GENDER;
RELASI SOSIAL
Pengantar
Gender, satu kata yang banyak
diadopsi dalam setiap seminar maupun lokakarya. Bahkan tak hanya dalam forum
formal saja kata gender ini sering didiskusikan dan diperdebatkan. Hingga di
rumah kopi pun gender sering dijadikan hidangan utama dalam setiap pembicaraan.
Baik itu pembicaraan antara sesama ilmuan, aktivis, hingga politisi. Bisa
dikatakan Gender hampir tak pernah menjadi isu yang basi untuk diperbincangkan.
Semakin seringnya satu isu itu
diperbincangkan, maka sangat memungkinkan terjadinya distorsi makna terhadap
isu tersebut. Seperti itulah yang akan terjadi terhadap isu gender ini. Mungkin
saja karena sudah terlalu sering diperbincangkan sehingga maknanya sudah banyak
terdistorsi. Gender, oleh sebagian kalangan adalah wujud pemaksaan wanita untuk
sebuah tuntutan kesetaraan, bahkan lebih parah lagi ada yang menafsirkan bahwa
isu gender adalah sebuah wujud pembangkangan wanita terhadap kaum pria.
Pertanyaan mendasar yang muncul dalam
studi gender adalah apakah faktor biologis berperan dalam perilaku manusia ?
Apakah perbedaan perilaku lak-laki dan perempuan dapat diterangkan secara
biologis atau kultural, atau kedunya ? Lebih spesifik lagi, apakah faktor
biologis punya efek yang menentukan dalam pembagian peran gender ?.
Gender yaitu sifat yang melekat pada
kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstriksi secara sosial maupun
klultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut cantik. emosional,
atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa.
Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Artinya laki-laki bisa emosional, lemah lembut keibuan, sementara juga ada
perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri itu dapat terjadi dari waktu
ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.
Gender sebagaimana diutarakan oleh
Oakley adalah perbedaan yang bukan biologis, yakni perbedaan jenis kelamin
(seks) adalah kodrat Tuhan, karenanya secara permanen berbeda. Sementara gender
adalah behavioral differences antara
laki-laki dan perempuan yang socially
constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan,
melainkan diciptakan oleh baik kaum laki-laki dan perempuan melalui proses
sosial dan budaya yang panjang.
Caplan dalam The Cultural Construction of Sexuality mengatakan bahwa perbedaan
perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui
proses sosial dan kultural. Oleh karena itu, gender berubah dari waktu ke
waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis
kelamin biologis (seks) akan tetapi tidak berubah.
Untuk memahami konsep gender, harus
dibedakan dulu antara kata gender dan kata sex.Gender secara umum digunakan
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial
budaya. Sementara sex, secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan
laki-laki dan perempuan dari segi anatomi tubuh. Istilah sex dalam kamus bahasa
Indonesia juga berarti jenis kelamin, yang lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek
biologis seseorang, yang meliputi perbedaan anatomi fisik, reproduksi, dan
karakteristik biologis lainnya. Sementara gender, lebih banyak berkonsentrasi
kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dam aspek biologis lainnya.
Dulu orang belum banyak tertarik untuk
membedakan sex dan dan gender, karena persepsi yang berkembang dalam masyarakat
menganggap perbedaan gender (gender
differences) sebagai akibat perbedaan sex (sex differences). Pembagian peran dan kerja secara seksual
dipandang sesuatu hal yang wajar. Tapi belakangan ini disadari bahwa tidak
mesti perbedaan seksual menyebabkan ketidakadilan gender (gender inequality).
Gender dan
Ketidakadilan Sosial
Peran gender tidak beridiri sendiri,
melainkan terkait dengan identitas dan berbagai karakteristik yang diasumsikan
masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan, sebab terjadinya ketimpangan
antara laki-laki dan perempuan lebih dari sekedar perbedaan fisik biologis tapi
segenap nilai budaya yang hidup dalam masyarakat turut memberikan andil.
Dalam berbagai aspek kehidupan baik
dalam bidang sosial, ekonomi, pertanian dan lainnya banyak sekali terjadi
ketimpangan yang diakibatkan oleh perbedaan gender dan kebanyakan yang menjadi
korban adalah kaum perempuan. Misalnya stereotip yang diberikan kepada perempuan
sebagai mahluk yang senang bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian
lawan jenisnya, maka setiap kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu
terkait dengan strereotip ini. Bahakan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh
perempuan, masyarakat cenderung menyalahkan korbannya.
Hampir setiap hari media massa nasional maupun
lokal, baik media cetak maupun elektronika meyuguhkan berita tentang kekerasan
terhadap perempuan. Media lokal di Gorontalo misalnya, hampir setiap hari
memuat berita tentang pelecehan dan pemerkosaan terhadap perempuan. Anehnya
lagi pelecehan itu dilakukan oleh keluarga dekat korban.
Kekerasan dalam pacaran (dating violence) juga banyak dialami
oleh para remaja atau perempuan. Bentuk kekrasan yang mereka alami biasanya
dalam rangkaian proses perkenalan atau masa pacaran. Dalam masa pacaran itu
sering kali mereka mengalami kekerasan baik secara emosional, seperti : cemburu
berlebihan, ancaman, kontrol, intimidasi, dan sebagainya. Secacra seksual,
misalnya: paksaan untuk melakukan sentuhan, ciuman, pelukan, sampai dengan
paksaan untuk melakukan pose secara porno, melihat gambar-gambar porno, bahkan
paksaan untuk melakukan berhubungan seks.
Hubungan seks pada masa pacaran saat ini
sangat memprihatinkan, ini terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Iip
Wijayanto di Yogyakarta yang hasilnya sangat mencengangkan. Banyak alasan
mengapa mereka melakukan hubungan seks, dan alasan utama adalah karena rasa
cinta terhadap pasangan mereka. Laki-laki selalu mengatakan bahwa ia akan
meninggalkan pacarnya bila ia tidak memberikan kegadisannya. Ini adalah
merupakan intimidasi atau pemerkosaan terhadap perempuan, yang menurut Iip
Wijyanto sebagai pemerkosaan atas nama cinta (PANCI).
Prostitusi adalah juga merupakan bentuk
kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi
yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat dan negara selalu menggunakan
standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Di stu sisi pemerintah melarang dan
menagkapi mereka, tapi di pihak lain negara juga menarik pajak dari usaha
mereka. Pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, anehnya lokalisasi tetap ramai
dikunjungi orang.
Perubahan nama dari pelacur, kemudian
diperhalus menjadi wanita tuna susila (WTS), dan lebih diperhalus lagi menjadi
pekerja seks komersil (PSK) tidak akan merubah citra mereka di mata masyarakat.
Mereka tetap dianggap sebagai wanita murahan.dan tidak bermoral Tapi sangat
ironis, para pria yang menggunakan “jasa” mereka, tidak pernah dianggap sebagai
laki-laki yang tidak bermoral. Bahkan jika diadakan razia terhadap para pekerja
seks komersil, yang ditangkapi hanyalah para perempuannya, sedangkan para pria
hidung belang (PHB) dibiarkan berkeliaran.
Pornografi dan pornoaksi juga termasuk
dalam kategori kekerasan terhadap kaum perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk
kekerasan non fisik yakni pelecehan terhadap kaum perempuan, dimana tubuh
perempuan dijadikan sebagai objek untuk keuntungan seseorang maupun kelompok.
Setiap lekukan tubuh perempuan dihitung sebagi ikon untuk meraup keuntungan. sebagaimana
dalam konfrensi dunia tentang perempuan yang pertama di Mexico City yang
diselenggarakan oleh PBB dalam rangka dekade PBB untuk perempuan 1975-1985,
negara-negara peserta membawa data untuk di bahas dalam konfrensi. Atas dasar
ini analisanya adalah negara manapun, status
perempuan lebih rendah daripada kaum laki-laki dan terbelakang di bidang
politik, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan dan di bidang lainnya yang
dianggap strategis. Konfrensi ini menghasilkan kebijakan Women In Development (
WID ) yang dilaksanakan oleh semua negara. Kesepakatan lain adalah perlu
didirikannya kementrian / badan / biro di negara peserta untuk melaksanakan
strategi peran perempuan.
Selanjutnya pada tahun 1980
diselenggarakan konfrensi dunia tentang perempuan yang kedua di Copenhagen.
Selanjutnya tahun 1985 diadakan konfrensi perempuan ketiga di Nairobi. Melalui
kesepakatan yang tertuang dalam The
Nairobi Looking Forward Strategis,
gender digunakan sebagai alat analisis untuk mengkaji mengapa terjadi berbagai
ketimpangan antara perempuan dan laki-laki di berbagai bidang kehidupan. Sejak
itu, melalui berbagai penelitian muncul konsep - konsep yang berkaitan dengan
gender.
Banyaknya forum diskusi yang
diadakan untuk membahas dan merumuskan dengan tepat konsep gender yang ideal,
agar tidak mengundang banyak masalah. Sayangnya keinginan itu, baru sampai
sebatas keinginan belaka. Buktinya hingga saat ini masih banyak terjadi praktek
diskriminasi serta ketidakadilan yang berbentuk marginalisasi, subordinasi, stereotip,
kekerasan dan beban kerja ganda yang dialami oleh kaum perempuan.
Perempuan tidak bisa berkembang karena
hanya diberi peran dalam urusan rumah tangga dan tidak diberi kesempatan serta
peluang untuk peran-peran yang bersifat produktif. Laki-laki diberi pekerjaan,
tugas, tanggung jawab yang terlalu berat dan dituntut untuk lebih mampu dan
lebih kuat dalam berbagai hal. Anak perempuan tidak mendapat pendidikan formal
yang sama tingginya seperti yang diterima oleh anak laki-laki dengan berbagai
alasan. Perempuan menjad tergantung pada nafkah suami sehingga tidak memiliki
keterampilan dan pengalaman yang sebanding dengan laki-laki.
Dalam keluarga kurang mampu, perempuan
melakukan pekerjaan ganda baik mengurusi pekerjaan rumah tangga maupun mencari
nafkah dengan keterampilan dan
pengetahuan yang terbatas. Potensi dan bakat yang dimiliki perempuan
kurang mendapat wadahnya. Berikut ini alasan yang sering memarijinalkan peran
perempuan.
- Belum
memasyarakatnya konsep atau pemikiran tentang perlunya kesetaraan dan
keadilan gender.
- Masih
terdapat kebijakan dan perangkat hukum serta perundang- undangan yang
berbias gender.
Namun perlu ditegaskan disini adalah,
masalah gender terjadi apabila salah satu jenis gender mengalami ketidakadilan
baik dalam pendidikan, kesehatan, akses dan kontrol terhadap sumber daya maupun
tindakan kekerasan. Hal ini perlu dipahami, bahwa masalah–masalah sosial yang
bukan disebabkan oleh penilaian atau tindakan berat sebelah karena faktor jenis
kelamin, maka seseorang itu tak termasuk dalam bingkai masalah gender.
Pertanyaannya sekarang adalah, apa
sebenarnya yang harus diperjuangkan dalam isu gender ini, karena yang menonjol
sekarang ini nampaknya adalah hanya sebuah bentuk keinginan (jika tidak
dibilang pemaksaan) wanita untuk tidak di bawah laki-laki, bahkan parahnya lagi
ada klaim bahwa perempuan derajat kehidupannya harus bisa di atas laki-laki.
Hal ini sebenarnya kunci mengapa banyak kalangan terutama laki-laki tidak
mendukung bahkan menolak isu gender. Dalam konsep idealnya tujuan dari
perjuangan dalam isu gender ini adalah, terwujudnya kondisi keadilan dan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan terhapusnya ketimpangan gender
melalui upaya-upaya pemberian hak, kesempatan, peluang, kedudukan dan peranan
yang setara kepada kedua jenis kelamin manusia itu demi menegakkan keadilan
bagi kedua gender tersebut dengan menghapuskan nilai-nilai yang tidak
demokratis dalam pembagian tugas dan peran mereka.
Perjuangan akan adanya kesetaraan gender
dalam kehidupan sosial, bukanlah semata-mata tanggung jawab perempuan saja. Hal
ini bukanlah sebuah bentuk konfrontasi antara perempuan terhadap laki-laki,
melainkan adalah sebuah usaha bersama antara perempuan dan laki-laki untuk
memperbaiki dan mengatur secara bersam-sama nilai-nilai gender yang timpang
dalam masyarakat. Sistem nilai seperti ini sangat perlu untuk diperbaiki agar
masyarakat secara utuh dapat menjadi pelaku aktif pembangunan di segala bidang
kehidupan demi kesejahteraan manusia.
Dalam rangka menyukseskan perjuangan
gender ini, kiranya ada beberapa langkah strategis yang harus diupayakan.
Seperti dorongan kepada perempuan agar perlu meningkatkan kemandiriannya
melalui berbagai upaya agar kedudukan dan peranannya dapat berubah ke posisi
yang lebih strategis dalam masyarakat. Kepada pemerintah, tokoh agama,
masyarakat, dunia usaha, LSM dan organisasi perempuan serta organisasi
kemasyarakatan lainnya diharapkan menyelenggarakan program atau kegiatan
pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan, mensosialisasikan
kesetaraan dan keadilan gender, menghapus tindak kekerasan, menegakkan hak
asasi dan memperkuat lembaga yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan
gender.
Pendekatan yang digunakan untuk
dapat mengatasi kebutuhan gender dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu pendekatan
kebutuhan praktis dan strategis.
1. Kebutuhan Praktis
Biasanya diperlukan secara langsung
dan kongrit, serta dikembangkan berdasarkan kebutuhan peran gender. Untuk
menjamin rasa aman dan menghindari gangguan yang sering dialami oleh buruh
perempuan yang bekerja malam, diperlukan antar jemput. Perempuan yang memiliki
anak balita dapat tetap bekerja dengan baik sesuai dengan waktu kerjanya,
karenanya perlu disediakan tempat penitipan bayi yang dapat dimanfaatkan pada
saat jam istirahat.
2. Kebutuhan
Strategis
Suatu kebutuhan strategis yang masih
harus diperjuangkan dalam waktu yang relatif lebih lama, seperti :
mengkampanyekan perlunya kebijakan tentang hak-hak reproduksi buruh perempuan.
Memberikan peluang besar dalam pelatihan usaha dan pengalokasian kredit kepada
pengusaha perempuan dan laki-laki dari kelompok usaha kecil ataupun kelompok
perempuan.
Kebutuhan strategis pada dasarnya adalah
merupakan upaya yang dilakukan untuk membawa pada perubahan kondisi, baik
merubah suatu aturan maupun kebijakan atau lebih adil, dan memberikan hak dan
kewajiban yang sama dalam kelompok masyarakat, baik terhadap laki-laki atau
perempuan.
Ada beberapa tinjauan yang kiranya
bisa menjadi rujukan penting dalam proses perjuangan gender ini, salah satunya
adalah tinjauan sejarah. Dalam sejarah peradaban manusia pihak yang kerap
dirugikan adalah wanita. Dalam rentetan perjalanan sejarah dominannya perempuan
yang selalu menjadi korban, mari sejenak kita kembali menoleh sejarah.
Pada peradaban Hindu dan Cina, hak hidup
bagi seorang perempuan yang telah bersuami harus berakhir pada saat kematian
suaminya. Istri harus rela dibakar hidup- hidup disaat suaminya dikremasi dan
tradisi seperti ini baru berakhir pada abad ke-VII M. Pada masa Romawi kuno,
kaum perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya, dan saudara
laki-laki ayah, dan setelah menikah penguasaannya ditangan suami. Dalam
peradaban Yunani kaum perempuan dikenal sebagai sarana pemenuhan naluri seksual
laki-laki dan dipuja karena daya seksualitas mereka. Sehingga tidak heran
terlihat dari karya seni seperti patung dan lukisan perempuan telanjang yang
hanya menggambarkan sisi seksualitas saja.
Begitu juga dalam peradaban Yahudi,
mertabat perempuan dinilai sangat
rendah. Perempuan dianggap sumber laknat dan malapetaka, karena perempuanlah
yang menyebabkan Adam diusir dari sorga. Hal ini juga terjadi pada masyarakat
Kristen di Inggris sampai tahun 1805, dimana dalam perundangan Inggris diakui
bahwa hak suami untuk menjual istrinya.
Hal serupa juga terjadi pada
masyarakat Arab jahiliyah sebelum datangnya agama Islam, yang dikenal sebagai
bangsa yang patriarki, bahkan mereka tidak enggan membunuh bayi perempuan
karena dianggap sebagai aib bagi keluarga. Perlakuan semacam ini dikecam keras
oleh Islam yang dinyatakan dalam Q.S an-Nahl :( 16 ) 58 -59. yang artinya :
“
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitam (merah padam) lah mukanya,
dan dia sangat marah (58). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak
disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan
memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah
( hidup- hidup ). Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu (
59 )”.
Pada saat Islam datang, konsep ahli
waris, menjadi saksi, membayar denda (diyat) tidak berlaku bagi perempuan, maka
Islam datang untuk memberikan hak atau bagian sebagaimana yang dimiliki oleh
laki - laki meski dalam nilai separunya. Selain itu, anggapan bahwa perempuan
dianggap sebagai pelengkap dan untuk pemenuhan kebutuhan juga dibantah oleh
Islam, sebagaimana Q.S. al-Imran (3): 195.
Kisah penciptaan manusia laki-laki
dan perempuan (kejadian 2 : 7, dan 18) berbunyi :“ ketika itulah Tuhan Allah
membentuk manusia-manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke
dalam hidungnya ; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.
Menurut agama Budha, manusia terdiri
dari laki-laki dan perempuan yang munculnya bersamaan di bumi ini ( Aggana
Sutta ), seseorang dapat lahir dan terlahir
kembali sebagai laki-laki atau sebagai perempuan sesuai dengan karmanya
masing-masing ( Kamma Niama ).
Kehidupan laki-laki dan perempuan
adalah untuk saling membantu dan saling mengerti, sehingga pada waktu terjadi
pernikahan antara laki-laki dan perempuan sebagai mitra ( Anguttara Nikaya II
hal 62 ). Sang Budha mengatakan untuk membentuk keluarga yang bahagia maka
harus memiliki :
- Keyakinan
yang selaras ( Sama Sadha )
- Moralitas
yang selaras ( Sama Sila )
- Kemurahan
hati yang selaras ( Sama Caga )
- Kebijaksanaan
yang selaras ( Sama Panna )
Memahami kesetaraan
dan keadilan gender, hendaknya disadari bersama bahwa tujuannya adalah untuk
memecahkan permasalahan bersama, masalah laki-laki dan perempuan, agar kedua
jenis kelamin tersebut memperoleh keuntungan, manfaat dan kebahagiaan bersama,
dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan.
Disadari bahwa walaupun bangsa
indonesia sebagai bangsa beragama dan sebagian besar umatnya telah mempodomani
kitab suci agama masing- masing, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak
pemahaman umat yang keliru dalam menafsirkan makna kesetaraan dan keadilan
gender yang tersebut dalam kitab suci. Hal itu karena adanya berbagai faktor
yang mempengaruhi penafsiran kitab suci tersebut, antara lain karena tingkat
keilmuan para penafsir, karena latar belakang pendidikan atau keilmuan mereka,
karena pengaruh budaya dan kehidupan sosial masyarakat setempat, dimana
penafsir itu tinggal, dan ada pula faktor subyektifitas penafsir itu sendiri.
Posisi perempuan yang lemah dalam
masyarakat merupakan akumulasi dari berbagai faktor dalam sejarah panjang umat
manusia. Boleh saja sebuah teori menjelaskan latar belakang penyebabnya, tapi
teori-teori lain tidak dengan mudah dapat disalahkan karena perempuan memang
mempunyai keunikan yang tidak hanya dapat diukur dengan satu pendekatan.
Dalam masyarakat lintas budaya, pola
penentuan beban gender (gender assigment)
lebih banyak mengacu kepada faktor biologis atau jenis kelamin. Peninjauan
kembali beban gender yang dinilai kurang adil merupakan tugas bagi kita semua,
bukan hanya perempuan tapi juga dari laki-laki. Identifikasi beban gender lebih
dari sekedar pengenalan terhadap alat kelamin, tapi menyangkut nilai-nilai
fundamental yang telah membudaya dalam masyarakat.
Oleh karena itu untuk tidak
menimbulkan kesalah pahaman atau kekhawatiran sekelompok orang bahwa
disosialisasikannya kesetaraan dan keadilan gender karena untuk kepentingan
perempuan semata, maka masing-masing agama memberikan uraian secara jelas
bagaimana tuntutan kitab suci agama menempatkan kesetaraan dan keadilan antara
laki-laki dan perempuan, dengan maksud untuk mencapai keuntungan dan
kebahagiaan bersama sebagai manusia ciptaan Tuhan.
Adapun yang menjadi harapan kiranya
tulisan ini menjadi satu bahan gambaran bukan saja bagi kaum perempuan, tapi
juga bagi kaum laki-laki yang berminat untuk memahami kesetaraan dan keadilan
gender secara benar dan tidak menyalahi tuntutan kitab suci agama manapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar