Kamis, 19 Desember 2013

Islam; antara Konsep dan realitas

"+"

ISLAM
ANTARA KONSEP  DAN  REALITAS





A.    Pendahuluan

Agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang bersifat mutlak benar dan tidak berubah-ubah. Paham mutlak benar dan tidak berubah-ubah mempunyai pengaruh terhadap sikap mental dan tingkah laku pemeluknya. Oleh karena itu, umat beragama tidak mudah menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi yang berlaku. Dari kenyataan ini timbullah anggapan bahwa agama menentang perubahan dan menghambat kemajuan masyarakat.
Agama Islam tidak lepas dari anggapan serupa. Beberapa ajaran Islam  yang terdokumentasikan dalam kitab suci al-Qur’an dan as-Sunnah membuat para pemeluk Islam tidak bisa melepaskan diri dari doktrin yang berlaku, karena pada dasarnya agama memiliki sifat mengikat (binding) bagi para pemeluknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sayyed Hossein Nasr “religion itself is derived from the word religio whose root meaning is to bind”[1]. Doktrin yang bersifat mengikat tersebut tidak hanya terbatas menjelaskan persoalan ibadah kepada Allah SWT, melainkan juga menerangkan berbagai  masalah-masalah  sosial kemasyarakatan dengan berbagai  dimensinya.
Ditilik secara historis, umat Islam pada periode pertengahan (1250-1800 M) memang banyak terikat paham-paham keagamaan. Masyarakat pada saat itu diatur oleh jiwa keagamaan tanpa  membedakan antara agama yang sebenarnya dan ajaran yang bukan agama atau tradisi. Tradisi yang muncul dalam sebuah masyarakat kadangkala terlepas dari ajaran agama, tetapi karena telah direstui oleh pemuka-pemuka agama, maka tradisi tersebut bisa dianggap sebagai ajaran agama yang bersifat absolut dan tak boleh diubah.
Tidak mengherankan kalau masyarakat Islam pada waktu itu bersifat statis dan sulit berkembang. Umat Islam cenderung menentang perubahan karena perubahan bukan hanya dianggap berlawanan dengan agama, tetapi juga akan merusak keseimbangan, menimbulkan keguncangan dan kekacauan dalam masyarakat.  Kondisi tersebut berbalik arah pada zaman  periode baru ( awal abad ke 19 sampai dengan sekarang), dimana perubahan dalam dunia Islam terjadi dengan pesat. Terjadinya perubahan tersebut karena adanya kontak umat Islam dengan peradaban modern, terutama ekspansi Barat ke Dunia Islam. Dalam menghadapi era ini, para pemimpin Islam berupaya secara maksimal untuk menggerakkan umat Islam  sebagai umat yang pernah menjadi kekuatan superior (ummatan wasathon) dan umat pilihan (khoiro ummah)[2].
Secara garis besar ajaran Islam dikategorikan dalam ajaran dasar yang bersifat absolut dan ajaran komplementer yang bersifat relatif. Ajaran dasar yang bersifat absolut  tidak boleh dirubah sebagaimana yang telah digariskan dalam al Qur’an dan al hadist mutawatir. Sedangkan ajaran yang bersifat relatif dapat berubah berdasarkan pola penafsiran/interpretasi  atas ajaran –ajaran tersebut sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman[3]
Pada prinsipnya agama Islam adalah agama yang simpel dan fleksibel. Kesimpelannya dapat dilihat dari rancang bangun ajaran Islam yang hanya didirikan atas lima pilar utama. Kelima pilar tersebut adalah (1) membaca syahadat (2) mendirikan shalat (3) membayar zakat (4) puasa ramadhon dan (5) haji.[4]
Sedangkan menurut  Nurcholis Madjid inti ajaran pokok Islam adalah agama yang menjunjung tinngi toleransi dan sifat lapang dada (al hanafiyatus samhah[5]). Dalam tataran historis, toleransi Islam sudah terbukti dalam dokumen sejarah yang lazim dikenal dengan teks “Piagam Madinah”[6]. Dokumen tersebut memberikan pelajaran yang sangat berharga tentang urgensi makna toleransi antar umat beragama di tengah  pluralitas beragama. Namun sayangnya dokumen tersebut secara fungsional-substantif belum banyak diketahui oleh para pakar perbandingan agama khususnya di Indonesia[7], sehingga para pakar lintas agama kadang mempunyai citra negatif terhadap agama Islam. Diantara label negatif yang diberikan kepada umat Islam adalah bahwa umat Islam dianggap kurang memiliki toleransi terhadap umat non muslim.  
Makalah ini akan mencoba mengilustrasikan  tentang paradoks antara  Islam dalam tataran idea (konsep) dengan Islam dalam tataran realitas kehidupan sosial kemasyarakatan yang sangat heterogen dan plural.

B. Doktrin Ajaran Islam
Doktrin ajaran Islam adalah doktrin absolut yang secara substansial merupakan ajaran baku yang tidak dapat dirubah atau ditawar ulang. Secara kuantitatif, ajaran Islam  yang bersifat doktrinal jumlahnya relatif kecil. Ajaran Islam yang bersifat doktriner tersebut dapat dilihat dalam aspek teologis dan ibadah/syariah[8]. Di dalam al  Qur’an dan as Sunnah, tidak banyak ditemukan penjelasan secara tafsili (rinci) tentang doktrin yang berkenaan dengan masalah tauhid maupun syari’ah. Al Qur’an justru banyak mengapreasiasi tentang sejarah masa lalu dan ajaran tentang menciptakan harmoni dalam pentas kehidupan sosial kemasyarakatan[9]. Selain dalam dua aspek (akidah dan syari’ah) tersebut, Islam memberikan peluang kepada umat Islam untuk berkreasi dan menciptakan ijtihad  seluas-luasnya demi kesejahteraan umat manusia itu sendiri.

C. Idealitas Islam
 Sosok Islam yang ideal adalah Islam yang sesuai dengan cita-cita dan kehendak Allah baik pada dataran doktrinal teologis maupun pada tataran praktikal implementatif[10]. Secara konkret Islam idealitas dapat dilihat secara jelas dalam dua dimensi, yaitu (1) dimensi aqidah/teologis, (2) dimensi ibadah mahdhah:
(1)   Dimensi aqidah/teologis.
Dalam tataran ini Islam mengajarkan kemahaesaan Allah yang mencakup, pertama, tauhid rububiyah yakni bahwa hanya Allah sajalah yang memonopoli dalam penciptaan, pemeliharaan, pengaturan, penguasaan, dan pemilikan alam semesta ini. Ke dua adalah tauhid uluhiyah artinya bahwa hanya Allah yang menyandang sifat ketuhanan dan kekuasaan absolut atas segala cipataan- Nya. Konsekuensinya, semua manusia harus menyembah hanya kepada Allah[11].
Faham teologi tersebut berlaku dan disepakati secara umum oleh hampir semua golongan serta sekte aliran teologis dalam Islam, termasuk golongan Asy’ariyah dan Mu’tazilah yang sering berbeda persepsi dalam pemahaman teologis pada dimensi yang lain. Adapun persoalan perbedaan penafsiran idelogis dalam dimensi aqidah yang mewarnai konflik antara golongan Mu’tazilah dan aliran aliran yang lain diantaranya disebabkan perbedaan persepsi didalam memahami keberadaan al Qur’an (apakah al Qur’an itu qodim (kekal) atau hadits (baru).
Selanjutnya akan penulis paparkan dua contoh kasus perbedaan wacana teologis sebagai akibat dari perbedaan persepsi umat Islam tentang doktrin:
(a)          Aliran Mu’tazilah secara tidak langsung telah membuka konflik dengan aliran lain sebagai akibat dari faham kholqul Qur’an yang berupa konsep al Mihnah. Konsep yang dijadikan masterpiece pada saat khalifah al Makmun ibnu Abdur Rosyid pada zaman  Daulah Abbasyiah ini dijadikan sebagai alat untuk memaksakan faham teologis kepada umat. Faham tersebut memasyarakatkan ajaran kebaharuan al Qur’an (inna al qur’ ana haditsun wa annahu makhluqun). Apabila qur’an itu kekal (qodim) maka terjadi ta’addudul qudama (berbilangnya yang kekal) selain Allah SWT. Faham kebaharuan al Qur’an disiarkan ke seluruh wilayah negara pada saat itu. Bahkan ajaran al-mihnah  menjadi salah satu kualifikasi aqidah bagi  calon al-Qudhot  (para hakim) pemerintah  sebelum dilantik atau diangkat menjadi pejabat negara. Penerimaan ajaran al mihnah menjadi pedoman suci negara dalam penerimaan pegawai para sekaligus menjadi regulasi sakral dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan. Tujuan penguasa memaksakan dan mengembangkan  ideologi tersebut agar para penguasa khususnya dan rakyat pada umumnya mempunyai tauhid yang benar.
Ide pemurnian tauhid yang dipaksakan oleh penguasa tersebut telah menimbulkan respon pro kontra bagi rakyat pada waktu itu. Para pendukung gagasan penguasa ini mendapatkan tempat yang layak di sisi penguasa dan menjadi al qodhi. Namun sebaliknya para ilmuwan yang menolak paham tersebut tidak pernah mendapat jabatan dalam pemerintahan. Karena kuatnya pengaruh penguasa pada saat itu, bagi para tokoh agama yang menolak ideologi negara --khususnya masalah al mihnah--mendapatkan sangsi hukuman berupa hukum cambuk dan  penjara seumur hidup. Salah satu diantara ahli fikih yang mendapakan hukuman cambuk dan dipenjarakan adalah ImamAhmad ibn Hanbal.
Berpijak dari pemaksaan ideolog yang berkenaan dengan masalah aqidah islamiyah tersebut, tragedi al mihnah merupakan ‘noktah merah’ bagi perjalanan  sang penguasa yang kebetulan berideologi aliran Mu’tazilah. Jika dianalisis dengan menggunakan perspektif akademik, ajaran al mihnah  sebenarnya tidak termasuk dalam  doktrin Mu’tazilah, tetapi merupakan penyimpangan konsep teologis yang sifatnya individual dan sarat dengan nuansa politis yang melekat pada figur kholifah pada saat itu.
Disamping itu, doktrin Mu’tazilah yang terkenal dengan istilah al ushul al khomsah (lima pokok ajaran) tidak mengajarkan penganutnya untuk memaksakan kehendak kepada orang lain apalagi dengan menggunakan kekuasaan sebagai alat. Namun demikian, itulah fakta historis yang telah menjadikan catatan buram yang selama ini pernah terjadi dalam pengembangan dan sejarah teologi masyarakat Islam. Dalam pola keberagamaan masyarakat, antara idea dan realita sering kali terjadi benturan bahkan konflik yang dapat mengganggu harmoni dalam interaksi sosial.
(b)         Realitas umat Islam yang ada di kawasan kota Kudus memberikan kontribusi terhadap keragaman pola beragama umat Islam di Indonesia secara keseluruhan. Keunikan ini setidaknya bisa dilihat dari kecenderungan masyarakat Kudus yang berpantang mengkonsumsi daging sapi. Tradisi ini sebenarnya merupakan wujud penghormatan para penyebar agama Islam pada waktu itu terhadap kultur agama Hindu yang sudah ada sebelum Islam datang.
Apabila dilihat secara doktrinal teologis, Islam tidak mengharamkan umatnya untuk mengkonsumsi daging sapi, tetapi pentabuan ini hanya merupakan bentuk konstruksi budaya atau tradisi setempat. Fenomena ini menunjukkan sebuah realitas kehidupan  bahwa sebuah tradisi mampu menggeser doktrin agama yang dianut masyarakat, dengan kata lain aspek doktrinal kadangkala dapat dikesampigkan untuk mendahulukan persoalan kultur[12].
Dalam kasus ini, karena budaya saling menghormati sudah ditanamkan sejak pertama kali Islam memasuki wilayah tersebut, kehidupan umat Islam di wilayah Kudus memiliki nilai uniqueness yang pada tahapan tertentu bisa disebut sebagai sinkretis. Keunikan  ini bukan hanya terlihat pada fenomena masyarakat yang berpantang daging sapi, tetapi juga bisa dilihat dari design bangunan rumah serta bangunan menara masjid yang merupakan perpaduan antara budaya Islam dan Hindu.

(2)   Dimensi  ibadah 
Dalam dimensi ibadah, teknis pengamalan ibadah ini telah diatur sedemikian rupa  secara detil, dimana pada setiap aspek ibadah telah ditatapkan syarat rukunnya. Didamping itu sistem ritual doktrinal dan ritual praktikal diatur secara baku dan konstans serba tetap. Shalat berikut perangkat tata cara (kaifiyah) ritual misalya, secara doktrinal telah dikemas sedemikian rupa lengkap dengan syarat syah serta rukun shalat, sehingga aturan tersebut terkesan kaku, serba tetap, pasti, dan final. Perubahan dan modifikasi terhadap tata laksana sholat adalah terlarang, karenanya tidak perlu dan tidak diperlukan modifikasi atau format baru[13].
Sedangkan, doktrin-doktrin Islam tentang pengaturan hubungan manusia dengan manusia pada prinsipnya sama, akan tetapi bisa berbeda pada dataran pemahaman dan tataran prakteknya. Itulah yang disebut dengan realitas insaniyah. Islam dalam tataran ajaran dan kandungan ajarannya dapat dipahami  pula sebagai “agama”[14] dan  “peradaban”. Sebagai salah satu bentuk peradaban, format Islam dari satu entitas peradaban bisa berbeda dengan entitas yang lain, sehingga dalam beberapa kasus maka muncul Islam dengan cita rasa yang berbeda, misalnya: Islam pluralis, Islam fundamentalis, Islam liberal, Islan kultral dan sebagainya. Dari sekian label yang menempel pada warna warni Islam tersebut, pada intinya mereka memiliki tujuan yang sama yakni ingin menciptakan sosok Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Akibat dari keragaman peradaban di berbagai wilayah ini, Islam   menunjukkan multi wajah  sesuai  tipologi geografis dan setting sosial  yang melingkupinya. Sebagai misal corak Islam di Saudi Arabia tentu berlainan dengan Islam di India, di Turki, dan di Indonesia. Bahkan di Indonesa sendiri, antara Islam pesisiran dengan Islam pedalam mempunyai tipologi yang berbeda secara praktikal, meskipun masih dalam bingkai satu wilayah kepulauan yang sama. Itulah letak strategis  sholihiyyah (relevannya) Islam untuk diikuti oleh beberapa negara, beberapa bangsa, suku dan etnis, karena memang Islam sebagai agama samawi terakhir  yang diturunkan oleh Allah SWT kepada rasul terahir[15].
Contoh lain berkenaan dengan aspek ibadah adalah doktrin tentang pentingnya manusia dalam beribadah supaya  mengetahui sumber pijakannya. Mengetahui sumber pijakan dengan metode mengikuti ajaran para pakar memiliki otoritas di bidangnya masing-masing (dalam doktrin fiqih) dikenal empat mazhab mutawatir.
Dalam tataran realitas, berkenaan dengan masalah pentingya mengikuti mazhab, bisa mengambil contoh kasus di Indonesia lebih spesifik lagi kasus di pulau Jawa. Dalam masyarakat Jawa, ada anggapan bahwa yang berhak disebut sebagai ‘muslim yang benar’ adalah apabila orang tersebut mengikuti sebuah madzab secara konsisten. Satu satunya mazhab yang boleh diikuti yakni aliran Imam Syafi’i dalam hal fikih, aliran Asy’ariyah dalam bidang aqidah serta berpegang teguh pada ajaran Imam Ghazali dalam dimensi akhlak.
Selanjutnya yang terjadi di kepulauan Jawa muncul “perebutan klaim kebenaran” antara yang satu kelompok agama dengan kelompok yang lain. Meskipun perebutan tersebut disebabkan oleh persoalan-persoalan  teologis yang tidak prinsipil, tetapi hal ini bisa mengakibatkan orang saling mengklaim pihak lain sebagai musyrik ataupun murtad. Bagaimanapun juga,  persoalan tersebut telah menjadi sebuah ciri khas Islam di Jawa yang terus akan menjadi permasalahan sosial. Diantara contoh yang berkenaan dengan masalah tersebut yakni: hukum tentang batal--tidaknya wudlu ketika bersentuhan kulit diantara laki laki dan perempuan. Bagi penganut Islam yang taat (alhus sunnah), bersentuhan kulit dengan lawan jenis berarti membatalkan wudlu. Implikasinya, apabila ada orang Islam yang tidak mengikuti hukum ini, maka diklaim sebagai ‘laisa minna’ atau bukan golongan ahlus sunnah.
Dalam kasus yang lain, meskipun dianggap sepele, ketika seorang khotib Jum’at tidak memegang tongkat ketika menyampaikan khotbah Jum’at, dan atau masjid tersebut tidak menggunakan dua adzan sebelum prosesi jumatan dimulai,  maka kelompok tersebut tidak dianggap sebagai kelompok ahlus sunnah wal jamaah.
Itulah realitas Islam yang banyak kita saksikan dalam pentas kehidupan sehari-hari, sepele persoalannya akan tetapi dapat menjadikan pola interaksi yang tidak tidak sehat dalam amaliyah keagamaan. Pendek kata, Islam dalam dimensi realitas boleh jadi tidak selalu paralel dengan doktrin ideal Islam yang dikehendaki Allah. Islam realitas adalah hasil kreasi pergulatan dan pergumulan pemikiran manusia dalam upaya memahami, menafsirkan dan mengamalkan Islam dalam suatu dimensi ruang dan waktu.
 Implikiasinya ketika Islam membumi meminjam istilah Quraisy Sihab, ia tidak dalam keadaan hampa budaya. Dalam kondisi ini, Islam dapat berinteraksi bahkan berasimiliasi dengan berbagai macam budaya dengan segala karakter uniknya, asalkan budaya tersebut tidak bertentangan dengan ruh Islam khususnya dengan aqidah maupun syari’ah.[16] 
Contoh kasus terahir dalam makalah ini yang berkenaan dengan konteks ibadah adalah persoalan sholat maktubah sehari semalam lima kali. Perintah sholat selain berdimensi vertikal juga berimplikasi secara horizontal. Dimensi makna vertikal sholat adalah merupakan simbol pengabdian dan bukti sujud kepada sang Khaliq[17]. Makna horizontalnya antara lain agar manusia terhindar dari perbuatan fahsya’ dan mungkar. Persoalan selanjutnya adalah dalam tataran praksis efek shalat yang diharapkan  Allah SWT dalam ayat Qur’an tersebut tidak selamanya terbukti pada mushallin. Artinya, tidak sedikit orang yang masih mampu berbohong, korupsi, mencuri, menghujat, serta perbuatan buruk lainnya meskipun mereka taat menjalankan shalat (mushallin).
Pertanyaan slengekan yang muncul yakni, apa yang salah dengan konsep ajaran shalat dalam Islam?, apa karena doktrin sholat belum dipahami secara komprehensif sebagaimana yang diamanatkan Allah SWT, atau barangkali ada faktor lain yang bisa mengaburkan dan menghilangkan pengaruh sholat, sehingga ada hijab yang menutupinya, sehingga atsar (dampak) sholat tidak berbekas sama sekali?.
Dalam tataran doktrinal teologis, orang yang mendirikan sholat fardhu sehari semalam lima kali dengan khusuk maka ia termasuk orang yang beruntung. Dengan demikian,  rangkaian doktirn Islam tentang pentingnya mendirikan sholat mendapatkan apresiasi yang cukup dalam pandangan Islam agar para pemeluknya juga mempunyai kepedulian dan perhatian terhadap pentingnya arti sholat.
Dalam dunia hukum, putusan pengadilan negeri bisa menjatuhkan vonis bahwa si fulan terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai koruptor, meskipun sebenarnya si fulan adalah seorang muslim yang taat menjalankan sholat  bahkan telah menunaikan ibadah haji berkali kali. Ini berarti bahwa doktrin normatif Islam yang selama ini si fulan yakini dan kerjakan tidak berpengaruh secara signifikan dalam kehidupan sehari-harinya. Pertanyaan selanjutnya, ada apa dengan perilakunya?. Apakah yang salah pada dirinya?. Mengapa ajaran Islam yang diyakininya tidak mampu mewarnai pola perilakunya. Faktor apa yang memotivasi orang yang patuh menjalankan agama bisa tergoda bahkan terpeleset sehingga terjerat kasus pidana?

D. Islam Idea dan Islam Realita
Idealnya memang doktrin teologis Islam yang terekam dalam susunan konsep (idea) bisa mempengaruhi serta membentuk karakter para pemeluknya. Persoalannya adalah sering terjadi benturan antara tataran konsep yang ideal dengan tataran realistis praktik. Inilah yang menjadi home work bagi seluruh pemeluk umat beragama, bahwa doktrin agama tidak semestinya sekedar berhenti dalam tataran konsep tanpa bukti untuk mempraktekkannya dalam realitas kehidupan.
Didalam doktrin Islam, tataran konseptual sangatlah berperan bagi pemeluknya guna menentukan arah suatu pekerjaan/target yang harapkan. Kenyataannya, benturan antar dunia idea dan fakta realita bukan hal yang aneh dalam pola keberagamaan umat Islam, tetapi hal ini justru menjadi tantangan yang harus disatukan.
Untuk mencapai pola beragama yang sempurna, dunia idea semestinya dapat diaplikasikan dalam tataran realitas, sehingga antara konsep dan tataran operasioanl tidak saling berbenturan. Islam idea dan realita adalah merupakan rangkaian yang tidak bisa dipisah-pisahkan, ibarat dua sisi dari satu keping mata uang, yang saling mendukung dan melengkapi.
Perbuatan apapun harus dimulai dengan konsep yang jelas, manakala perbuatan dilaksanakan tanpa konsep, hal tersebut menunjukkan bahwasannya pekerjaan yang dikerjakan tanpa  arah yang jelas dan bisa berujung pada hasil yang tidak memuaskan. Agama Islam  adalah agama yang mengandung beberapa  aturan yang sengaja diturunkan oleh Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad untuk menuntun manusia mencapai bahagia dunia dan akherat. Karena Islam  sebagai  petunjuk, tentunya ia memuat beberapa perangkat aturan yang harus disepakati dan diikuti secara seksama oleh  para pemeluknya.
Islam  memberikan apresiasi terhadap pentingnya arti doktrin yang sifatnya taken for granted yang harus dikerjakan tanpa membuka peluang untuk dialog. Itulah  Islam yang artinya  selamat dan  menyelamatkan, serta menabur pesona  manfaat bagi seluruh alam.  

E. Penutup
Dari beberapa uraian tersebut di atas dapat ditarik pemahaman bahwa Islam seharusnya difahami dari dua dimensi yaitu dimensi idea dan dimensi realita. Ketika pada dataran pengamalan ajaran Islam ternyata muncul berbagai perbedaan sebagai akibat dari perbedaan persepsi dan cara pandang, maka ada beberapa hal yang bisa dipertimbangkan. Pertama, karena perbedaan cara pandang bisa mengakibatkan konflik, maka untuk mengembalikan dan mewujudkan religious harmony perlu kiranya memahami Islam secara mendalam, sesuai karakter Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Kedua, perbedaan antara konsep idea dan tataran praktis realita merupakan sebuah keniscayaan yang harus dimaknai sebagai diskursus dalam dinamika beragama. Ketiga, ketika terjadi perbedaan antara doktrin teologis dengan realitas pengamalan nilai nilai ajaran agama tersebut, maka yang semestinya dipermasalahkan bukan doktrin (ajarannya), akan tetapi pola pemahaman dan pengamalan yang dipengaruhi oleh faktor individu dan budaya yang berlaku.



DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahnya, 1418 H, Mekah: Majma’ Al Malik Fahd

Abdullah, Amin, 1996, Studi Agama: Normativitas dan Historisitas, Yogjakarta: Pustaka Pelajar

Abdul Haq, Abdul Aziz, 1960. Ahmad Ibn Hanbal wa Al Mihnah, Mesir: Dar al Hilal
 
Ali, Al Mu’thi, 1988, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali
 
Al Banna, Hasan, 1977, Allah fi Aqidah al Islamiyah, Mesir: Dar Asy Syihab

Ismail, Faisal, 1999, Islam: Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah, Yogya: Adi Wacana.

Khollaf, Abdul Wahhab , 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (terj. Nor Iskandar al-Barsani), Jakarta: Rajawali

Maarif, Ahmad Syafi’i, 1999, Islam dan Politik; Upaya Membingkai Peradaban, Cirebon: Pustaka Dinamika.

Madjid, Nurkholish, 1995, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina

----------, 2007,  Ensiklopedi Nurcholis Madjid, Jakarta: Paramadina

Mas’ud, Abdurrohman, 2003, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta: Gama Media,

Mas’ud, Abdurrohman dan Abdul Djamil, 2000 et, al, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media

 Maududi, Abul A’la, 1977, Dasar-dasar Islam, Terj. Achin Mohammad, Bandung: Pustaka

Nasr, Sayyed Hossein (2001), Ideals and Realities of Islam, The Islamic Texts Society, Cambridge

Nasution, Harun Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 1986, Jakarta: UI-Press
                       
----------, Islam Rasional, 1992, Bandung: Mizan

----------, Teologi Islam; 1986, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia.

Rahman, Fazlur,  1962, Islam,  London: Chicago University Press

Shahih Bukhori, t.t., Shahihul Bukhori, t.t.: Syirkah an Nur Asia

Syaltut, Mahmud,1966, Al Islam ‘Aqidah wa Syariah, Mesir : Dar al Qolam

Syalaby, Ahmad, 1973, Al Islam,.Al Qohirah: Maktabatnun Nahdhotil Misriyah

W. Montgomery Watt, Studi Islam Klasik; Wacana Kritik Sejarah, Terj. Sukoyo, et, al., Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.



[1] Sayyed Hossein Nasr (2001), Ideals and Realities of Islam, The Islamic Texts Society, Cambridge, hlm. 1.
[2] Kuntum khoiro ummain ukhrijat li an-nasi takmuruna bi al ma’rufi wa tan hauna ‘anil munkari wa tukminuna billallahi (QS Ali Imron: 110)  
[3] Harun Nasution (1995), Islam RasionalBandung : Mizan, hlm 165.
[4] Buniyal Islam ‘ala khomsin, syahadatu an la ilaha illa Allah, wa tuqimu ash-asholata wa tu’thiya az zakata wa tasuma ar-romadona, wa hijjul baiti li manis tatho’a ilaihi sabila, dalam  Shohih Bukhori  Muslim, Mesir: Baerut, hlm 164.
[5] Nurcholish Madjid (2007), Ensiklopedi Norcholis Madjid , Jakarta: Paramadina, hlm.xxi
[6] Pulungan, Piagam Madinah. Naskah dari Piagam Madinah sangat variatif. Meskipun demikian secara substantif tidak ada perbedaan .Prinsinya dokumen tersebut menjelaskan bahwa Islam mengormati plurlitas agama
[7] Dialog TVRI Menuju Masyarakat Moderat dalam TVRI antara Prof Dr Said Aqil Siraj dan Prof Dr Frans Magnis Suseno, 14 Ramadhon 1426 H Pukul 20 30
[8] Mahmud Syaltut (1975), Islam Aqidah wa Syari’ah, Mesir: Beirut,  hlm 13-22 
[9] Harun Nasution, (1986),  Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II , Jakarta: UI Press, hlm. 75.
[10] Faisal  Isamail, Islam Idealitas Ilahiah dan Realitas Insaniyah, 1999 Hlm. ix  Yogjakarta: PT Tiara Wacana
[11] Hasan al Banna (1977), Allah fi al Aqidah al Islamiyah, Kairo: Darr asy Syihab, hlm. 43.
[12] Abdul Kholaf Wahab, Ushul Fiqih, dalam hal al adhah muhakkamah, kebiasaan yang telah mengurat akar dalam suatu tempat dapat dijadikan pedoman
[13] Dijelaskan dalam hadist Riwayat Bukhori, sollu kama roaitumuunii usholli, Shohih Bukhori Jilid  I Hlm.89
[14] Inna addina’ inda Allahi al Islamu, QS Ali Imran: 19.
[15] Al yauma akmaltu lakum  dinakum wa atmamtu ‘a laikum al islama  dinan,  QS; al Maidah : 3
[16] dalam kaidah ushuliyah djelaskan al adah muhakkamah, dalam Abdul Wahab Kholaf, 1996, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (terj. Nor Iskandar al-Barsani), Jakarta: Rajawali, hlm: 169 
[17] Inna sholata kanat ‘alal mukminina kitaban  mauqutan, (QS An Nisa’: 102)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar