ISLAM
ANTARA KONSEP DAN
REALITAS
A. Pendahuluan
Agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang bersifat mutlak benar dan
tidak berubah-ubah. Paham mutlak benar dan tidak berubah-ubah mempunyai
pengaruh terhadap sikap mental dan tingkah laku pemeluknya. Oleh karena itu, umat
beragama tidak mudah menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan
tradisi yang berlaku. Dari kenyataan ini timbullah anggapan bahwa agama
menentang perubahan dan menghambat kemajuan masyarakat.
Agama Islam tidak lepas dari anggapan serupa. Beberapa ajaran Islam yang terdokumentasikan dalam kitab suci al-Qur’an
dan as-Sunnah membuat para pemeluk Islam tidak bisa melepaskan diri dari
doktrin yang berlaku, karena pada dasarnya agama memiliki sifat mengikat (binding)
bagi para pemeluknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyed Hossein Nasr “religion
itself is derived from the word religio whose root meaning is to bind”[1].
Doktrin yang bersifat mengikat tersebut tidak hanya terbatas menjelaskan persoalan
ibadah kepada Allah SWT, melainkan juga menerangkan berbagai masalah-masalah sosial kemasyarakatan dengan berbagai dimensinya.
Ditilik secara historis, umat
Islam pada periode pertengahan (1250-1800 M) memang banyak terikat paham-paham
keagamaan. Masyarakat pada saat itu diatur oleh jiwa keagamaan
tanpa membedakan antara agama yang
sebenarnya dan ajaran yang bukan agama atau tradisi. Tradisi yang muncul dalam
sebuah masyarakat kadangkala terlepas dari ajaran agama, tetapi karena telah
direstui oleh pemuka-pemuka agama, maka tradisi tersebut bisa dianggap sebagai
ajaran agama yang bersifat absolut dan tak boleh diubah.
Tidak mengherankan kalau masyarakat Islam pada waktu itu bersifat statis
dan sulit berkembang. Umat Islam cenderung menentang perubahan karena perubahan
bukan hanya dianggap berlawanan dengan agama, tetapi juga akan merusak
keseimbangan, menimbulkan keguncangan dan kekacauan dalam masyarakat. Kondisi tersebut berbalik arah pada zaman periode baru ( awal abad ke 19 sampai dengan
sekarang), dimana perubahan dalam dunia Islam terjadi dengan pesat. Terjadinya
perubahan tersebut karena adanya kontak umat Islam dengan peradaban modern, terutama
ekspansi Barat ke Dunia Islam. Dalam menghadapi era ini, para pemimpin Islam
berupaya secara maksimal untuk menggerakkan umat Islam sebagai umat yang pernah menjadi kekuatan
superior (ummatan wasathon) dan umat pilihan (khoiro ummah)[2].
Secara garis besar ajaran Islam dikategorikan dalam ajaran dasar yang
bersifat absolut dan ajaran komplementer yang bersifat relatif. Ajaran dasar yang
bersifat absolut tidak boleh dirubah
sebagaimana yang telah digariskan dalam al Qur’an dan al hadist mutawatir. Sedangkan
ajaran yang bersifat relatif dapat berubah berdasarkan pola
penafsiran/interpretasi atas ajaran
–ajaran tersebut sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman[3]
Pada prinsipnya agama Islam adalah agama yang simpel dan fleksibel. Kesimpelannya
dapat dilihat dari rancang bangun ajaran Islam yang hanya didirikan atas lima pilar utama. Kelima
pilar tersebut adalah (1) membaca syahadat (2) mendirikan shalat (3) membayar
zakat (4) puasa ramadhon dan (5) haji.[4]
Sedangkan menurut Nurcholis Madjid
inti ajaran pokok Islam adalah agama yang menjunjung tinngi toleransi dan sifat
lapang dada (al hanafiyatus samhah[5]). Dalam
tataran historis, toleransi Islam sudah terbukti dalam dokumen sejarah yang
lazim dikenal dengan teks “Piagam Madinah”[6].
Dokumen tersebut memberikan pelajaran yang sangat berharga tentang urgensi
makna toleransi antar umat beragama di tengah pluralitas beragama. Namun sayangnya dokumen
tersebut secara fungsional-substantif belum banyak diketahui oleh para pakar
perbandingan agama khususnya di Indonesia [7],
sehingga para pakar lintas agama kadang mempunyai citra negatif terhadap agama
Islam. Diantara label negatif yang diberikan kepada umat Islam adalah bahwa
umat Islam dianggap kurang memiliki toleransi terhadap umat non muslim.
Makalah ini akan mencoba mengilustrasikan tentang paradoks antara Islam dalam tataran idea (konsep) dengan
Islam dalam tataran realitas kehidupan sosial kemasyarakatan yang sangat
heterogen dan plural.
B. Doktrin
Ajaran Islam
Doktrin ajaran Islam adalah doktrin absolut yang secara substansial
merupakan ajaran baku
yang tidak dapat dirubah atau ditawar ulang. Secara kuantitatif, ajaran Islam yang bersifat doktrinal jumlahnya relatif
kecil. Ajaran Islam yang bersifat doktriner tersebut dapat dilihat dalam aspek
teologis dan ibadah/syariah[8].
Di dalam al Qur’an dan as Sunnah, tidak
banyak ditemukan penjelasan secara tafsili (rinci) tentang doktrin yang
berkenaan dengan masalah tauhid maupun syari’ah. Al Qur’an justru banyak
mengapreasiasi tentang sejarah masa lalu dan ajaran tentang menciptakan harmoni
dalam pentas kehidupan sosial kemasyarakatan[9]. Selain
dalam dua aspek (akidah dan syari’ah) tersebut, Islam memberikan peluang kepada
umat Islam untuk berkreasi dan menciptakan ijtihad seluas-luasnya demi kesejahteraan umat manusia
itu sendiri.
C. Idealitas
Islam
Sosok Islam yang ideal adalah Islam
yang sesuai dengan cita-cita dan kehendak Allah baik pada dataran doktrinal
teologis maupun pada tataran praktikal implementatif[10]. Secara
konkret Islam idealitas dapat dilihat secara jelas dalam dua dimensi, yaitu (1)
dimensi aqidah/teologis, (2) dimensi ibadah mahdhah:
(1)
Dimensi aqidah/teologis.
Dalam tataran ini Islam mengajarkan kemahaesaan Allah
yang mencakup, pertama, tauhid rububiyah yakni bahwa hanya Allah sajalah
yang memonopoli dalam penciptaan, pemeliharaan, pengaturan, penguasaan, dan
pemilikan alam semesta ini. Ke dua adalah tauhid uluhiyah artinya bahwa
hanya Allah yang menyandang sifat ketuhanan dan kekuasaan absolut atas segala
cipataan- Nya. Konsekuensinya, semua manusia harus menyembah hanya kepada Allah[11].
Faham teologi tersebut berlaku dan disepakati secara
umum oleh hampir semua golongan serta sekte aliran teologis dalam Islam,
termasuk golongan Asy’ariyah dan Mu’tazilah yang sering berbeda persepsi dalam
pemahaman teologis pada dimensi yang lain. Adapun persoalan perbedaan
penafsiran idelogis dalam dimensi aqidah yang mewarnai konflik antara golongan
Mu’tazilah dan aliran aliran yang lain diantaranya disebabkan perbedaan
persepsi didalam memahami keberadaan al Qur’an (apakah al Qur’an itu qodim (kekal)
atau hadits (baru).
Selanjutnya akan penulis paparkan dua contoh kasus
perbedaan wacana teologis sebagai akibat dari perbedaan persepsi umat Islam
tentang doktrin:
(a)
Aliran Mu’tazilah secara tidak langsung telah membuka
konflik dengan aliran lain sebagai akibat dari faham kholqul Qur’an yang
berupa konsep al Mihnah. Konsep yang dijadikan masterpiece pada saat khalifah
al Makmun ibnu Abdur Rosyid pada zaman Daulah
Abbasyiah ini dijadikan sebagai alat untuk memaksakan faham teologis kepada
umat. Faham tersebut memasyarakatkan ajaran kebaharuan al Qur’an (inna al
qur’ ana haditsun wa annahu makhluqun). Apabila qur’an itu kekal (qodim)
maka terjadi ta’addudul qudama (berbilangnya yang kekal) selain Allah
SWT. Faham kebaharuan al Qur’an disiarkan ke seluruh wilayah negara pada saat
itu. Bahkan ajaran al-mihnah
menjadi salah satu kualifikasi aqidah bagi calon al-Qudhot (para hakim) pemerintah sebelum dilantik atau diangkat menjadi pejabat
negara. Penerimaan ajaran al mihnah menjadi pedoman suci negara dalam
penerimaan pegawai para sekaligus menjadi regulasi sakral dalam penyelenggaraan
sistem pemerintahan. Tujuan penguasa memaksakan dan mengembangkan ideologi tersebut agar para penguasa khususnya
dan rakyat pada umumnya mempunyai tauhid yang benar.
Ide pemurnian tauhid yang dipaksakan oleh penguasa tersebut
telah menimbulkan respon pro kontra bagi rakyat pada waktu itu. Para pendukung gagasan penguasa ini mendapatkan tempat yang
layak di sisi penguasa dan menjadi al qodhi. Namun sebaliknya para ilmuwan
yang menolak paham tersebut tidak pernah mendapat jabatan dalam pemerintahan. Karena
kuatnya pengaruh penguasa pada saat itu, bagi para tokoh agama yang menolak
ideologi negara --khususnya masalah al mihnah--mendapatkan sangsi
hukuman berupa hukum cambuk dan penjara
seumur hidup. Salah satu diantara ahli fikih yang mendapakan hukuman cambuk dan
dipenjarakan adalah ImamAhmad ibn Hanbal.
Berpijak dari pemaksaan ideolog yang berkenaan dengan
masalah aqidah islamiyah tersebut, tragedi al mihnah merupakan ‘noktah
merah’ bagi perjalanan sang penguasa
yang kebetulan berideologi aliran Mu’tazilah. Jika dianalisis dengan
menggunakan perspektif akademik, ajaran al mihnah sebenarnya tidak termasuk dalam doktrin Mu’tazilah, tetapi merupakan
penyimpangan konsep teologis yang sifatnya individual dan sarat dengan nuansa
politis yang melekat pada figur kholifah pada saat itu.
Disamping itu, doktrin Mu’tazilah yang terkenal dengan
istilah al ushul al khomsah (lima
pokok ajaran) tidak mengajarkan penganutnya untuk memaksakan kehendak kepada orang
lain apalagi dengan menggunakan kekuasaan sebagai alat. Namun demikian, itulah
fakta historis yang telah menjadikan catatan buram yang selama ini pernah
terjadi dalam pengembangan dan sejarah teologi masyarakat Islam. Dalam pola
keberagamaan masyarakat, antara idea dan realita sering kali terjadi benturan
bahkan konflik yang dapat mengganggu harmoni dalam interaksi sosial.
(b)
Realitas umat Islam yang ada di kawasan kota Kudus memberikan
kontribusi terhadap keragaman pola beragama umat Islam di Indonesia secara
keseluruhan. Keunikan ini setidaknya bisa dilihat dari kecenderungan masyarakat
Kudus yang berpantang mengkonsumsi daging sapi. Tradisi ini sebenarnya
merupakan wujud penghormatan para penyebar agama Islam pada waktu itu terhadap
kultur agama Hindu yang sudah ada sebelum Islam datang.
Apabila dilihat secara doktrinal teologis, Islam tidak
mengharamkan umatnya untuk mengkonsumsi daging sapi, tetapi pentabuan ini hanya
merupakan bentuk konstruksi budaya atau tradisi setempat. Fenomena ini
menunjukkan sebuah realitas kehidupan
bahwa sebuah tradisi mampu menggeser doktrin agama yang dianut
masyarakat, dengan kata lain aspek doktrinal kadangkala dapat dikesampigkan
untuk mendahulukan persoalan kultur[12].
Dalam kasus ini, karena budaya saling menghormati
sudah ditanamkan sejak pertama kali Islam memasuki wilayah tersebut, kehidupan
umat Islam di wilayah Kudus memiliki nilai uniqueness yang pada tahapan
tertentu bisa disebut sebagai sinkretis. Keunikan ini bukan hanya terlihat pada fenomena
masyarakat yang berpantang daging sapi, tetapi juga bisa dilihat dari design
bangunan rumah serta bangunan menara masjid yang merupakan perpaduan antara
budaya Islam dan Hindu.
(2)
Dimensi ibadah
Dalam dimensi ibadah, teknis pengamalan ibadah ini
telah diatur sedemikian rupa secara detil,
dimana pada setiap aspek ibadah telah ditatapkan syarat rukunnya. Didamping itu
sistem ritual doktrinal dan ritual praktikal diatur secara baku dan konstans serba tetap. Shalat berikut
perangkat tata cara (kaifiyah) ritual misalya, secara doktrinal telah dikemas
sedemikian rupa lengkap dengan syarat syah serta rukun shalat, sehingga aturan
tersebut terkesan kaku, serba tetap, pasti, dan final. Perubahan dan modifikasi
terhadap tata laksana sholat adalah terlarang, karenanya tidak perlu dan
tidak diperlukan modifikasi atau format baru[13].
Sedangkan, doktrin-doktrin Islam tentang pengaturan
hubungan manusia dengan manusia pada prinsipnya sama, akan tetapi bisa berbeda
pada dataran pemahaman dan tataran prakteknya. Itulah yang disebut dengan
realitas insaniyah. Islam dalam tataran ajaran dan kandungan ajarannya dapat
dipahami pula sebagai “agama”[14]
dan “peradaban”. Sebagai salah satu
bentuk peradaban, format Islam dari satu entitas peradaban bisa berbeda dengan
entitas yang lain, sehingga dalam beberapa kasus maka muncul Islam dengan cita
rasa yang berbeda, misalnya: Islam pluralis, Islam fundamentalis, Islam
liberal, Islan kultral dan sebagainya. Dari sekian label yang menempel pada
warna warni Islam tersebut, pada intinya mereka memiliki tujuan yang sama yakni
ingin menciptakan sosok Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Akibat dari keragaman peradaban di berbagai wilayah
ini, Islam menunjukkan multi wajah sesuai
tipologi geografis dan setting sosial yang melingkupinya. Sebagai misal corak Islam di
Saudi Arabia tentu berlainan dengan Islam di
India, di Turki, dan di Indonesia .
Bahkan di Indonesa sendiri, antara Islam pesisiran dengan Islam pedalam
mempunyai tipologi yang berbeda secara praktikal, meskipun masih dalam bingkai
satu wilayah kepulauan yang sama. Itulah letak strategis sholihiyyah (relevannya) Islam untuk
diikuti oleh beberapa negara, beberapa bangsa, suku dan etnis, karena memang
Islam sebagai agama samawi terakhir yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada rasul terahir[15].
Contoh lain berkenaan dengan aspek ibadah adalah doktrin
tentang pentingnya manusia dalam beribadah supaya mengetahui sumber pijakannya. Mengetahui
sumber pijakan dengan metode mengikuti ajaran para pakar memiliki otoritas di bidangnya
masing-masing (dalam doktrin fiqih) dikenal empat mazhab mutawatir.
Dalam tataran realitas, berkenaan dengan masalah
pentingya mengikuti mazhab, bisa mengambil contoh kasus di Indonesia lebih
spesifik lagi kasus di pulau Jawa. Dalam masyarakat Jawa, ada anggapan bahwa
yang berhak disebut sebagai ‘muslim yang benar’ adalah apabila orang tersebut
mengikuti sebuah madzab secara konsisten. Satu satunya mazhab yang boleh
diikuti yakni aliran Imam Syafi’i dalam hal fikih, aliran Asy’ariyah dalam bidang
aqidah serta berpegang teguh pada ajaran Imam Ghazali dalam dimensi akhlak.
Selanjutnya yang terjadi di kepulauan Jawa muncul “perebutan
klaim kebenaran” antara yang satu kelompok agama dengan kelompok yang lain. Meskipun
perebutan tersebut disebabkan oleh persoalan-persoalan teologis yang tidak prinsipil, tetapi hal ini
bisa mengakibatkan orang saling mengklaim pihak lain sebagai musyrik
ataupun murtad. Bagaimanapun juga, persoalan tersebut telah menjadi sebuah ciri
khas Islam di Jawa yang terus akan menjadi permasalahan sosial. Diantara contoh
yang berkenaan dengan masalah tersebut yakni: hukum tentang batal--tidaknya
wudlu ketika bersentuhan kulit diantara laki laki dan perempuan. Bagi penganut
Islam yang taat (alhus sunnah), bersentuhan kulit dengan lawan jenis
berarti membatalkan wudlu. Implikasinya, apabila ada orang Islam yang tidak
mengikuti hukum ini, maka diklaim sebagai ‘laisa minna’ atau bukan
golongan ahlus sunnah.
Dalam kasus yang lain, meskipun dianggap sepele,
ketika seorang khotib Jum’at tidak memegang tongkat ketika menyampaikan khotbah
Jum’at, dan atau masjid tersebut tidak menggunakan dua adzan sebelum prosesi
jumatan dimulai, maka kelompok tersebut tidak
dianggap sebagai kelompok ahlus sunnah wal jamaah.
Itulah realitas Islam yang banyak kita saksikan dalam
pentas kehidupan sehari-hari, sepele persoalannya akan tetapi dapat menjadikan
pola interaksi yang tidak tidak sehat dalam amaliyah keagamaan. Pendek kata, Islam
dalam dimensi realitas boleh jadi tidak selalu paralel dengan doktrin ideal
Islam yang dikehendaki Allah. Islam realitas adalah hasil kreasi pergulatan dan
pergumulan pemikiran manusia dalam upaya memahami, menafsirkan dan mengamalkan
Islam dalam suatu dimensi ruang dan waktu.
Implikiasinya
ketika Islam membumi meminjam istilah Quraisy
Sihab , ia tidak dalam
keadaan hampa budaya. Dalam kondisi ini, Islam dapat berinteraksi bahkan
berasimiliasi dengan berbagai macam budaya dengan segala karakter uniknya,
asalkan budaya tersebut tidak bertentangan dengan ruh Islam khususnya dengan
aqidah maupun syari’ah.[16]
Contoh kasus terahir dalam makalah ini yang berkenaan
dengan konteks ibadah adalah persoalan sholat maktubah sehari semalam lima kali. Perintah
sholat selain berdimensi vertikal juga berimplikasi secara horizontal. Dimensi
makna vertikal sholat adalah merupakan simbol pengabdian dan bukti sujud kepada
sang Khaliq[17]. Makna
horizontalnya antara lain agar manusia terhindar dari perbuatan fahsya’
dan mungkar. Persoalan selanjutnya adalah dalam tataran praksis efek
shalat yang diharapkan Allah SWT dalam
ayat Qur’an tersebut tidak selamanya terbukti pada mushallin. Artinya,
tidak sedikit orang yang masih mampu berbohong, korupsi, mencuri, menghujat,
serta perbuatan buruk lainnya meskipun mereka taat menjalankan shalat (mushallin).
Pertanyaan slengekan yang muncul yakni, apa
yang salah dengan konsep ajaran shalat dalam Islam?, apa karena doktrin sholat
belum dipahami secara komprehensif sebagaimana yang diamanatkan Allah SWT, atau
barangkali ada faktor lain yang bisa mengaburkan dan menghilangkan pengaruh
sholat, sehingga ada hijab yang menutupinya, sehingga atsar (dampak)
sholat tidak berbekas sama sekali?.
Dalam tataran doktrinal teologis, orang yang mendirikan
sholat fardhu sehari semalam lima
kali dengan khusuk maka ia termasuk orang yang beruntung. Dengan demikian, rangkaian doktirn Islam tentang pentingnya mendirikan
sholat mendapatkan apresiasi yang cukup dalam pandangan Islam agar para
pemeluknya juga mempunyai kepedulian dan perhatian terhadap pentingnya arti
sholat.
Dalam dunia hukum, putusan pengadilan negeri bisa
menjatuhkan vonis bahwa si fulan terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai
koruptor, meskipun sebenarnya si fulan adalah seorang muslim yang taat
menjalankan sholat bahkan telah
menunaikan ibadah haji berkali kali. Ini berarti bahwa doktrin normatif Islam
yang selama ini si fulan yakini dan kerjakan tidak berpengaruh secara
signifikan dalam kehidupan sehari-harinya. Pertanyaan selanjutnya, ada apa
dengan perilakunya?. Apakah yang salah pada dirinya?. Mengapa ajaran Islam yang
diyakininya tidak mampu mewarnai pola perilakunya. Faktor apa yang memotivasi
orang yang patuh menjalankan agama bisa tergoda bahkan terpeleset sehingga
terjerat kasus pidana?
D. Islam Idea
dan Islam Realita
Idealnya memang doktrin teologis Islam yang terekam
dalam susunan konsep (idea) bisa mempengaruhi serta membentuk karakter para
pemeluknya. Persoalannya adalah sering terjadi benturan antara tataran konsep
yang ideal dengan tataran realistis praktik. Inilah yang menjadi home work
bagi seluruh pemeluk umat beragama, bahwa doktrin agama tidak semestinya sekedar
berhenti dalam tataran konsep tanpa bukti untuk mempraktekkannya dalam realitas
kehidupan.
Didalam doktrin Islam, tataran konseptual sangatlah
berperan bagi pemeluknya guna menentukan arah suatu pekerjaan/target yang harapkan.
Kenyataannya, benturan antar dunia idea dan fakta realita bukan hal yang aneh
dalam pola keberagamaan umat Islam, tetapi hal ini justru menjadi tantangan
yang harus disatukan.
Untuk mencapai pola beragama yang sempurna, dunia idea
semestinya dapat diaplikasikan dalam tataran realitas, sehingga antara konsep
dan tataran operasioanl tidak saling berbenturan. Islam idea dan realita adalah
merupakan rangkaian yang tidak bisa dipisah-pisahkan, ibarat dua sisi dari satu
keping mata uang, yang saling mendukung dan melengkapi.
Perbuatan apapun harus dimulai dengan konsep yang
jelas, manakala perbuatan dilaksanakan tanpa konsep, hal tersebut menunjukkan
bahwasannya pekerjaan yang dikerjakan tanpa arah yang jelas dan bisa berujung pada hasil
yang tidak memuaskan. Agama Islam adalah
agama yang mengandung beberapa aturan yang
sengaja diturunkan oleh Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad untuk
menuntun manusia mencapai bahagia dunia dan akherat. Karena Islam sebagai
petunjuk, tentunya ia memuat beberapa perangkat aturan yang harus disepakati
dan diikuti secara seksama oleh para
pemeluknya.
Islam memberikan
apresiasi terhadap pentingnya arti doktrin yang sifatnya taken for granted
yang harus dikerjakan tanpa membuka peluang untuk dialog. Itulah Islam yang artinya selamat dan menyelamatkan, serta menabur pesona manfaat bagi seluruh alam.
E.
Penutup
Dari beberapa uraian tersebut di atas dapat ditarik pemahaman bahwa Islam seharusnya difahami dari dua dimensi yaitu dimensi idea dan dimensi realita. Ketika pada dataran pengamalan ajaran Islam ternyata muncul berbagai perbedaan sebagai akibat dari perbedaan persepsi dan cara pandang, maka ada beberapa hal yang bisa dipertimbangkan. Pertama, karena perbedaan cara pandang bisa mengakibatkan konflik, maka untuk mengembalikan dan mewujudkan religious harmony perlu kiranya memahami Islam secara mendalam, sesuai karakter Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Kedua, perbedaan antara konsep idea dan tataran praktis realita merupakan sebuah keniscayaan yang harus dimaknai sebagai diskursus dalam dinamika beragama. Ketiga, ketika terjadi perbedaan antara doktrin teologis dengan realitas pengamalan nilai nilai ajaran agama tersebut, maka yang semestinya dipermasalahkan bukan doktrin (ajarannya), akan tetapi pola pemahaman dan pengamalan yang dipengaruhi oleh faktor individu dan budaya yang berlaku.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Qur’an dan Terjemahnya, 1418
H, Mekah: Majma’ Al Malik Fahd
Abdullah, Amin, 1996, Studi Agama: Normativitas dan
Historisitas, Yogjakarta: Pustaka Pelajar
Abdul Haq, Abdul Aziz, 1960. Ahmad
Ibn Hanbal wa Al Mihnah, Mesir: Dar al Hilal
Ali, Al Mu’thi, 1988, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta : Rajawali
Al Banna, Hasan, 1977, Allah fi Aqidah al Islamiyah, Mesir: Dar
Asy Syihab
Ismail, Faisal, 1999, Islam: Idealitas Ilahiyah dan Realitas
Insaniyah, Yogya: Adi Wacana.
Khollaf, Abdul Wahhab , 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (terj.
Nor Iskandar al-Barsani), Jakarta :
Rajawali
Maarif, Ahmad Syafi’i, 1999, Islam dan Politik; Upaya Membingkai
Peradaban, Cirebon :
Pustaka Dinamika.
Madjid, Nurkholish, 1995, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta : Paramadina
----------, 2007, Ensiklopedi
Nurcholis Madjid, Jakarta :
Paramadina
Mas’ud, Abdurrohman, 2003, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta : Gama Media,
Mas’ud, Abdurrohman dan Abdul Djamil, 2000 et, al, Islam dan
Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media
Maududi, Abul A’la, 1977, Dasar-dasar
Islam, Terj. Achin Mohammad, Bandung :
Pustaka
Nasr, Sayyed Hossein (2001), Ideals
and Realities of Islam, The Islamic Texts Society, Cambridge
Nasution, Harun Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1986, Jakarta : UI-Press
----------, Islam Rasional, 1992, Bandung : Mizan
----------, Teologi Islam; 1986, Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta :
Universitas Indonesia .
Rahman, Fazlur, 1962, Islam, London :
Chicago University Press
Shahih Bukhori, t.t., Shahihul
Bukhori, t.t.: Syirkah an Nur Asia
Syaltut, Mahmud,1966, Al Islam ‘Aqidah wa Syariah, Mesir : Dar
al Qolam
Syalaby, Ahmad, 1973, Al Islam,.Al Qohirah: Maktabatnun
Nahdhotil Misriyah
[1]
Sayyed Hossein Nasr (2001), Ideals and Realities of Islam, The Islamic
Texts Society, Cambridge ,
hlm. 1.
[2] Kuntum
khoiro ummain ukhrijat li an-nasi takmuruna bi al ma’rufi wa tan hauna ‘anil
munkari wa tukminuna billallahi (QS Ali Imron: 110)
[3]
Harun Nasution (1995), Islam Rasional,
Bandung
: Mizan, hlm 165.
[4] Buniyal
Islam ‘ala khomsin, syahadatu an la ilaha illa Allah, wa tuqimu ash-asholata wa
tu’thiya az zakata wa tasuma ar-romadona, wa hijjul baiti li manis tatho’a
ilaihi sabila, dalam Shohih
Bukhori Muslim, Mesir: Baerut, hlm
164.
[5]
Nurcholish Madjid (2007), Ensiklopedi Norcholis Madjid , Jakarta : Paramadina,
hlm.xxi
[6]
Pulungan, Piagam Madinah. Naskah dari Piagam Madinah sangat variatif.
Meskipun demikian secara substantif tidak ada perbedaan .Prinsinya dokumen
tersebut menjelaskan bahwa Islam mengormati plurlitas agama
[7]
Dialog TVRI Menuju Masyarakat Moderat dalam TVRI antara Prof Dr Said Aqil Siraj
dan Prof Dr Frans Magnis Suseno, 14 Ramadhon 1426 H Pukul 20 30
[8]
Mahmud Syaltut (1975), Islam Aqidah wa Syari’ah, Mesir: Beirut , hlm 13-22
[9]
Harun Nasution, (1986), Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II , Jakarta : UI Press, hlm. 75.
[10] Faisal Isamail, Islam Idealitas Ilahiah dan
Realitas Insaniyah, 1999 Hlm. ix
Yogjakarta: PT Tiara Wacana
[11]
Hasan al Banna (1977), Allah fi al Aqidah al Islamiyah, Kairo: Darr asy
Syihab, hlm. 43.
[12]
Abdul Kholaf Wahab, Ushul Fiqih, dalam hal al adhah muhakkamah,
kebiasaan yang telah mengurat akar dalam suatu tempat dapat dijadikan pedoman
[13]
Dijelaskan dalam hadist Riwayat Bukhori, sollu kama
roaitumuunii usholli, Shohih Bukhori Jilid I Hlm.89
[14] Inna
addina’ inda Allahi al Islamu, QS Ali Imran: 19.
[15] Al
yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu
‘a laikum al islama dinan, QS; al Maidah : 3
[16]
dalam kaidah ushuliyah djelaskan al adah muhakkamah, dalam Abdul Wahab
Kholaf, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (terj. Nor Iskandar
al-Barsani), Jakarta :
Rajawali, hlm: 169
[17] Inna
sholata kanat ‘alal mukminina kitaban
mauqutan, (QS An Nisa’: 102)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar