Kamis, 19 Desember 2013

Kajian; Islam dan Kapitalisme

"+"


ISLAM AND CAPITALISM



A.  Pendahuluan
Dalam perspektif lembaran sejarah di masa sekarang ini, adalah era yang menakjubkan dibanding dengan era sebelumnya. Penaklukan terhadap alam semesta dapat dengan mudah dilakukan oleh manusia. Semua itu didasari oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Seiring dengan fenomena itu, perubahan sosial dan pertumbuhan peradaban umat manusia menunjukkan keragaman yang cukup kompleks. Kekompleksitasan itu ditunjukkan dengan munculnya berbagai keuntungan dan kelemahan atas perkembangan yang ada. Sebagai contoh adalah; perkembangan industrialisasi dengan berbagai aktifitasnya ditengah masyarakat global ---yang pada akhirnya dianggap--- sebagai indikator modern.[1] Bagaimanapun juga ---tidak menafiqkan-- perkembangan industrialisasi yang demikian itu memicu berbagai dampak sosial ditengah masyarakat global. Disatu sisi memudahkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di sisi lain menimbulkan persoalan baru ---kemanusiaan dan ekosistem alam--- yang tidak sederhana diatasi.
Keadaan yang demikian, apabila tidak segera diantisipasi justru akan menjadi “bumerang” bagi kelangsungan kehidupan umat manusia dan keseimbangan sistem sosial. Namun, sebuah kewajaran bahwa kemudahan dalam pemenuhan hidup manusia mutlak diperlukan. Disisi lain keseimbangan sistem sosial mutlak dipertimbangkan secara holistik. Sehingga hal itu tidak memicu terjadinya gejolak, ketegangan, kecemburuan, konflik horisontal.
Pada perkembangan yang lain, masyarakat dunia tengah dihadirkan oleh fenomena global atau yang dikenal dengan globalisasi. Imbas dari fenomena itu adalah mudahnya manusia untuk saling berhubungan satu dengan yang lain dalam situasi yang mendunia. Dalam proses itu seolah tidak ada lagi pembatas atau jarak diantara mereka. Jauhnya letak georafis, adanya batas wilayah, tidak menjadi penghalang utama. Kemudian, kekhawatiran dari fenomena itu adalah adanya kepentingan ideologi, ekonomi, politik kelompok tertentu sebagai bentuk dari “misionaris global” yang secara bebas dan cepat akan mudah tersosialisasikan keseluruh penjuru dunia ---bisa jadi sampai kepelosok daerah yang sulit dari jangkauan manusia pada umumnya. Realitas demikian akhirnya akan menimbulkan “kekompleksitasan ganda”[2] pada perubahan masyarakat global. Keadaan itu merupakan tantangan berikutnya guna terwujudnya humanisme dalam lingkup sistem sosial.
Guna mengantisipasi kekompleksitasan sistem sosial tersebut, kita perlu belajar dari sirrah (perjalanan sejarah) Nabi Muhammad SAW. Pelajaran yang didapat dari sirrah Nabi SAW itu adalah ketika sesudah hijrahnya beliau dari kota Mekkah ke kota Yasrib ---yang sekarang ini dikenal dengan nama Madinah. Di kota ini, sebagian besar para ahli sejarah berpendapat merupakan awal dari tatanan peradaban Islam yang dibangun oleh Nabi SAW berdasar pada religiusitas (nilai-nilai universalitas) Islam. Langkah awal yang ditempuh Nabi SAW adalah membangun solidaritas umat.[3] Selanjutnya, beliau juga banyak mengajarkan tentang ke-muamalah-an.[4] Di Madinah, Nabi SAW mulai mengimplementasikan ajaran Islam masuk pada wilayah sosial kepada umat Islam. Harapan itu adalah sebagai perwujudan dari tauhid illahiyah yang telah banyak disampaikan saat di kota Makkah.[5] Untuk itu diharapkan, realisasi ke-muamalah-an ini merupakan bentuk kesinambungan dari ajaran ke-tauhid-an seorang muslim. Bagi seorang muslim yang tidak melaksanakan harapan itu, akan mendapat ancaman tersendiri dari Allah SWT. [6]
Atas dasar pemikiran tersebut, maka tujuan hidup seorang muslim adalah beribadah kepada Allah SWT[7] dengan semata-mata mengharap keridho’an-Nya. Pengertian ibadah itu adalah menyangkut seluruh aspek perbuatan manusia dalam rangka menjalankan perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Untuk itu ibadah tidak hanya terbatas pada habblum minallah namun juga habblum minannasnya perlu diwujudkan. Kedua orientasi itu semata membentuk kepribadian muslim yang tidak hanya memiliki kesalehan individu, tetapi juga menjadikan umat yang memiliki kesalehan sosial.
Berangkat atas idealitas tersebut, dalam sistem perekonomian yang menjadi aktifitas utama dalam proses kehidupan manusia dibangun atas dasar nilai-nilai Islam. Islam mengharapkan kekayaan tidak saja didistribusikan dan dinikmati oleh pemilik modal, tetapi kekayaan bisa dikelola oleh seluruh umat manusia tanpa pandang bulu. Demikian juga, Allah SWT telah mewajibkan manusia untuk tidak bermalas-malasan. Disaat selesai menjalankan ibadah kepada Allah, setiap muslim diperintahkan untuk mencari rizqi Allah dimuka bumi dengan cara yang baik.[8]
Idealitas tersebut sistem perekonomian dalam konteks Islam. Lain dengan sistem kapitalis. Kapitalisme merupakan suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu ---termasuk kepemilikan modal diakui sebagai hak pribadi--- adalah milik privat.[9] Orientasi sistem kapitalis cenderung pada sistem pasar. Untuk itu prinsip dasar sistem sosialnya mengarah pada liberalisme/faham kebebasan. Oleh karena itu sistem kapitalisme menekankan pada peran kapital (baca: modal), yakni kekayaan ---dalam segala jenisnya termasuk barang-barang--- digunakan semata-mata demi kelangsungan proses produksi dan demi mencapai tingkat kepuasan masing-masing pribadi.[10] Pandangan kapitalis yang demikian, menjadi paradigma dalam sistem perekonomiannya. Dalam perkembangan selanjutnya, kapitalisme ---di era sekarang--- di identikkan sebagai bagian dari gerakan individualistik dan ini yang menjadi perbedaan tajam dalam prinsip sistem ekonomi Islam.
Fenomena lebih jauh tentang sistem kapitalis tersebut, bila dikaji dengan seksama tentu akan melegalkan semua sektor dalam segala bentuk prilaku sosial yang ukurannya berada pada kepuasan pribadi. Artinya, semua hal dapat dimiliki dan dikelola sesuai dengan selera pribadi yang memiliki modal. Lebih jauh akibat dari realitas yang dilegalkan semacam itu, akan terjadi ketergantungan sosial yang begitu dominan kepada pemilik modal sebagai penguasa. Begitu pula secara sah, sistem sosial yang dikuasai akan dijadikan sebagai alat produksi untuk pengembangan modal demi mencapai kepuasan subyektif (baca: pribadi). Apabila kenyataannya seperti itu, maka manusia dipandang hanya sebagai alat produksi demi kepentingan dan kepuasan pemilik modal. Harkat martabat manusia hanya dipandang dari sisi modal yang dimiliki. Bagi mereka yang tidak memiliki modal, dipandang hina dan tidak memiliki kuasa apapun di dunia ini. Saat itu, hilangnya nilai-nilai kemanusiaan. Hak Asasi Manusia hanya menjadi anggan-angan kosong bagi kaum miskin, orang-orang terlantar bahkan kaum buruh.
Potret atas realialitas tersebut jelas berbeda dengan Islam. Berdasar kenyataan yang ada, makalah ini berusaha mengkaji Islam dan kapitalisme. Lebih jauh akan diakumulasikan dengan fenomena global yang mampu “menghancurkan dan membongkar” paradigma lokal menuju paradigma internasional.

B. Mengenal Faham Kapitalis dan Perkembangannya
Kapitalis[11] merupakan sebuah sistem yang mulai terinstitusi di Eropa. Hal ini pada masa berkembangnya perbankan komersial Eropa. Keadaan itu menjadikan individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat melakukan aktifitas bisnis apapun dan sepenuhnya diakui sebagai milik pribadi ---terutama barang, kekayaan seperti tanah dan tenaga manusia--- pada sebuah pasar bebas. Keberadaan harga di pasar ditentukan oleh permintaan dan penawaran semata tanpa campur tangan dari institusi tertentu. Hal itu demi memperoleh keuntungan yang besar. Kemudian dilanjutkan dengan revolusi industri pada dunia modern awal yang semuanya dipengaruhi oleh asumsi-asumsi kapitalisme. [12]  
Kepentingan individu menjadi motif utamanya. Ini didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas. Akhirnya melahirkan sistem ekonomi Kapitalisme. Kapitalisme merupakan sebuah faham tentang prilaku dalam sistem ekonomi yang dicirikan pada hak privat (baca: individu) atas kepemilikannya terhadap alat-alat produksi dan distribusi ---tanah, pabrik-pabrik, jalan-jalan kereta api, dan sebagainya--- dan pemanfaatannya diorientasikan guna memperoleh laba sebesar mungkin dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif. Sehingga hak milik swasta merupakan elemen paling pokok dari sistem kapitalisme.[13]
Direduksi dalam pengertian yang sederhana, kapitalisme adalah sebuah sistem produksi, distribusi, dan pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi untuk diinvestasikan oleh pemiliknya guna memperoleh keuntungan dan kepuasan pribadi. Desain kapitalisme diarahkan untuk mendorong ekspansi komersial melewati batas-batas lokal menuju skala nasional bahkan diharapkan sampai pada taraf internasional.[14] Untuk itu sistem ekonomi kapitalisme dengan doktrinnya “Liberalisme Pasar”. Dari sini, para kapitalis berusaha mempelajari pola-pola perdagangan, sistem pasar dan bagaimana memanipulasi pasar demi mengejar keuntungan pribadi secara besar-besaran.
Keadaan demikian diperkuat dengan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu pertama kebebasan individu; kedua  kepentingan diri dan ketiga pasar bebas. Kebebasan individu merupakan tiang pokok kapitalisme. Oleh karenanya kaum kapitalis memandang bahwa sikap pertama ketika manusia hidup adalah untuk memenuhi dirinya sendiri, bukan untuk mensejahterakan orang lain.[15] Dengan berbekal pada asumsi itu, muncul adanya pengakuan individu agar diberi bebas berpikir, berkarya dan berproduksi untuk keberlangsungan hidupnya. Pada gilirannya pengakuan institusi akan hak individu, memungkinkan individu untuk memenuhi kepentingan dirinya menurut selera yang dikehendaki. Konsep dasar bebas itu, merupakan aplikasi sosial yang dipengaruhi oleh filsafat natural mekanistik.
Pada hakekatnya, logika penggerak kapitalis ini dipengaruhi dari gerak proses transformasi berkelanjutan. Artinya gerak proses transformasi berkelanjutan adalah “kapital sebagai uang” menjadi “kapital sebagai komoditi”, kemudian diikuti oleh suatu transformasi dari, “kapital sebagai komoditi” menjadi “kapital sebagai uang” yang bertambah.[16] Proses yang berulang dan ekspansif ini memang diarahkan untuk menjadikan barang-barang dan jasa-jasa diarahkan pada proses perniagaan dan produksi. Eksistensi fisik benda dan jasa itu merupakan suatu tantangan yang harus diatasi dengan mengubah komoditi menjadi uang kembali. Bahkan kalau hal itu terjadi ---bila sudah terjual--- maka uang itu pada gilirannya tidak dianggap sebagai produk akhir dari pencarian, tetapi hanya sebagai suatu tahap dalam lingkaran yang tidak pernah ada finish/berakhir.
Beradasarkan pandangan tersebut maka kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang mengatur proses produksi dan pendistribusian barang dan jasa yang semata-mata untuk memperoleh keuntungaan dan demi tercapainya kepuasan subyektif (individu). Dan ciri dari kapitalisme adalah pertama sebagian besar sarana produksi dan distribusi dimiliki oleh individu, kedua barang dan jasa diperdagangkan pada sebuah pasar bebas (free market) yang bersifat kompetitif, ketiga modal kapitalis ---baik uang maupun kekayaan lain--- diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba (profit).
Eksistensi kapitalis ini didukung oleh pandangan Adam Smith[17] bahwa jalan yang terbaik untuk memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individu-individu mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan negara. Bagi Smith bila setiap individu diperbolehkan mengejar kepentingannya sendiri tanpa adanya campur tangan pihak pemerintah, maka ia seakan-akan dibimbing oleh tangan yang tak nampak (the invisible hand), hal itu untuk mencapai yang terbaik untuk membangun kemakmuran masyarakat. [18] Ini juga yang kemudian menjadi prinsip ekonomi kapitalisme yang dikenal dengan laissez faire diartikan sebagai tidak adanya intervensi pemerintah. Berangkat atas pandangan Smith itu, sehingga timbullah individualisme ekonomi dan kebebasan ekonomi. Oleh karena itu kapitalisme sangat erat hubungannya dengan pengejaran kepentingan individu. Dengan kata lain dalam sistem ekonomi kapitalis berlaku "Free Fight Liberalism" (sistem persaingan bebas).  Siapa yang memiliki dan mampu menggunakan kekuatan modal (capital) secara efektif dan efisien akan dapat memenangkan dalam kancah ”percaturan bisnis”. Faham yang mengagungkan kekuatan modal sebagai syarat memenangkan permainan ekonomi disebut sebagai kapitalisme. Pada awal abad 20 kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak diperkirakan sebelumnya.
Keberadaan yang demikian itu, dipicu dengan munculnya “kerajaan-kerajaan” industri yang cenderung menjadi birokratis uniform dan terkonsentrasinya kepemilikan saham (baca: modal) oleh segelintir individu. Kapitalis memaksa pemerintah (Barat) untuk mengintervensi mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan seperti undang-undang anti-monopoli, sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi negara terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggungjawab pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial serta ekonomi merupakan indikasi perubahan bentuk dari kapitalisme menuju neokapitalisme.[19] Transformasi ini, dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara kemakmuran (welfare state) yang mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan tanggungjawab negara untuk kemakmuran sosial.

C. Efek atas Globalisasi
Kata globalisasi dalam kamus ilmiah, mengandung makna proses pengglobalan pada seluruh aspek kehidupan secara menyeluruh di segala aspek kehidupan[20].  Demikian juga menurut Ishomuddin menyampaikan bahwa globalisasi berasal dari kata “globe” yang berarti “baca dunia”. Dari pemahaman ini, globalisasi dipandang pula sebagai gerakan mendunia yakni suatu perkembangan pembentukan sistem dan nilai-nilai kehidupan yang bersifat global.[21]
Pemahaman tersebut memberikan gambaran bahwa salah satu manifestasi globalisasi adalah terciptanya masyarakat terbuka. Yakni runtuhnya sekat-sekat yang membatasi pergaulan antar bangsa, apakah itu sekat politik, ekonomi, sekat budaya bahkan sekat wilayah teritorial.[22] Keadaan demikian ---bagi negara-negara di dunia--- pengaruh globalisasi[23] dalam perspektif ekonomi, berpeluang mampu menciptakan sistem yang berkembang secara ekspansif (meluas). Hal ini akibat dari mudahnya arus barang, jasa, modal juga didukung dengan meningkatnya teknologi dan informasi yang canggih.[24]
Proses Demikian, jelas menimbulkan  sebuah kekhawatiran tersendiri ---utamanya--- bagi negara-negara berkembang atau bahkan negara miskin ---baik secara kualitatif maupun kuantitatifnya. Sebab hal itu memungkinkan bagi suatu negara dengan kondisi yang sangat terbatas. Mereka (baca: negara) tidak memiliki daya saing memadai untuk dijadikan sebagai modal kompetitif pada tingkatan global. Selanjutnya keadaan demikian, akan menimbulkan masalah baru dan bisa menjadi titik rawan dalam perkembangan bangsa itu sendiri di masa mendatang. Parahnya lagi, akan menjadi bangsa yang semakin memiliki ketergantungan terhadap bangsa lain. Negara semacam itu tidak memiliki kemandirian dan identitas sebagai bangsa yang merdeka, walaupun dalam kenyataannya adalah negara yang berdaulat.
Fenomena tersebut dikarenakan negara semacam itu akan “didekte/di-kendali-kan” oleh negara berkuasa dalam arti negara yang memiliki “modal” cukup dalam persaingan global. Ketika gerakan globalisasi tengah melanda (mengejala) di berbagai belahan wilayah di dunia, bagi negara yang memiliki modal besar tentu sangat mudah untuk mengembangkan pengaruhnya secara ekspansif di berbagai belahan dunia. Namun, realitas tersebut mau tidak mau harus di terima oleh berbagai negara dibelahan dunia, sebagai sebuah konsekwensi logis yang harus dihadapi.
Kondusifitas di era globalisasi memungkinkan sesuatu yang demikian, karena era globalisasi digambarkan suatu abad (masa) ---dengan bentuk tatanan masyarakatnya--- yang mampu menerobos tabir, wilayah, sekat walaupun secara geografis berjauhan. Hal ini menjadikan manusia di dunia seolah menjadi satu keluarga. Sebagai contoh, apa yang terjadi sekarang di masyarakat kutub utara mampu diketahui di berbagai pelosok negeri pada saat itu juga. Proses komunikasi antar manusia dalam berbagai dimensi kehidupan akan bebas dari segala bentuk hambatan yang menghalanginya.[25] Hal yang demikian, menunjukkan kehidupan manusia dibelahan bumi ini seolah mengerut/mengecil, tidak lagi bicara tentang atom tetapi lebih kecil lagi adalah bicara soal “bit”. Kondisi demikian semakin memperkecil wilayah keberadaan manusia, namun secara nyata tetap pada dimensi yang lebih luas.[26]
Bila dikaji lebih lanjut ---boleh jadi--- titik awal mula munculnya globalisasi merupakan trend tersendiri pada suatu masyarakat dunia guna menciptakan kemapanan dalam kehidupannya. Ini terlihat pada awal mula bahwa gerakan globalisasi bertujuan untuk menciptakan jaringan bisnis (perdagangan) internasional guna kepentingan umat manusia. Hal itu dilakukan tanpa mempertimbangkan status dimana dan dari mana mereka berasal, yang penting arus barang dan jasa mampu menjangkau pelosok-pelosok dunia tanpa terkecuali.[27]
Realitas yang diharapkan berbalik ketika proses globalisasi “diboncengi” oleh kelompok tertentu yang mengarah pada semangat paradigma kapitalis. Gerakan globalisasi bukan lagi menjadi sebuah kemajuan umat manusia, tetapi justru sebaliknya. Karena proses globalisasi dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok pemilik modal. Terlebih adanya peluang guna menguasasi dan menindas masyarakat atau negara lain yang belum siap dengan era global.
Berangkat atas dasar realitas itu, jelas bahwa bangsa-bangsa yang memiliki daya saing tinggi ---baik dari segi SDM maupun modal--- mendapat peluang cukup untuk bermain dalam kancah ekonomi global. Sehingga bangsa tersebut mendapatkan keuntungan dan selanjutnya mampu memainkan peranan yang cukup berarti dalam skala internasional.
Lebih ironisnya lagi, gerakan globalisasi didukung oleh kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) terutama bidang komunikasi. Berbekal pada kemajuan IPTEK, globalisasi mampu menciptakan suasana kondusif guna tersebarnya kepentingan negara berkuasa (pemilik modal). Keadaan ini yang mulai menggeser paradigma globalisasi pada awal mulanya sebagai bentuk proses humanisasi menjadi dehumanisasi, dan juga dijadikan sebagai paradigma baru yakni hegemoni global untuk sebuah “pertarungan” internasional.
Paduan antara era globalisasi dan kemajuan IPTEK ---terutama kemajuan informasi--- semakin terasa dampaknya diseluruh pelosok dunia. Itu disebabkan kemajuan di bidang informasi akan memungkinkan tiap individu memperoleh informasi dari berbagai belahan dunia manapun di era global dalam waktu yang cukup singkat. Keadaan ini pada akhirnya menjadikan intensitas interaksi antar individu akan semakin meningkat.
Berdasar pada realitas tersebut tampak jelas bahwa globalisasi membawa akibat yang cukup signifikan bagi perubahan masyarakat. Kenyataan demikian jelas akan mampu membawa dampak baru terhadap pola fikir, budaya, nilai, gaya hidup dan lain sebagainya sebagai sebuah trend global. Misalnya saja, globalisasi di bidang informasi; akan mempercepat penambahan wawasan tentang khasanah pengetahuan manusia serta memperkaya masukan sebagai bahan pilihan yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang berguna demi kemaslakhatan kehidupan manusia itu sendiri. Akan tetapi disisi lain ---tanpa disadari oleh banyak fihak--- akibat dengan mengglobalnya akses informasi tidak menutup kemungkinan didalamnya memuat pula misi atau kepentingan-kepentingan tertentu yang justru menimbulkan ketegangan dan gejolak sosial yang semakin memperparah keadaan.

D. Islam sebagai Sistem Ekonomi

Islam sebagai sistem ekonomi yang berarti juga sistem ekonomi Islam, tidak bisa dilepaskan dari paradigma Islam yang sesuai dengan nurani dan fitrah manusia. Secara naluriah manusia, senang terhadap harta kekayaan dan mengelola harta agar menjadi bertambah. Untuk itu, Islam mengatur keduanya ---yakni kepemilikan dan pengelolaannya--- dilakukan secara wajar. Kenyataan itu menjadikan Islam sebagai sumber dari paradigma alternati[28] tentang sistem ekonomi Islam. Maka, mustahil membangun paradigma sistem ekonomi Islam tanpa memperhatikan paradigma Islam.

Secara ideologis normatif, Islam diturunkan Allah SWT dimaksudkan untuk mengatur hidup manusia guna terwujudnya ketentraman hidup. Islam tidak sekedar memenuhi kebutuhan  ---atau keinginan, serta menjadikan perolehan kebahagiaan--- sebagai nilai ekonomis yang hendak dicapai manusia. Oleh karenanya, Islam dalam membangun paradigma sistem ekonominya berhubungan dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah sebagai kaidah dasarnya. Membatasi perbuatan ekonomi dengan hukum syara’ sebagai undang-undang (baca: nilai ideal) yang hendaknya diperhatikan. Inilah pengertian kegiatan ekonomi dalam Islam sebagai bagian dari ibadah kepada Allah yang implikasinya tidak terhenti di dunia, tetapi sampai pada orientasi transendennya guna menuju kampung akhirat.

Mencermati perkembangan dunia global, sistem ekonomi merupakan masalah pilihan ---kapitalis, sosialis atau islami--- yang tergantung pada masing-masing individu. Dalam sistem ekonomi Islam, perlu diperhatikan tentang masalah-masalah pengelolaan secara proporsional (tidak berlebihan) guna memperoleh keseimbangan sosial. Pengelolaan secara proporsional ini yang tidak ada dalam sistem ekonomi lain. Hal ini diperhatikan, karena nilai-nilai Islam berada pada posisi yang netral. Artinya, tidak semata-mata menguntungkan bagi para memilik modal di satu fihak ataupun difihak lain bagi para pekerjanya. Dan juga pengelolaan para pemilik modal terhadap alam semesta. Namun keduanya ---dari kegiatan ekonomi tersebut---  tidak saling dirugikan.
Demikian juga persoalan pendidtribusian harta kekayaan (modal). Islam sangat mengutuk keras bagi orang-orang yang menumpuk-numpuk harta kekayaan. Oleh karena itu, Islam menyebutkan bahwa dalam suatu kekayaan yang diperoleh seseorang ada hak orang lain.[29] Dalam konteks itu, bahasa yang digunakan oleh Islam adalah ”hak”. Apabila ditelaah lebih jauh, istilah ”hak” merupakan sebuah keharusan yang harus diberikan kepada yang memiliki kewajiban.
Berdasarkan pada konteks tersebut sistem ekonomi Islam dibangun atas tiga kaidah utama, yaitu; kepemilikan (property), pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat.[30] Menyangkut tentang kepemilikan, pada dasarnya dalam teologi Islam memandang bahwa segala sesuatu adalah milik Allah SWT. Namun, Allah SWT mengizinkan kepada manusia untuk memiliki kekayaan dengan sebab-sebab tertentu.[31] Dalam hal pengelolaan kepemilikan, Allah memberikan ijin kepada manusia untuk mengelolanya.[32] Sementara mekanisme distribusi kekayaan kepada individu di tengah-tengah masyarakat mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta transaksi-transaksi yang dibenarkan syariat. Agar tidak terjadi ketimpangan distribusi, syari’at melarang perputaran kekayaan hanya di antara orang-orang kaya saja..
Demikian pertimbangan Islam tentang konsep ekonominya. Dalam era global, manusia diharapkan tidak saja menguasai dan mengelola kekayaannya menurut selera. Manusia perlu juga memikirkan tentang keadaan sosial dan kemakmuran ekosistem alam secara baik. Semuanya itu merupakan pertimbangan yang hendaknya perlu diwujudkan. Perubahan global yang sangat kompleks menuntut manusia untuk lebih arif dalam pengambilan keputusan. Pertimbangan yang holistik itu juga demi menjaga kemaslakhatan umat manusia itu sendiri.

E. Penutup
Demikian sajian tentang Islam dan kapitalisme. Keduanya memiliki corak dan keberbedaan. Namun demikian sajian ini semoga mampu memberikan khasanah baru dan bermanfaat tentang dinamika keadaan sosial dan masing-masing mampu melakukan pendekatan yang terbaik demi terciptanya kemaslakhatan umat manusia. Sengaja penulis tidak memberikan kesimpulan pada akhir makalah, karena kesimpulan pasti ada di setiap peserta setelah selesainya sajian ini.


DAFTAR PUSTAKA

A. Giddens, The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity Press, 1990.

Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan, Islam Globalization and Postmodernity, London: Routledge, 1994

Bagus, L., Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.

Dadang S. Anshori, Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, Bandung: Al Qopriat Jatinangor, 2000.

Eka Wahyu.K. dan Azis Suganda, Pendidikan Tinggi Era Indonesia Baru, Jakarta: Grasindo, 1999.

H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1999.

Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme,  Jakarta: LP3ES, 1991.

Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme, Jakarta: LP3ES, 1991.

http: //Id.wikipedia.org/wiki/Max_Weber.


Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, Malang: UMM Press, 1996.

M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.

Rand A., Capitalism: The Unknown Ideal, New York : Signet Book, 1979.

Robert E. Lerner, Western Civilization, London:  Volume 2, XXI, 1988.

Robert L. Heilbroner,  Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, Yogyakarta: UI Press, 1986.

Robert W. Hefner, Budaya Pasar; Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru, Jakarta: LP3ES, 1999.



[1] Masyarakat modern berbeda dengan masyarakat tradisonalis. Perbedaan antara masyarakat modern dengan masyarakat tradisonalis dapat dilihat cirinya adalah sebagai berikut;  ciri pada masyarakat modern adalah; pertama Berfikir secara rasional (mengutamakan akal), kedua Menghargai terhadap proses/kerja sebagai usaha,  ketiga Mengedepankan unsur efektif dan efisien dalam segala hal, keempat Lebih mempertimbangkan fungsionalisme dalam bekerja/proses. Sementara pada masyarakat tradisionalis, adalah; pertama Tidak menggunakan akal secara maksimal (cenderung berfikir emosional), kedua Mengesampingkan proses dan lebih berfikir praktis (hasil), ketiga Tidak mempertimbangkan unsur efektif dan efisien, keempat Tidak memperhatikan nilai fungsionalnya dalam bekerja (melakukan proses).
[2] Istilah “kekompleksitasan ganda” adalah kelanjutan dari tantangan sebelumnya akibat perkembangan IPTEK dan tumbuhnya industrialisasi yang sebelumnya telah dijelaskan.
[3] Simak saja setibanya Nabi di kota Yasrib beliau mengopinikan orang muslim Mekkah yang ikut hijrah bersama Nabi SAW sebagai “saudara” dengan orang muslim Yasrib. Bila dipahami lebih dalam makna dari kata “saudara”, menggambarkan sebagai orang-orang yang memiliki “hubungan” dekat atau meminjam istilah dalam ilmu antropologi, kata “saudara” menunjukkan adanya hubungan kekerabatan/keluarga/famili. Dari sini seolah Nabi ingin membangun pemahaman bersama diantara orang muslim Mekkah (kelompok muhajirin) dan orang muslim Yasrib (kelompok Anshor) sebagai satu komunitas yang akrab, kenal, memahami meskipun dalam kenyataannya tidak demikian. Keberbedaan suku, golongan, adat, budaya tidak menjadi penghalang yang signifikan dalam menciptakan atau membangun sebuah “keluarga besar”. Padahal, pada masa itu persoalan-persoalan demikian sangat sensitif dan menjadi “jurang” pemisah yang cukup lebar dalam membentuk kebersamaan/rasa solidaritas di Bangsa Arab.
[4]Sejak Nabi Muhammad SAW berada di Yasrib, beliau banyak mengajarkan berbagai hal tentang hubungan sosial kemasyarakatan di sekitar lingkungannya. Bahkan dalam catatan sejarah Nabi SAW ini, beliau sempat membuat kesepatakan bersama yang dikenal dengan nama Piagam Madinah. Meskipun berlakunya piagam itu hanya beberapa saat saja karena adanya kelompok yang mengkhianati. Walaupun perjanjian itu tidak berlangsung lama, diakui oleh ahli sejarah bahwa fenomena itu merupakan sebuah loncatan pemikiran Muhammad yang dianggap modern ditengah tenggelamnya peradaban dunia yang sebagian besar masih dianggap primitif.
[5] Diketahui bahwa saat di Makkah, Nabi SAW membangun tauhid sebagai dasar atau ruh umat Islam guna membangun tatanan sosial yang Islami. Nilai ajaran inipun tercermin dalam rukun Islam. Dalam rukun itu disebutkan bahwa yang pertama adalah mengucapkan 2 kalimat syahadat. Ini menunjukkan bahwa sebelum seseorang diakui menjadi umat Islam, dirinya harus mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammmad adalah utusan-Nya. Ini merupakan harga mati sebagai tiket masuk menjadi umat Islam.
[6] Salah satu contoh tegas Al qur’an dijelaskan dalam surat Al Maa’un: 1-7. Artinya; 1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?, 2) Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3) dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, 4) Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5) (yaitu) Orang-orang yang lalai dari shalatnya, 6) Orang-orang yang berbuat riya, 7) Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. Dari Ayat ini dipahami bahwa Allah SWT mengkategorikan orang-orang yang termasuk mendustakan Agama (baca: Islam) adalah mereka tidak memiliki kepedulian/kepekaan sosial. Untuk itu, mereka benar-benar diancam oleh Allah SWT dan termasuk kategori orang-orang yang mendustakan agama.
[7] QS. Adz Dzaariyat: 56
[8] QS: Al Jum’ah: 10.
[9] Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme, (Jakarta: LP3ES, 1991), 25.
[10] Bagus, L., Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), 71.
[11] Faham Kapitalisme berasal dari Inggris abad 18, kemudian menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara. Ini sebagai akibat dari perlawanan terhadap ajaran gereja yang sangat dominan dalam menentukan kebijakan sosial pada masa itu. Maka faham kapitalis tumbuh dan berkembang yang cenderung pada arah pemikiran liberalisme di negara-negara Eropa Barat. Aliran ini kemudian merambah ke segala bidang termasuk di bidang ekonomi. Dasar filosofis pemikiran ekonomi kapitalis bersumber dari tulisan Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada tahun 1776.  Isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat yang cenderung pada kebebasan dan demi meraih kepuasan. Smith berasumsi bahwa motif manusia melakukan kegiatan ekonomi adalah atas dasar dorongan kepentingan pribadi, yang bertindak sebagai tenaga pendorong yang membimbing manusia dalam mengerjakan apa saja asal masyarakat bersedia membayar, jadi; "Bukan berkat kemurahan tukang daging, tukang pembuat bir, atau tukang pembuat roti kita dapat makan siang," kata Smith, "Akan tetapi karena mereka memperhatikan kepentingan pribadi mereka. Kita berbicara bukan kepada rasa perikemanusiaan mereka, melainkan kepada cinta mereka kepada diri mereka sendiri, dan janganlah sekali-kali berbicara tentang keperluan-keperluan kita, melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka”. Robert L. Heilbroner,  Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, (Yogyakarta: UI Press, 1986), 98.
[12] http: //Id.wikipedia.org/wiki/Max_Weber.
[13] Robert W. Hefner, Budaya Pasar; Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru, (Jakarta: LP3ES, 1999), xi.
[14] Ibid,  58.
[15] Rand A., Capitalism: The Unknown Ideal, (New York : Signet Book, 1979), 72.
[16] Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme,  (Jakarta: LP3ES, 1991), 46.
[17] Adam Smith diakui sebagai tonggak utama munculnya ide-ide kapitalisme yang mengekspresikan gagasan "laissez faire" (kebebasan tanpa campurtangan birokrasi) dalam kegiatan ekonomi.
[18] Robert E. Lerner, Western Civilization, (London:  Volume 2, XXI, 1988), 39.
[19] Dari kapitalis klasik yang menekankan kegiatan ekonomi terpusat pada pasar, kemudian berubah bentuk menjadi kapitalis modern yang menggunakan kegiatan ekonominya pada sistem-sistem industri dan selanjutnya mengubah wajahnya menjadi neokapitalis dengan menggunakan birokrasi sebagai bagian dari instrumen (kekuasaan) mereka untuk mengendalikan pasar guna kepentingan para pemilik modal.
[20] M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 203.
[21] Lihat Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, (Malang: UMM Press, 1996), 16.
[22] Baca Dadang S. Anshori, Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, (Bandung: Al Qopriat Jatinangor, 2000), 273.
[23] Pada dasarnya, globalisasi merupakan kelanjutan dari perkembangan sistem kapitalisme yang ditandai dengan globalisasi pasar, investasi dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan Transnasional. Secara lebih tegasnya bahwa yang dimaksud dengan globalisasi adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasar kenyakinan perdagangan bebas. Embrio dari gerakan ini adalah berawal dari faham kolonialisme.
[24] Istilah canggih diidentikkan dengan seperangkat teknologi yang dengan simpelnya mampu digunakan manusia secara mudah,cepat, efektif dan efisien dalam mencapai sesuatu yang diinginkan.
[25] Sebagaimana dijelaskan oleh Akbar S. Ahmed dan H. Donnan bahwa globalisasi pada prinsipnya mengacu pada perkembangan yang sangat cepat dengan didukung oleh kecanggihan teknologi baik teknologi komunikasi, transformasi dan informasi mampu membawa ke bagian sudut-sudut dunia manapun secara mudah, Baca  Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan, Islam Globalization and Postmodernity, (London: Routledge, 1994), 1-2. Baca juga A. Giddens, The Consequences of Modernity, (Cambridge: Polity Press, 1990), 64.
[26] Baca H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1999), 52.
[27] Baca Eka Wahyu.K. dan Azis Suganda, Pendidikan Tinggi Era Indonesia Baru, (Jakarta: Grasindo, 1999), 5.
[28] Paradigma alternatif  karena sudah ada paradigma selain Islam sebagai faham yang dipraktekkan dalam lintasan sejarah umat manusia di dunia.
[29] QS. Adz Dzaariyaat: 19 dan Al An’am: 141.
[31] QS. Al Qashash: 77.
[32] QS. Hud: 61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar