Selasa, 17 Desember 2013

Kajian Ilmu Hadist

"+"

KAJIAN HADITS DAN SUNNAH





I.         PENDAHULUAN
Umat Islam sejak jaman Nabi SAW, menyakini bahwa sunah merupakan salah satu sumber ajaran Islam disamping Al qur’an1. Sayang ilmu hadits atau sunah termasuk pengetahuan yang sangat sulit2.Kajian terhadap hadits atau sunah3 secara konperhensif tidak akan lepas dari kajian sejarah. Sebab, bila kita ingin mengetahui shahih tidaknya suatu hdits terlebih dahulu kita harus meneliti sanad-sanadnya. Sanad adalah The law of autenticity4 yaitu perangkat untuk menguji keautentikan sebuah hadits. Dalam hal ini yang dikaji antara lain keadaan para perawi hadits, sejak perawi pertama sampai perawi terakhir. Perawi awala adalah sahabat. Oleh karena itu mengetahui keadaan para pengikut Nabi SAW (para sahabat) maupun generasi sesudahnya (para tabi’in) menjadi sangat penting5.
Hal-hal yang akan dikaji berkaitan dengan keadaan para sahabat antara lain; definisi, jumlah, ahlaq, peringkat, ilmu dan sahabat yang meriwayatkan banyak hadits. Sedangkan kajian yang terkait dengan tabi’in antara lain tentang definisi, kriteria, keistimewaan dan nama-nama tabi’in yang meriwayatkan hadits.
Selanjutnya bagian penting lain bagi orng yang hendak mengkaji ilmu hadits adalah mengetahui apa obyek atau ruang lingkup kajiannya. Bagian ini membicarakan cakupan kajian hadits atau sunah, ini pulalah yang hendak dikaji oleh tulisan ini pada bagian selajutnya.

II.      KEADAAN PARA PENGIKUT NABI
A.    Sahabat
Definisi Sahabat
Sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan masa turunnya wahyu, menguasai tafsir dan ta’wil, mendalami agama Allah, mengetahui perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, mendorong, menegakkan serta menjaga agama Allah6.
Definisi lain menyebutkan:
Sahabat adalah orang yang berjumpa Nabi SAW dalam keadaan sudah mumayiz dan beriman kepada beliau, mati dalam keadaan Islam, baik dalam menyertai Nabi lama atau sebentar, meriwayatkan hadits atau tidak, ikut berperang bersama Nabi atau tidak7.
Definisi yang lebih pendek adalah “orang-orang yang bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan Islam dan mati dalam keadaan Islam pula, sekalipun pernah murtad”8.
Bila diperhatikan ketiga definisi diatas nampaknya para ulama’ terbagi menjadi tiga kelompok; pertama kelompok yang sangat ketat dalam mengkategorikan sahabat. Hal itu terlihat dalam definisi pertama diatas. Kedua kelompok tengah. Hal itu terlihat pada kelompok kedua.
Dan kelompok ketiga adalah kelompok yang paling sederhana dalam mendefinisikan sahabat, seperti terlihat dalam definisi kelompok ketiga di atas.
Dari ketiga definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa paling tidak ada tiga hal kriteria sahabat yang disepakati ulama’; pertama, mereka pernah bertemu Nabi atau menyaksikan masa tasyri’, kedua dalam keadaan mumayiz pada saat bertemu Nabi atau menyaksikan masa tasyri’, dan ketiga beriman kepada Nabi, paling tidak pada sebagian waktu hidupnya dan mati dalam keadaan Islam.

B.     Jumlah atau Bilangan Sahabat
Amat sulit untuk menghitung jumlah atau bilangan sahabat, sebab di samping karena banyaknya juga kerena luasnya daerah yang mereka diami yang meliputi berbagai negara. Oleh karena itu bila disebut angka itu hanyalah perkiraan9.
Al Bukhary meriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik menyatakan bahwa jumlah sahabat di sekitar perang Tabuk itu banyak dan nama-nama mereka tidak muat andai ditulis dalam suatu kitab. Muslim meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata bahwa jumlah sahabat Nabi yang mengiringi beliau saat berjalan dari Madinah ke Mekah (pristiwa Fathu Makah) adalah sepuluh ribu orang.
Dalam kitab Nur Al Yaqin disebutkan bahwa saat Haji Wada’ Nabi diiringi oleh sembilan puluh ribu kaum muslimin. Dalam kitab Fath Al Mughits disebutkan bahwa jumlah sahabat yang mendengar dan meriwayatkan hadits dari nabi pada waktu Nabi wafat adalah seratus empat belas ribu orang11.
Karena riwayat-riwayat hadits tentang jumlah para sahabat tidak bisa menunjukkan angka yang sama, maka M. Ajaj Al Khathib tidak berani menyimpulkan berapa jumlah mereka, hanya dikatakan “banyak”12. Akan tetapi Mahmud Thahhan berani menyatakan bahwa jumlah sahabat lebih dari seratus ribu orang. Dan beliau lebih cenderung kepada hadits Zar’ah  Al Rozi yang menyatakan bahwa jumlah sahabat nabi pada waktu wafat beliau adalah empat belas ribu orang13

C.     Ahlaq Sahabat
Secara umum ahlaq para sahabat adalah mirip dengan ahlaq Rasulullah SAW dalam berbagai hal14,  paling tidak sampai taraf tertentu. Karena kita tahu bahwa didunia ini tidak ada orang yang bisa menyamai ahlaq Rasulullah, sekalipun para murid atau anggota keluarga beliau.
Pada suatu hari Nabi SAW, berkata kepada Ja’far: “Engkau mirip dengan ku dalam ahlaq ini dan itu” (HR. Ahmad dari Abdullah bin Aslam). Menurut riwayat al Thabrani dari Abdurrahman al Qursy Rasulullah pernah menyatakan bahwa Usman adalah orang yang akhlaqnya paling mirip dengan beliau.15
Demi efisiensi berikut ini, akan dikemukakan secara singkat ahlaq-ahlaq yang menonjol dari para individu sahabat.
 Ibnu Abas adalah orang yang paling murah hati (Riwayat Ibnu Sa’ad dari Sa’ad bin Abi Waqash).
Usman bin Afan sangat ketat dalam menutup aurat, sehingga diwaktu mandi dalam rumah sendirian pun tetap mengenakan kain (Riwayat Ahmad dari Al Hasan R.A) 
Ali bin Abi Thalib biasa membelikan sesuatu dan membawanya sendiri, ketika ada orang yang hendak menolongnya, ditolaknya (Riwayat Al Bukhary dari Shahih, dari neneknya)16. Salman Al Farisi saat menjabat sebagai amir di Madain suatu saat berjalan di suatu jalan, tiba-tiba ia disuruh membawakan sepikul buah tin dan kurma oleh seorang Syiria, karena tidak tahu siapa Salman, namun Salman pun menurut saja.17. Kedua sahabat di atas menggambarkan sikap tawadu’nya yang mengagumkan.
Abu Bakar dikenal amat wara’. (Riwayat Ahmad dari Muh Ibnu Sirin)Abdullah r.a, sangat takut berkata bohong.(Riwayat Al Thabrany dari Abu Wa’il).Umar bin Khathab r.a, orang yang senang intropeksi diri.(Riwayat Malik Ibnu Sa’ad dari Anas Bin Malik)18.
Kejuhudan merupakan hal yang amat menonjol dikalangan sahabat. Misalnya kezuhudan Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Abu Ubaidilah bin Al Jarrah, Mush’ab bin Umair, Salman Al Farizi, Abu Dzar Al Ghifari, Abu Al Darda, Al Ajlaj Al Ghafhafany dan Abdullah bin Umar19.
Para sahabat dikenal sebagai pecinta kebenaran, kebaikan dan perjuangan Islam. Kecintaan terhadap hal-hal seperti itu sering kali lebih didahulukan dari pada terhadap diri mereka sendiri atau keluarga. Diriwayatkan dari Anas, bahwa pada waktu perang uhud tentara Islam mundur dari medan perang dan tidak melihat Nabi SAW  sehingga mereka menyangka Muhammad terbunuh. Mereka berteriak-teriak hingga makin banyak orang yang memadati tepi kota Madinah. Muncullah seorang wanita Anshar yang ayah, anak, suami dan saudaranya ikut berperang. Namun, bukan mereka yang pertama kali dia cari, melainkan Nabi Muhammad SAW, apakah beliau selamat atau tidak20. Kecintaan para sahabat terhadap Nabi SAW juga tergambar dalam sejarah, pada waktu itu beliau dicukur oleh para sahabat dan mereka  berebut rambut beliau hingga tidak ada yang jatuh ketanah (Riwayat Muslim dari Anas).21.
Para sahabat takut menyalahi perintah Rasul22. Melihat ahlaq para sahabat yang tersebut dalam lembaran  sejarah Islam yang penuh dengan keteladaan jumhur ulama’ berpendapat bahwa semua sahabat  adalah orang-orang yang memiliki sifat adil, baik yang terlibat dalam pemberontakan  maupun tidak23. Adil maksudnya terjauh dari sengaja berbuat dusta dalam meriwayatkan hadits atau menyelewengkannya24. Pendapat Jumhur itulah yang dipegang oleh Al Khathib25 dan lain-lain, dengan alasan, di samping banyak dalil yang menjustifikasi keadilan para sahabat26 juga alasan bahwa keterlibtan para sahabat dalam pemberontakan adalah hasil ijtihad mereka, dimana kalau benar mendapat dua pahala, dan jika salah mendapat satu pahala27.

D.    Peringkat Sahabat
Terdapat perbedaan peringkat sahabat antara satu dengan yang lainnya. Hal itu mengingat bahwa mereka memiliki perbedaan intensitas baik dalam perjuangan membela Islam, kedekataannya dengan Nabi SAW dan saat masuknya keagama Islam.
Peringkat sahabat termasyhur adalah yang dibuat oleh Al Hakim sebagai berikut:
1.      Pemeluk Islam pertama diMekah seperti empat khalifah.
2.      Sahabat-sahabat yang masuk Islam sebelum pristiwa persetongkolan kafir qurais di Dar al Nadwah.
3.      Sahabat yang ikut hijrah ke Habasyah.
4.      Sahabat yang berbaiat pada baiah Aqobah yang pertama.
5.      Sahabat yang berbaiat pada baiah Aqobah yang kedua.
6.      Sahabat yang menyusul Nabi hijrah keMadinah  saat beliau baru sampai diQuba’.
7.      Sahabat yang ikut perang Badar
8.      Sahabat yang hijrah ke Madinah pada waktu antara terjadinya perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah.
9.      Sahabat yang ikut baiah al Ridwan di Hudaibiyah.
10.  Sahabat yang ikut berhijrah ke Madinah pada waktu antara terjadinya perdamaian Hudaibiyah dan Fath Makah.
11.  Sahabat yang masuk Islam pada Fath Makah
12.  Anak-anak yang melihat Nabi SAW pada saat Fath Makah, Haji Wada’, dan pristiwa lain.
Ahlu surah berpendapat bahwa sahabat yang paling utama adalah Abu Bakar lau Umar, setelah itu Usman dan Ali28.

E.     Ilmu Para Sahabat
Ilmu para sahabat tentang sunah, prilaku dan ucapan Rasulullah tidak sama. Hal itu disebabkan perbedaan tingkat kebersamaan dan kedekatannya dengan Rasulullah SAW. Ada yang sebagian besar waktunya dihabiskan bersama Rasulullah seperti Anas dan Abu Hurairah. Namun, ada juga yang waktunya disibukkan oleh bisnis duniawi seperti sebagian orang Badui dan orang-orang kota. Menurut istilah Masruq, ibarat kolam air, para sahabat ada yang hanya memuaskan satu orang yang meminumnya (karena sedikitnya air), ada yang memuaskan dua orang, seratus orang dan bahkan ada yang jika seluruh penduduk bumi meminumnya ia bisa memuaskan mereka29.
Menurut Ibnu Hazm, kita dapat mengetahui ilmu seorang sahabat dari dua hal. Pertama, banyaknya  meriwayatkan hadits dan memberi fatwa. Kedua, banyaknya tugas (misal sebagai delegasi atau pejabat) yang diberikan kepadanya. Sebab, mustahil Rasulullah memberi tugas kepada orang yang tidak berilmu30.

F.      Sahabat Yang Meriwayatkan Banyak Hadits
1.      Abu Hurairah  (19 SH- 59 HAM)
Nama aslinya adalah abdul al Rahman bin Shakhr al Dausi al Yamani. Di juluki Abu Hurairah karena ketika kecil suka bermain-main dengan kucingnya. Rasulullah sendiri menjulukinya dengan Abu Hirr.
Ia telah masuk Islam sejak diYaman dan ikut hijrah ke Madinah pada tahun ke 7 H. Kehidupannya penuh dengan kesederhanaan dan kezuhudan. Ia sendiri sangat miskin, namun sangat pemurah. Ia selalu menyertai Nabi SAW sampai akhir hayatnya. Ia mengabdikan diri kepada beliau, masuk rumah beliau dan menemani beliau ketika menunaikan ibadah Haji, berperang, diperjalanan dan dirumah siang dan malam. Ia  bersahabat dengan Nabi selama empat  tahun dan bertempat di al Shufah. Ia orang yang konsisten dengan sunah Nabi dan sholeh. Ia rajin berpuasa sunah dan qiyamullail. Perangainya periang dan humoris. Ia menjauhkan diri dari pemberontakan-pembrontakan. Ia pernah diutus oleh Rasulullah menyebarkan Islam di Bahrain, meriwayatkan hadits dan memberi watfa kepada masyarakat. Pada masa Umar ia diangkat oleh beliau menjadi gubenur diBahrain31. Di bidang ilmiah ia sangat menonjol. Hal itu bermula dari semangatnya untuk belajar kepada Rasulullah dan do’anya agar diberi ilmu yang tidak terlupakan. Ia banyak bertanya kepada Rasulullah tentang berbagai hal, sesuatu yang kebanyakan sahabat lain tidak berani melakukannya. Disamping itu pula ia diberi anugrah berupa daya hafal yang sangat kuat. sehingga di dalam dirinya berkumpul dua hal yang saling menunjang; pertama keluasan ilmunya dan banyaknya jumlah hadits yang ia riwayatkan dan kedua, kekuatan daya ingatnya dan kecermatannya yang sangat bagus.
Ia menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab Musnadnya meriwayatkan 3.848 hadits dari Abu Hurairah yang masih banyak hadits yang diulang-ulang baik redaksi atau maknanya. Imam Baqi bin Makhlad (201-276 H) dalam kitab musnadnya meriwayatkan 5.374 hadits dari Abu Hurairah, Imam al Bukhary dalam shahihnya meriwayatkan 93 hadits dari beliau dan Imam Muslim meriwayatkan 189 hadits32.
2.      Abdullah bin Umar (10 SH- 73 H)
Ia masuk Islam sewaktu masih kecil. Ia berhijrah bersama ayahnya yang menurut satu riwayat dan ia mendahului ayahnya. Ia telah berniat untuk perang Badar dan Uhud sewaktu usianya baru 11 tahun. Namun Rasulullah melarangnya. Baru ia diijinkan ikut berperang saat perang Khandaq ketika usianya mencapai 15 tahun.
Ia dikenal sebagai orang yang sangat bersemangat meneladani Rasulullah. Ia juga aktif menghadiri majelis-majelis Rasulullah dan berusaha bertanya kepada sahabat lain jika ia sendiri tidak bisa hadir.
Ia meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW, juga dari Abu Bakar, Umar, Ustman, Abu Dzar, Mu’adz, Aisyah dan lain-lain.
Ia pemuda yang pandai mengekang diri dari kesenangan dunia, berani menegakkan kebenaran, amat shalih, taqwa dan taat beribadah. Pribadinya dikenal sebagai orang yang rendah hati, toleran, kasih sayang dan murah hati.
Dari padanya diriwayatkan sebanyak 2.630 buah hadits. Imam Bukhary dan Muslim mentakhrij hadits darinya sebanyak 280 buah dan 168 diantaranya disepakati oleh keduanya. Hadits Ibnu Umar termuat dalam kitab al Kutub, al Sittah, kitab-kitab musnad dan kitab-kitab sunah yang lain33.
3.      Anas Bin Malik (10 SH- 93 H)
Namanya Anas bin Malik bin al Nadhar bin Dhamdham al Anshari al Khazraji al Najjari. Ibunya Umu Sulaim, telah menghadapkan Anas kepada Rasulullah sewaktu beliau baru tiba dari Madinah guna mengabdi pada beliau, dan Nabi menerimanya. Maka Anas hidup bersama Nabi selama puluhan tahun sebagai pembantu rumah tangga beliau.
Ia meriwayatkan hadits langsung dari Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, Usman, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Rawahah, Fatimah, Abdurrahman bin Auf dan lain-lain.
Dari Anas bin Malik diriwayatkan sebanyak 2.286 hadits. Imam al Bukhary dan Muslim mentahrij darinya sebanyk 318 hadits dan 168 hadits diantaranya disepakati oleh keduanya.
Ia adalah orang yang banyak beribadah kepada Allah dan paling mirip tata sholatnya dengan Rasulullah. Disamping itu juga ia adalah seorang yang pendiam.
Sewaktu jaman Abu Bakar, ia diserahi tugas sebagai si’ayah (pemungut zakat dan membagikannya kepada orang yang berhak menerimanya) di Bahrain. Kemudian ia pindah ke Madinah, lalu menetap di Basrah. Ia menjadi pusat perhatian para ahli ilmu34.
4.      Aisyah Umul Mukminin
Ia putri Abu Bakar al Shidiq. Ia diperistri oleh Rasulullah SAW pada bulan syawal setelah perang Badar dan tinggal bersama beliau selama delapan tahun lima bulan. Ia merupakan istri yang paling dicintai dibanding istri-istri Nabi yang lainnya. Ia wanita cerdas, cerdik dan tekun menuntut ilmu. Ia bangga menjadi istri Rasulullah dan hidup bersama beliau. Ia banyak mengetahui hukum Islam khususnya berkaitan dengan wanita. Ia diakui sebagai sahabat yang paling banyak ilmunya. Ia juga banyak menguasai ilmu kedokteran. Tidak heran ia menjadi tempat rujukan para sahabat lain tentang berbagai jenis ilmu.
Sumber haditsnya langsung berasal dari Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Fatimah, Sa’id bin Waqas, Asid bin Hudhair, judzamah bin Wahab dan Hamzah bin Amr.
Aisyah telah meriwayatkan 2.210 hadits. Sebanyak 316 hadits terdapat dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim, yang disepakati bersama 197 hadits35.

B. Tabi’in
1.  Definisi Tabi’in
“Tabi’in adalah generasi sesudah sahabat, orang-orang yng membela mereka, haus akan kedalaman ilmu keislaman dan menyebarkan hukum-hukum, sunah dan atsar yang mereka terima”36. Definisi lain menyebutkan; “Tabi’in adalah generasi Islam yang pernah bertemu dengan generasi sahabat Nabi Muhammad SAW dan beriman sampai akhir hayatnya”, atau “Kaum muslimin generasi kedua, yakni mereka yang memeluk Islam ditangan para sahabat Nabi SAW”.
Jika ketiga definisi diatas diambil intisarinya, maka yang paling pokok bagi definisi tabi’in ada dua; pertama, pernah bertemu dengan sahabat, kedua beragama Islam37.
2. Kreteria Tabi’in
Dari definisi diatas dapat diambil pemahaman bahwa kriteria tabi’in adalah sebagai berikut: a) harus pernah berjumpa dengan sahabat Nabi SAW sekalipun dengan sahabat yang termuda (Sighar al Shahabah), b) harus beriman dan meninggal dalam keadaan Islam dan c) pertemuan dengan sahabat Rasul bukan sekedar bertemu dan beriman, tetapi harus betul-betul bergaul38.
Periode tabi’in dianggap sebagai salah satu periode yang paling autentik dalam sejarah Islam, yaitu periode terbaik ketiga sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Sebaik-baiknya generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya (generasi sahabat), kemudian generasi berikutnya (generasi Tabi’in) dan seterusnya” (HR. Turmudzi, Thabrani, Muslim)39.
Dari masa hidup tabi’in dapat dibagi menjadi tiga kategori; a) Kibar al Tabi’in (tabi’in besar) yaitu tabi’in yang hidup sebelum akhir abad I H, seperti Ibrahim bin Yazid al Nakhai (wafat 95 H) dan Sa’id bin Musayab (wafat  94 H). b) Ausath al Tabi’in (tabi’in pertengahan) yaitu yang hidup antara awal dan pertengahan abad II H, seperti Nafi Maula Ibnu Amr (wafat 117 H). c) Shighar al Tabi’in (tabi’in kecil) yaitu yang hidup sampai akhir abad II H, seperti Imam Syafi’i40.
3. Keistimewaan Tabi’in
Tabi’in telah menggantikan kedudukan para sahabat dalam mengemban tugas keilmuan dan keagamaan. Oleh karena itu mereka patut menerima penghormatan dan penghargaan. Allah sendiri telah memberikan penghormatan dengan menyebut nama mereka didalam kitab suci-Nya dan menyatakan keridho’an-Nya. Surat at Taubah ayat 100 menyatakan “Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam dari Mujahirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah Ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah SWT”.
Mengenai keistimewaan perseorangan terjadi perbedaan pendapat, karena setiap daerah menonjolkan kelebihan dan keistimewaan tabi’in yang ada didaerahnya masing-masing41.
5.   Beberapa Tokoh Fiqh dan Hadits dari Kalangan Tabi’in
a.       Di Mekah: Atha bin Abi Rabah (wafat 27 H) dan Thawas bin Kaisan al Yamani (wafat 106 H).
b.      Di Madinah: Sa’id bin Musayab, Urwah bin Zubair (wafat 94 H), Abu Salamah bin Abdu al Rahman bin Auf (wafat 94 H), Ubaidilas bin Abdullah bin Athiah (wafat 94 H), Sulaiman bin Yasar (wafat II H), Kharijah bin Zaid (wafat 100 H) dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash Shidiq (wafat 106 H).
c.       Di Kufah: Al qomah bin Qais al Nakhai (wafat 62 H) yang menjadi sumber ilmu bagi masyarakatnya dan Masruk bin Ajda’ al Hamdani (wafat 63 H).
d.      Di Basrah: Al Hasan al Basri (21 H) dan Muhammad bin Sirin  (wafat 110 H).
e.       Di Syam (Suriah): Abu Idris al Khaulani (wafat 80 H) dan Makhul bin Abu Muslim (wafat 113 H).
f.       Di Mesir: Yazid bin Abi Habib (wafat 128 H)42.

III.   KAJIAN HADITS, SUNAH SERTA CAKUPANNYA
A.    Hadits dan Sunah: Persamaan dan Perbedaannya
1.      Definisi Hadits
“Hadits adalah semua yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan-persetujuan ataupun sifat”43.
Dalam redaksi yang agak berbeda dikatakan bahwa “Hadits adalah segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat fisik maupun pisikis (ahlaq) Nabi SAW”44.
Kedua definisi diatas memiliki kemiripan. Definisi yang kedua hanya sedikit menjelaskan definisi pertama.
2.      Definisi Sunah
“Sunah adalah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, baik sifat fisik atau ahlaq, atau sirah (tingkah laku) baik pada waktu sebelum bi’tsah maupun sesudahnya”45. Definisi lain berbunyi:”sunah adalah apa saja yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, baik ketika beliau diutus (sebagai Rasul) maupun belum, baik dalam kapasitasnya sebagai rasul maupun bukan”46.
Sunah dengan definisi pertama sama dengan pengertian hadits 47, sedang sunah dalam definisi kedua khas bagi sunah, yang secara bahasa berarti “jalan yang dilalui”48 atau “tata cara”, “jalan yang ditempuh lalu diikuti oleh orang lain” atau “metode tentang tindakan” atau “sikap hidup”49.
3.      Perbedaan dan Persamaan Hadits dan Sunah
Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa yang menyamakan sunah dengan hadits adalah ulama mutaakhirin50, para ulama’ hadits dari dulu banyak memakai kata “hadits”, bukan “sunah”. Dari sini hadits harus dibedakan dari sunah. Muh. Zuhri meninjaunya dari segi bahasa. Bahwa “hadits” secara bahasa berarti “khabar” yang artinya “berita”51. Dan kata “sunah”  mengarah ke “tingkah laku”, “kebiasaan” atau “perbuatan yang sering dilakukan”.
Maka muh. Zuhri menyatakan bahwa hadits berkaitan dengan perhatian ulama’ terhadap pemberitaan/ berita. Artinya, ia disebut hadits karena yang berasal dari Rasul itu berita. Dan disebut al sunah karena yang berasal dari Rasul itu berupa prilaku yang menjadi kebiasaannya, sebagai suri tauladan umatnya52.
Hasbi Ash-Shiddieqy melihatnya dari sudut pandang bahwa kata “hadits” terkait dengan ucapan atau tindakan yang tidak harus berulang, sedangkan kata “sunah” sesuai dengan salah satu makna bahasanya yaitu “kebiasaan” atau “tradisi”, maka dia berpendapat bahwa “hadits” konotasinya adalah segala pristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi SAW walaupun hanya sekali beliau kerjakan dan diriwayatkan secara ahad. Sedang “sunah”  adalah sesuatu yang diucapkan atau dilakukan oleh Nabi SAW terus menerus dan dinukil dari masa kemasa dengan jalan mutawatir53.
Kebanyakan para ulama’ menyamakan hadits dengan sunah54, jika mau dibedakan bisa, seperti terlihat dalam uraian di atas, khususnya jika tinjauannya adalah lughawi. Namun, jika tinjauannya istilahi ternyata para ulama’ tidak begitu membedakan hadits atau sunah, yang baku keduanya dimaksudkan untuk menyebut sesuatu yang berasal dari Nabi SAW baik perkataan, perbuatan atau persetujuannya55.
Bagi penulis membedakan hadits dengan sunnah perlu untuk kalangan terbatas, misalnya kalangan akademik. Jika mau dibedakan harus kembali ke makna lughawi secara konsisten seperti pendapat Muh.Zuhri, bukan seperti pendapat Ash-Shiddieqy. Jadi “hadits” khusus untuk sesuatu yang berkenaan dengan ucapan Nabi SAW, sedangkan “sunnah” untuk sesuatu yang terkait dengan kebiasaan Nabi SAW, tentunya berupa perbuatan. Di samping itu pembedaan juga bisa berangkat dari sabda Nabi:” ‘Alaikum bisunnaty…” bahwa “hadits” lebih umum dari “sunnah”. “Hadits” bisa tak terkait agama termasuk riwayat Nabi sebelum menjadi Rasul. Sedangkan “sunnah” khusus terkait dengan agama.

B.     Ruang Lingkup Kajian Hadits atau Sunah
Berangkat dari definisi hadits dan sunah bahwa hadits atau sunah meliputi; 1) perkataan atau ucapan (aqwal), 2) perbuatan (af’al), 3) persetujuan atau taqrir, 4) sifat atau keadaan fisik maupun rukhani (ahlaq), maka dapat dikatakan bahwa ruang lingkup kajian hadits atau sunah ada empat 56.
1)      Perkataan (aqwal), adalah sesuatu yang pernah beliau ucapkan, baik tentang aqidah, hukum, ahlaq, pendidikan dan lain-lain.
2)      Perbuatan (af’al) adalah apa yang beliau kerjakan yang merupakan penjelasan dan pengamalan praktis terhadap syari’at, misalnya praktik ibadah, muamalah dan lain sebagainya.
3)      Persetujuan/ mendiamkan sebagai tanda setuju (taqrir), ialah sikap diamnya Nabi SAW sebagai tanda setuju terhadap suatu pekerjaan atau ucapan yang terjadi di hadapan beliau.
4)      Sifat atau keadaan fisik atau rukhani (ahlaq) Nabi SAW (shifah khalqiyah au khuluqiyah)57, misalnya bahwa Nabi SAW merupakan orang yang wajahnya dan budi pekertinya sangat idial, ahlaqnya adalah Al qur’an dan lain sebagainya.
Ruang lingkup atau obyek kajian hadits juga dapat dilihat dari segi periwayatannya58. Pada periwayatan hadits ada tiga unsur yakni; 1) perawi, 2) sanad dan 3) matan atau marwi. Rawi ialah subyek periwayatan hadits (perawi) yaitu orang yang menerima, memelihara dan menyampaikan hadits dengan menyertakan sandaran periwayatannya59. Tugas perawi dan penghimpun hadits tidak hanya sebatas mencatat materi hadits, melainkan juga mencatat rangkaian nama-nama periwayatannya yang biasa disebut sanad60. Perawi pertama dari suatu hadits adalah sahabat, sedang perawi terakhir adalah penghimpun/ penulis suatu kitab hadits. Sanad atau thariq ialah jalan yang menghubungkan matan hadits dengan Nabi SAW. Sanad ialah sandaran hadits, yakni refrensi atau sumber yang memberitakan hadits, yakni rangkaian para perawi keseluruhan yang meriwayatkan suatu hadits, atau rangkaian para perawi yang menjadi sumber pemberitaan hadits. Matan ialah materi berita, yakni lafadz (teks) hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat atau tabi’in yang letaknya dalam suatu hadits pada penghujung sanad61.

IV.   KESIMPULAN
Pertama, sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan mumayiz, beriman kepada beliau, dan meninggal dalam keadaan Islam.
Kedua, jumlah sahabat Nabi SAW tidak diketahui dengan pasti, karena domisili mereka terpencar diberbagai negara.
 Ketiga, ahlaq para sahabat semuanya baik (adil). Dalam arti tidak mungkin berani berdusta atas nama Nabi SAW.
Keempat, peringkat sahabat berbeda-beda tergantung intensitasnya dalam membela Nabi SAW dan Islam, kedekatannya dengan beliau serta waktu masuknya kedalam agama Islam.
Kelima, keilmuan dan penguasaan sahabat terhadap hadits juga berbeda-beda. Hal itu disebabkan oleh perbedaan mereka dalam bergaul dengan Nabi SAW, semangatnya untuk menuntut ilmu dan domisilinya.
Keenam, tabiin adalah orang yang pernah bertemu dengan sahabat Nabi SAW, beriman dan meninggal dalam keadaan Islam serta bergaul intensif dengan sahabat.
Ketujuh, tabi’in adalah generasi yang berjasa besar dalam menjaga keberlangsungan agama Islam dan ilmu-ilmunya. Oleh karena itu kita harus memulyakan dan menghormati mereka.
Kedelapan, obyek kajian hadits atau sunah dapat ditinjau dari dua segi; 1) dari segi definisi hadits atau sunah, maka obyek kajian hadits ada empat; aqwal, af’al, taqrir dan shifat Nabi SAW. 2) dari segi periwayatannya; obyek kajian meliputi tiga hal; perawi, sanad dan matan.



DAFTAR PUSTAKA

Al ‘Asqolany, Ibnu Hajar, Lisan Al Mizan, Editor, Adil Ahmad Abdu Al Maujud dan Ali Muh. Ma’ud,…….

Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam Cetakan ke IV, Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000.

Ismail, M. Syuhudi, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1995.

_______________, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Gema Insani Press, Jakarta, 1995.

Al Jauzy, Ibnu, Shifat Al Shafwah Jilid I, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiah, Beirut, t.th.

Al Kandahlawy, Muh. Yusuf, Sirah Shahabat; Keteladanan Orang-orang di Sekitar Nabi, Terj. Kathur Suhadi, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 1998.

Khalid, Khalid Muhammad, Karakteristik Perihidup Enampuluh Sahabat Rasulullah, Terj. Mahyudin Syaf et al, CV. Diponegoro, Bandung, 1998.

Al Khatib, M. Ajaj, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan, Terj. AH. Akrom Fahmi, Gema Insani Press, Jakarta, 1999.

Ash Shiddieqy, TM Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Diroyah Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1987.

Soetari, Endang, Ilmu Hadits, Amal Bakti Press, Bandung, 1997.

Thahhan, Mahmud, Ulumul Hadits; Studi Kompleksitas Hadits Nabi, Terj. Zaenal Mutaqin, Titian Illahi Press, Yogyakarta, 1997.

Zuhdi, Muhammad, Hadits Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, Editor: Fariz Umaya, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997.





1 . M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Gema Insani           Press, Jakarta, 1995: 35
2  M. Quraish Syihab dan M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshakhihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Bulan Bintang, Jakarta, 1995: XI
3  M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi …., Ibid: V. Kedua istilah itu dianggap sama oleh banyak ahli. Oleh karena itu demi pertimbangan praktis dan efisien, dalam makalah ini selanjutnya hanya akan memakai salah satu istilah saja bila dipandang perlu.
4  Thoha Hamim (Dosen Sejarah Peradaban Islam PPs Walisongo), disampaikan dalam perkuliahan tanggal 14 september 2003.
5  Muh. Yusuf Al Kandahlawy, Sirah Sahabat: Keadaan Orang-orang disekitar Nabi, Terjemah Kathur Suhardi, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 1998. Khususnya kajian tentang para sahabat, adapun kajian tentang tabi’in tidak akan selengkap itu.
6  Mahmud Thahhan, Ulumul Hadits; Studi Kompleksitas Hadits Nabi, Terj. Zaenul Mutaqin, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1997: 231
7  Ibnu Hajar Al Asqolani, Lisan at Mizan, Ditahqiq oleh Syaikh ‘Adil Ahmad Abdul Maujud,…..Definisi tersebut berasal dari pentahqiq.
8  Ibid. Definisi tersebut berasal dari para ahli hadits  semacam Bukhary dan Ahmad bin Hambal.
9  M. Ajaj Al Khathib, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan, Terj. AH. Akrom Fahmi, Editor Sholihat, Gema Insani Perss, Jakarta, 1999: 440
11     Ibid: 441
12    Ibid: 142. Secara logika mestinya ungkapan al-Khathib itulah yang lebih rasional. Karena agak mustahil ada data statistik yang paten pada zaman itu, khususnya tentang jumlah pasti dari sebuah kerumunan besar orang.
14     Begitulah komentar Khalid Muh. Khalid dalam bagian awal tulisannya. Lihat: Khalid Muh. Khalid, Karakteristik  Hidup Enam Puluh Sahabat Rasullullah , Terj. Mahyuddin Syaf, et all, CV. Diponegoro, Bandung, 1998: 15
15  Syekh Muh. Yusuf Al Kadahlawy, ibid: 270
16     Ibid: 271-272
17 Khalid Muh. Khalid, Ibid: 71
18  Syaikh Muh. Yusuf Al Kandahlawy, Ibid: 279-282
19  Ibid: 232-234
20 Ibnu Al Jauzy, Sifat Al Shafwah, jilid I, Dar Al Kutub Al Ilmiah, Beirut, thn: 98
21 Ibid: 97-98
22 Syaekh Muh. Yusuf Al Kandahlawy, Ibid: 245-246
23  M. Ajaj Al Khathib, Ibid:427
24  Mahmud Thohhan, Ibid: 232
25  M. Ajaj Al Khathib, Ibid: 428
26  Lihat Ibid: 431-436
27  Ibid, pada foot note nomor 28, alinea terakhir hal. 429-430, pendapatnya itu dikemukakan untuk menyanggah pendapat para penolak hadits yang berasal dari para sahabat yang terlibat pembrontakan  dan lain-lain. Para penolak hadits itu antara lain tokoh-tokoh Qodariyah, Mu’tazilah, Khawarij dan syiah.
28 M. Ajaj Al Khathib, Ibid: 424-425. Tentang Usman dan Ali dipandang sejajar. Sebab, sebagian umat Islam mengunggulkan Usman namun sebagian lain mengunggulkan Ali.
29 Ibid: 442
30 Ibid: 442-443
31 Ibid: 445-453
32 Ibid: 454-466
33 Ibid: 507-509
34 Ibid: 509-510
35 Ibid: 511-512
36 Syaikh ‘Adil Ahmad Abdul Maujud dan Syaikh Ali Muh. Mau’ud, Ibid:
37 Abdul Azis Dahlan, et all, (editor), Ensiklopedi Hukum Islam Cetakan IV, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000: 1730
38 Ibid
39 Ibid
40 Ibid
41 Ibid. Para ulama mempunyai kajian yang panjang lebar tentang tabi’in yang paling utama (afdlal al-tabi’in). Lihat kitab-kitab seperti Tadrib al-Rawi, Fath al-Mughits dan al-Ba’its al-Hatsits.
42 Ibid: 1730 - 1731
43 Muh. Zuhri, Hadits Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, Editor: Faraz Umaya, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997: 1
44 Endang Sutari, Ilmu Hadits, Amal Bakti Press, Bandung, 1997: 2. Definisi dikutip dari Al Khathib, Al  Sunah Qabla al Tadwin Maktabah Wahbah, Kairo, 1975: 19
45 Ibid: 6-7 dan Al Khathib, Ibid: 36
46 Muh. Zuhri, Ibid: 5
47 Al  Khathib, Ibid:
48 Endang Soetari, Ibid: 6
49 Muh. Zuhri, Ibid:
50 Endang Soetari, Ibid: 7
51 Muh. Zuhri, Ibid: 3
52 Ibid: 6
53 Endang Soetri, Ibid: 7. Mungkin kurang relevan memasukkan “ucapan” Nabi ke dalam sunnah. Sebab hal itu tidak sesuai dengan makna bahasa dari kata sunnah itu sendiri. Demikian juga mensyaratkan sunnah harus dinukil secara mutawatir.
54 Ibid
55 Ibid: 8
56 Endang Soetari, Ibid: 21
57 Ibid: 21-23
58 Ibid: 24
59 Ibid
60 M. Syuhudi Ismail, Kaidah…, Ibid: 56
61 Endang Soetari, Ibid: 24-26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar