Jumat, 20 Desember 2013

Remaja dan Kehidupan Seks

"+"

REMAJA DAN KEHIDUPAN SEKS DI MANCA NEGARA;
PERSPEKTIF KULTURAL





A.    Pendahuluan
Remaja adalah aset bangsa, apabila remajanya bermental baik maka bisa diharapkan sebuah bangsa akan menjadi bangsa yang baik, sebaliknya bila remajanya rusak maka akan rusak pula bangsa tersebut. Ungkapan yang begitu indah sekaligus menakutkan tersebut sering kita persepsikan sebagai kata mutiara, yang biasa kita dengar dari pidato pejabat, ceramah para kiai maupun pesan moral dari aktivis pemuda. Keindahan ungkapan tersebut terasa manakala kita memiliki optimisme terhadap perilaku para remaja yang positif dan sesuai dengan norma agama, memenuhi harapan generasi tua, dan tidak bertentangan dengan budaya yang dimiliki oleh komunitas remaja. Sebaliknya optimisme ini bisa berubah menjadi trauma kultural jika ternyata perilaku remaja menyimpang dari rel rel harapan.
Salah satu diantara perilaku menyimpang para remaja yang cukup meresahkan generasi tua akhir akhir ini adalah pola kehidupan seks yang cenderung lepas kendali, yang termanifestasikan dalam bentuk hubungan seks pra-nikah atau pre marital intercourse (PMI). Contoh lain seperti beberapa kasus perkosaan dimana korban maupun pelakunya adalah remaja, bisnis prostitusi dikalangan ABG, atau tindak abortus kriminalis sebagaimana banyak diekspose beberapa media massa, serta beberapa kasus pelecehan seksual (sexual harassment) yang dilakukan kaum pria yang tidak terpublikasikan oleh media, adalah bentuk lain dari perilaku disorder yang perlu disikapi secara lebih teliti. Faktor penyebab dari kehidupan remaja yang cenderung menyimpang ini biasanya lantas di identifikasi sebagai pengaruh budaya barat, baik yang didapat melalui media maupun pengalaman  saat mereka bersentuhan langsung dengan kehidupan  barat yang kemudian taken for granted sebagai style baru dalam kehidupan remaja. Meskipun demikian ada pula yang berpendapat bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah tidak jelasnya ketentuan yuridis yang mengatur masalah tersebut,[1] serta birokrasi yang cenderung berbelit belit didalam menempuh upaya yuridis.
Hal ini disebabkan landasan hukum yang kita pakai sebagian besar bukanlah produk hukum kita sendiri yang didasarkan pada budaya asli bangsa (the genuine culture), melainkan produk hukum warisan penjajah Belanda.  Sedangkan upaya penegakan hukum yang diharapkan sesuai dengan karakter bangsa (yaitu bangsa religious) dengan prioritas pada landasan ajaran Islam sebagai penduduk mayoritas, sampai sekarang masih menimbulkan pro dan kontra.

B. Pola Pergaulan Remaja Mancanegara
Pada umumnya image yang berkembang di masyarakat selama ini, sebagaimana banyak diciptakan oleh media massa sebagai public opinion makers yang dikemas baik dalam bentuk berita ataupun hiburan, adalah bahwa dunia Barat dengan budaya seks bebasnya telah -dan sedang- menebarkan dangerous culture serta dangerous disease keseluruh penjuru dunia, misalnya melalui semakin cepat tersebarnya virus HIV, [2]  yang telah memakan banyak korban. Hal ini diperkuat dengan realitas bentukan yang diciptakan oleh media massa khususnya televisi, umpamanya, dengan tayangan opera sabun (soap opera) import - ambil contoh serial televisi Melrose Place, Beverly Hills 90210, atau Dawson Creek, yang memang banyak menawarkan potret kehidupan serupa.
Ada beberapa kebenaran yang tidak bisa dipungkiri bahwa budaya seks bebas yang terjadi di Indonesia selama ini memang ada kemiripan dengan apa yang terjadi di manca negara (Barat). Namun image yang sudah terlanjur tercipta mengenai kemungkinan adanya hubungan influencial tersebut nampaknya masih perlu ditelaah lebih lanjut -disamping beberapa image negatif lainnya tentang kehidupan seks remaja manca negara - yang sudah hampir menjadi trade mark mereka.
Upaya pelurusan terhadap image negatif tersebut perlu dilakukan melalui pendekatan lintas budaya dalam konteks understanding other culture. Barangkali cara yang cukup relevan dengan kasus ini adalah dengan menggunakan pisau bedah analisis wacana dengan tujuan untuk menghindarkan tragedi blaming the others when thing goes wrong, atau menuding pihak lain ketika terjadi suatu kesalahan.
Analisis wacana yang ditawarkan van Dijk sebagaimana dikutip oleh Eriyanto mengatakan bahwa sebuah teks (wacana) tidak bisa semata mata dianalisis dari struktur teksnya atau konstruk keadaannya saja, tetapi perlu juga dilihat dari kerangka bahasa, kultural, dan persepsi dari pemakai (pemberi makna).[3] Dalam hal ini fenomena kehidupan seks bebas yang dipraktekkan oleh sebagian remaja mancanegara adalah sebuah wacana bagi kita, yang oleh karena itulah, maka tulisan ini akan mencoba menganalisisnya secara kultural dari perspektif orang luar (the outsider). Sebagaimana diakui oleh banyak orang bahwa kebenaran sebuah budaya adalah relatif dan subyektif dimana masing masing komunitas atau pemilik sebuah budaya hanya akan mengakui budayalah yang paling benar. Sedangkan budaya orang lain yang tidak sama dengan yang dipakainya dianggap salah atau tidak baik.
Terlepas dari kebenaran serta relativitas sebuah budaya, hal penting yang akan dikemukakan dalam tulisan ini adalah mengenai beberapa faktor utama yang membentuk sikap serta perilaku remaja dalam mencapai kebahagiaan hidup. Berdasarkan perspektif psikologi, sebagaimana ditawarkan oleh Spilka, ekspresi perilaku manusia pada umumnya  ditentukan oleh beberapa faktor penting, diantaranya adalah pekerjaan yang cocok, perkawinan yang bahagia, rasa cinta, dan agama.[4]  Keempat faktor tersebut saling melengkapi dalam proses pembentukan kepribadian seseorang secara idealistis, yang kadang kadang sulit untuk menentukan faktor mana yang paling dominan. Adapun mengenai seberapa penting sebenarnya masing masing faktor (khususnya rasa cinta dan sentimen agama) tersebut mampu mempengaruhi perilaku seks bebas remaja mancanegara tentunya juga relatif. Maksudnya adalah bahwa hal tersebut akan sangat bergantung pada individu masing masing, meskipun tidak menutup kemungkinan ada beberapa faktor yang sifatnya bisa digeneralisir.
Sepertinya hampir menjadi asumsi umum yang taken for granted bahwa mayoritas remaja mancanegara menganut pola pergaulan bebas, hedonis, serta individualis yang konon tidak sesuai dengan adat ketimuran (untuk kontekstualnya baca Indonesia).[5] Minimal informasi semacam inilah yang sering dimunculkan oleh beberapa kalangan seperti para misionaris agama, pendidik, serta generasi tua sebagai upaya preventif terhadap generasi berikutnya agar tidak terjebak kedalam pola pergaulan yang salah (minimal salah dalam perspektif mereka).
Terlepas dari benar tidaknya asumsi tersebut diatas, masalah substansial yang perlu dicermati yaitu bahwa kehidupan remaja, yang sedang menapaki proses pembangunan citra diri atau image building  melalui proses pembelajaran sosial (social learning), adalah masa yang sensitif terhadap perubahan karena mereka selalu mengadakan identifikasi dan duplikasi terhadap lingkungan sekitarnya. Proses pembelajaran ini bisa diperoleh dari berbagai sumber seperti lingkungan keluarga, masyarakat, dan tak kalah pentingnya, media massa.
Menurut Spilka, meskipun lingkungan keluarga (terutama orang tua) mempunyai peran yang besar terhadap pola pergaulan remaja, namun ternyata yang lebih banyak mempengaruhi proses interaksi sosialnya adalah lingkungan pergaulan dengan teman sebaya atau peer group, sedangkan fungsi agama bagi sebagian orang hanya merupakan sarana pemenuhan kepuasan yang sangat pribadi atau personal satisfaction.[6] Melihat fenomena ini, oleh karenanya, bukan hal yang aneh manakala banyak generasi muda manca negara yang lebih suka hidup secara terpisah dari orang tuanya dengan alasan mencoba menciptakan kemandirian, meskipun dengan konsekuensi harus mencari nafkah sendiri. Konsekuensi ekonomis ini barangkali bukan merupakan hal yang memberatkan karena, bagi remaja Australia misalnya, mereka mendapat dukungan finansial yang memadai dari pemerintah setempat bagi para penganggur atau jobless sehingga meskipun tidak mempunyai pekerjaan namun mereka tetap mendapatkan jaminan hidup.
Akibat adanya kecenderungan hidup terpisah dari orang tua ini adalah semakin longgarnya kontrol orang tua terhadap kehidupan remaja. Padahal, menurut Dedy Mulyana, masa remaja adalah tahapan dimana secara psikologis pendampingan orang tua sangat diperlukan demi menghindarkan mereka dari proses pergaulan serta  proses social learning yang menyesatkan.[7] Ada diantara mereka yang kemudian mencari pasangan hidup bersama dengan lawan jenis tanpa harus terikat oleh perkawinan yang syah, yang menurut adat timur merupakan hal tabu. Sewaktu tinggal di Canberra, Australia, penulis pernah mengamati fenomena yang aneh dimana beberapa pasangan remaja (mahasiswa) yang tinggal dalam satu kamar pada salah satu apartemen mahasiswa bisa hidup dengan santai, tanpa pekewuh, seolah olah menganggap itu hal yang lumrah. Dikatakan aneh karena perguruan tinggi setempat sebagai institusi pendidikan terkait ternyata membiarkan saja hal ini terjadi dan menganggap perilaku tersebut sebagai hal yang wajar. Hal yang lebih aneh lagi bahwa perguruan tinggi dimaksud seperti memaklumi dan membiarkan praktek hubungan seksual pra nikah sebagai akibat dari fenomena hidup bersama yang dilakukan oleh mahasiswanya. Minimal sikap aneh perguruan tinggi tersebut bisa dilihat dari salah satu fasilitas yang diberikan kepada mahasiswa berupa kondom yang bisa diperoleh secara cuma cuma pada sebuah tempat yang disebut student centre.[8]
Ada perasaan risih, asing, bahkan jijik pada saat pertama kali penulis menyaksikan seorang mahasiswi dengan santainya mengambil beberapa buah kondom tersebut. Perasaan tersebut muncul karena berdasarkan kerangka pikir yang sudah tertanami oleh religious values (Islam) yang sangat restriktif terhadap etika pergaulan semacam itu. Disinilah relativitas sebuah budaya muncul, dimana budaya normatif (tekstual) Islam mesti berhadapan dengan budaya kontekstual setempat.
Meskipun demikian ternyata disisi lain para remaja mancanegara tidak selamanya berupa komunitas yang egosentris (yang oleh beberapa kalangan secara salah kaprah sering dikonotasikan dengan individualis). Secara general, budaya yang rupanya telah mengakar tertanam pada masyarakat mancanegara (barat) dilandasi dengan prinsip hidup yang menghormati hak asasi orang lain, maka para remajanya pun berupaya menerapkan hal tersebut dalam kehidupan sehari hari. Budaya menghormati hak asasi orang lain ini nampak kuat terutama karena pemerintah setempat cukup kondusif dalam mempertahankan budaya ini, bahkan pelanggaran hak asasi dianggap sebagai perbuatan kriminal dan bisa mengakibatkan hukuman atau denda tertentu.
Salah satu perbuatan yang dianggap melanggar hak asasi dan merupakan pelecehan seksual (dalam konteks kehidupan remaja) misalnya, melontarkan ekspresi atau sapaan terhadap lawan jenis yang bernada seronok seperti bersiul atau kata sapaan iseng yang tidak mengenakkan hati. Hal seperti ini secara substansial tidak terlalu mengakibatkan konsekuensi yuridis menurut sistem budaya ketimuran (baca Indonesia), namun bisa menjadi masalah yang sangat serius bagi budaya barat. Kondisi perbedaan semacam inilah yang, barangkali, sering memunculkan keluhan turis wanita kulit putih yang berkunjung ke Indonesia ketika harus menghadapi keisengan pria pria Indonesia.[9] Meskipun pada umumnya para turis mancanegara menganggap bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang ramah, namun disisi lain nampaknya ada kesan negatif mengenai sifat iseng yang sering dilakukan kaum pria.
Karena sistem budaya dan sistem yuridis yang sudah dipahami secara generatif ini, maka pada umumnya perilaku remaja sebagai sub-sistem sosial kemasyarakatan pun sedikit banyak mencerminkan norma tersebut. Sehingga secara general timbul kesan bahwa remaja mancanegara memiliki perilaku yang sopan dan menghormati orang lain. Salah satu indikasi adanya kesan ini, misalnya, yang ditunjukkan oleh para remaja (baik pria maupun wanita) pada saat berada dalam kendaraan umum yang biasanya segera memberikan tempat duduknya ketika melihat ada orang tua yang berdiri. Etika yang berlaku diatas kendaraan umum (city bus) dicantumkan secara tertulis pada setiap armada bus yang berbunyi: Children and students travelling on concession cards should give up their seats when adults are standing. Meskipun sebagian orang mempunyai asumsi bahwa remaja biasanya kurang menghormati orang tua,[10] peraturan yang dibuat oleh orang dewasa ternyata relatif ditaati.
Namun sayangnya image yang diciptakan oleh media massa (minimal yang terlihat pada film maupun soap opera televisi) serta asumsi generasi tua sendiri tentang remaja mancanegara biasanya negatif, misalnya secara sepihak mereka menggambarkan kehidupan remaja yang amburadul dengan mengekspose budaya premanisme, mabuk mabukan serta penggunaan obat terlarang, free sex dan keberaniannya memberontak terhadap orang tua. Bentuk resistensi yang kemudian dilakukan oleh generasi tua (khususnya manula) adalah dengan cara memilih hidup terpisah dengan keluarga (anak cucu) dengan memilih komunitas mereka di panti panti jompo.

C. Hubungan Relasional Pria -Wanita
Salah satu sisi yang menarik ketika mencermati pola hubungan relational antara pria dan wanita mancanegara adalah bahwa secara general pria menempatkan wanita pada posisi yang khusus, terutama dalam etika pergaulan. Pada umumnya pria beranggapan bahwa wanita adalah komunitas yang perlu dilindungi  serta diperlakukan secara istimewa, di Inggris misalnya, ada budaya elite dimana pria biasanya mencium tangan wanita sebagai bentuk penghormatan. Atau kebiasaan kaum elit yang hampir menjadi tradisi seperti mempersilahkan wanita duduk terlebih dahulu pada sebuah perjamuan resmi, membukakan serta menutupkan pintu mobil, serta beberapa perlakuan khusus lain pada peristiwa peristiwa tertentu dimana wanita selayaknya didahulukan sehingga sering kita dengar mereka mengatakan: Lady's first.
Namun secara ideologis, pola hubungan laki laki perempuan sepertinya masih diwarnai oleh tarik menarik antara model patriarchi yang menempatkan pria sebagai the first class dan egalitarianisme yang menuntut persamaan hak antara pria dan wanita.[11] Kalau dibandingkan dengan hubungan relasional yang dipraktekkan dalam budaya timur, sebenarnya budaya barat memiliki pola yang relatif lebih egaliter, misalnya relasi yang terjadi dalam sebuah lembaga perkawinan, dimana pria barat lebih siap untuk berpartisipasi dalam pekerjaan pekerjaan rumah tangga (domestik). Mekanisme pengaturan dalam pekerjaan rumah tangga biasanya tidak didasarkan pada siapa yang mempunyai kewajiban untuk melakukan tugas tertentu, tetapi lebih banyak pada siapa yang mempunyai kesempatan untuk melakukan tugas tersebut. Contoh lain dalam kehidupan kampus, misalnya, para mahasiswa yang diberi tugas kolektif membuat karya ilmiah tidak memposisikan mahasiswi hanya sebagai tukang ketik saja tetapi juga memberi kesempatan kepada mahasiswi untuk berperan sebagai konseptor dan penggagas ide sesuai dengan kadar kemampuan masing masing.
Namun demikian fenomena adanya tarik menarik antara model patriarchi dan egalitarian masih kelihatan yang, paling tidak, ditandai dengan semakin gencarnya tuntutan kaum feminist didalam memperjuangkan hak hak wanita disektor publik, seperti hak memperoleh gaji yang sama, hak untuk dalam berkiprah dlam dunia politik, serta hak untuk memperoleh kesempatan kerja yang sama dengan kaum pria dalam work system.

D. Agama dan Perilaku Seks Bebas
Yang dimaksud dengan perilaku seks bebas adalah hubungan seks yang dilakukan tanpa didasari oleh aturan atau norma sosial yang berlaku secara umum, misalnya hubungan seks pra nikah atau pre marital intercourse (PMI), kecenderungan berganti ganti pasangan tidak resmi, serta hubungan seks yang dilakukan dengan lawan jenis yang bukan pasangan resminya (perselingkuhan). Beberapa contoh tersebut merupakan asumsi umum, yang konon sering diklaim sebagai budaya barat. Akan tetapi pembahasan dalam  tulisan ini hanya akan difokuskan pada masalah pertama (pre marital intercourse) yang banyak terjadi pada kalangan remaja barat, yang nampaknya sudah banyak dipraktekkan pula oleh remaja kita, meskipun kita tidak bisa secara gampang mengklaim bahwa keduanya budaya tersebut merupakan hubungan influensial.
Dibagian depan tulisan ini telah disebutkan bahwa salah satu faktor pembentuk perilaku manusia adalah norma agama yang meliputi ketaatan seseorang terhadap agama yang dianutnya. Namun demikian meskipun hampir semua agama memiliki norma etika yang hampir sama (diantaranya anjuran untuk berbuat baik kepada sesama, larangan berhubungan seks pra-nikah dan sebagainya), ada hal yang menarik bahwa ternyata perbedaan sosio-kultural yang dimiliki oleh para pemeluk agama sangat berpengaruh terhadap proses aktualisasi diri mereka dalam kehidupan keseharian. Tampaknya pengaruh sosio-kultural terhadap perilaku seseorang ini begitu kuatnya sehingga pada kondisi tertentu, mampu menggeser peran agama.
Menyimak pola kehidupan seks bebas yang dipraktekkan remaja di barat (serta masyarakat bagian lain yang juga mempraktekkan budaya serupa), ada beberapa kondisi yang menyebabkan mereka berperilaku berbeda dengan mereka yang hidup dan dididik dalam lingkungan budaya asli atau the genuine culture, diantaranya, (a) sistem kepercayaan, (b) sistem kode yang berimplikasi pada sistem budaya,[12] dan (c) pandangan dunia (world view) [13] yang dimiliki oleh masing masing individu. Persoalannya adalah seberapa jauh sebenarnya ketiga faktor penting tersebut mampu memberi nuansa terhadap perilaku seks bebas mereka ?.

a. Sistem Kepercayaan
Yang dimaksud dengan sistem kepercayaan disini adalah totalitas konsep yang dimiliki oleh seseorang yang bermuara pada nilai nilai agama atau religious values, yang sudah barang tentu kadarnya berbeda antara seorang dengan yang lainnya yang bisa disebabkan oleh faktor usia, lingkungan pergaulan, serta latar belakang keluarga. Sebagaimana dijelaskan oleh Bryan Turner, [14] dalam perspektif individual, agama memiliki peran sebatas diri individu sedangkan perannya terhadap sektor publik semakin tersubordinasi oleh paham sekularisme, permasalahan ekonomi, dan kekuasaan politis. Paham sekularisme yang cenderung memisahkan antara urusan agama dan dunia nampaknya lebih mewarnai kadar religiusitas kalangan remaja barat. Dengan demikian, dibanding dengan masyarakat yang beradat timur, remaja barat sebagai komunitas dalam sebuah sistem sosial memiliki keunikan tersendiri didalam melihat agama sebagai pegangan hidup, dengan kata lain, kebanyakan dari mereka tidak memiliki concern yang signifikan terhadap agama. Dalam kehidupan seks, misalnya, mereka lebih mendasarkan pada sisi kepuasan individual atau individual satisfaction ketimbang sisi religious valuenya.
Disamping itu, menurut Argyle dan Hallahmi, kecenderungan untuk melakukan premarital intercourse (PMI) atau hubungan seks pranikah ditengarai berhubungan erat dengan tinggi rendahnya kadar religiusitas seseorang, dengan sebuah asumsi bahwa semakin religius seseorang  maka semakin kecil kemungkinan untuk melakukan PMI, dan sebaliknya.[15] Statemen Argyle dan Hallahmi ini diperkuat dengan data statistik hasil penelitian yang dilakukan terhadap pengikut keagamaan pada beberapa buah gereja di London. Oleh karenanya, ada fenomena logis bahwa remaja barat yang kebanyakan kurang memiliki sensitivitas religius tersebut menganut kebiasaan (budaya) seks bebas dengan salah satu indikasi melakukan seks pra-nikah.
Ketika kondisi ini dilihat dari perspektif ketimuran, yang nota bene dilandasi dengan frame religious atau concern terhadap budaya setempat, maka ada semacam penyimpangan norma sosial yang terjadi pada perilaku mereka. Karena pada dasarnya proses pemaknaan yang dilakukan oleh seseorang atau sebuah komunitas biasanya tidak bisa lepas dari kerangka pikir serta (menurut jalaludin Rakhmat) konsep diri[16] si pemberi makna. Sehingga ketika seseorang merasa dirinya adalah mahluk religious, maka dia akan berusaha berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya serta menganggap orang lain yang tidak religious tidak benar.

b. Sistem Kode
Kalau dilihat dari perspektif lingustik, sepertinya sistem kode kurang relevan dengan analisis perilaku yang menjadi wacana dalam tulisan ini. Tetapi sistem kode dalam konteks ini akan dilihat dari perspektif kultural yang maksudnya adalah cara penyandian atau persepsi yang dilakukan oleh seseorang terhadap pesan atau fenomena yang berkembang disekitarnya, yang merupakan cara unik yang dimiliki oleh masing masing individu.[17] Keunikan dari masing masing individu dalam mempersepsi sebuah pesan pada akhirnya secara kolektif mampu membentuk budaya kode atau cultural coding system, yang terbedakan menjadi sistem kode tekstual dan kontekstual.[18] Dengan kata lain proses persepsi suatu saat bisa dilakukan dengan menerima pesan, tetapi bisa juga dengan cara memaknai pesan.
Dalam sistem kode yang mengacu pada persepsi kontekstual (proses pemaknaan), hubungan seks pra-nikah sebagai sebuah pesan dipersepsi oleh kalangan remaja barat sebagai sesuatu yang lumrah meskipun secara tekstual normatif (religious) merupakan sebuah tabu yang tidak boleh dilanggar. Persepsi kontekstual dimaksud adalah ketika fenomena tersebut ternyata secara kultural hampir menjadi satu kebiasaan yang dilakukan banyak orang, tidak mengingkari norma sosial dan bukan hal terlarang.
Wacana ini menjadi semakin kompleks ketika dalam sistem patronase kekeluargaan sendiri remaja memiliki kecenderungan untuk hidup terpisah dari keluarga (baca orang tua) dan memilih hidup bersama peer group, sehingga kontrol dari orang tua terhadap perilaku anak anaknya relatif longgar. Hal ini diperparah lagi dengan sikap individualis (dalam konteks tidak mau mencampuri urusan orang lain) yang dianut dan dikembangkan oleh masyarakat barat, yang mengakibatkan nyaris hilangnya kontrol sosial antar sesama dan terbentuknya kondisi permisif. Sebagai akibatnya sistem kode yang berlakupun lebih banyak didasarkan pada kondisi sosial yang melingkupi komunitas tersebut.
Dampak yang nyata dari pola kehidupan seks bebas semacam ini sangat variatif diantaranya tingginya angka abortus kriminalis sebagai konsekuensi dari kehamilan yang tidak dikehendaki, banyaknya wanita yang mengambil keputusan untuk menjadi single parent, tingginya angka penderita HIV akibat dari seringnya berganti ganti pasangan, dan sebagainya.

c. World view
Kalau sistem kepercayaan yang dianut oleh seseorang lebih mengarah pada perspektif religius, maka world view atau pandangan hidup merupakan sikap (kondisi psikologis) yang paling asasi yang dimiliki oleh seseorang dalam mengambil posisi dalam sebuah kelompok sosial. Termasuk didalamnya adalah bagaimana orientasi yang dimiliki seseorang dalam mempersepsi keberadaan tuhannya (persepsi religius), konsep kemanusiaan (hubungan dengan sesama) dan lingkungan sekitar, serta pranata sosial yang ada disekitarnya.[19] Karena konsep religius dan relasional telah dibahas pada bagian sebelumnya, maka kali ini pembahasan akan difokuskan pada masalah pranata sosial dalam konteks persepsi tentang sebuah ikatan kekeluargaan atau household.
Ada perbedaan persepsi dikalangan masyarakat yang berkembang mengenai makna sebuah keluarga, terutama bagi mereka yang berbeda budaya. Bisa jadi, perbedaan persepsi ini muncul secara semantis dalam menterjemahkan serta memaknai kata household itu sendiri, apakah dia bermakna family (keluarga) atau rumah tangga yang menurut konteks kita sebenarnya hampir sama. Pada umumnya bangsa kita memandang bahwa household (baik dalam konteks rumah tangga atau keluarga) adalah sebuah lembaga yang suci dan agung dalam rangka meneruskan keturunan (regenerasi) yang syah serta mencari kebahagiaan hidup, sehingga perlu dijaga kelestariannya dengan, kadang kadang, sebuah pengorbanan.
Tetapi bagi sebagian masyarakat barat, household dimaknai secara sangat sederhana sebagai sekelompok orang yang hidup bersama dan berbagi berbagai fasilitas yang ada, sebagaimana diungkapkan oleh Kress Gunther bahwa: A household is simply a group of people living together in the same residence, sharing the same facilities.[20] Disini nampaknya konsep berbagi atau sharing menjadi kunci utama dalam mempersepsi sebuah household, sehingga menjadi daya tarik utama bagi seseorang yang ingin membangun lembaga tersebut.
Logika dari ungkapan ini adalah bahwa bagi mereka yang tidak tertarik untuk sharing fasilitas yang mereka miliki, maka sebuah keluarga tidak begitu penting untuk dibangun. Sebagai akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan seksual yang biasanya diekspresikan secara agresif, mereka lebih memilih jalur mencari pasangan yang cocok untuk hidup bersama tanpa harus melalui perkawinan yang syah. Dengan demikian ketika dalam perjalanannya mereka sudah merasa tidak cocok lagi (bahasa kasarnya: bosan) maka mereka bisa berpisah dan mencari partner lain yang cocok tanpa harus merasa bersalah karena telah mengingkari lembaga kebersamaan. Makanya bukan hal yang aneh kalau kita sering melihat atau mendengar mereka sering berganti ganti pasangan. Akibatnya, banyak wanita barat yang hamil dimana tidak diketahui secara pasti laki laki yang mana yang menghamilinya.
Gambaran ini misalnya bisa kita peroleh dari kehidupan para artis barat, ambil kasus Jodie Foster, yang memiliki anak tanpa diketahui (atau yang bersangkutan tidak mau menceritakan) siapa ayahnya. Di Indonesia, misalnya kasus Zarima atau Sarah Azhari, yang mempunyai anak tanpa informasi yang jelas mengenai identitas ayahnya. Barangkali masih banyak Jodie Foster atau Zarima yang lain yang tidak kita ketahui karena tidak terpublikasikan melalui media.

E. Penutup
            Gambaran negatif tentang kehidupan remaja mancanegara (barat) yang cenderung bebas, termasuk dalam perilaku seksualnya, yang sudah terlanjur melekat dalam benak berbagai kalangan sepertinya tidak bisa dipungkiri kebenarannya. Yang menjadi kekhawatiran kita adalah bahwa potret kehidupan semacam itu hampir tiap hari ditatap oleh remaja dan anak anak kita melalui media massa (terutama televisi). Bahkan ada indikasi yang menunjukkan bahwa sebagian dari remaja kita sudah mempraktekkan gaya hidup yang serupa, meskipun tidak mudah mengatakan apakah sebenarnya remaja kita tengah mengalami proses keterpengaruhan atau proses penciptaan budaya.
            Kalau diamati dari perspektif budaya, maka ada semacam pemahaman kultural dalam arti, dengan melihat latar belakang kehidupan mereka, kita bisa memaklumi mengapa remaja mancanegara memiliki life style semacam itu. Namun bukan berarti lantas kita bisa bersikap permisif dalam arti menyetujui manakala remaja kita lantas melakukan imitasi dan duplikasi, karena pada hakekatnya norma agama serta budaya kita tidak bisa mentolerir perbuatan kita anggap menyimpang dari pespektif budaya timur tersebut. Meskipun sebenarnya tidak semua orang dengan gampangnya bisa terpengaruh oleh pesan pesan yang disampaikan oleh media massa atau oleh kontak langsung dengan pembawa pesan, namun ada baiknya sesegera mungkin diupayakan solusi preventif (serta kuratifnya bagi yang sudah terlanjur terpengaruh).
            Upaya preventif dan kuratif ini menjadi tugas bersama antara orang tua, masyarakat dengan para tokohnya, lingkungan sekolah dengan para pendidiknya, LSM (terutama dengan pusat pusat kajian gendernya), dan tak kalah pentingnya pemerintah. Kerjasama yang sinergis berbagai kalangan tersebut diharapkan akan mampu mengatasi permasalahan moral remaja sebagai aset bangsa. Semoga.


DAFTAR PUSTAKA

Argyle, M. and Hallahmi, B.B. (1975), The Social Psychology of Religion, London: Roudledge.

Eriyanto, (2001), Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta:LkiS

Gunther, K. (1989), Communication and Culture, New South Wales: New South Wales University Press.

Hall, E.T., (1988), "Context and Meaning", in Samovar, L.A. and Porter, R.E. (eds.), Intercultural Communication: A Reader, California: Wardsworth, p.: 44-54.

Heryanto, A, (1998), "Seks, Ras, dan Politik", dalam Ibrahim, I.S. dan Suranto, H. (ed.), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung: Rosda Karya, hal. 45 - 51.

Mulyana, D. (1999), Nuansa Nuansa Komunikasi: Meneropong politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer, bandung: Rosda Karya.

Mulyana, D. dan Jalaludin Rahmat, (1996), Komunikasi Antarbudaya: Panduan berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, Bandung: Remaja Rosda Karya.

Rakhmat, J., (1996), Psikologi Komunikasi, edisi IV, Bandung: Rosda Karya.

Samovar.L.A, dan Porter, R.E., (1988), Intercultural Communication: A Reader, California: Wadsworth.

Sarbaugh, L.E., (1988), Intercultural Communication, Brunswick, U.S.A.: Transaction Book.

Sciortino, R. (1999), Menuju Kesehatan Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Spilka, B. et.al (1985), The Psychology of Religion: An Empirical Approach, New Jersey: Prentice Hall.

Turner, B. (1983), Religion and Social Theory: A Materialist Perspective, London: Heinemann Educational Book.

Wolf, N. (1997), Gegar Gender: Kekuasaan Perempuan Menjelang Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Semesta.

Surat kabar harian Suara Merdeka, Sabtu 26 Mei 2001.



[1] Artikel pada harian Suara Merdeka, Sabtu 26 Mei 2001. 
[2] Sciortino, R. Menuju Kesehatan Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hal.: 205
[3] Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. LkiS, Yogyakarta, 2001, hal.: 260.
[4] Spilka, B. et.al , The Psychology of Religion: An Empirical Approach, Prentice Hall, New Jersey, 1985, hal.: 111
[5] Mengenai permasalahan ini ada sebuah buku yang secara spesifik diterbitkan sebagai pedoman untuk berkomunikasi dengan (serta memahami perilaku) orang orang yang berbeda budaya dimana ada bagian khusus mengenai upaya memahami perilaku masyarakat yang hedonis dan invidualis.  Untuk lebih jelasnya lihat Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat (ed) dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1996.
[6]  Spilka, op. cit. hal.: 88.
[7]  Mulyana, D., Nuansa Nuansa Komunikasi: Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer, Rosda Karya, Bandung, 1999, hal.: 40.
[8] Pengalaman ini merupakan pengamatan langsung yang diperoleh pada saat penulis menempuh studi disalah satu perguruan tinggi di Canberra antara tahun 1991-1993.
[9] Heryanto, A. "Seks, Ras, dan Politik", dalam Ibrahim, I.S. dan Suranto, H. (ed.), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung, Rosda Karya, 1998, hal.: 45.
[10] Samovar,L.A. and Porter, R.E. (eds.), Intercultural Communication: A Reader, Wadsworth, U.S.A., 1988, hal.: 141.
[11] Wolf, N. Gegar Gender: Kekuasaan Perempuan Menjelang Abad 21, Yogyakarta, Pustaka Semesta, 1997, hal.: 37.
[12] Samovar, L.A. and Porter, R.E., op.cit., hal.: 24. Selanjutnya Samovar dan Porter menambahi bahwa organisasi sosial, termasuk organisasi keagamaan juga turut memberikan pengaruh terhadap perilaku seseorang.
[13] Sarbaugh, L.E., Intercultural Communication, Brunswick, U.S.A., Transaction Book, 1988, hal.: 27.
[14] Turner, B. Religion and Social Theory: A Materialist Perspective, London, Heinemann Educational Book, 1983, hal.: 4.
[15] Argyle, M and Hallahmi, B.B., The Social Psychology of Religion, London and Boston, Routlegde and Kegan Paul, 1975, hal: 153.
[16] Rakhmat, J., Psikologi Komunikasi , edisi IV, Rosda Karya, Bandung, 1996, hal.: 104.
[17] Sarbaugh, op. cit. hal.: 34.
[18] Hall, E.T., "Context and Meaning" , dalam Samovar, L.A. dan Porter, R.E., Intercultural Communication: A Reader, california, Wardsworth, hal.: 44.
[19] Samovar, L.A. and Porter, R.E., Op. cit., hal.: 26.
[20] Gunther, K (ed.), Communication and Culture: An Introduction, New South Wales University Press, New South Wales, 1989, hal.: 32.

Teori Interaksionisme

"+"

Kemunculan Interaksionisme
(The Structure of Sociological Theory 
karya Jonathan H. Turner Pada Bab III Interaction Theory)



A.    Pendahuluan
Umumnya kelahiran manusia pada awal keberadaannya adalah seorang diri, namun demikian mengapa dalam perkembangan selanjutnya manusia harus hidup bermasyarakat? Berangkat dari pertanyaan sederhana itu --tentu-- mengundang sejumlah analisis-analisis untuk dipecahkan  dikalangan  akademisi  secara   ilmiah.   Seperti      diketahui
--berdasarkan pandangan kaum agamawan, khususnya Islam-- manusia pertama adalah Adam telah ditakdirkan untuk hidup bersama dengan manusia lain. Manusia lain itu adalah istrinya bernama Hawa.
Dalam analisis sosial, apabila kehidupan manusia dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya seperti hewan, jelas manusia tidak dapat hidup seorang sendiri. Seekor anak ayam walaupun tanpa induknya mampu mencari makan dan memenuhi hidupnya sendiri. Demikian pula hewan-hewan lain seperti ikan, katak, kucing, anjing, harimau, singa dan sebagainya. Hidup anak hewan itu ketika baru dilahirkan oleh induknya, mereka memiliki insting tentang kemampuannya bertahan hidup.
Kenyaataan tersebut berbeda dengan manusia. Seorang anak manusia yang baru dilahirkan oleh ibunya, apabila tidak mendapat perhatian khusus akan berakibat fatal. Kefatan itu bisa pada tingkat kematian, apabila si bayi (baca: anak manusia) tidak mendapat perhatian khusus.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa manusia tanpa manusia lain bisa dipastikan akan mati. Keberadaan Bayi misalnya, harus diajar makan, berjalan, makan, bermain dan lain sebagainya. Sejak lahir manusia berhubungan dengan manusia lainnya. Lagi pula manusia tidak dikarunia Tuhan dengan alat-alat fisik yang cukup untuk hidup mandiri. Singa misalnya, karena diberi kuku dan gigi yang kuat dengan waktu yang tidak lama mampu untuk mencari makan sendiri. Fisik katak pun diberi alat-alat khusus untuk dapat hidup di darat mamupun di tempat-tempat berair. Akan tetapi manusia tidak demikian. Alat-alat fisiknya tidak sekuat hewan. Manusia hanya diberi alat-alat untuk bertahan hidup. Alat-alat itu seperti sebut saja fikiran. Lebih jauh, fikiran manusia merupakan alat yang jauh lebih sempurna dari alat-alat fisik hewan. Namun demikian, fikiran itu tak dapat secara langsung digunakan sebagai alat hidup. Fikiran manusia hanya bisa dimanfaatkan untuk mencari alat-alat materiil yang diperlukan untuk bertahan hidup baginya.
Hewan-hewan seperti sapi, kuda, jerapah, gajah sanggup hidup tanpa pakaian. Sementara manusia tidak mungkin, tapi dengan menggunakan kemampuan daya fikirnya dia menciptakan pakaian untuk melindungi diri terhadap berbagai macam kondisi cuaca. Oleh karena itu dalam menghadapi alam sekeliling, setiap manusia harus hidup berkawan dengan manusia-manusia lain.
Dalam proses tersebut, terjadi yang dinamakan pergaulan. Pergaulan terjadi karena adanya hubungan antar manusia dengan manusia lain. Dari hubungan itu, masing-masing manusia perlu adanya penyesuaian diri. Penyesuaian diri diperlukan untuk mempertahankan keharmonisan dalam bergaul. Sebab masing-masing manusia memiliki latar belakang pemikiran, kebiasaan, ego, karakter yang berbeda-beda. Untuk itu penyesuaian diri manusia memerlukan fikiran, perasaan dan kehendak.
Realitas tersebut dalam konteks sosial ditentukan oleh sebuah sosialisasi. Dan sosialisasi itu menggunakan alat yang salah satu instrumennya adalah interaksi (Hoogvelt, 1976: 97). Proses interaksi ini juga yang mendasari terjadinya dinamika masyarakat untuk kehidupan manusia itu sendiri (Young and Raymod, 1977: 36). Dengan interaksi akan terjadi berbagai macam kegiatan sosial.
Kegiatan sosial tersebut yang menunjukkan adanya sebuah realasi antara manusia dengan sebuah masyarakat. Untuk itu relasi masyarakat dan individu (manusia) memiliki keterkaitan. Keterkaitan itu berangkat atas asumsi bahwa terbentuknya masyarakat terbangun atas individu-individu itu sendiri. Berangkat dari berbagai fenomena tersebut, tulisan ini akan mereview tentang masalah kemunculan interaksionisme.



B.     Point Penting Dalam Buku
Dalam Buku The Structure of Sociological Theory  karya Jonathan H. Turner pada Bab III Interaction Theory  di bagian The Emergence of Interactionisme secara mendasar menjelaskan beberapa pandangan tentang interaksi. Interaksi ini bukan sekedar sebagai ciri khas manusia dengan mahluk lain, tetapi lebih jauh menelaahnya dalam perspektif sosiologis. Telaah ini adalah sebagai berikut:
Hubungan manusia dengan lingkungannya bercirikan keterbukaan. Oleh karenanya boleh jadi keterbukaannya, manusia telah mencapai prestasi yang luar biasa dalam menaklukkan alam. Manusia telah berhasil untuk menghuni bagian terbesar dari muka bumi ini. Memang benar bahwa hal itu memungkinkan manusia untuk melakukan berbagai jenis kegiatan. Tetapi fakta bahwa di satu tempat ia terus hidup mengembara dan di tempat lainnya manusia dapat beralih ke satu jenis garapan tertentu yang mampu menjadikan dirinya untuk tetap bereksistensi. Secara biologis dalam hal hubungan manusia dengan lingkungannya; perlengkapan indrawi dan pendorongnya yang spesifik menurut jenisnya jelas membatasi lingkup kemungkinan-kemungkinannya. Keistimewaan perkembangan eksistensinya didukung dengan kemampuan biologis manusia terletak dalam komponen nalurinya. Sementara naluri binatang tidak demikian. Dengan dorongan naluriahnya manusia bisa bereksistensi dengan lingkungannya secara enjoi.
Keunggulan manusia yang demikian mewujudkan suatu kegiatan sosial yang terangkum dalam pola-pola kemasyarakatan. Kegiatan sosial ini yang menunjukkan adanya sebuah realasi antara manusia dengan sebuah masyarakat. Untuk itu relasi masyarakat dan individu (manusia) memiliki keterkaitan. Keterkaitan itu berangkat atas asumsi bahwa terbentuknya masyarakat terbangun atas individu-individu itu sendiri. Apabila demikia maka secara realistik memunculkan pertanyaan mendasar bahwa dengan cara apa individu mencerminkan masyarakat atau masyarakat mencerminkan individu dan bagaimana masyarakat membentuk individu atau individu membentuk, menciptakan dan mempertahankan serta merubah masyarakat. Demikian pula dengan cara apa masyarakat dan individu dapat mempresentasikan interelasi dan perbedaannya.
Dalam struktur masyarakat yang lebih makro, proses tersebut terkadang terjadi sebuah dinamika yang mengarah kepada sebuah kekacauan, perubahan yang sangat cepat (revolusi), terjadinya konflik antar kelompok dan lain sebagaimana yang mampu menngeser nilai-nilai kemanusia, yang bisa saja mengarah tidak jauh berbeda dengan binatang. Untuk itu perlu, bagaimana memahami proses interaksi yang kemudian mampu mewujudkan eksistensi manusia secara lebih humanis serta manusiawi.
Perwujudan atas berbagai pertanyaan tersebut yang menjadi akar dari munculnya interaksionisme. Dengan teori ini, diharapkan lahir sebuah pemahaman terhadap keperbedaan masyarakat yang pasti adanya. Pemahaman terhadap keperbedaan yang ada itu mendorong pada setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk melakukan evaluasi diri. Hasil atas evaluasi diri itu diharapkan mampu menciptakan keharmonisan sosial. Sehingga melahirkan suatu pola kehidupan manusia yang survive terhadap keperbedaan yang memang secara alamiah adalah sebuah kewajaran. Dalam bingkaian interaksionisme, keperbedaan masyarakat tidak memicu suatu pertikaian ataupun perselisihan. Tetapi dengan perbedaan itu mampu melahirkan sebuah kebersamaan yang saling melengkapi antara satu dengan yang lain.
Hanya sekedar untuk mengumpamakan antara manusia dengan binatang ---yang dipandang tidak memiliki keperbedaan begitu mencolok. Bila dibanding dengan binatang secara umumnya manusia menempati kedudukan yang khas dalam dunianya dari pada dunia binatang. Berbeda dengan binatang menyusui ---atau yang setingkat lainnya---, ia tidak mempunyai lingkungan yang dikembangkan secara dinamis dan juga, tidak punya lingkungan yang dibangun secara kukuh oleh organisasi naluri-nalurinya sendiri. Lebih jelasnya, Tidak ada dunia-manusia dalam pengertian sama terkait dengan dunia-anjing, dunia-kuda, dunia-kucing, dunia-semut, ataupun dunia hewan lainnya.
Meskipun secara spesifik punya kemampuan untuk belajar dan boleh jadi mampu mengakumulasikan hasilnya. Seekor anjing atau kuda secara individual mempunyai hubungan yang pada umumnya sudah tetap dan tak berubah tingkah lakunya dengan perubahan lingkungannya, serta juga merupakan lingkungan bagi semua anggota lainnya dari jenisnya masing-masing.
Satu implikasi yang jelas dari keadaan ini adalah bahwa anjing dan kuda tersebut beserta binatang lainnya ---jika dibandingkan dengan manusia--- kemampuan untuk merubah jauh lebih terbatas. Keterbatasan itu karena pada diri binatang tidak pada suatu kemampuan yang khas dalam menciptakan atau mengelola lingkungannya secara permanen. Tetapi kekhasan lingkungan binatang-binatang ini tidaklah sekedar menyangkut keterbatasan kemampuan untuk mengelola saja. Ia mengacu kepada sifat yang secara kebutuhan biologisnya tak berubah dalam hubungan untuk mengelola lingkungan seperti pada dunia-manusia.


C.    Interaksi sebagai Faktor Utama Dalam Kehidupan
Bentuk umum dari proses sosial adalah interaksi. Oleh karena interaksi sosial merupakan syarat dari terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis sekaligus yang menyangkut hubungan antar orang perorangan, antar kelompok-kelompok manusia maupun antar orang perorangan dengan kelompok manusia[1]. Apabila terjadi pertemuan diantara dua orang atau lebih maka pada saat itu terjadi interaksi sosial. Interaksi sosial yang dilakukan adalah bisa saja saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan lebih dari itu bisa juga berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bagian dari bentuk-bentuk terjadinya interaksi sosial.
Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula dalam masyarakat. Interaksi itu akan lebih mencolok manakala terjadi sebuah benturan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan kelompok. Misalnya, di kalangan banyak suku di Indonesia, berlaku suatu tradisi yang telah melembaga dalam diri masyarakat. Tradisi yang melembaga dalam diri masyarakat itu umpanya adalah tradisi perkawinan. Dalam tradisi perkawinan itu fihak laki-laki diharuskan memberikan mas kawin kepada fihak wanita. Mas kawin itu terkadang dalam jumlah yang cukup besar sehingga memberatkan kepada fihak laki-laki. Secara mendasar, tradisi perkawinan yang didalamnya fihak laki-laki harus memberikan mas kawin kepada fihak perempuan adalah sebuah tradisi yang berada dalam alam fikiran bahwa dengan dikawinnya si perempuan itu, maka ia akan berpisah dengan keluarganya, maka timbul ketidak seimbangan dalam keluarga si perempuan. Keseimbangan akan dicapai kembali apabila syarat-syarat mas kawin tadi di penuhi. Karena beratnya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh fihak laki-laki sering kali menyebabkan terjadinya kawin “lari”, yang dalam hal ini disetujui oleh calon istri. Persoalan itu biasanya penyelesaiannya melibatkan masyarakat. Hal itu karena menyangkut kepentingan umum dan juga menyangkut tata tertib masyarakat.
Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor, antara lai; faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan bergabung[2]. Apabila masing-masing ditinjau secara lebih dalam, faktor imitasi misalnya, memiliki peranan yang sangat penting dalam proses interaksi sosial. Misalnya salah satu segi positifnya adalah imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun tidak menutup kemungkinan imitasi juga mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif. Misalnya, yang ditiru adalah tindakan yang menyimpang dari aturan yang ditetapkan oleh masyarakat untuk menjadi norma ataupun nilai.
Faktor sugesti terjadi apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh fihak lain. Jadi proses ini sebenarnya hampir sama dengan imitasi. Akan tetapi titik tolaknya berbeda. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena fihak yang menerima dengan dilandasi dengan emosi.
Mungkin bisa jadi proses sugesti terjadi apabila orang yang memberikan pandangan adalah orang yang berwibawa atau mungkin karena sifatnya yang otoriter. Kiranya bisa jadi bahwa sugesti terjadi oleh sebab yang memberikan pandangan atau sikap yang akan dilakukan merupakan bagian terbesar dari kelompok yang bersangkutan.
Identifikasi sebenarnya merupakan  kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan fihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam dari pada imitasi, oleh karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya maupun dengan disengaja oleh karena seringkali seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya. Walaupun dapat berlangsung dengan sendirinya, proses identifikasi berlangsung dalam suatu keadaan di mana seseorang yang beridentifikasi benar-benar mengenal fihak lain ---yang menjadi idealnya--- sehingga pandangan, sikap, kaidah yang berlaku pada fihak lain tadi dapat melembaga dan bahkan menjiwainya. Nyatalah bahwa berlangsungnya identifikasi mengakibatkan terjadinya pengaruh-pengaruh yang lebih mendalam ketimbang proses imitasi dan sugesti walaupun ada kemungkinan bahwa pada mulanya proses identifikasi diawali oleh imitasi dan atau sugesti.
Proses simpati merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada fihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami fihak lain dan untuk bekerjasama dengannya. Ini merupakan perbedaan utama dengan identifikasi yang didorong oleh keinginan untuk belajar dari fihak lain yang dianggap kedudukannya lebih tinggi dan harus dihormati karena mempunyai kelebihan-kelebihan atau kemampuan-kemampuan tertentu yang patut dijadikan contoh. Proses simpati akan berkembang di dalam suatu keadaan dimana faktor saling mengerti.
Hal-hal tersebut merupakan fator yang menjadi dasar berlangsungnya proses interaksi sosial, walaupun dalam kenyataannya proses tadi memang sangat kompleks, sehingga kadang-kadang sulit mengadakan pembedaan tegas antara faktor-faktor tersebut.

D.    Relasi Sosial dengan Manusia
Apabila dicermati dengan seksama, sebuah kelompok manusia mampu menghasilkan suatu lingkungan yang manusiawi. Lingkungan yang manusiawi itu berangkat dari totalitas bentukan-bentukan atas sosio-kultural dan psikologis yang melingkupinya. Tidak satu pun dari bentukan-bentukan itu dapat dipahami sebagai hasil atas produk diri manusia itu sendiri. Seperti halnya tidak mungkin bagi manusia untuk berkembang sebagai manusia dalam keadaan terisolasi untuk menghasilkan suatu lingkungan manusiawi. Sebagaimana dalam sebuah film legenda berjudul Tarzan. Secara biologis Dia (baca: Tarzan) merupakan  manusia yang hidup terisolasi dengan lingkungan sesama manusianya. Maka ketika kehidupan Tarzan menginjak dewasa yang pada umumnya memiliki kemampuan sebagaimana manusia dewasa, ia justru bertingkahlaku seperti monyet. Contoh pada kasus yang lain adalah tingkah laku kelompok manusia tinggal di daerah pesisir pantai dengan kelompok manusia yang tinggal di daerah penggunungan. Corak karakter maupun tingkah lakunya akan memiliki keperbedaan yang cukup berbeda diantara keduanya.
Fenomena tersebut yang menunjukkan adanya sebuah keterkaitan/ relasi masyarakat dengan dibangun atas dasar individu yang ada. Lebih jauh relasi ini akan membentuk sebuah pranata, norma sehingga menciptakan ketertiban-ketertiban dalam sebuah masyarakat (Ihromi: 1981: 83). Secara empiris, eksistensi manusia belangsung dalam suatu konteks ketertiban, keterarahan dan kestabilan. Darimana asalnya kestabilan tatanan manusiawi yang ada secara empiris itu? dapat dinunjukkan oleh adanya fakta bahwa suatu tatanan sosial yang sudah ada di dahului oleh setiap perkembangan organismis individu. Namun demikian, ketertiban itu hanyalah bercorak khusus/lokal. Kekhususan corak masyarakat yang bersifat lokal itu disebabkan karena belum tentunya corak yang demikian sama dengan corak di suatu masyarakat yang lain. Hal ini yang menimbulkan sebuah keperbedaan corak masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.
Keperbedaan tersebut, boleh jadi akan memicu sebuah konflik, perselisihan, pertengkaran, perkelahian atau bahkan lebih jauh akan mendorong pada sebuah peperangan antar kelompok, suku, daerah, bangsa. Konflik-konflik yang terjadi hanya dilatar belakangi oleh sebuah kesalahfahaman, keperbedaan cara pandang, latar belakang dan lain-lain. Sehingga disintegrasi sosial bisa meluas cakupannya. Taruhlah sebagai contoh timbulnya Perang Dunia II. Dalam fenomena itu, keterlibatan hampir sebagian besar masyarakat dari berbagai kelompok mulai dari negara, bangsa, suku bahkan agama ikut dalam konflik ini. Padahal, apabila disimak antara yang menang ataupun yang kalah sama-sama dirugikan. Akibat perang dunia II mampu menyebabkan kerusakan yang luar biasa. Kerusakan itu, mulai dari kerusakan fisik maupun fisikis. Kerusakan fisik di tunjukkan dengan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan diantara kedua belah fihak, rusaknya ekosistem alam, hancurnya bangunan dan lain sebagainya. Sementara itu kerusakan fisikis ditunjukkan dengan munculnya ketegangan sosial, kesedihan manusia yang ditinggal mati keluarganya dalam medan peperangan, rusaknya sistem sosial (penggabaian terhadap Hak Asasi Manusia) dan lain sebagainya. Yang jelas, kerusakan kerusakan itu tidak saja di tanggung oleh kelompok yang kalah, tetapi bagi kelompok yang menang pun mengalami kerusakan yang tidak jauh beda dengan kelompok yang kalah. Selanjutnya siapa yang menang? Untuk itu, apabila dipahami secara mendasar perselisihan tidak akan memecahkan persoalan tetapi akan menimbulkan masalah baru diantara keduanya yang berkonflik. Apabila perdamaian tidak segera diwujudkan boleh jadi akan memicu persoalan kemanusian yang tidak akan pernah ada habisnya.

E.     Jiwa Manusia
Dalam pandangan Herbert Mead, diantara keunikan jiwa manusia adalah kapasitas jiwa tersebut yang bisa digunakan pertama  untuk menggunakan simbol-simbol tertentu untuk menunjuk terhadap obyek di dalam lingkungannya, kedua untuk melatih secara samar-samar serangkaian perbuatan alternatif terhadap obyek-obyek tersebut, ketiga untuk menghindari dari perbuatan-perbuatan yang buruk dan kemudian memilih sejumlah perbuatan yang baik. Mead mengistilahkan proses penggunaan simbol tersebut dengan istilah pelatihan imajinatif. Sehingga hal itu menjadikan konsepsi jiwa menurut Mead sebagai sebuah proses dari pada sebuah struktur. Lebih jauh lagi eksistensi suatu masyarakat atau suatu kelompok masyarakat yang terorganisir oleh Mead dilihat sebagai sebuah ketergantungan kapasitas manusia dalam melakukan pelatihan imajinatif secara optimal.
Apabila dikaji lebih mendalam analisis terhadap jiwa Herbert Mead kebanyakan tidak fokus terhadap jiwa manusia dewasa. Tetapi terhadap bagaimana kapasitas jiwa itu pertama kali muncul didalam diri manusia. Jika tidak seorang bayi akan mengembangkan jiwanya baik atas masyarakat maupun pribadi jiwa manusia tidak pernah ada. Sebab bagi Mead jiwa akan muncul dari proses selektif yang berangkat dari sejumlah gerak tubuh manusia dari orang-orang yang ada dilingkungannya atau yang mengasuhnya. Seleksi gerak tubuh tersebut yang kemudian muncul menjadi sebuah kesepahaman terhadap suatu yang diinginkan. Sehingga gerak tubuh itu memiliki makna umum baik terhadap bayi maupun dilingkungan orang-orang yang ada disekitarnya. Dengan perkembangan semacam ini, gerak tubuhakan menggambarkan obyek-obyek yang sama dan membawa disposisi-disposisi yang serupa terhadap semua kegiatan pada sebuah interaksi. Karena gerak tubuh memiliki semacam makna umum, maka Mead menggambarkan bahwa hal itu diistilahkan gerak tubuh konfensional atau gerak tubuh yang lazim di sebuah masyarakat.
Kemampuan untuk menggunakan atau menginterpretasikan gerak tubuh konfensional tersebut dengan makna umum, hal itu berarti telah mempresentasikan sebuah tahapan signifikan perkembangan jiwa atau pribadi yang ada di sebuah masyarakat. Dengan menginterpretasikan gerak tubuh itu manusia melahirkan kapasitas untuk memerankan peran orang lain. Pada realitas seperti itu menunjukkan sebuah tahapan yang bisa merefleksikan dari orang lain yang dikumpulinya untuk survive. Maka berangkat dari fenomena itu akan menunjukkan level baru yang efisien di dalam lingkungan sosialnya.
Dengan demikian ketika suatu organisme mampu mengembangkan kapasitasnya yang berati telah menunjukkan pemahaman terhadap gerak tubuh konfensional dan sekaligus menunjukkan gerak tubuh itu dalam memainkan peran orang lain serta kemampuan dalam melatih secara imajinatif atas serangkaian perbuatan-perbuatan alternativ. Oleh karenanya Mead menyakini bahwa perubahan atas serangkaian gerak tubuh itu merupakan bagian dari kemampuan atas perkembangan jiwa seseorang untuk mengekspresikan sesuatu yang dimengerti oleh orang lain dan hal itu juga sudah menjadi sebuah kesepahaman yang sama antara satu dengan yang lainnya.
Pandangan semacam itu hanya bisa dilakukan oleh manusia yang memiliki kemampuan untuk menunjukkan secara simbolik diri mereka sendiri sebagaimana obyek yang diinginkannya. Interpretasi atas gerak tubuh kemudian juga untuk melanyani sebagai dasar dari terjadinya evaluasi diri. Kapasitas ini untuk mengarahkan atas kesan seseorang sebagai sebuah obyek evaluasi di dalam interaksinya yang sangat tergantung terhadap proses perkembangan jiwa. Apa yang dipahami oleh Mead sebagai sesuatu yang signifikan adalah bahwa pribadi yang fana berasal dari kesan-kesan yang lain di dalam sistuasi interaktif masing-masing individu yang biasanya mengkristal obesisi diri.  Dengan adanya obsesi diri ini, perbuatan-perbuatan individu oleh Mead dilihat untuk diletakkan di atas disposisi yang konsisten atau dipandang sebagai sebuah tipe tertentu.
Berdasar atas pandangan itu Mead menggambarkan adanya tahapan perkembangan yang ada pada diri seseorang. Masing-masing tahapan itu menggambarkan atas sebuah kristalisasi dari sebuah konsepsi diri yang stabil. Tahapan yang ada pada diri seseorang itu adalah; pertama memainkan/play. Didalam hal ini seorang bayi hanya mampu untuk menirukan serangkaian gerak tubuh tertentu dari tubuh orang lain, kedua tahapan game dimana seorang itu hanya mampu untuk meniru atau memainkan peran dari sejumlah orang-orang yang ada disekelilingnya, ketiga seorang mampu memainkan sikap-sikap orang lain secara umum atau memainkan sikap-sikap dalam sebuah masyarakat. Pada tahapan ini individu mampu memvisualisasikan sekian banyak perspektif komunitas, atau memainkan norma ataupun nilai yang ada pada suatu masyarakat.
Atas dasar hal tersebut maka menurut Mead bahwa masyarakat menggambarkan suatu interaksi teroganisir diantara individu yang berbeda-beda. Sehingga, interaksi sangat tergantung terhadap kapasitas jiwa dan pribadi seseorang. Oleh karenanya evaluasi diri sangat perlu dihadirkan dalam membentuk sebuah keharmonisan yang lebih baik. Untuk menciptakan koordinasi dari aktivitas-aktivitas yang berbeda-beda dari komunitas sosial yang ada diperlukan sebuah kontrol sosial.
Koordinasi-koordinasi yang diciptakan tersebut berguna dalam mengharmonisasikan sebuah kemapanan yang lebih kondusif agar tidak terjadi ketegangan diantara masyarakat yang ada.

F.     Kesimpulan
Berdasar pada uraian tersebut secara garis besar penulis menyampaikan bahwa:
1.      Tujuan munculnya interaksionisme dilatarbelakangi untuk menciptakan keharmonisan sosial dengan memahami keperbedaan masyarakat. .
2.      Teori ini berangkat dari individu dan masyarakat yang memiliki relasi dalam terciptanya dunia-manusia yang manusiawi.



[1] Kimball Young and Raymond W. Mack, Sociology and Social Life, (New York: Book Company, 1995), 137.
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. Keenambelas,  (Jakarta: Rajawali Pres, 1992), 69.