KAJIAN HADITS DAN SUNNAH
I.
PENDAHULUAN
Umat Islam sejak jaman Nabi SAW, menyakini bahwa
sunah merupakan salah satu sumber ajaran Islam disamping Al qur’an1. Sayang ilmu hadits atau sunah termasuk
pengetahuan yang sangat sulit2.Kajian terhadap hadits atau sunah3
secara konperhensif tidak akan lepas dari kajian sejarah. Sebab, bila kita
ingin mengetahui shahih tidaknya suatu hdits terlebih dahulu kita harus
meneliti sanad-sanadnya. Sanad adalah The
law of autenticity4 yaitu perangkat
untuk menguji keautentikan sebuah hadits. Dalam hal ini yang dikaji antara lain
keadaan para perawi hadits, sejak perawi pertama sampai perawi terakhir. Perawi
awala adalah sahabat. Oleh karena itu mengetahui keadaan para pengikut Nabi SAW
(para sahabat) maupun generasi sesudahnya (para tabi’in) menjadi sangat penting5.
Hal-hal yang akan dikaji
berkaitan dengan keadaan para sahabat antara lain; definisi, jumlah, ahlaq,
peringkat, ilmu dan sahabat yang meriwayatkan banyak hadits. Sedangkan kajian
yang terkait dengan tabi’in antara lain tentang definisi, kriteria,
keistimewaan dan nama-nama tabi’in yang meriwayatkan hadits.
Selanjutnya bagian penting lain bagi orng yang hendak
mengkaji ilmu hadits adalah mengetahui apa obyek atau ruang lingkup kajiannya.
Bagian ini membicarakan cakupan kajian hadits atau sunah, ini pulalah yang
hendak dikaji oleh tulisan ini pada bagian selajutnya.
II. KEADAAN PARA PENGIKUT NABI
A.
Sahabat
Definisi Sahabat
Sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan masa turunnya wahyu,
menguasai tafsir dan ta’wil, mendalami agama Allah, mengetahui
perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, mendorong, menegakkan serta
menjaga agama Allah6.
Definisi lain menyebutkan:
Sahabat adalah orang yang berjumpa Nabi SAW dalam keadaan sudah mumayiz
dan beriman kepada beliau, mati dalam keadaan Islam, baik dalam menyertai Nabi
lama atau sebentar, meriwayatkan hadits atau tidak, ikut berperang bersama Nabi
atau tidak7.
Definisi yang lebih pendek adalah “orang-orang yang bertemu dengan Nabi
SAW dalam keadaan Islam dan mati dalam keadaan Islam pula, sekalipun pernah
murtad”8.
Bila diperhatikan ketiga definisi diatas nampaknya para ulama’ terbagi
menjadi tiga kelompok; pertama kelompok yang sangat ketat dalam mengkategorikan
sahabat. Hal itu terlihat dalam definisi pertama diatas. Kedua kelompok tengah.
Hal itu terlihat pada kelompok kedua.
Dan kelompok ketiga adalah kelompok yang paling sederhana dalam
mendefinisikan sahabat, seperti terlihat dalam definisi kelompok ketiga di
atas.
Dari ketiga definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa paling tidak
ada tiga hal kriteria sahabat yang disepakati ulama’; pertama, mereka pernah bertemu Nabi atau menyaksikan masa tasyri’, kedua dalam keadaan mumayiz
pada saat bertemu Nabi atau menyaksikan masa tasyri’, dan ketiga
beriman kepada Nabi, paling tidak pada sebagian waktu hidupnya dan mati dalam
keadaan Islam.
B.
Jumlah atau Bilangan Sahabat
Amat sulit untuk menghitung jumlah atau bilangan sahabat, sebab di
samping karena banyaknya juga kerena luasnya daerah yang mereka diami yang
meliputi berbagai negara. Oleh karena itu bila disebut angka itu hanyalah
perkiraan9.
Al Bukhary meriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik menyatakan bahwa jumlah
sahabat di sekitar perang Tabuk itu banyak dan nama-nama mereka tidak muat
andai ditulis dalam suatu kitab. Muslim meriwayatkan bahwa
Ibnu Abbas berkata bahwa jumlah sahabat Nabi yang mengiringi beliau saat
berjalan dari Madinah ke Mekah (pristiwa Fathu Makah) adalah sepuluh ribu
orang.
Dalam kitab Nur Al Yaqin disebutkan
bahwa saat Haji Wada’ Nabi diiringi oleh sembilan puluh ribu kaum muslimin.
Dalam kitab Fath Al Mughits disebutkan
bahwa jumlah sahabat yang mendengar dan meriwayatkan hadits dari nabi pada
waktu Nabi wafat adalah seratus empat belas ribu orang11.
Karena riwayat-riwayat hadits tentang jumlah para sahabat tidak bisa
menunjukkan angka yang sama, maka M. Ajaj Al Khathib tidak berani menyimpulkan
berapa jumlah mereka, hanya dikatakan “banyak”12.
Akan tetapi Mahmud Thahhan berani menyatakan bahwa jumlah sahabat lebih dari
seratus ribu orang. Dan beliau lebih cenderung kepada hadits Zar’ah Al Rozi yang menyatakan bahwa jumlah sahabat
nabi pada waktu wafat beliau adalah empat belas ribu orang13
C.
Ahlaq Sahabat
Secara umum ahlaq para sahabat adalah mirip dengan
ahlaq Rasulullah SAW dalam berbagai hal14, paling tidak sampai taraf tertentu. Karena
kita tahu bahwa didunia ini tidak ada orang yang bisa menyamai ahlaq
Rasulullah, sekalipun para murid atau anggota keluarga beliau.
Pada suatu hari Nabi SAW, berkata kepada Ja’far:
“Engkau mirip dengan ku dalam ahlaq ini dan itu” (HR. Ahmad dari Abdullah bin
Aslam). Menurut riwayat al Thabrani dari Abdurrahman al Qursy Rasulullah pernah
menyatakan bahwa Usman adalah orang yang akhlaqnya paling mirip dengan beliau.15
Demi efisiensi berikut ini, akan dikemukakan secara
singkat ahlaq-ahlaq yang menonjol dari para individu sahabat.
Ibnu Abas
adalah orang yang paling murah hati (Riwayat Ibnu Sa’ad dari Sa’ad bin Abi
Waqash).
Usman bin Afan sangat ketat dalam menutup aurat,
sehingga diwaktu mandi dalam rumah sendirian pun tetap mengenakan kain (Riwayat
Ahmad dari Al Hasan R.A)
Ali bin Abi Thalib biasa membelikan sesuatu dan
membawanya sendiri, ketika ada orang yang hendak menolongnya, ditolaknya
(Riwayat Al Bukhary dari Shahih, dari neneknya)16.
Salman Al Farisi saat menjabat sebagai amir di Madain suatu saat berjalan di
suatu jalan, tiba-tiba ia disuruh membawakan sepikul buah tin dan kurma oleh
seorang Syiria, karena tidak tahu siapa Salman, namun Salman pun menurut saja.17. Kedua sahabat di atas menggambarkan
sikap tawadu’nya yang mengagumkan.
Abu Bakar dikenal amat wara’. (Riwayat Ahmad dari
Muh Ibnu Sirin)Abdullah r.a, sangat takut berkata bohong.(Riwayat
Al Thabrany dari Abu Wa’il).Umar bin Khathab r.a, orang yang senang intropeksi
diri.(Riwayat Malik Ibnu Sa’ad dari Anas Bin Malik)18.
Kejuhudan merupakan hal yang amat menonjol
dikalangan sahabat. Misalnya kezuhudan Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Abu
Ubaidilah bin Al Jarrah, Mush’ab bin Umair, Salman Al Farizi, Abu Dzar Al
Ghifari, Abu Al Darda, Al Ajlaj Al Ghafhafany dan Abdullah bin Umar19.
Para sahabat dikenal sebagai pecinta kebenaran,
kebaikan dan perjuangan Islam. Kecintaan terhadap hal-hal seperti itu sering
kali lebih didahulukan dari pada terhadap diri mereka sendiri atau keluarga.
Diriwayatkan dari Anas, bahwa pada waktu perang uhud tentara Islam mundur dari
medan perang dan tidak melihat Nabi SAW
sehingga mereka menyangka Muhammad terbunuh. Mereka berteriak-teriak
hingga makin banyak orang yang memadati tepi kota Madinah. Muncullah seorang
wanita Anshar yang ayah, anak, suami dan saudaranya ikut berperang. Namun,
bukan mereka yang pertama kali dia cari, melainkan Nabi Muhammad SAW, apakah
beliau selamat atau tidak20.
Kecintaan para sahabat terhadap Nabi SAW juga tergambar dalam sejarah, pada
waktu itu beliau dicukur oleh para sahabat dan mereka berebut rambut beliau hingga tidak ada yang
jatuh ketanah (Riwayat Muslim dari Anas).21.
Para sahabat takut menyalahi perintah Rasul22. Melihat ahlaq para sahabat yang
tersebut dalam lembaran sejarah Islam
yang penuh dengan keteladaan jumhur ulama’ berpendapat bahwa semua sahabat adalah orang-orang yang memiliki sifat adil,
baik yang terlibat dalam pemberontakan
maupun tidak23. Adil
maksudnya terjauh dari sengaja berbuat dusta dalam meriwayatkan hadits atau
menyelewengkannya24.
Pendapat Jumhur itulah yang dipegang oleh Al Khathib25 dan lain-lain, dengan alasan, di
samping banyak dalil yang menjustifikasi keadilan para sahabat26 juga alasan bahwa keterlibtan para
sahabat dalam pemberontakan adalah hasil ijtihad mereka, dimana kalau benar
mendapat dua pahala, dan jika salah mendapat satu pahala27.
D.
Peringkat Sahabat
Terdapat perbedaan peringkat sahabat antara satu
dengan yang lainnya. Hal itu mengingat bahwa mereka memiliki perbedaan
intensitas baik dalam perjuangan membela Islam, kedekataannya dengan Nabi SAW
dan saat masuknya keagama Islam.
Peringkat sahabat termasyhur adalah yang dibuat
oleh Al Hakim sebagai berikut:
1.
Pemeluk Islam pertama diMekah seperti empat khalifah.
2.
Sahabat-sahabat yang masuk Islam sebelum pristiwa
persetongkolan kafir qurais di Dar al Nadwah.
3.
Sahabat yang ikut hijrah ke Habasyah.
4.
Sahabat yang berbaiat pada baiah Aqobah yang pertama.
5.
Sahabat yang berbaiat pada baiah Aqobah yang kedua.
6.
Sahabat yang menyusul Nabi hijrah keMadinah saat beliau baru sampai diQuba’.
7.
Sahabat yang ikut perang Badar
8.
Sahabat yang hijrah ke Madinah pada waktu antara
terjadinya perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah.
9.
Sahabat yang ikut baiah al Ridwan di Hudaibiyah.
10. Sahabat
yang ikut berhijrah ke Madinah pada waktu antara terjadinya perdamaian
Hudaibiyah dan Fath Makah.
11. Sahabat
yang masuk Islam pada Fath Makah
12. Anak-anak
yang melihat Nabi SAW pada saat Fath Makah, Haji Wada’, dan pristiwa lain.
Ahlu surah berpendapat bahwa sahabat yang paling utama adalah Abu Bakar
lau Umar, setelah itu Usman dan Ali28.
E.
Ilmu Para Sahabat
Ilmu para sahabat tentang sunah, prilaku dan ucapan
Rasulullah tidak sama. Hal itu disebabkan perbedaan tingkat kebersamaan dan
kedekatannya dengan Rasulullah SAW. Ada yang sebagian besar waktunya dihabiskan
bersama Rasulullah seperti Anas dan Abu Hurairah. Namun, ada juga yang waktunya
disibukkan oleh bisnis duniawi seperti sebagian orang Badui dan orang-orang
kota. Menurut istilah Masruq, ibarat kolam air, para sahabat ada yang hanya
memuaskan satu orang yang meminumnya (karena sedikitnya air), ada yang
memuaskan dua orang, seratus orang dan bahkan ada yang jika seluruh penduduk
bumi meminumnya ia bisa memuaskan mereka29.
Menurut Ibnu Hazm, kita dapat mengetahui ilmu seorang
sahabat dari dua hal. Pertama, banyaknya
meriwayatkan hadits dan memberi fatwa. Kedua, banyaknya tugas (misal
sebagai delegasi atau pejabat) yang diberikan kepadanya. Sebab, mustahil Rasulullah
memberi tugas kepada orang yang tidak berilmu30.
F.
Sahabat Yang Meriwayatkan Banyak Hadits
1.
Abu Hurairah (19
SH- 59 HAM)
Nama aslinya adalah abdul al Rahman bin Shakhr al Dausi al Yamani. Di
juluki Abu Hurairah karena ketika kecil suka bermain-main dengan kucingnya.
Rasulullah sendiri menjulukinya dengan Abu Hirr.
Ia telah masuk Islam sejak diYaman dan ikut hijrah ke Madinah pada tahun
ke 7 H. Kehidupannya penuh dengan kesederhanaan dan kezuhudan. Ia sendiri
sangat miskin, namun sangat pemurah. Ia selalu menyertai Nabi SAW sampai akhir hayatnya.
Ia mengabdikan diri kepada beliau, masuk rumah beliau dan menemani beliau
ketika menunaikan ibadah Haji, berperang, diperjalanan dan dirumah siang dan
malam. Ia bersahabat dengan Nabi selama
empat tahun dan bertempat di al Shufah. Ia orang yang konsisten
dengan sunah Nabi dan sholeh. Ia rajin berpuasa sunah dan qiyamullail. Perangainya periang dan humoris. Ia menjauhkan diri
dari pemberontakan-pembrontakan. Ia pernah diutus oleh Rasulullah menyebarkan
Islam di Bahrain, meriwayatkan hadits dan memberi watfa kepada masyarakat. Pada
masa Umar ia diangkat oleh beliau menjadi gubenur diBahrain31. Di bidang ilmiah ia sangat menonjol.
Hal itu bermula dari semangatnya untuk belajar kepada Rasulullah dan do’anya
agar diberi ilmu yang tidak terlupakan. Ia banyak bertanya kepada Rasulullah
tentang berbagai hal, sesuatu yang kebanyakan sahabat lain tidak berani
melakukannya. Disamping itu pula ia diberi anugrah berupa daya hafal yang
sangat kuat. sehingga di dalam dirinya berkumpul dua hal yang saling menunjang;
pertama keluasan ilmunya dan banyaknya jumlah hadits yang ia riwayatkan dan
kedua, kekuatan daya ingatnya dan kecermatannya yang sangat bagus.
Ia menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Imam Ahmad bin
Hambal dalam kitab Musnadnya meriwayatkan
3.848 hadits dari Abu Hurairah yang masih banyak hadits yang diulang-ulang baik
redaksi atau maknanya. Imam Baqi bin Makhlad (201-276 H) dalam kitab musnadnya meriwayatkan 5.374 hadits dari
Abu Hurairah, Imam al Bukhary dalam shahihnya meriwayatkan 93 hadits dari
beliau dan Imam Muslim meriwayatkan 189 hadits32.
2.
Abdullah bin Umar (10 SH- 73 H)
Ia masuk Islam sewaktu masih kecil. Ia berhijrah bersama ayahnya yang
menurut satu riwayat dan ia mendahului ayahnya. Ia telah berniat untuk perang
Badar dan Uhud sewaktu usianya baru 11 tahun. Namun Rasulullah melarangnya.
Baru ia diijinkan ikut berperang saat perang Khandaq ketika usianya mencapai 15
tahun.
Ia dikenal sebagai orang yang sangat bersemangat meneladani Rasulullah.
Ia juga aktif menghadiri majelis-majelis Rasulullah dan berusaha bertanya
kepada sahabat lain jika ia sendiri tidak bisa hadir.
Ia meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW, juga dari Abu Bakar, Umar,
Ustman, Abu Dzar, Mu’adz, Aisyah dan lain-lain.
Ia pemuda yang pandai mengekang diri dari kesenangan dunia, berani
menegakkan kebenaran, amat shalih, taqwa dan taat beribadah. Pribadinya dikenal
sebagai orang yang rendah hati, toleran, kasih sayang dan murah hati.
Dari padanya diriwayatkan sebanyak 2.630 buah hadits. Imam Bukhary dan
Muslim mentakhrij hadits darinya sebanyak 280 buah dan 168 diantaranya
disepakati oleh keduanya. Hadits Ibnu Umar termuat dalam kitab al Kutub, al
Sittah, kitab-kitab musnad dan
kitab-kitab sunah yang lain33.
3.
Anas Bin Malik (10 SH- 93 H)
Namanya Anas bin Malik bin al Nadhar bin Dhamdham al Anshari al Khazraji
al Najjari. Ibunya Umu Sulaim, telah menghadapkan Anas kepada Rasulullah
sewaktu beliau baru tiba dari Madinah guna mengabdi pada beliau, dan Nabi
menerimanya. Maka Anas hidup bersama Nabi selama puluhan tahun sebagai pembantu
rumah tangga beliau.
Ia meriwayatkan hadits langsung dari Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar,
Usman, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Rawahah, Fatimah, Abdurrahman bin Auf
dan lain-lain.
Dari Anas bin Malik diriwayatkan sebanyak 2.286 hadits. Imam al Bukhary
dan Muslim mentahrij darinya sebanyk 318 hadits dan 168 hadits diantaranya
disepakati oleh keduanya.
Ia adalah orang yang banyak beribadah kepada Allah dan paling mirip tata
sholatnya dengan Rasulullah. Disamping itu juga ia adalah seorang yang pendiam.
Sewaktu jaman Abu Bakar, ia diserahi tugas sebagai si’ayah (pemungut zakat dan membagikannya kepada orang yang berhak
menerimanya) di Bahrain. Kemudian ia pindah ke Madinah, lalu menetap di Basrah.
Ia menjadi pusat perhatian para ahli ilmu34.
4.
Aisyah Umul Mukminin
Ia putri Abu Bakar al Shidiq. Ia diperistri oleh Rasulullah SAW pada
bulan syawal setelah perang Badar dan tinggal bersama beliau selama delapan
tahun lima bulan. Ia merupakan istri yang paling dicintai dibanding istri-istri
Nabi yang lainnya. Ia wanita cerdas, cerdik dan tekun menuntut ilmu. Ia bangga
menjadi istri Rasulullah dan hidup bersama beliau. Ia banyak mengetahui hukum
Islam khususnya berkaitan dengan wanita. Ia diakui sebagai sahabat yang paling
banyak ilmunya. Ia juga banyak menguasai ilmu kedokteran. Tidak heran ia
menjadi tempat rujukan para sahabat lain tentang berbagai jenis ilmu.
Sumber haditsnya langsung berasal dari Rasulullah, Abu Bakar, Umar,
Fatimah, Sa’id bin Waqas, Asid bin Hudhair, judzamah bin Wahab dan Hamzah bin
Amr.
Aisyah telah meriwayatkan 2.210 hadits. Sebanyak 316 hadits terdapat
dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim, yang disepakati bersama 197 hadits35.
B. Tabi’in
1. Definisi Tabi’in
“Tabi’in adalah generasi sesudah sahabat, orang-orang
yng membela mereka, haus akan kedalaman ilmu keislaman dan menyebarkan
hukum-hukum, sunah dan atsar yang mereka terima”36.
Definisi lain menyebutkan; “Tabi’in adalah generasi Islam yang pernah bertemu
dengan generasi sahabat Nabi Muhammad SAW dan beriman sampai akhir hayatnya”,
atau “Kaum muslimin generasi kedua, yakni mereka yang memeluk Islam ditangan
para sahabat Nabi SAW”.
Jika ketiga definisi diatas diambil intisarinya, maka
yang paling pokok bagi definisi tabi’in ada dua; pertama, pernah bertemu dengan sahabat, kedua beragama Islam37.
2. Kreteria Tabi’in
Dari definisi diatas dapat diambil pemahaman bahwa
kriteria tabi’in adalah sebagai berikut: a) harus pernah berjumpa dengan
sahabat Nabi SAW sekalipun dengan sahabat yang termuda (Sighar al Shahabah), b)
harus beriman dan meninggal dalam keadaan Islam dan c) pertemuan dengan sahabat
Rasul bukan sekedar bertemu dan beriman, tetapi harus betul-betul bergaul38.
Periode tabi’in dianggap sebagai salah satu periode
yang paling autentik dalam sejarah Islam, yaitu periode terbaik ketiga
sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Sebaik-baiknya generasi
adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya (generasi sahabat), kemudian
generasi berikutnya (generasi Tabi’in) dan seterusnya” (HR. Turmudzi, Thabrani,
Muslim)39.
Dari masa hidup tabi’in dapat dibagi menjadi tiga
kategori; a) Kibar al Tabi’in (tabi’in
besar) yaitu tabi’in yang hidup sebelum akhir abad I H, seperti Ibrahim bin
Yazid al Nakhai (wafat 95 H) dan Sa’id bin Musayab (wafat 94 H). b) Ausath
al Tabi’in (tabi’in pertengahan) yaitu yang hidup antara awal dan
pertengahan abad II H, seperti Nafi Maula Ibnu Amr (wafat 117 H). c) Shighar al Tabi’in (tabi’in kecil) yaitu
yang hidup sampai akhir abad II H, seperti Imam Syafi’i40.
3. Keistimewaan Tabi’in
Tabi’in telah menggantikan kedudukan para sahabat
dalam mengemban tugas keilmuan dan keagamaan. Oleh karena itu mereka patut
menerima penghormatan dan penghargaan. Allah sendiri telah memberikan
penghormatan dengan menyebut nama mereka didalam kitab suci-Nya dan menyatakan
keridho’an-Nya. Surat at Taubah ayat 100 menyatakan “Orang-orang terdahulu lagi
yang pertama-tama masuk Islam dari Mujahirin dan Anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah Ridho kepada mereka dan merekapun ridho
kepada Allah SWT”.
Mengenai keistimewaan perseorangan terjadi perbedaan
pendapat, karena setiap daerah menonjolkan kelebihan dan keistimewaan tabi’in
yang ada didaerahnya masing-masing41.
5.
Beberapa Tokoh Fiqh dan Hadits dari Kalangan Tabi’in
a.
Di Mekah: Atha bin Abi Rabah (wafat 27 H) dan Thawas
bin Kaisan al Yamani (wafat 106 H).
b.
Di Madinah: Sa’id bin Musayab, Urwah bin Zubair (wafat
94 H), Abu Salamah bin Abdu al Rahman bin Auf (wafat 94 H), Ubaidilas bin
Abdullah bin Athiah (wafat 94 H), Sulaiman bin Yasar (wafat II H), Kharijah bin
Zaid (wafat 100 H) dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash Shidiq (wafat 106
H).
c.
Di Kufah: Al qomah bin Qais al Nakhai (wafat 62 H) yang
menjadi sumber ilmu bagi masyarakatnya dan Masruk bin Ajda’ al Hamdani (wafat
63 H).
d.
Di Basrah: Al Hasan al Basri (21 H) dan Muhammad bin
Sirin (wafat 110 H).
e.
Di Syam (Suriah): Abu Idris al Khaulani (wafat 80 H)
dan Makhul bin Abu Muslim (wafat 113 H).
f.
Di Mesir: Yazid bin Abi Habib (wafat 128 H)42.
III. KAJIAN HADITS, SUNAH SERTA CAKUPANNYA
A.
Hadits dan Sunah: Persamaan dan Perbedaannya
1.
Definisi Hadits
“Hadits adalah semua yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan,
perbuatan, persetujuan-persetujuan ataupun sifat”43.
Dalam redaksi yang agak berbeda dikatakan bahwa “Hadits adalah segala
sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir,
sifat fisik maupun pisikis (ahlaq) Nabi SAW”44.
Kedua definisi diatas memiliki kemiripan. Definisi yang kedua hanya
sedikit menjelaskan definisi pertama.
2.
Definisi Sunah
“Sunah adalah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, sifat,
baik sifat fisik atau ahlaq, atau sirah (tingkah
laku) baik pada waktu sebelum bi’tsah maupun
sesudahnya”45. Definisi lain
berbunyi:”sunah adalah apa saja yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, baik
ketika beliau diutus (sebagai Rasul) maupun belum, baik dalam kapasitasnya
sebagai rasul maupun bukan”46.
Sunah dengan definisi pertama sama dengan pengertian hadits 47, sedang sunah dalam definisi kedua
khas bagi sunah, yang secara bahasa berarti “jalan yang dilalui”48 atau “tata cara”, “jalan yang ditempuh
lalu diikuti oleh orang lain” atau “metode tentang tindakan” atau “sikap hidup”49.
3.
Perbedaan dan Persamaan Hadits dan Sunah
Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa yang menyamakan sunah dengan
hadits adalah ulama mutaakhirin50, para ulama’ hadits dari dulu banyak
memakai kata “hadits”, bukan “sunah”. Dari sini hadits harus dibedakan dari
sunah. Muh. Zuhri meninjaunya dari segi bahasa. Bahwa “hadits” secara bahasa
berarti “khabar” yang artinya “berita”51.
Dan kata “sunah” mengarah ke “tingkah
laku”, “kebiasaan” atau “perbuatan yang sering dilakukan”.
Maka muh. Zuhri menyatakan bahwa hadits berkaitan dengan perhatian ulama’
terhadap pemberitaan/ berita. Artinya, ia disebut hadits karena yang berasal
dari Rasul itu berita. Dan disebut al sunah karena yang berasal dari Rasul itu
berupa prilaku yang menjadi kebiasaannya, sebagai suri tauladan umatnya52.
Hasbi Ash-Shiddieqy melihatnya dari sudut pandang bahwa kata “hadits”
terkait dengan ucapan atau tindakan yang tidak harus berulang, sedangkan kata
“sunah” sesuai dengan salah satu makna bahasanya yaitu “kebiasaan” atau
“tradisi”, maka dia berpendapat bahwa “hadits” konotasinya adalah segala
pristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi SAW walaupun hanya sekali beliau kerjakan
dan diriwayatkan secara ahad. Sedang
“sunah” adalah sesuatu yang diucapkan
atau dilakukan oleh Nabi SAW terus menerus dan dinukil dari masa kemasa dengan
jalan mutawatir53.
Kebanyakan para ulama’ menyamakan hadits dengan sunah54, jika mau dibedakan bisa, seperti
terlihat dalam uraian di atas, khususnya jika tinjauannya adalah lughawi. Namun, jika tinjauannya istilahi ternyata para ulama’ tidak
begitu membedakan hadits atau sunah, yang baku keduanya dimaksudkan untuk
menyebut sesuatu yang berasal dari Nabi SAW baik perkataan, perbuatan atau
persetujuannya55.
Bagi penulis membedakan hadits dengan sunnah perlu untuk kalangan
terbatas, misalnya kalangan akademik. Jika mau dibedakan harus kembali ke makna
lughawi secara konsisten seperti
pendapat Muh.Zuhri, bukan seperti pendapat Ash-Shiddieqy. Jadi “hadits” khusus
untuk sesuatu yang berkenaan dengan ucapan Nabi SAW, sedangkan “sunnah” untuk
sesuatu yang terkait dengan kebiasaan Nabi SAW, tentunya berupa perbuatan. Di
samping itu pembedaan juga bisa berangkat dari sabda Nabi:” ‘Alaikum bisunnaty…” bahwa “hadits” lebih
umum dari “sunnah”. “Hadits” bisa tak terkait agama termasuk riwayat Nabi
sebelum menjadi Rasul. Sedangkan “sunnah” khusus terkait dengan agama.
B.
Ruang Lingkup Kajian Hadits atau Sunah
Berangkat dari definisi hadits dan sunah bahwa hadits atau sunah meliputi;
1) perkataan atau ucapan (aqwal), 2)
perbuatan (af’al), 3) persetujuan
atau taqrir, 4) sifat atau keadaan
fisik maupun rukhani (ahlaq), maka dapat dikatakan bahwa ruang lingkup kajian
hadits atau sunah ada empat 56.
1)
Perkataan (aqwal),
adalah sesuatu yang pernah beliau ucapkan, baik tentang aqidah, hukum, ahlaq,
pendidikan dan lain-lain.
2)
Perbuatan (af’al)
adalah apa yang beliau kerjakan yang merupakan penjelasan dan pengamalan
praktis terhadap syari’at, misalnya praktik ibadah, muamalah dan lain
sebagainya.
3)
Persetujuan/ mendiamkan sebagai tanda setuju (taqrir), ialah sikap diamnya Nabi SAW
sebagai tanda setuju terhadap suatu pekerjaan atau ucapan yang terjadi di
hadapan beliau.
4)
Sifat atau keadaan fisik atau rukhani (ahlaq) Nabi SAW
(shifah khalqiyah au khuluqiyah)57, misalnya bahwa Nabi SAW merupakan
orang yang wajahnya dan budi pekertinya sangat idial, ahlaqnya adalah Al qur’an
dan lain sebagainya.
Ruang lingkup atau obyek kajian hadits juga dapat dilihat dari segi
periwayatannya58. Pada periwayatan
hadits ada tiga unsur yakni; 1) perawi,
2) sanad dan 3) matan atau marwi. Rawi ialah
subyek periwayatan hadits (perawi) yaitu orang yang menerima, memelihara dan
menyampaikan hadits dengan menyertakan sandaran periwayatannya59. Tugas perawi dan penghimpun hadits
tidak hanya sebatas mencatat materi hadits, melainkan juga mencatat rangkaian
nama-nama periwayatannya yang biasa disebut sanad60. Perawi pertama dari suatu hadits
adalah sahabat, sedang perawi terakhir adalah penghimpun/ penulis suatu kitab
hadits. Sanad atau thariq ialah jalan yang menghubungkan matan hadits dengan Nabi SAW. Sanad ialah sandaran hadits, yakni
refrensi atau sumber yang memberitakan hadits, yakni rangkaian para perawi
keseluruhan yang meriwayatkan suatu hadits, atau rangkaian para perawi yang
menjadi sumber pemberitaan hadits. Matan ialah
materi berita, yakni lafadz (teks)
hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat atau tabi’in yang letaknya
dalam suatu hadits pada penghujung sanad61.
IV. KESIMPULAN
Pertama, sahabat
adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan mumayiz, beriman kepada beliau, dan
meninggal dalam keadaan Islam.
Kedua, jumlah
sahabat Nabi SAW tidak diketahui dengan pasti, karena domisili mereka terpencar
diberbagai negara.
Ketiga, ahlaq para sahabat semuanya baik
(adil). Dalam arti tidak mungkin berani berdusta atas nama Nabi SAW.
Keempat, peringkat
sahabat berbeda-beda tergantung intensitasnya dalam membela Nabi SAW dan Islam,
kedekatannya dengan beliau serta waktu masuknya kedalam agama Islam.
Kelima, keilmuan
dan penguasaan sahabat terhadap hadits juga berbeda-beda. Hal itu disebabkan
oleh perbedaan mereka dalam bergaul dengan Nabi SAW, semangatnya untuk menuntut
ilmu dan domisilinya.
Keenam, tabiin
adalah orang yang pernah bertemu dengan sahabat Nabi SAW, beriman dan meninggal
dalam keadaan Islam serta bergaul intensif dengan sahabat.
Ketujuh, tabi’in
adalah generasi yang berjasa besar dalam menjaga keberlangsungan agama Islam
dan ilmu-ilmunya. Oleh karena itu kita harus memulyakan dan menghormati mereka.
Kedelapan, obyek
kajian hadits atau sunah dapat ditinjau dari dua segi; 1) dari segi definisi
hadits atau sunah, maka obyek kajian hadits ada empat; aqwal, af’al, taqrir dan shifat
Nabi SAW. 2) dari segi periwayatannya; obyek kajian meliputi tiga hal; perawi, sanad dan matan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al ‘Asqolany, Ibnu Hajar, Lisan
Al Mizan, Editor, Adil Ahmad Abdu Al Maujud dan Ali Muh. Ma’ud,…….
Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi
Hukum Islam Cetakan ke IV, Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000.
Ismail, M. Syuhudi, Kaidah
Keshahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1995.
_______________, Hadits Nabi
Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Gema Insani Press, Jakarta,
1995.
Al Jauzy, Ibnu, Shifat Al Shafwah
Jilid I, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiah, Beirut, t.th.
Al Kandahlawy, Muh. Yusuf, Sirah
Shahabat; Keteladanan Orang-orang di Sekitar Nabi, Terj. Kathur Suhadi,
Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 1998.
Khalid, Khalid Muhammad, Karakteristik
Perihidup Enampuluh Sahabat Rasulullah, Terj. Mahyudin Syaf et al, CV.
Diponegoro, Bandung, 1998.
Al Khatib, M. Ajaj, Hadits Nabi Sebelum
Dibukukan, Terj. AH. Akrom Fahmi, Gema Insani Press, Jakarta, 1999.
Ash Shiddieqy, TM Hasbi, Pokok-Pokok
Ilmu Diroyah Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1987.
Soetari, Endang, Ilmu Hadits, Amal
Bakti Press, Bandung, 1997.
Thahhan, Mahmud, Ulumul Hadits;
Studi Kompleksitas Hadits Nabi, Terj. Zaenal Mutaqin, Titian Illahi Press,
Yogyakarta, 1997.
Zuhdi, Muhammad, Hadits Nabi:
Telaah Historis dan Metodologis, Editor: Fariz Umaya, PT. Tiara Wacana,
Yogyakarta, 1997.
1 . M.
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut
Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Gema Insani Press, Jakarta, 1995: 35
2 M. Quraish Syihab dan M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshakhihan Sanad Hadits: Telaah
Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Bulan Bintang, Jakarta,
1995: XI
3 M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi …., Ibid: V.
Kedua istilah itu dianggap sama oleh banyak ahli. Oleh karena itu demi
pertimbangan praktis dan efisien, dalam makalah ini selanjutnya hanya akan
memakai salah satu istilah saja bila dipandang perlu.
4 Thoha Hamim (Dosen Sejarah Peradaban Islam
PPs Walisongo), disampaikan dalam perkuliahan tanggal 14 september 2003.
5 Muh. Yusuf Al Kandahlawy, Sirah Sahabat: Keadaan Orang-orang disekitar
Nabi, Terjemah Kathur Suhardi, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 1998. Khususnya
kajian tentang para sahabat, adapun kajian tentang tabi’in tidak akan selengkap
itu.
6 Mahmud Thahhan, Ulumul Hadits; Studi Kompleksitas Hadits Nabi, Terj. Zaenul
Mutaqin, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1997: 231
7 Ibnu Hajar Al Asqolani, Lisan at Mizan,
Ditahqiq oleh Syaikh ‘Adil Ahmad Abdul Maujud,…..Definisi tersebut berasal dari
pentahqiq.
8 Ibid. Definisi tersebut berasal dari para
ahli hadits semacam Bukhary dan Ahmad
bin Hambal.
9 M. Ajaj Al Khathib, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan, Terj. AH. Akrom Fahmi, Editor
Sholihat, Gema Insani Perss, Jakarta, 1999: 440
11
Ibid: 441
12
Ibid: 142. Secara logika mestinya ungkapan al-Khathib itulah yang lebih
rasional. Karena agak mustahil ada data statistik yang paten pada zaman itu,
khususnya tentang jumlah pasti dari sebuah kerumunan besar orang.
14
Begitulah komentar Khalid Muh. Khalid dalam bagian awal
tulisannya. Lihat: Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Hidup Enam Puluh Sahabat Rasullullah , Terj.
Mahyuddin Syaf, et all, CV. Diponegoro, Bandung, 1998: 15
15
Syekh Muh. Yusuf Al Kadahlawy, ibid: 270
17 Khalid Muh.
Khalid, Ibid: 71
18 Syaikh Muh. Yusuf Al Kandahlawy, Ibid:
279-282
19 Ibid: 232-234
20 Ibnu Al
Jauzy, Sifat Al Shafwah, jilid I, Dar
Al Kutub Al Ilmiah, Beirut, thn: 98
21 Ibid:
97-98
22 Syaekh
Muh. Yusuf Al Kandahlawy, Ibid: 245-246
23 M. Ajaj Al Khathib, Ibid:427
24 Mahmud Thohhan, Ibid: 232
25 M. Ajaj Al Khathib, Ibid: 428
26 Lihat Ibid: 431-436
27 Ibid, pada foot note nomor 28, alinea
terakhir hal. 429-430, pendapatnya itu dikemukakan untuk menyanggah pendapat
para penolak hadits yang berasal dari para sahabat yang terlibat pembrontakan dan lain-lain. Para penolak hadits itu antara
lain tokoh-tokoh Qodariyah, Mu’tazilah, Khawarij dan syiah.
28 M. Ajaj Al Khathib, Ibid: 424-425.
Tentang Usman dan Ali dipandang sejajar. Sebab, sebagian umat Islam
mengunggulkan Usman namun sebagian lain mengunggulkan Ali.
29 Ibid: 442
30 Ibid:
442-443
34 Ibid:
509-510
35 Ibid:
511-512
36 Syaikh
‘Adil Ahmad Abdul Maujud dan Syaikh Ali Muh. Mau’ud, Ibid:
37 Abdul Azis Dahlan, et all, (editor), Ensiklopedi Hukum Islam Cetakan IV, PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000: 1730
38 Ibid
39 Ibid
40 Ibid
41 Ibid.
Para ulama mempunyai kajian yang panjang lebar tentang tabi’in yang paling utama
(afdlal al-tabi’in). Lihat
kitab-kitab seperti Tadrib al-Rawi, Fath
al-Mughits dan al-Ba’its al-Hatsits.
42 Ibid:
1730 - 1731
43 Muh. Zuhri, Hadits Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, Editor: Faraz Umaya,
Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997: 1
44 Endang Sutari, Ilmu Hadits, Amal Bakti Press, Bandung, 1997: 2. Definisi dikutip
dari Al Khathib, Al Sunah Qabla al
Tadwin Maktabah Wahbah, Kairo, 1975: 19
45 Ibid: 6-7
dan Al Khathib, Ibid: 36
46 Muh.
Zuhri, Ibid: 5
47 Al Khathib, Ibid:
48 Endang
Soetari, Ibid: 6
49 Muh.
Zuhri, Ibid:
50 Endang
Soetari, Ibid: 7
51 Muh.
Zuhri, Ibid: 3
52 Ibid: 6
53 Endang Soetri, Ibid: 7. Mungkin kurang
relevan memasukkan “ucapan” Nabi ke dalam sunnah. Sebab hal itu tidak sesuai
dengan makna bahasa dari kata sunnah itu sendiri. Demikian juga mensyaratkan
sunnah harus dinukil secara mutawatir.
54 Ibid
55 Ibid: 8
56 Endang
Soetari, Ibid: 21
57 Ibid:
21-23
58 Ibid: 24
59 Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar