ISLAM AND
CAPITALISM
A.
Pendahuluan
Dalam
perspektif lembaran sejarah di masa sekarang ini, adalah era yang menakjubkan
dibanding dengan era sebelumnya. Penaklukan terhadap alam semesta dapat dengan
mudah dilakukan oleh manusia. Semua itu didasari oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (IPTEK). Seiring dengan fenomena itu, perubahan sosial dan
pertumbuhan peradaban umat manusia menunjukkan keragaman yang cukup kompleks.
Kekompleksitasan itu ditunjukkan dengan munculnya berbagai keuntungan dan kelemahan
atas perkembangan yang ada. Sebagai contoh adalah; perkembangan industrialisasi
dengan berbagai aktifitasnya ditengah masyarakat global ---yang pada akhirnya dianggap---
sebagai indikator modern.[1] Bagaimanapun juga ---tidak
menafiqkan-- perkembangan industrialisasi yang demikian itu memicu berbagai
dampak sosial ditengah masyarakat global. Disatu sisi memudahkan manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, namun di sisi lain menimbulkan
persoalan baru ---kemanusiaan dan ekosistem alam--- yang tidak sederhana
diatasi.
Keadaan
yang demikian, apabila tidak segera diantisipasi justru akan menjadi “bumerang”
bagi kelangsungan kehidupan umat manusia dan keseimbangan sistem sosial. Namun,
sebuah kewajaran bahwa kemudahan dalam pemenuhan hidup manusia mutlak diperlukan.
Disisi lain keseimbangan sistem sosial mutlak dipertimbangkan secara holistik. Sehingga
hal itu tidak memicu terjadinya gejolak, ketegangan, kecemburuan, konflik horisontal.
Pada
perkembangan yang lain, masyarakat dunia tengah dihadirkan oleh fenomena global
atau yang dikenal dengan globalisasi. Imbas dari fenomena itu adalah mudahnya
manusia untuk saling berhubungan satu dengan yang lain dalam situasi yang
mendunia. Dalam proses itu seolah tidak ada lagi pembatas atau jarak diantara
mereka. Jauhnya letak georafis, adanya batas wilayah, tidak menjadi penghalang
utama. Kemudian, kekhawatiran dari fenomena itu adalah adanya kepentingan
ideologi, ekonomi, politik kelompok tertentu sebagai bentuk dari “misionaris
global” yang secara bebas dan cepat akan
mudah tersosialisasikan keseluruh penjuru dunia ---bisa jadi sampai
kepelosok daerah yang sulit dari jangkauan manusia pada umumnya. Realitas
demikian akhirnya akan menimbulkan “kekompleksitasan ganda”[2] pada perubahan masyarakat
global. Keadaan itu merupakan tantangan berikutnya guna terwujudnya humanisme
dalam lingkup sistem sosial.
Guna mengantisipasi
kekompleksitasan sistem sosial tersebut, kita perlu belajar dari sirrah (perjalanan
sejarah) Nabi Muhammad SAW. Pelajaran yang didapat dari sirrah Nabi
SAW itu adalah ketika sesudah hijrahnya beliau dari kota Mekkah ke kota Yasrib
---yang sekarang ini dikenal dengan nama Madinah. Di kota ini, sebagian besar para
ahli sejarah berpendapat merupakan awal dari tatanan peradaban Islam yang
dibangun oleh Nabi SAW berdasar pada religiusitas (nilai-nilai
universalitas) Islam. Langkah awal yang ditempuh Nabi SAW adalah membangun
solidaritas umat.[3]
Selanjutnya, beliau juga banyak mengajarkan tentang ke-muamalah-an.[4] Di Madinah, Nabi SAW mulai
mengimplementasikan ajaran Islam masuk pada wilayah sosial kepada umat Islam.
Harapan itu adalah sebagai perwujudan dari tauhid illahiyah yang telah banyak
disampaikan saat di kota Makkah.[5] Untuk itu diharapkan,
realisasi ke-muamalah-an ini merupakan bentuk kesinambungan dari ajaran
ke-tauhid-an seorang muslim. Bagi seorang muslim yang tidak melaksanakan
harapan itu, akan mendapat ancaman tersendiri dari Allah SWT. [6]
Atas dasar pemikiran
tersebut, maka tujuan hidup seorang muslim adalah
beribadah kepada Allah SWT[7] dengan
semata-mata mengharap keridho’an-Nya. Pengertian ibadah itu adalah menyangkut
seluruh aspek perbuatan manusia dalam rangka menjalankan perintah Allah dan
menjauhi seluruh larangan-Nya. Untuk itu ibadah tidak hanya terbatas pada habblum
minallah namun juga habblum minannasnya perlu diwujudkan. Kedua orientasi
itu semata membentuk kepribadian muslim yang tidak hanya memiliki kesalehan
individu, tetapi juga menjadikan umat yang memiliki kesalehan sosial.
Berangkat atas idealitas tersebut, dalam sistem perekonomian yang menjadi
aktifitas utama dalam proses kehidupan manusia dibangun atas dasar nilai-nilai Islam.
Islam mengharapkan kekayaan tidak saja didistribusikan dan dinikmati oleh
pemilik modal, tetapi kekayaan bisa dikelola oleh seluruh umat manusia tanpa
pandang bulu. Demikian juga, Allah SWT telah mewajibkan manusia untuk tidak
bermalas-malasan. Disaat selesai menjalankan ibadah kepada Allah, setiap muslim
diperintahkan untuk mencari rizqi Allah dimuka bumi dengan cara yang baik.[8]
Idealitas tersebut sistem perekonomian dalam konteks Islam. Lain dengan sistem
kapitalis. Kapitalisme merupakan suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu ---termasuk
kepemilikan modal diakui sebagai hak pribadi--- adalah milik privat.[9] Orientasi sistem kapitalis
cenderung pada sistem pasar. Untuk itu prinsip dasar sistem sosialnya mengarah
pada liberalisme/faham kebebasan. Oleh karena itu sistem kapitalisme menekankan
pada peran kapital (baca: modal), yakni kekayaan ---dalam segala jenisnya
termasuk barang-barang--- digunakan semata-mata demi kelangsungan proses produksi
dan demi mencapai tingkat kepuasan masing-masing pribadi.[10] Pandangan kapitalis yang
demikian, menjadi paradigma dalam sistem perekonomiannya. Dalam perkembangan
selanjutnya, kapitalisme ---di era sekarang--- di identikkan sebagai bagian
dari gerakan individualistik dan ini yang menjadi perbedaan tajam dalam prinsip
sistem ekonomi Islam.
Fenomena lebih
jauh tentang sistem kapitalis tersebut, bila dikaji dengan seksama tentu akan
melegalkan semua sektor dalam segala bentuk prilaku sosial yang ukurannya
berada pada kepuasan pribadi. Artinya, semua hal dapat dimiliki dan dikelola
sesuai dengan selera pribadi yang memiliki modal. Lebih jauh akibat dari
realitas yang dilegalkan semacam itu, akan terjadi ketergantungan sosial yang
begitu dominan kepada pemilik modal sebagai penguasa. Begitu pula secara sah,
sistem sosial yang dikuasai akan dijadikan sebagai alat produksi untuk
pengembangan modal demi mencapai kepuasan subyektif (baca: pribadi). Apabila
kenyataannya seperti itu, maka manusia dipandang hanya sebagai alat produksi
demi kepentingan dan kepuasan pemilik modal. Harkat martabat manusia hanya dipandang
dari sisi modal yang dimiliki. Bagi mereka yang tidak memiliki modal, dipandang
hina dan tidak memiliki kuasa apapun di dunia ini. Saat itu, hilangnya
nilai-nilai kemanusiaan. Hak Asasi Manusia hanya menjadi anggan-angan kosong
bagi kaum miskin, orang-orang terlantar bahkan kaum buruh.
Potret atas
realialitas tersebut jelas berbeda dengan Islam. Berdasar kenyataan yang ada,
makalah ini berusaha mengkaji Islam dan kapitalisme. Lebih jauh akan diakumulasikan
dengan fenomena global yang mampu “menghancurkan dan membongkar” paradigma
lokal menuju paradigma internasional.
B. Mengenal Faham Kapitalis dan
Perkembangannya
Kapitalis[11] merupakan sebuah sistem
yang mulai terinstitusi di Eropa. Hal ini pada masa berkembangnya perbankan
komersial Eropa. Keadaan itu menjadikan individu maupun
kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat melakukan
aktifitas bisnis apapun dan sepenuhnya diakui sebagai milik pribadi ---terutama
barang, kekayaan seperti tanah
dan tenaga manusia--- pada sebuah pasar bebas.
Keberadaan harga di pasar ditentukan oleh permintaan dan penawaran semata tanpa campur tangan dari institusi tertentu.
Hal itu demi memperoleh keuntungan yang besar. Kemudian dilanjutkan dengan revolusi
industri pada dunia modern awal yang semuanya dipengaruhi oleh asumsi-asumsi
kapitalisme. [12]
Kepentingan individu menjadi motif utamanya. Ini didorong oleh filsafat
liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas. Akhirnya melahirkan
sistem ekonomi Kapitalisme. Kapitalisme merupakan sebuah faham tentang prilaku
dalam sistem ekonomi yang dicirikan pada hak privat (baca: individu) atas kepemilikannya
terhadap alat-alat produksi dan distribusi ---tanah, pabrik-pabrik, jalan-jalan
kereta api, dan sebagainya--- dan pemanfaatannya diorientasikan guna memperoleh
laba sebesar mungkin dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif. Sehingga hak
milik swasta merupakan elemen paling pokok dari sistem kapitalisme.[13]
Direduksi dalam pengertian yang sederhana, kapitalisme adalah sebuah sistem
produksi, distribusi, dan pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi untuk diinvestasikan
oleh pemiliknya guna memperoleh keuntungan dan kepuasan pribadi. Desain kapitalisme
diarahkan untuk mendorong ekspansi komersial melewati batas-batas lokal menuju
skala nasional bahkan diharapkan sampai pada taraf internasional.[14] Untuk
itu sistem ekonomi kapitalisme dengan doktrinnya “Liberalisme Pasar”. Dari
sini, para kapitalis berusaha mempelajari pola-pola perdagangan, sistem pasar
dan bagaimana memanipulasi pasar demi mengejar keuntungan pribadi secara
besar-besaran.
Keadaan
demikian diperkuat dengan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu pertama kebebasan
individu; kedua kepentingan diri
dan ketiga pasar bebas. Kebebasan individu merupakan tiang pokok
kapitalisme. Oleh karenanya kaum kapitalis memandang bahwa sikap pertama ketika
manusia hidup adalah untuk memenuhi dirinya sendiri, bukan untuk mensejahterakan
orang lain.[15]
Dengan berbekal pada asumsi itu, muncul adanya pengakuan individu agar diberi bebas
berpikir, berkarya dan berproduksi untuk keberlangsungan hidupnya. Pada
gilirannya pengakuan institusi akan hak individu, memungkinkan individu untuk
memenuhi kepentingan dirinya menurut selera yang dikehendaki. Konsep dasar
bebas itu, merupakan aplikasi sosial yang dipengaruhi oleh filsafat natural
mekanistik.
Pada
hakekatnya, logika penggerak kapitalis ini dipengaruhi dari gerak proses transformasi
berkelanjutan. Artinya gerak proses transformasi berkelanjutan adalah “kapital
sebagai uang” menjadi “kapital sebagai komoditi”, kemudian diikuti oleh suatu
transformasi dari, “kapital sebagai komoditi” menjadi “kapital sebagai uang”
yang bertambah.[16]
Proses yang berulang dan ekspansif ini memang diarahkan untuk menjadikan barang-barang
dan jasa-jasa diarahkan pada proses perniagaan dan produksi. Eksistensi fisik
benda dan jasa itu merupakan suatu tantangan yang harus diatasi dengan mengubah
komoditi menjadi uang kembali. Bahkan kalau hal itu terjadi ---bila sudah
terjual--- maka uang itu pada gilirannya tidak dianggap sebagai produk akhir
dari pencarian, tetapi hanya sebagai suatu tahap dalam lingkaran yang tidak
pernah ada finish/berakhir.
Beradasarkan
pandangan tersebut maka kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang mengatur
proses produksi dan pendistribusian barang dan jasa yang semata-mata untuk
memperoleh keuntungaan dan demi tercapainya kepuasan subyektif (individu). Dan
ciri dari kapitalisme adalah pertama sebagian besar sarana produksi dan
distribusi dimiliki oleh individu, kedua barang dan jasa diperdagangkan pada
sebuah pasar bebas (free market) yang bersifat kompetitif, ketiga modal
kapitalis ---baik uang maupun kekayaan lain--- diinvestasikan ke dalam berbagai
usaha untuk menghasilkan laba (profit).
Eksistensi
kapitalis ini didukung oleh pandangan Adam Smith[17] bahwa jalan yang terbaik
untuk memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individu-individu mengejar
kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan negara. Bagi Smith bila setiap individu diperbolehkan mengejar
kepentingannya sendiri tanpa adanya campur tangan pihak pemerintah, maka ia
seakan-akan dibimbing oleh tangan yang tak nampak (the invisible hand),
hal itu untuk mencapai yang terbaik untuk membangun kemakmuran masyarakat. [18]
Ini juga
yang kemudian menjadi prinsip ekonomi kapitalisme yang dikenal dengan laissez
faire diartikan sebagai tidak adanya intervensi pemerintah. Berangkat atas
pandangan Smith itu, sehingga timbullah individualisme ekonomi dan kebebasan
ekonomi. Oleh karena itu kapitalisme sangat erat
hubungannya dengan pengejaran kepentingan individu. Dengan kata lain dalam
sistem ekonomi kapitalis berlaku "Free Fight Liberalism"
(sistem persaingan bebas). Siapa yang memiliki dan mampu menggunakan
kekuatan modal (capital) secara efektif dan efisien akan dapat
memenangkan dalam kancah ”percaturan bisnis”. Faham yang mengagungkan kekuatan
modal sebagai syarat memenangkan permainan ekonomi disebut sebagai kapitalisme.
Pada awal abad 20 kapitalisme
harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak diperkirakan
sebelumnya.
Keberadaan
yang demikian itu, dipicu dengan munculnya “kerajaan-kerajaan” industri yang
cenderung menjadi birokratis uniform dan terkonsentrasinya kepemilikan saham
(baca: modal) oleh segelintir individu. Kapitalis memaksa pemerintah (Barat) untuk
mengintervensi mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan seperti
undang-undang anti-monopoli, sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan.
Fenomena intervensi negara terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggungjawab
pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial serta ekonomi merupakan indikasi perubahan
bentuk dari kapitalisme menuju neokapitalisme.[19] Transformasi ini,
dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan
ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara kemakmuran (welfare state)
yang mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan tanggungjawab negara
untuk kemakmuran sosial.
C. Efek atas Globalisasi
Kata
globalisasi dalam kamus ilmiah, mengandung makna proses pengglobalan
pada seluruh aspek kehidupan secara menyeluruh di segala aspek kehidupan[20]. Demikian juga menurut Ishomuddin menyampaikan
bahwa globalisasi berasal dari kata “globe” yang berarti “baca dunia”. Dari
pemahaman ini, globalisasi dipandang pula sebagai gerakan mendunia yakni suatu
perkembangan pembentukan sistem dan nilai-nilai kehidupan yang bersifat global.[21]
Pemahaman
tersebut memberikan gambaran bahwa salah satu manifestasi globalisasi adalah
terciptanya masyarakat terbuka. Yakni runtuhnya sekat-sekat yang membatasi
pergaulan antar bangsa, apakah itu sekat politik, ekonomi, sekat budaya bahkan
sekat wilayah teritorial.[22] Keadaan demikian ---bagi negara-negara
di dunia--- pengaruh globalisasi[23] dalam perspektif ekonomi,
berpeluang mampu menciptakan sistem yang berkembang secara ekspansif (meluas).
Hal ini akibat dari mudahnya arus barang, jasa, modal juga didukung dengan meningkatnya
teknologi dan informasi yang canggih.[24]
Proses Demikian, jelas menimbulkan sebuah
kekhawatiran tersendiri
---utamanya--- bagi negara-negara berkembang atau bahkan negara miskin ---baik
secara kualitatif maupun kuantitatifnya. Sebab hal itu memungkinkan bagi suatu negara
dengan kondisi yang sangat terbatas. Mereka (baca: negara) tidak memiliki daya
saing memadai untuk dijadikan sebagai modal kompetitif pada tingkatan global. Selanjutnya
keadaan demikian, akan menimbulkan masalah baru dan bisa menjadi titik rawan
dalam perkembangan bangsa itu sendiri di masa mendatang. Parahnya lagi, akan menjadi
bangsa yang semakin memiliki ketergantungan terhadap bangsa lain. Negara
semacam itu tidak memiliki kemandirian dan identitas sebagai bangsa yang
merdeka, walaupun dalam kenyataannya adalah negara yang berdaulat.
Fenomena
tersebut dikarenakan negara semacam itu akan “didekte/di-kendali-kan” oleh
negara berkuasa dalam arti negara yang memiliki “modal” cukup dalam persaingan
global. Ketika gerakan globalisasi tengah melanda (mengejala) di berbagai
belahan wilayah di dunia, bagi negara yang memiliki modal besar tentu sangat
mudah untuk mengembangkan pengaruhnya secara ekspansif di berbagai belahan
dunia. Namun, realitas tersebut mau tidak mau harus di terima oleh berbagai
negara dibelahan dunia, sebagai sebuah konsekwensi logis yang harus dihadapi.
Kondusifitas
di era globalisasi memungkinkan sesuatu yang demikian, karena era globalisasi
digambarkan suatu abad (masa) ---dengan bentuk tatanan masyarakatnya--- yang
mampu menerobos tabir, wilayah, sekat walaupun secara geografis berjauhan.
Hal ini menjadikan manusia di dunia seolah menjadi satu keluarga. Sebagai
contoh, apa yang terjadi sekarang di masyarakat kutub utara mampu diketahui di
berbagai pelosok negeri pada saat itu juga. Proses komunikasi antar manusia
dalam berbagai dimensi kehidupan akan bebas dari segala bentuk hambatan yang
menghalanginya.[25]
Hal yang demikian, menunjukkan kehidupan manusia dibelahan bumi ini seolah
mengerut/mengecil, tidak lagi bicara tentang atom tetapi lebih kecil lagi adalah
bicara soal “bit”. Kondisi demikian semakin memperkecil wilayah
keberadaan manusia, namun secara nyata tetap pada dimensi yang lebih luas.[26]
Bila dikaji
lebih lanjut ---boleh jadi--- titik awal mula munculnya globalisasi merupakan trend
tersendiri pada suatu masyarakat dunia guna menciptakan kemapanan dalam kehidupannya.
Ini terlihat pada awal mula bahwa gerakan globalisasi bertujuan untuk
menciptakan jaringan bisnis (perdagangan) internasional guna kepentingan umat
manusia. Hal itu dilakukan tanpa mempertimbangkan status dimana dan dari mana
mereka berasal, yang penting arus barang dan jasa mampu menjangkau
pelosok-pelosok dunia tanpa terkecuali.[27]
Realitas yang
diharapkan berbalik ketika proses globalisasi “diboncengi” oleh kelompok
tertentu yang mengarah pada semangat paradigma kapitalis. Gerakan globalisasi
bukan lagi menjadi sebuah kemajuan umat manusia, tetapi justru sebaliknya.
Karena proses globalisasi dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok pemilik modal. Terlebih
adanya peluang guna menguasasi dan menindas masyarakat atau negara lain yang
belum siap dengan era global.
Berangkat
atas dasar realitas itu, jelas bahwa bangsa-bangsa yang memiliki daya saing tinggi
---baik dari segi SDM maupun modal--- mendapat peluang cukup untuk bermain
dalam kancah ekonomi global. Sehingga bangsa tersebut mendapatkan keuntungan dan
selanjutnya mampu memainkan peranan yang cukup berarti dalam skala internasional.
Lebih
ironisnya lagi, gerakan globalisasi didukung oleh kemajuan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) terutama bidang komunikasi. Berbekal pada kemajuan IPTEK,
globalisasi mampu menciptakan suasana kondusif guna tersebarnya kepentingan
negara berkuasa (pemilik modal). Keadaan ini yang mulai menggeser paradigma
globalisasi pada awal mulanya sebagai bentuk proses humanisasi menjadi dehumanisasi,
dan juga dijadikan sebagai paradigma baru yakni hegemoni global untuk sebuah “pertarungan”
internasional.
Paduan
antara era globalisasi dan kemajuan IPTEK ---terutama kemajuan informasi---
semakin terasa dampaknya diseluruh pelosok dunia. Itu disebabkan kemajuan di
bidang informasi akan memungkinkan tiap individu memperoleh informasi dari
berbagai belahan dunia manapun di era global dalam waktu yang cukup singkat. Keadaan
ini pada akhirnya menjadikan intensitas interaksi antar individu akan semakin
meningkat.
Berdasar
pada realitas tersebut tampak jelas bahwa globalisasi membawa akibat yang cukup
signifikan bagi perubahan masyarakat. Kenyataan demikian jelas akan mampu
membawa dampak baru terhadap pola fikir, budaya, nilai, gaya hidup dan lain
sebagainya sebagai sebuah trend global. Misalnya saja, globalisasi di
bidang informasi; akan mempercepat penambahan wawasan tentang khasanah
pengetahuan manusia serta memperkaya masukan sebagai bahan pilihan yang
dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang berguna demi kemaslakhatan kehidupan
manusia itu sendiri. Akan tetapi disisi lain ---tanpa disadari oleh banyak
fihak--- akibat dengan mengglobalnya akses informasi tidak menutup kemungkinan
didalamnya memuat pula misi atau kepentingan-kepentingan tertentu yang justru
menimbulkan ketegangan dan gejolak sosial yang semakin memperparah keadaan.
D. Islam sebagai Sistem Ekonomi
Islam sebagai sistem ekonomi yang berarti juga sistem
ekonomi Islam, tidak bisa dilepaskan dari paradigma Islam yang sesuai dengan
nurani dan fitrah manusia. Secara naluriah manusia, senang terhadap harta
kekayaan dan mengelola harta agar menjadi bertambah.
Untuk itu, Islam mengatur keduanya ---yakni kepemilikan dan pengelolaannya---
dilakukan secara wajar. Kenyataan itu menjadikan Islam sebagai sumber dari
paradigma alternati[28]
tentang sistem ekonomi Islam. Maka, mustahil membangun paradigma sistem ekonomi
Islam tanpa memperhatikan paradigma Islam.
Secara ideologis normatif, Islam diturunkan Allah SWT dimaksudkan
untuk mengatur hidup manusia guna terwujudnya ketentraman hidup. Islam tidak
sekedar memenuhi kebutuhan ---atau
keinginan, serta menjadikan perolehan kebahagiaan--- sebagai nilai ekonomis
yang hendak dicapai manusia. Oleh karenanya, Islam dalam membangun paradigma sistem
ekonominya berhubungan dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah
sebagai kaidah dasarnya. Membatasi perbuatan ekonomi dengan hukum syara’
sebagai undang-undang (baca: nilai ideal) yang hendaknya diperhatikan. Inilah
pengertian kegiatan ekonomi dalam Islam sebagai bagian dari ibadah kepada Allah
yang implikasinya tidak terhenti di dunia, tetapi sampai pada orientasi transendennya
guna menuju kampung akhirat.
Mencermati perkembangan dunia global, sistem ekonomi merupakan masalah
pilihan ---kapitalis, sosialis atau islami--- yang tergantung pada
masing-masing individu. Dalam sistem ekonomi Islam, perlu diperhatikan tentang
masalah-masalah pengelolaan secara proporsional (tidak berlebihan) guna memperoleh
keseimbangan sosial. Pengelolaan secara proporsional ini yang tidak ada dalam
sistem ekonomi lain. Hal ini diperhatikan, karena nilai-nilai Islam berada pada
posisi yang netral. Artinya, tidak semata-mata menguntungkan bagi para memilik
modal di satu fihak ataupun difihak lain bagi para pekerjanya. Dan juga
pengelolaan para pemilik modal terhadap alam semesta. Namun keduanya ---dari kegiatan
ekonomi tersebut--- tidak saling dirugikan.
Demikian juga persoalan pendidtribusian harta kekayaan (modal). Islam
sangat mengutuk keras bagi orang-orang yang menumpuk-numpuk harta kekayaan. Oleh
karena itu, Islam menyebutkan bahwa dalam suatu kekayaan yang diperoleh
seseorang ada hak orang lain.[29] Dalam
konteks itu, bahasa yang digunakan oleh Islam adalah ”hak”. Apabila ditelaah
lebih jauh, istilah ”hak” merupakan sebuah keharusan yang harus diberikan
kepada yang memiliki kewajiban.
Berdasarkan pada konteks tersebut sistem ekonomi Islam dibangun atas tiga
kaidah utama, yaitu; kepemilikan (property), pengelolaan kepemilikan,
dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat.[30]
Menyangkut tentang kepemilikan, pada dasarnya dalam teologi Islam memandang
bahwa segala sesuatu adalah milik Allah SWT. Namun, Allah SWT mengizinkan
kepada manusia untuk memiliki kekayaan dengan sebab-sebab tertentu.[31] Dalam
hal pengelolaan kepemilikan, Allah memberikan ijin kepada manusia untuk
mengelolanya.[32] Sementara mekanisme
distribusi kekayaan kepada individu di tengah-tengah masyarakat mengikuti
ketentuan sebab-sebab kepemilikan serta transaksi-transaksi yang dibenarkan
syariat. Agar tidak terjadi ketimpangan distribusi, syari’at melarang perputaran
kekayaan hanya di antara orang-orang kaya saja..
Demikian pertimbangan Islam tentang konsep ekonominya. Dalam era global,
manusia diharapkan tidak saja menguasai dan mengelola kekayaannya menurut
selera. Manusia perlu juga memikirkan tentang keadaan sosial dan kemakmuran
ekosistem alam secara baik. Semuanya itu merupakan pertimbangan yang hendaknya
perlu diwujudkan. Perubahan global yang sangat kompleks menuntut manusia untuk
lebih arif dalam pengambilan keputusan. Pertimbangan yang holistik itu juga
demi menjaga kemaslakhatan umat manusia itu sendiri.
E. Penutup
Demikian sajian tentang Islam dan kapitalisme. Keduanya memiliki corak dan
keberbedaan. Namun demikian sajian ini semoga mampu memberikan khasanah baru
dan bermanfaat tentang dinamika keadaan sosial dan masing-masing mampu
melakukan pendekatan yang terbaik demi terciptanya kemaslakhatan umat
manusia. Sengaja penulis tidak memberikan kesimpulan pada akhir makalah, karena
kesimpulan pasti ada di setiap peserta setelah selesainya sajian ini.
DAFTAR PUSTAKA
A. Giddens, The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity Press,
1990.
Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan, Islam Globalization and
Postmodernity, London: Routledge, 1994
Bagus, L., Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.
Dadang S. Anshori, Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas
Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, Bandung: Al Qopriat
Jatinangor, 2000.
Eka Wahyu.K. dan Azis Suganda, Pendidikan Tinggi Era Indonesia Baru, Jakarta:
Grasindo, 1999.
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam
Perspektif abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1999.
Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme, Jakarta: LP3ES, 1991.
Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme, Jakarta: LP3ES,
1991.
http: //Id.wikipedia.org/wiki/Max_Weber.
Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi,
Malang: UMM Press, 1996.
M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
Rand A., Capitalism: The
Unknown Ideal, New York : Signet Book, 1979.
Robert E. Lerner, Western
Civilization, London: Volume 2, XXI,
1988.
Robert L. Heilbroner,
Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, Yogyakarta: UI Press, 1986.
Robert W. Hefner, Budaya Pasar; Masyarakat dan Moralitas dalam
Kapitalisme Asia Baru, Jakarta: LP3ES, 1999.
[1] Masyarakat modern berbeda dengan masyarakat tradisonalis. Perbedaan antara
masyarakat modern dengan masyarakat tradisonalis dapat dilihat cirinya adalah
sebagai berikut; ciri pada masyarakat
modern adalah; pertama Berfikir secara rasional (mengutamakan akal), kedua
Menghargai terhadap proses/kerja sebagai usaha, ketiga Mengedepankan unsur efektif dan
efisien dalam segala hal, keempat Lebih mempertimbangkan fungsionalisme
dalam bekerja/proses. Sementara pada masyarakat tradisionalis, adalah; pertama
Tidak menggunakan akal secara maksimal (cenderung berfikir emosional), kedua
Mengesampingkan proses dan lebih berfikir praktis (hasil), ketiga Tidak
mempertimbangkan unsur efektif dan efisien, keempat Tidak memperhatikan
nilai fungsionalnya dalam bekerja (melakukan proses).
[2] Istilah “kekompleksitasan ganda”
adalah kelanjutan dari tantangan sebelumnya akibat perkembangan IPTEK dan
tumbuhnya industrialisasi yang sebelumnya telah dijelaskan.
[3] Simak saja setibanya Nabi di kota Yasrib beliau mengopinikan
orang muslim Mekkah yang ikut hijrah bersama Nabi SAW sebagai “saudara” dengan
orang muslim Yasrib. Bila dipahami lebih dalam makna dari kata “saudara”, menggambarkan
sebagai orang-orang yang memiliki “hubungan” dekat atau meminjam istilah dalam ilmu
antropologi, kata “saudara” menunjukkan adanya hubungan
kekerabatan/keluarga/famili. Dari sini seolah Nabi ingin membangun pemahaman bersama
diantara orang muslim Mekkah (kelompok muhajirin) dan orang muslim Yasrib (kelompok
Anshor) sebagai satu komunitas yang akrab, kenal, memahami meskipun dalam
kenyataannya tidak demikian. Keberbedaan suku, golongan, adat, budaya tidak
menjadi penghalang yang signifikan dalam menciptakan atau membangun sebuah “keluarga
besar”. Padahal, pada masa itu persoalan-persoalan demikian sangat sensitif dan
menjadi “jurang” pemisah yang cukup lebar dalam membentuk kebersamaan/rasa
solidaritas di Bangsa Arab.
[4]Sejak Nabi Muhammad SAW berada di Yasrib, beliau banyak
mengajarkan berbagai hal tentang hubungan sosial kemasyarakatan di sekitar lingkungannya.
Bahkan dalam catatan sejarah Nabi SAW ini, beliau sempat membuat kesepatakan
bersama yang dikenal dengan nama Piagam Madinah. Meskipun berlakunya piagam itu hanya beberapa saat
saja karena adanya kelompok yang mengkhianati. Walaupun perjanjian itu tidak
berlangsung lama, diakui oleh ahli sejarah bahwa fenomena itu merupakan sebuah
loncatan pemikiran Muhammad yang dianggap modern ditengah tenggelamnya
peradaban dunia yang sebagian besar masih dianggap primitif.
[5] Diketahui bahwa saat di Makkah, Nabi SAW
membangun tauhid sebagai dasar atau ruh umat Islam guna membangun
tatanan sosial yang Islami. Nilai ajaran inipun tercermin dalam rukun Islam.
Dalam rukun itu disebutkan bahwa yang pertama adalah mengucapkan 2 kalimat
syahadat. Ini menunjukkan bahwa sebelum seseorang diakui menjadi umat Islam,
dirinya harus mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammmad adalah
utusan-Nya. Ini merupakan harga mati sebagai tiket masuk menjadi umat Islam.
[6] Salah satu contoh tegas Al qur’an
dijelaskan dalam surat Al Maa’un: 1-7. Artinya; 1) Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama?, 2) Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3) dan tidak
menganjurkan memberi makan orang miskin, 4) Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat, 5) (yaitu) Orang-orang yang lalai dari shalatnya, 6) Orang-orang
yang berbuat riya, 7) Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. Dari Ayat
ini dipahami bahwa Allah SWT mengkategorikan orang-orang yang termasuk
mendustakan Agama (baca: Islam) adalah mereka tidak memiliki
kepedulian/kepekaan sosial. Untuk itu, mereka benar-benar diancam oleh Allah
SWT dan termasuk kategori orang-orang yang mendustakan agama.
[7] QS. Adz Dzaariyat: 56
[8] QS: Al Jum’ah: 10.
[9] Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme, (Jakarta: LP3ES,
1991), 25.
[10] Bagus, L., Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia, 1996), 71.
[11] Faham
Kapitalisme berasal dari Inggris abad 18, kemudian menyebar ke Eropa Barat dan
Amerika Utara. Ini sebagai akibat dari perlawanan terhadap ajaran gereja
yang sangat dominan dalam menentukan kebijakan sosial pada masa itu. Maka faham
kapitalis tumbuh dan berkembang yang cenderung pada arah pemikiran liberalisme
di negara-negara Eropa Barat. Aliran ini kemudian merambah ke segala bidang
termasuk di bidang ekonomi. Dasar filosofis pemikiran ekonomi kapitalis
bersumber dari tulisan Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature
and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada tahun 1776. Isi
buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat
yang cenderung pada kebebasan dan demi meraih kepuasan. Smith berasumsi
bahwa motif manusia melakukan kegiatan ekonomi adalah atas dasar dorongan
kepentingan pribadi, yang bertindak sebagai tenaga pendorong yang membimbing
manusia dalam mengerjakan apa saja asal masyarakat bersedia membayar, jadi; "Bukan
berkat kemurahan tukang daging, tukang pembuat bir, atau tukang pembuat roti
kita dapat makan siang," kata Smith, "Akan tetapi karena mereka
memperhatikan kepentingan pribadi mereka. Kita berbicara bukan kepada rasa
perikemanusiaan mereka, melainkan kepada cinta mereka kepada diri mereka
sendiri, dan janganlah sekali-kali berbicara tentang keperluan-keperluan kita,
melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka”. Robert L. Heilbroner, Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi,
(Yogyakarta: UI Press, 1986), 98.
[12] http: //Id.wikipedia.org/wiki/Max_Weber.
[13] Robert W. Hefner, Budaya Pasar; Masyarakat dan Moralitas dalam
Kapitalisme Asia Baru, (Jakarta: LP3ES, 1999), xi.
[14] Ibid, 58.
[15] Rand A., Capitalism: The Unknown Ideal,
(New York : Signet Book, 1979), 72.
[16] Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika
Kapitalisme, (Jakarta: LP3ES, 1991),
46.
[17] Adam Smith diakui sebagai tonggak utama munculnya
ide-ide kapitalisme yang mengekspresikan gagasan "laissez faire"
(kebebasan tanpa campurtangan birokrasi) dalam kegiatan ekonomi.
[18] Robert E. Lerner, Western
Civilization, (London: Volume 2,
XXI, 1988), 39.
[19] Dari kapitalis klasik yang menekankan kegiatan
ekonomi terpusat pada pasar, kemudian berubah bentuk menjadi kapitalis modern
yang menggunakan kegiatan ekonominya pada sistem-sistem industri dan
selanjutnya mengubah wajahnya menjadi neokapitalis dengan menggunakan birokrasi
sebagai bagian dari instrumen (kekuasaan) mereka untuk mengendalikan pasar guna
kepentingan para pemilik modal.
[20] M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994),
203.
[21] Lihat Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam;
Retropeksi Visi dan Aksi, (Malang: UMM Press, 1996), 16.
[22] Baca Dadang S. Anshori, Menggagas Pendidikan
Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan,
(Bandung: Al Qopriat Jatinangor, 2000), 273.
[23] Pada dasarnya, globalisasi merupakan
kelanjutan dari perkembangan sistem kapitalisme yang ditandai dengan
globalisasi pasar, investasi dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan
Transnasional. Secara lebih tegasnya bahwa yang dimaksud dengan globalisasi
adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia
berdasar kenyakinan perdagangan bebas. Embrio dari gerakan ini adalah berawal
dari faham kolonialisme.
[24] Istilah canggih diidentikkan dengan seperangkat
teknologi yang dengan simpelnya mampu digunakan manusia secara mudah,cepat,
efektif dan efisien dalam mencapai sesuatu yang diinginkan.
[25] Sebagaimana dijelaskan oleh Akbar S. Ahmed dan H.
Donnan bahwa globalisasi pada prinsipnya mengacu pada perkembangan yang sangat
cepat dengan didukung oleh kecanggihan teknologi baik teknologi komunikasi, transformasi
dan informasi mampu membawa ke bagian sudut-sudut dunia manapun secara mudah,
Baca Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan,
Islam Globalization and Postmodernity, (London: Routledge, 1994), 1-2.
Baca juga A. Giddens, The Consequences of Modernity, (Cambridge: Polity
Press, 1990), 64.
[26] Baca H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi
Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad 21, (Magelang: Tera Indonesia,
1999), 52.
[27] Baca Eka Wahyu.K. dan Azis Suganda, Pendidikan
Tinggi Era Indonesia Baru, (Jakarta: Grasindo, 1999), 5.
[28] Paradigma alternatif karena sudah ada paradigma selain Islam
sebagai faham yang dipraktekkan dalam lintasan sejarah umat manusia di dunia.
[31] QS. Al Qashash: 77.
[32] QS. Hud: 61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar