Kamis, 12 Desember 2013

Gender; Relasi Sosial

"+"

GENDER;
RELASI SOSIAL



Pengantar
            Gender, satu kata yang banyak diadopsi dalam setiap seminar maupun lokakarya. Bahkan tak hanya dalam forum formal saja kata gender ini sering didiskusikan dan diperdebatkan. Hingga di rumah kopi pun gender sering dijadikan hidangan utama dalam setiap pembicaraan. Baik itu pembicaraan antara sesama ilmuan, aktivis, hingga politisi. Bisa dikatakan Gender hampir tak pernah menjadi isu yang basi untuk diperbincangkan.
            Semakin seringnya satu isu itu diperbincangkan, maka sangat memungkinkan terjadinya distorsi makna terhadap isu tersebut. Seperti itulah yang akan terjadi terhadap isu gender ini. Mungkin saja karena sudah terlalu sering diperbincangkan sehingga maknanya sudah banyak terdistorsi. Gender, oleh sebagian kalangan adalah wujud pemaksaan wanita untuk sebuah tuntutan kesetaraan, bahkan lebih parah lagi ada yang menafsirkan bahwa isu gender adalah sebuah wujud pembangkangan wanita terhadap kaum pria.
Pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi gender adalah apakah faktor biologis berperan dalam perilaku manusia ? Apakah perbedaan perilaku lak-laki dan perempuan dapat diterangkan secara biologis atau kultural, atau kedunya ? Lebih spesifik lagi, apakah faktor biologis punya efek yang menentukan dalam pembagian peran gender ?.
            Gender yaitu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstriksi secara sosial maupun klultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut cantik. emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya laki-laki bisa emosional, lemah lembut keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.
                   Gender sebagaimana diutarakan oleh Oakley adalah perbedaan yang bukan biologis, yakni perbedaan jenis kelamin (seks) adalah kodrat Tuhan, karenanya secara permanen berbeda. Sementara gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh baik kaum laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.
Caplan dalam The Cultural Construction of Sexuality mengatakan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu, gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis kelamin biologis (seks) akan tetapi tidak berubah. 
Untuk memahami konsep gender, harus dibedakan dulu antara kata gender dan kata sex.Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara sex, secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi tubuh. Istilah sex dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti jenis kelamin, yang lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologis seseorang, yang meliputi perbedaan anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara gender, lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dam aspek biologis lainnya.
Dulu orang belum banyak tertarik untuk membedakan sex dan dan gender, karena persepsi yang berkembang dalam masyarakat menganggap perbedaan gender (gender differences) sebagai akibat perbedaan sex (sex differences). Pembagian peran dan kerja secara seksual dipandang sesuatu hal yang wajar. Tapi belakangan ini disadari bahwa tidak mesti perbedaan seksual menyebabkan ketidakadilan gender (gender inequality).

Gender dan Ketidakadilan Sosial
            Peran gender tidak beridiri sendiri, melainkan terkait dengan identitas dan berbagai karakteristik yang diasumsikan masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan, sebab terjadinya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan lebih dari sekedar perbedaan fisik biologis tapi segenap nilai budaya yang hidup dalam masyarakat turut memberikan andil.
Dalam berbagai aspek kehidupan baik dalam bidang sosial, ekonomi, pertanian dan lainnya banyak sekali terjadi ketimpangan yang diakibatkan oleh perbedaan gender dan kebanyakan yang menjadi korban adalah kaum perempuan. Misalnya stereotip yang diberikan kepada perempuan sebagai mahluk yang senang bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu terkait dengan strereotip ini. Bahakan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat cenderung menyalahkan korbannya.
 Hampir setiap hari media massa nasional maupun lokal, baik media cetak maupun elektronika meyuguhkan berita tentang kekerasan terhadap perempuan. Media lokal di Gorontalo misalnya, hampir setiap hari memuat berita tentang pelecehan dan pemerkosaan terhadap perempuan. Anehnya lagi pelecehan itu dilakukan oleh keluarga dekat korban.
Kekerasan dalam pacaran (dating violence) juga banyak dialami oleh para remaja atau perempuan. Bentuk kekrasan yang mereka alami biasanya dalam rangkaian proses perkenalan atau masa pacaran. Dalam masa pacaran itu sering kali mereka mengalami kekerasan baik secara emosional, seperti : cemburu berlebihan, ancaman, kontrol, intimidasi, dan sebagainya. Secacra seksual, misalnya: paksaan untuk melakukan sentuhan, ciuman, pelukan, sampai dengan paksaan untuk melakukan pose secara porno, melihat gambar-gambar porno, bahkan paksaan untuk melakukan berhubungan seks.
Hubungan seks pada masa pacaran saat ini sangat memprihatinkan, ini terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Iip Wijayanto di Yogyakarta yang hasilnya sangat mencengangkan. Banyak alasan mengapa mereka melakukan hubungan seks, dan alasan utama adalah karena rasa cinta terhadap pasangan mereka. Laki-laki selalu mengatakan bahwa ia akan meninggalkan pacarnya bila ia tidak memberikan kegadisannya. Ini adalah merupakan intimidasi atau pemerkosaan terhadap perempuan, yang menurut Iip Wijyanto sebagai pemerkosaan atas nama cinta (PANCI).
Prostitusi adalah juga merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Di stu sisi pemerintah melarang dan menagkapi mereka, tapi di pihak lain negara juga menarik pajak dari usaha mereka. Pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, anehnya lokalisasi tetap ramai dikunjungi orang.
Perubahan nama dari pelacur, kemudian diperhalus menjadi wanita tuna susila (WTS), dan lebih diperhalus lagi menjadi pekerja seks komersil (PSK) tidak akan merubah citra mereka di mata masyarakat. Mereka tetap dianggap sebagai wanita murahan.dan tidak bermoral Tapi sangat ironis, para pria yang menggunakan “jasa” mereka, tidak pernah dianggap sebagai laki-laki yang tidak bermoral. Bahkan jika diadakan razia terhadap para pekerja seks komersil, yang ditangkapi hanyalah para perempuannya, sedangkan para pria hidung belang (PHB) dibiarkan berkeliaran.
Pornografi dan pornoaksi juga termasuk dalam kategori kekerasan terhadap kaum perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non fisik yakni pelecehan terhadap kaum perempuan, dimana tubuh perempuan dijadikan sebagai objek untuk keuntungan seseorang maupun kelompok. Setiap lekukan tubuh perempuan dihitung sebagi ikon untuk meraup keuntungan. sebagaimana dalam konfrensi dunia tentang perempuan yang pertama di Mexico City yang diselenggarakan oleh PBB dalam rangka dekade PBB untuk perempuan 1975-1985, negara-negara peserta membawa data untuk di bahas dalam konfrensi. Atas dasar ini analisanya adalah negara manapun, status  perempuan lebih rendah daripada kaum laki-laki dan terbelakang di bidang politik, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan dan di bidang lainnya yang dianggap strategis. Konfrensi ini menghasilkan kebijakan Women In Development ( WID ) yang dilaksanakan oleh semua negara. Kesepakatan lain adalah perlu didirikannya kementrian / badan / biro di negara peserta untuk melaksanakan strategi peran perempuan.
            Selanjutnya pada tahun 1980 diselenggarakan konfrensi dunia tentang perempuan yang kedua di Copenhagen. Selanjutnya tahun 1985 diadakan konfrensi perempuan ketiga di Nairobi. Melalui kesepakatan yang tertuang dalam The Nairobi  Looking Forward Strategis, gender digunakan sebagai alat analisis untuk mengkaji mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara perempuan dan laki-laki di berbagai bidang kehidupan. Sejak itu, melalui berbagai penelitian muncul konsep - konsep yang berkaitan dengan gender.
            Banyaknya forum diskusi yang diadakan untuk membahas dan merumuskan dengan tepat konsep gender yang ideal, agar tidak mengundang banyak masalah. Sayangnya keinginan itu, baru sampai sebatas keinginan belaka. Buktinya hingga saat ini masih banyak terjadi praktek diskriminasi serta ketidakadilan yang berbentuk marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan dan beban kerja ganda yang dialami oleh kaum perempuan.
Perempuan tidak bisa berkembang karena hanya diberi peran dalam urusan rumah tangga dan tidak diberi kesempatan serta peluang untuk peran-peran yang bersifat produktif. Laki-laki diberi pekerjaan, tugas, tanggung jawab yang terlalu berat dan dituntut untuk lebih mampu dan lebih kuat dalam berbagai hal. Anak perempuan tidak mendapat pendidikan formal yang sama tingginya seperti yang diterima oleh anak laki-laki dengan berbagai alasan. Perempuan menjad tergantung pada nafkah suami sehingga tidak memiliki keterampilan dan pengalaman yang sebanding dengan laki-laki.
Dalam keluarga kurang mampu, perempuan melakukan pekerjaan ganda baik mengurusi pekerjaan rumah tangga maupun mencari nafkah dengan keterampilan dan  pengetahuan yang terbatas. Potensi dan bakat yang dimiliki perempuan kurang mendapat wadahnya. Berikut ini alasan yang sering memarijinalkan peran perempuan.
  • Belum memasyarakatnya konsep atau pemikiran tentang perlunya kesetaraan dan keadilan gender.
  • Masih terdapat kebijakan dan perangkat hukum serta perundang- undangan yang berbias gender.
             Namun perlu ditegaskan disini adalah, masalah gender terjadi apabila salah satu jenis gender mengalami ketidakadilan baik dalam pendidikan, kesehatan, akses dan kontrol terhadap sumber daya maupun tindakan kekerasan. Hal ini perlu dipahami, bahwa masalah–masalah sosial yang bukan disebabkan oleh penilaian atau tindakan berat sebelah karena faktor jenis kelamin, maka seseorang itu tak termasuk dalam bingkai masalah gender.
            Pertanyaannya sekarang adalah, apa sebenarnya yang harus diperjuangkan dalam isu gender ini, karena yang menonjol sekarang ini nampaknya adalah hanya sebuah bentuk keinginan (jika tidak dibilang pemaksaan) wanita untuk tidak di bawah laki-laki, bahkan parahnya lagi ada klaim bahwa perempuan derajat kehidupannya harus bisa di atas laki-laki. Hal ini sebenarnya kunci mengapa banyak kalangan terutama laki-laki tidak mendukung bahkan menolak isu gender. Dalam konsep idealnya tujuan dari perjuangan dalam isu gender ini adalah, terwujudnya kondisi keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan terhapusnya ketimpangan gender melalui upaya-upaya pemberian hak, kesempatan, peluang, kedudukan dan peranan yang setara kepada kedua jenis kelamin manusia itu demi menegakkan keadilan bagi kedua gender tersebut dengan menghapuskan nilai-nilai yang tidak demokratis dalam pembagian tugas dan peran mereka.
Perjuangan akan adanya kesetaraan gender dalam kehidupan sosial, bukanlah semata-mata tanggung jawab perempuan saja. Hal ini bukanlah sebuah bentuk konfrontasi antara perempuan terhadap laki-laki, melainkan adalah sebuah usaha bersama antara perempuan dan laki-laki untuk memperbaiki dan mengatur secara bersam-sama nilai-nilai gender yang timpang dalam masyarakat. Sistem nilai seperti ini sangat perlu untuk diperbaiki agar masyarakat secara utuh dapat menjadi pelaku aktif pembangunan di segala bidang kehidupan demi kesejahteraan manusia.
            Dalam rangka menyukseskan perjuangan gender ini, kiranya ada beberapa langkah strategis yang harus diupayakan. Seperti dorongan kepada perempuan agar perlu meningkatkan kemandiriannya melalui berbagai upaya agar kedudukan dan peranannya dapat berubah ke posisi yang lebih strategis dalam masyarakat. Kepada pemerintah, tokoh agama, masyarakat, dunia usaha, LSM dan organisasi perempuan serta organisasi kemasyarakatan lainnya diharapkan menyelenggarakan program atau kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan, mensosialisasikan kesetaraan dan keadilan gender, menghapus tindak kekerasan, menegakkan hak asasi dan memperkuat lembaga yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender.
            Pendekatan yang digunakan untuk dapat mengatasi kebutuhan gender dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu pendekatan kebutuhan praktis dan strategis.
1. Kebutuhan Praktis
            Biasanya diperlukan secara langsung dan kongrit, serta dikembangkan berdasarkan kebutuhan peran gender. Untuk menjamin rasa aman dan menghindari gangguan yang sering dialami oleh buruh perempuan yang bekerja malam, diperlukan antar jemput. Perempuan yang memiliki anak balita dapat tetap bekerja dengan baik sesuai dengan waktu kerjanya, karenanya perlu disediakan tempat penitipan bayi yang dapat dimanfaatkan pada saat jam istirahat.
2. Kebutuhan Strategis
            Suatu kebutuhan strategis yang masih harus diperjuangkan dalam waktu yang relatif lebih lama, seperti : mengkampanyekan perlunya kebijakan tentang hak-hak reproduksi buruh perempuan. Memberikan peluang besar dalam pelatihan usaha dan pengalokasian kredit kepada pengusaha perempuan dan laki-laki dari kelompok usaha kecil ataupun kelompok perempuan.
Kebutuhan strategis pada dasarnya adalah merupakan upaya yang dilakukan untuk membawa pada perubahan kondisi, baik merubah suatu aturan maupun kebijakan atau lebih adil, dan memberikan hak dan kewajiban yang sama dalam kelompok masyarakat, baik terhadap laki-laki atau perempuan.
            Ada beberapa tinjauan yang kiranya bisa menjadi rujukan penting dalam proses perjuangan gender ini, salah satunya adalah tinjauan sejarah. Dalam sejarah peradaban manusia pihak yang kerap dirugikan adalah wanita. Dalam rentetan perjalanan sejarah dominannya perempuan yang selalu menjadi korban, mari sejenak kita kembali menoleh sejarah.
Pada peradaban Hindu dan Cina, hak hidup bagi seorang perempuan yang telah bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya. Istri harus rela dibakar hidup- hidup disaat suaminya dikremasi dan tradisi seperti ini baru berakhir pada abad ke-VII M. Pada masa Romawi kuno, kaum perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya, dan saudara laki-laki ayah, dan setelah menikah penguasaannya ditangan suami. Dalam peradaban Yunani kaum perempuan dikenal sebagai sarana pemenuhan naluri seksual laki-laki dan dipuja karena daya seksualitas mereka. Sehingga tidak heran terlihat dari karya seni seperti patung dan lukisan perempuan telanjang yang hanya menggambarkan sisi seksualitas saja.
            Begitu juga dalam peradaban Yahudi, mertabat perempuan dinilai  sangat rendah. Perempuan dianggap sumber laknat dan malapetaka, karena perempuanlah yang menyebabkan Adam diusir dari sorga. Hal ini juga terjadi pada masyarakat Kristen di Inggris sampai tahun 1805, dimana dalam perundangan Inggris diakui bahwa hak suami untuk menjual istrinya.
            Hal serupa juga terjadi pada masyarakat Arab jahiliyah sebelum datangnya agama Islam, yang dikenal sebagai bangsa yang patriarki, bahkan mereka tidak enggan membunuh bayi perempuan karena dianggap sebagai aib bagi keluarga. Perlakuan semacam ini dikecam keras oleh Islam yang dinyatakan dalam Q.S an-Nahl :( 16 ) 58 -59. yang artinya :
            “ Dan  apabila seseorang dari mereka  diberi kabar dengan (kelahiran) anak  perempuan, hitam (merah padam) lah mukanya, dan dia sangat marah (58). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah ( hidup- hidup ). Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu ( 59 )”.
           
Pada saat Islam datang, konsep ahli waris, menjadi saksi, membayar denda (diyat) tidak berlaku bagi perempuan, maka Islam datang untuk memberikan hak atau bagian sebagaimana yang dimiliki oleh laki - laki meski dalam nilai separunya. Selain itu, anggapan bahwa perempuan dianggap sebagai pelengkap dan untuk pemenuhan kebutuhan juga dibantah oleh Islam, sebagaimana Q.S. al-Imran (3): 195.
            Kisah penciptaan manusia laki-laki dan perempuan (kejadian 2 : 7, dan 18) berbunyi :“ ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia-manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya ; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.
            Menurut agama Budha, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang munculnya bersamaan di bumi ini ( Aggana Sutta ), seseorang dapat lahir dan terlahir  kembali sebagai laki-laki atau sebagai perempuan sesuai dengan karmanya masing-masing ( Kamma Niama ).
            Kehidupan laki-laki dan perempuan adalah untuk saling membantu dan saling mengerti, sehingga pada waktu terjadi pernikahan antara laki-laki dan perempuan sebagai mitra ( Anguttara Nikaya II hal 62 ). Sang Budha mengatakan untuk membentuk keluarga yang bahagia maka harus memiliki :
  • Keyakinan yang selaras ( Sama Sadha )
  • Moralitas yang selaras ( Sama Sila )
  • Kemurahan hati yang selaras ( Sama Caga )
  • Kebijaksanaan yang selaras ( Sama Panna )
            Memahami kesetaraan dan keadilan gender, hendaknya disadari bersama bahwa tujuannya adalah untuk memecahkan permasalahan bersama, masalah laki-laki dan perempuan, agar kedua jenis kelamin tersebut memperoleh keuntungan, manfaat dan kebahagiaan bersama, dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan.
            Disadari bahwa walaupun bangsa indonesia sebagai bangsa beragama dan sebagian besar umatnya telah mempodomani kitab suci agama masing- masing, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak pemahaman umat yang keliru dalam menafsirkan makna kesetaraan dan keadilan gender yang tersebut dalam kitab suci. Hal itu karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhi penafsiran kitab suci tersebut, antara lain karena tingkat keilmuan para penafsir, karena latar belakang pendidikan atau keilmuan mereka, karena pengaruh budaya dan kehidupan sosial masyarakat setempat, dimana penafsir itu tinggal, dan ada pula faktor subyektifitas penafsir itu sendiri.
Posisi perempuan yang lemah dalam masyarakat merupakan akumulasi dari berbagai faktor dalam sejarah panjang umat manusia. Boleh saja sebuah teori menjelaskan latar belakang penyebabnya, tapi teori-teori lain tidak dengan mudah dapat disalahkan karena perempuan memang mempunyai keunikan yang tidak hanya dapat diukur dengan satu pendekatan.
Dalam masyarakat lintas budaya, pola penentuan beban gender (gender assigment) lebih banyak mengacu kepada faktor biologis atau jenis kelamin. Peninjauan kembali beban gender yang dinilai kurang adil merupakan tugas bagi kita semua, bukan hanya perempuan tapi juga dari laki-laki. Identifikasi beban gender lebih dari sekedar pengenalan terhadap alat kelamin, tapi menyangkut nilai-nilai fundamental yang telah membudaya dalam masyarakat.
            Oleh karena itu untuk tidak menimbulkan kesalah pahaman atau kekhawatiran sekelompok orang bahwa disosialisasikannya kesetaraan dan keadilan gender karena untuk kepentingan perempuan semata, maka masing-masing agama memberikan uraian secara jelas bagaimana tuntutan kitab suci agama menempatkan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan, dengan maksud untuk mencapai keuntungan dan kebahagiaan bersama sebagai manusia ciptaan Tuhan.
            Adapun yang menjadi harapan kiranya tulisan ini menjadi satu bahan gambaran bukan saja bagi kaum perempuan, tapi juga bagi kaum laki-laki yang berminat untuk memahami kesetaraan dan keadilan gender secara benar dan tidak menyalahi tuntutan kitab suci agama manapun.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar