnya kadar religiusitas seseorang, dengan sebuah asumsi
bahwa semakin religius seseorang maka
semakin kecil kemungkinan untuk melakukan PMI, dan sebaliknya.[15]
Statemen Argyle dan Hallahmi ini diperkuat dengan data statistik hasil
penelitian yang dilakukan terhadap pengikut keagamaan pada beberapa buah gereja
di London . Oleh
karenanya, ada fenomena logis bahwa remaja barat yang kebanyakan kurang
memiliki sensitivitas religius tersebut menganut kebiasaan (budaya) seks bebas
dengan salah satu indikasi melakukan seks pra-nikah.
Ketika
kondisi ini dilihat dari perspektif ketimuran, yang nota bene dilandasi dengan
frame religious atau concern terhadap budaya setempat, maka ada semacam
penyimpangan norma sosial yang terjadi pada perilaku mereka. Karena pada
dasarnya proses pemaknaan yang dilakukan oleh seseorang atau sebuah komunitas
biasanya tidak bisa lepas dari kerangka pikir serta (menurut jalaludin Rakhmat)
konsep diri[16]
si pemberi makna. Sehingga ketika seseorang merasa dirinya adalah mahluk
religious, maka dia akan berusaha berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya
serta menganggap orang lain yang tidak religious tidak benar.
b. Sistem Kode
Kalau
dilihat dari perspektif lingustik, sepertinya sistem kode kurang relevan dengan
analisis perilaku yang menjadi wacana dalam tulisan ini. Tetapi sistem kode
dalam konteks ini akan dilihat dari perspektif kultural yang maksudnya adalah
cara penyandian atau persepsi yang dilakukan oleh seseorang terhadap pesan atau
fenomena yang berkembang disekitarnya, yang merupakan cara unik yang dimiliki
oleh masing masing individu.[17]
Keunikan dari masing masing individu dalam mempersepsi sebuah pesan pada
akhirnya secara kolektif mampu membentuk budaya kode atau cultural coding
system, yang terbedakan menjadi sistem kode tekstual dan kontekstual.[18]
Dengan kata lain proses persepsi suatu saat bisa dilakukan dengan menerima pesan, tetapi bisa juga dengan
cara memaknai pesan.
Dalam
sistem kode yang mengacu pada persepsi kontekstual (proses pemaknaan), hubungan
seks pra-nikah sebagai sebuah pesan dipersepsi oleh kalangan remaja barat
sebagai sesuatu yang lumrah meskipun secara tekstual normatif (religious)
merupakan sebuah tabu yang tidak boleh dilanggar. Persepsi kontekstual dimaksud
adalah ketika fenomena tersebut ternyata secara kultural hampir menjadi satu
kebiasaan yang dilakukan banyak orang, tidak mengingkari norma sosial dan bukan
hal terlarang.
Wacana
ini menjadi semakin kompleks ketika dalam sistem patronase kekeluargaan sendiri
remaja memiliki kecenderungan untuk hidup terpisah dari keluarga (baca orang
tua) dan memilih hidup bersama peer group, sehingga kontrol dari orang tua
terhadap perilaku anak anaknya relatif longgar. Hal ini diperparah lagi dengan
sikap individualis (dalam konteks tidak mau mencampuri urusan orang lain) yang
dianut dan dikembangkan oleh masyarakat barat, yang mengakibatkan nyaris
hilangnya kontrol sosial antar sesama dan terbentuknya kondisi permisif.
Sebagai akibatnya sistem kode yang berlakupun lebih banyak didasarkan pada
kondisi sosial yang melingkupi komunitas tersebut.
Dampak
yang nyata dari pola kehidupan seks bebas semacam ini sangat variatif
diantaranya tingginya angka abortus kriminalis sebagai konsekuensi dari
kehamilan yang tidak dikehendaki, banyaknya wanita yang mengambil keputusan
untuk menjadi single parent, tingginya angka penderita HIV akibat dari
seringnya berganti ganti pasangan, dan sebagainya.
c. World
view
Kalau
sistem kepercayaan yang dianut oleh seseorang lebih mengarah pada perspektif
religius, maka world view atau pandangan hidup merupakan sikap (kondisi
psikologis) yang paling asasi yang dimiliki oleh seseorang dalam mengambil
posisi dalam sebuah kelompok sosial. Termasuk didalamnya adalah bagaimana
orientasi yang dimiliki seseorang dalam mempersepsi keberadaan tuhannya
(persepsi religius), konsep kemanusiaan (hubungan dengan sesama) dan lingkungan
sekitar, serta pranata sosial yang ada disekitarnya.[19]
Karena konsep religius dan relasional telah dibahas pada bagian sebelumnya,
maka kali ini pembahasan akan difokuskan pada masalah pranata sosial dalam
konteks persepsi tentang sebuah ikatan kekeluargaan atau household.
Tetapi
bagi sebagian masyarakat barat, household dimaknai secara sangat sederhana
sebagai sekelompok orang yang hidup bersama dan berbagi berbagai fasilitas yang
ada, sebagaimana diungkapkan oleh Kress Gunther bahwa: A household is simply a group of people living together in the same
residence, sharing the same facilities.[20]
Disini nampaknya konsep berbagi atau sharing menjadi kunci utama dalam
mempersepsi sebuah household, sehingga menjadi daya tarik utama bagi seseorang
yang ingin membangun lembaga tersebut.
Logika
dari ungkapan ini adalah bahwa bagi mereka yang tidak tertarik untuk sharing fasilitas yang mereka miliki,
maka sebuah keluarga tidak begitu penting untuk dibangun. Sebagai akibatnya,
untuk memenuhi kebutuhan seksual yang biasanya diekspresikan secara agresif,
mereka lebih memilih jalur mencari pasangan yang cocok untuk hidup bersama
tanpa harus melalui perkawinan yang syah. Dengan demikian ketika dalam
perjalanannya mereka sudah merasa tidak cocok lagi (bahasa kasarnya: bosan)
maka mereka bisa berpisah dan mencari partner lain yang cocok tanpa harus
merasa bersalah karena telah mengingkari lembaga
kebersamaan. Makanya bukan hal yang aneh kalau
kita sering melihat atau mendengar mereka sering berganti ganti pasangan.
Akibatnya, banyak wanita barat yang hamil dimana tidak diketahui secara pasti laki
laki yang mana yang menghamilinya.
Gambaran ini misalnya bisa kita peroleh
dari kehidupan para artis barat, ambil kasus Jodie Foster, yang memiliki anak
tanpa diketahui (atau yang bersangkutan tidak mau menceritakan) siapa ayahnya.
Di Indonesia, misalnya kasus Zarima atau Sarah Azhari, yang mempunyai anak
tanpa informasi yang jelas mengenai identitas ayahnya. Barangkali masih banyak
Jodie Foster atau Zarima yang lain yang tidak kita ketahui karena tidak
terpublikasikan melalui media.
E.
Penutup
Gambaran negatif tentang
kehidupan remaja mancanegara (barat) yang cenderung bebas, termasuk dalam
perilaku seksualnya, yang sudah terlanjur melekat dalam benak berbagai kalangan
sepertinya tidak bisa dipungkiri kebenarannya. Yang menjadi kekhawatiran kita
adalah bahwa potret kehidupan semacam itu hampir tiap hari ditatap oleh remaja
dan anak anak kita melalui media massa (terutama televisi). Bahkan ada indikasi
yang menunjukkan bahwa sebagian dari remaja kita sudah mempraktekkan gaya hidup
yang serupa, meskipun tidak mudah mengatakan apakah sebenarnya remaja kita
tengah mengalami proses keterpengaruhan
atau proses penciptaan budaya.
Kalau diamati dari
perspektif budaya, maka ada semacam pemahaman
kultural dalam arti, dengan melihat latar belakang kehidupan mereka, kita
bisa memaklumi mengapa remaja mancanegara memiliki life style semacam itu.
Namun bukan berarti lantas kita bisa bersikap permisif dalam arti menyetujui
manakala remaja kita lantas melakukan imitasi dan duplikasi, karena pada
hakekatnya norma agama serta budaya kita tidak bisa mentolerir perbuatan kita
anggap menyimpang dari pespektif budaya timur tersebut. Meskipun sebenarnya
tidak semua orang dengan gampangnya bisa terpengaruh oleh pesan pesan yang
disampaikan oleh media massa atau oleh kontak langsung dengan pembawa pesan,
namun ada baiknya sesegera mungkin diupayakan solusi preventif (serta
kuratifnya bagi yang sudah terlanjur terpengaruh).
Upaya preventif dan
kuratif ini menjadi tugas bersama antara orang tua, masyarakat dengan para
tokohnya, lingkungan sekolah dengan para pendidiknya, LSM (terutama dengan
pusat pusat kajian gendernya), dan tak kalah pentingnya pemerintah. Kerjasama
yang sinergis berbagai kalangan tersebut diharapkan akan mampu mengatasi
permasalahan moral remaja sebagai aset bangsa. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Argyle, M. and Hallahmi, B.B. (1975), The Social Psychology of Religion, London : Roudledge.
Eriyanto,
(2001), Analisis Wacana: Pengantar
Analisis Teks Media, Yogyakarta:LkiS
Gunther, K. (1989), Communication and Culture, New South Wales : New South Wales University Press.
Hall, E.T., (1988), "Context and
Meaning", in Samovar, L.A.
and Porter, R.E. (eds.), Intercultural
Communication: A Reader, California :
Wardsworth, p.: 44-54.
Heryanto, A, (1998), "Seks, Ras,
dan Politik", dalam Ibrahim, I.S. dan Suranto, H. (ed.), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender
dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung :
Rosda Karya, hal. 45 - 51.
Mulyana, D. (1999), Nuansa Nuansa Komunikasi: Meneropong politik
dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer, bandung : Rosda Karya.
Mulyana, D. dan Jalaludin Rahmat,
(1996), Komunikasi Antarbudaya: Panduan
berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, Bandung : Remaja Rosda Karya.
Rakhmat, J., (1996), Psikologi Komunikasi, edisi IV, Bandung : Rosda Karya.
Samovar.L.A, dan Porter, R.E., (1988),
Intercultural Communication: A Reader,
California : Wadsworth .
Sarbaugh, L.E., (1988), Intercultural Communication, Brunswick , U.S.A. :
Transaction Book.
Sciortino, R. (1999), Menuju Kesehatan Madani, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Spilka, B. et.al (1985), The Psychology of Religion: An Empirical
Approach, New Jersey :
Prentice Hall.
Turner, B. (1983), Religion and Social Theory: A Materialist
Perspective, London :
Heinemann Educational Book.
Wolf, N. (1997), Gegar Gender: Kekuasaan Perempuan Menjelang Abad 21, Yogyakarta : Pustaka Semesta.
Surat
kabar harian Suara Merdeka, Sabtu 26
Mei 2001.
[1] Artikel pada harian Suara Merdeka, Sabtu 26 Mei 2001.
[2] Sciortino, R. Menuju Kesehatan Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hal.:
205
[4]
Spilka, B. et.al , The Psychology of
Religion: An Empirical Approach, Prentice
Hall , New Jersey ,
1985, hal.: 111
[5]
Mengenai permasalahan ini ada sebuah buku yang secara spesifik diterbitkan
sebagai pedoman untuk berkomunikasi dengan (serta memahami perilaku) orang
orang yang berbeda budaya dimana ada bagian khusus mengenai upaya memahami
perilaku masyarakat yang hedonis dan invidualis. Untuk lebih jelasnya lihat Deddy Mulyana dan
Jalaludin Rahmat (ed) dalam bukunya Komunikasi
Antarbudaya, Remaja Rosda Karya, Bandung ,
1996.
[6] Spilka, op. cit. hal.: 88.
[7] Mulyana, D., Nuansa Nuansa Komunikasi: Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi
Masyarakat Kontemporer, Rosda Karya, Bandung ,
1999, hal.: 40.
[8]
Pengalaman ini merupakan pengamatan langsung yang diperoleh pada saat penulis
menempuh studi disalah satu perguruan tinggi di Canberra antara tahun 1991-1993.
[9]
Heryanto, A. "Seks, Ras, dan Politik", dalam Ibrahim, I.S. dan
Suranto, H. (ed.), Wanita dan Media:
Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung, Rosda
Karya, 1998, hal.: 45.
[10]
Samovar,L.A.
and Porter, R.E. (eds.), Intercultural
Communication: A Reader, Wadsworth ,
U.S.A. , 1988,
hal.: 141.
[11]
Wolf, N. Gegar Gender: Kekuasaan
Perempuan Menjelang Abad 21, Yogyakarta ,
Pustaka Semesta, 1997, hal.: 37.
[12]
Samovar, L.A.
and Porter, R.E., op.cit., hal.: 24. Selanjutnya Samovar dan Porter menambahi
bahwa organisasi sosial, termasuk organisasi keagamaan juga turut memberikan
pengaruh terhadap perilaku seseorang.
[13]
Sarbaugh, L.E., Intercultural
Communication, Brunswick ,
U.S.A. ,
Transaction Book, 1988, hal.: 27.
[14]
Turner, B. Religion and Social Theory: A
Materialist Perspective, London ,
Heinemann Educational Book, 1983, hal.: 4.
[15]
Argyle, M and Hallahmi, B.B., The Social
Psychology of Religion, London and Boston, Routlegde and Kegan Paul, 1975,
hal: 153.
[16]
Rakhmat, J., Psikologi Komunikasi ,
edisi IV, Rosda Karya, Bandung ,
1996, hal.: 104.
[17]
Sarbaugh, op. cit. hal.: 34.
[18]
Hall, E.T., "Context and Meaning" , dalam Samovar, L.A. dan Porter, R.E., Intercultural
Communication: A Reader, california ,
Wardsworth, hal.: 44.
[19] Samovar, L.A. and Porter, R.E., Op. cit.,
hal.: 26.
[20]
Gunther, K (ed.), Communication and
Culture: An Introduction, New South Wales University Press, New South
Wales, 1989, hal.: 32.