Kamis, 12 Desember 2013

Peradaban Barat dalam Globalisasi

"+"

Peradaban Barat dalam Globalisasi:
RESPONS ISLAM






A.    Pendahuluan

Munculnya peradaban Barat adalah ketika selesainya revolusi 17891. Dasar-dasar kemapanan Barat ini akibat perubahan yang terjadi di masyarakat melalui proses modernisasi2 yang cukup panjang3. Diketahui bahwa pada masa lalu, suatu peradaban yang mengagumkan biasanya ditentukan oleh perbedaan-perbedaan kuantitatif dalam sebuah kekuasaan. Tetapi, munculnya masyarakat modern di Barat secara kualitatif memiliki bentuk kekuasaan yang lebih berkualitas dengan menghadirkan 2 (dua) hal, yakni; pertama kemajuan tehnologi yang di dukung dengan; kedua kemajuan ilmu pengetahuan. Berangkat dengan berbekal dua hal tersebut cukup memungkinkan negara-negara yang secara fisik kecil seperti Inggris, Prancis dapat mendominasi sebagian besar negara-negara di belahan dunia manapun ketika itu.
Simak saja, salah satu sejarah telah membuktikan ketika hadirnya rombongan Napoleon datang ke Mesir. Saya menganalogikan hal itu, ibarat rombongan Napoleon mengadakan sebuah pameran di masyarakat primitif (pedalaman) yang jauh dari informasi, dengan menyajikan berbagai karya-karya produk dari hasil ilmu pengetahuan yang didapatkannya, dan kemudian dari salah satu pengunjung yakni orang Mesir, bahkan dia ini adalah seorang ulama/ guru, tokoh masyarakat, seorang cendekiawan menjadi terheran-heran, merasakan seolah ada yang ganjil (aneh) dan terkagum-kagun yang luar biasa, sehingga sampai-sampai dia menulis dalam buku diarenya dari hasil kunjungannya itu dengan kalimat, “Saya telah melihat disana (tempat pameran) benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil dan mampu menghasilkan yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita”. Demikianlah tulisan dari seorang cendekiawan Islam waktu itu terhadap kemajuan yang dimiliki oleh bangsa Barat saat itu, namun demikian tanpa disadari “ada udang dibalik batu”, ada sebuah misi-misi tertentu yang tengah dilancarkan oleh Barat saat itu. Walhasil, dalam waktu singkat Barat pun mampu menguasai hampir di seluruh negara-negara Islam, bahkan hampir dibelahan negara-negara dunia hanya berbekal dengan dua hal tersebut.
Gelombang ekspedisi peradaban Barat yang hampir tidak bisa terbendung, menyadarkan dunia Islam akan kelemahan dan ketidak berdayaannya. Serangan kultural tersebut, lebih jauh lagi telah menempatkan bangsa-bangsa Muslim khususnya sebagai korban gerakan misi Barat ---tanpa disadari--- masuk pada posisi yang cukup dilematis4. Disatu sisi Umat Muslim ada responsibilitas untuk mengembalikan kejayaan masa lalu, namun disisi lain mereka tidak bisa lepas dari pengaruh dan ketergantungannya pada peradaban bangsa Barat yang mulai mengurita.
Di sisi lain, dengan hadirnya era globalisasi lebih menjadikan faktor pendukung yang kondusif untuk lebih mengguatkan “misionaris” Barat kepada bangsa-bangsa lain diseluruh dunia, agar negara-negara di seluruh penjuru dunia meng-“idola”-kan Barat sebagai sebuah bangsa yang mapan, yang baik dan kuat. Sehingga secara tidak langsung negara-negara lainnya pun segan dan akhirnya tunduk pada “kebijakan” yang diinginkan Barat. Dari potret itu, makalah ini berusaha mengungkap tentang Hegemoni Peradaban Barat dalam Globalisasi: Respons Islam.
B.     Peradaban Barat
Fenomena atas perkembangan peradaban Barat yang demikian baik, sebenarnya berangkat dari proses yang panjang jauh sebelum muncul peradaban-peradaban lain seperti Cina di bawah Dinasti Tang, Sung dan Ming serta peradaban Islam5.
Dasar-dasar kemapanan Barat atas peradaban yang dihasilkan karena didukung oleh proses modernisasi6. Proses itu sebagaimana dijelaskan di pendahuluan karena ditopang oleh kemajuan tehnologi dan didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan. Modernisasi ini, melibatkan industrialisasi, meningkatkan masyarakat yang berdaya, meningkatkan masyarakat yang melek huruf, majunya tingkat pendidikan, kesejahteraan, tingginya mobilisasi sosial, berbagai tatanan sosial lebih kompleks dan beragam lainnya. Hal itu merupakan konsekwensi dari hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi sejak abad XVIII  yang menjadikan manusia mampu membentuk serta mengendalikan alam melalui cara-cara yang tak terhingga. Oleh karenanya, modernisasi diistilahkan oleh Samuel P. Huntington merupakan proses perubahan yang terjadi secara cepat dengan didukung oleh kemajuan IPTEK dari masyarakat primitif menuju masyarakat berperadaban7.
Sehingga pandangan masyarakat yang berperadaban adalah identik dengan masyarakat modern dan merupakan lawan kata dari pandangan masyarakat tradisonal, gaya berfikir masyarakat modern bercirikan; pertama berfikir secara rasional (dengan mengutamakan akal), kedua menghargai terhadap proses/ kerja sebagai usaha, ketiga mengedepankan yang efektif dan efisien dalam segala hal, keempat lebih mempertimbangkan fungsionalisme dalam bekerja/ proses, sedangkan gaya berfikir masyarakat tradisional bercirikan; pertama tidak menggunakan akal secara maksimal (cenderung berfikir emosional), kedua  mengesampingkan proses dan lebih berfikir praktis (hasil), ketiga tidak mempertimbangkan unsur efektif dan efisien, keempat tidak memperhatikan nilai fungsionalnya dalam bekerja (melakukan proses)8.
Ide tentang “peradaban” berawal dari memperlawankannya pada istilah “barbarisme”. Masyarakat yang telah berperadaban dibedakan dari masyarakat primitif (tradisional) karena mereka adalah masyarakat yang sudah hidup menetap dan terpelajar9. Berperadaban adalah baik, tidak berperadaban adalah buruk. Konsep peradaban menyajikan sebuah tolak ukur yang dapat dijadikan acuan dalam memberikan penilaian terhadap berbagai dinamika kehidupan masyarakat, terbukti yang selama abad XIX, orang-orang Eropa banyak melakukan upaya intelektual, diplomatis dan politis terhadap negara-negara non Barat. 

C.    Era Globalisasi: Dampak yang Muncul
Kata globalisasi dalam kamus ilmiah, mengandung makna pengglobalan pada seluruh aspek kehidupan secara menyeluruh di segala aspek kehidupan10.  Demikian juga menurut Ishomuddin menyampaikan bahwa globalisasi berasal dari kata “globe” yang berarti “baca dunia”, sehingga globalisasi di sebut pula sebagai gerakan mendunia yakni suatu perkembangan pembentukan sistem dan nilai-nilai kehidupan yang bersifat global11.
Dari pemahaman tersebut memberikan gambaran bahwa salah satu manifestasi globalisasi adalah terciptanya masyarakat terbuka, yakni runtuhnya sekat-sekat yang membatasi pergaulan antar bangsa, apakah itu sekat politik, ekonomi ataupun sekat budaya12.
Era globalisasi menggambarkan suatu abad (masa), dengan bentuk tatanan masyarakatnya yang mampu menerobos tabir, wilayah, sekat walaupun jauh,  sehingga manusia di dunia seolah menjadi satu keluarga. Apa yang terjadi sekarang masyarakat di daerah kutub utara mampu dipelosok negeri bisa diketahui saat itu juga oleh masyarakat di daerah kutub selatan ataupun di tempat yang lain. Proses komunikasi antar manusia dalam berbagai dimensi kehidupan akan bebas dari segala hambatan yang menghalanginya13. Hal yang demikian, menunjukkan kehidupan manusia dibelahan bumi ini seolah mengerut, seolah kita tidak lagi bicara tentang atom tetapi lebih kecil lagi “bit”, maka ini semakin memperkecil wilayah keberadaan manusia, namun demikian tetap pada dimensi yang lebih luas14.
Paduan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi ini terutama kemajuan informasi semakin terasa dampaknya diseluruh pelosok dunia. Hal itu disebabkan kemajuan di bidang informasi akan memungkinkan tiap individu memperoleh informasi dari belahan dunia manapun dalam waktu yang cukup singkat, akhirnya menjadikan intensitas interaksi antar individu akan semakin meningkat.
Memang pada awal mulanya gerakan globalisasi ini bertujuan untuk menciptakan jaringan bisnis (perdagangan internasional) secara luas, tanpa mempertimbangkan status dimana dan dari mana mereka berasal. Yang penting arus barang dan jasa mampu menjangkau pelosok-pelosok dunia dengan kendali kekuatan ekonomi raksasa15. Maka globalisasi menciptakan jaringan internasional, terlebih realitas demikian di dukung kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi terutama bidang komunikasi. Dengan bekal tersebut memudahkan manusia dalam mewujudkan impiannya walaupun jauh di tempat tinggalnya.
Berdasar pada realitas tersebut, tampak jelas bahwa globalisasi akan membawa akibat yang cukup signifikan bagi masyarakat dunia internasional. Hal itu, akan membawa dampak baru terhadap pola fikir, budaya, nilai, gaya hidup tersendiri. Misalnya saja globalisasi di bidang informasi, akan mempercepat penambahan wawasan khasanah pengetahuan manusia serta memperkaya masukan terhadap bahan-bahan pertimbangan yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan. Akan tetapi disisi lain tanpa disadari oleh banyak fihak, akibat dengan mengglobalnya akses informasi yang diperoleh dalam era globalisasi tidak menutup kemungkinan didalamnya memuat pula misi atau kepentingan-kepentingan tertentu terhadap nilai-nilai budaya ataupun idiologi-idiologi dari sekian sumber informasi yang ditampilkan.
Pengaruh-pengaruh era globalisasi akan membawa dampak terhadap suatu kelompok masyarakat di suatu negara terutama bagi negara berkembang terlebih lagi negara “miskin” (terbelakang), yang tanpa disadari sebenarnya bisa masuk perangkap dari kepentingan suatu kelompok masyarakat tertentu yang telah memiliki kesiapan sebelumnya. Akibatnya, lebih ironis adalah di negara yang belum memiliki kesiapan di era globalisasi ini maka bisa jadi akan tercerabutnya suatu nilai, budaya, norma, adat sebagai ciri khas identitas dari suatu kelompok masyarakat tersebut.

D.    Hegemoni Peradaban Barat Dalam Globalisasi
                Berangkat dari realita yang dimunculkan oleh era globalisasi atas peradaban Barat tersebut, akan mampu menciptakan iklim yang kondusif guna menyebarkan pengaruhnya pada dunia internasional dengan menciptakan sistem hegomoni. Hal ini bisa saja terjadi agar Barat  di mata negara-negara dunia internasional (khususnya bagi negara-negara non Barat) menjadi kelompok negara disegani, dikagumi dan bahkan dijadikan contoh ((role model) oleh negara-negara lain, bahkan lebih jauh kedepan secara politis mampu memiliki kebijakan khusus atas negara-negara lain.
               Hal itu dilakukan karena mempertimbangkan faktor kepentingan yang didapatkan ketika pengaruh tersebut diterima oleh semua kalangan di negara-negara penjuru dunia. Memang secara nyata praktek-praktek imperialisme dan kolonialisme mendapat penolakan dari berbagai negara di dunia, bahkan Indonesia sendiri sejak kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus tahun 1945  dengan tegas menolak segala bentuk penindasan dan kekerasan diatas dunia manapun juga yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Namun demikian, tanpa disadari oleh sebagian besar umat manusia di penjuru dunia ini gaya imprealisme dan koloniasme telah masuk pada dimensi yang samar. Bagaimana tidak? Bentuk propaganda yang dimunculkan atas suatu negara mengakibatkan hilangnya sebagian hak-hak asasi manusia. Sebut saja sebagai contoh penaklukan kekuasaan rezim Saddam Husain atas Irak yang dilakukan oleh Amerika Serikat beserta dengan sekutu-sekutunya dengan dalih menghilangkan sebuah rezim yang otoriter, karena Amerika beserta sekutunya memandang rezim yang otoriter akan memasung dan menghilangkan hak asasi manusia yang sudah menjadi kesepakatan dunia internasional untuk dipelihara. Tetapi realitasnya sampai sekarang apa yang terjadi di Irak ketika rezim Saddam Husain sudah tumbang?, ini salah satu contoh persoalan ketika suatu negara merasa kuat, dan mendapat simpatik dengan nilai demokrasinya dari berbagai negara di dunia. Apakah ini bukan bagian dari sebuah hegemoni yang tengah dikembangkan oleh negara Amerika beserta dengan sekutu-sekutunya atas negara-negara lainnya. 
                 Pada dasarnya hegenomi merupakan proses ingin menguasai suatu kelompok atau daerah tanpa kekerasan dengan menciptakan ide-ide maupun pola fikir tertentu. Ditinjau dari istilah bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hegemoni adalah proses mempengaruhi kekuasaan suatu negara atas negara lain16. demikian juga disampaikan oleh Komarudin Hidayat yang mengartikan bahwa hegemoni sebagai sebuah penguasaan atau dominasi terhadap fihak lain17.
         Dari proses tersebut menurut Nurbini yang mengutip pandangan dari Jalaludhin Rahmad mengungkapkan bahwa hegemoni peradaban Barat terhadap dunia internasional telah menciptakan tren 3F; yaitu Food (makanan), Fashion (pakaian) dan Fun (hiburan)18.

E.     Respons Islam

Ketika pasca imprealisme dan kolonialisme terdapat banyak pemikir Islam yang berusaha memetakan ---setidaknya melihat kondisi umum dunia Islam khususnya---. Respon Islam ini sering kali diistilahkan dengan menyebutnya “kembangkitan kembali pada dunia Islam” dengan semangat pembaharuan, sebagaimana disebutkan oleh Fazlurrahman. Secara umum Fazlurrahman melihat pembaharuan Islam pada dasarnya ada empat kelompok yaitu konservatisme, sekulerisme, revivalisme dan modernisme19.
Dalam sikapnya tentang konservatisme dipandang sebagai kelompok yang berislam secara membabi buta, sedangkan bagi kelompok sekuleris murni dipandang sebagai kelompok yang tidak mempunyai keimanan terhadap Islam.
Revivalisme pra-modernis khususnya gerakan wahabiyah yang dipimpin oleh Ibn Abdul Wahab pada abad 18 di Arab, hal ini dipandang oleh Fazlurrahman sebagai gerakan murni dari kesadaran keislaman. Diantara prinsip-prinsip pokoknya adalah:
  1. keprihatinan yang mendalam terhadap degradasi sosio moral umat Islam.
  2. Himbauan terhadap Islam murni dan meninggalkan tahayyul yang ditanamkan oleh sufisme populer, meninggalkan tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum tradisional dan berusaha melaksanakan ijtihad.
  3. Himbauan untuk meninggalkan faham teologi predermistik (Jabariyah).
  4. Himbauan untuk melaksanakan pembaharuan (revivalis) dengan senjata (jihad) jika perlu20.
Dalam pandangan yang lain A. Qodri Azizy menyampaikan bahwa masyarakat Islam dalam merespon peradaban Barat, dengan dua sikap yang berbedadan satu sikap kritis dan hati-hati. Pertama sebagian Muslim merespon secara berbalikan, yaitu dengan sikap anti Barat. Kedua sebagian Muslim yang lain terpengaruh oleh arus peradaban Barat dengan munculnya modernisasi dan sekulerisasi, dan itu berakibat pada anggapan pemisahan antara agama dan politik, antara masalah uhrowi dan duniawi. Kelompok ini menjadikan Barat sebagai kiblat dan role model dalam masa depan dan bahkan dijadikan sebagai way of life mereka. Sedangkan yang ketiga sebagian dari mereka bersikap kritis, namun tidak secara otomatis anti Barat21. Sikap pada kelompok ini, peradaban Barat dengan sekian konsekwensi yang terjadi, dilakukan modefikasi sekiranya tetap tidak bertentangan dengan hal-hal yang mereka anggap prinsipil dalam pandangan agama Islam. Kelompok yang ketiga ini menganggap Barat tidak secara otomatis sebagai musuh dan dalam waktu bersamaan tidak pula mengganggap Barat sebagai role model yang hebat dalam segalanya dan harus ditiru. Bagi mereka, Barat juga memiliki unsur kebaikan, sehingga mereka tidak berkeberatan untuk menerima eclecticism, selama tidak harus mengorbankan agama. Namun demikian, dalam sisi lain mereka juga sadar dan perlu kejelian untuk membaca secara tepat dan cepat kejelekan-kejelekan yang muncul sebagai bentuk kekurangan yang dimiliki oleh Barat, dan pada bagian ini harus mampu disikapi secara kritis serta mendalam pada batas tertentu untuk di tolak.
Sementara R. Hrair Dekmejien, dalam tulisannya Multiple Faces of Islam telah mengidentifikasi tantangan Islam yang muncul akibat dominasi Barat dengan setting masyarakat Arab, yaitu; 1) Krisis identitas, 2) Krisis legitimasi, 3) Kelas elit yang tidak jelas, 4) Konflik kelas, 5) Melemahnya militer dan 6) Krisis budaya22. Berangkat dari identifikasi tantangan itu, diharapkan umat Islam mampu memetakan persoalan dan mengatasinya dengan baik.
Disisi lain Bassam Tibbi seorang pemikir Islam kelahiran Arab mencoba membuat para fase respon masyarakat dunia non Barat ---yang sebagian besar pun masyarakat Muslim--- terhadap peradaban Barat. Fase pertama reaksi-reaksi kekerasan, hal ini sebagai revivalisme dan Fase kedua adalah fase pembuangan diri dan proyeksi diri kedalam kultur asing. Fase ini adalah dengan munculnya westernisasi dan munculnya para intelektual didikan Barat, dimana selama pendidikan di Barat kalangan elit intektual ini mengintegrasikan nilai-nilai Barat yang kemudian harus hidup pada masyarakat yang belum memiliki sub struktur maju. Fase ketiga dengan retropeksi kulturalnya23.
Lebih jelasnya hal tersebut dijelaskan oleh Samuel P. Huntinton  bahwa tokoh-tokoh politik dan intelektual dari masyarakat Muslim ini memberikan reaksi terhadap pengaruh Barat melalui satu atau lebih dari tiga cara, yakni; menolak peradaban Barat maupun westernisasinya, menerima keduanya, menerima yang pertama dan menolak yang kedua24. penolakan ini dimulai sejak tahun 1542 hingga pertengahan abad XIX, dalam Islam hanya berlaku pada kelompok fundamentalis yang sangat ekstrim dimana telah menolak modernisasi dan westernisasi. Mereka bisanya tidak mau menggunakan telivisi, radio, bahkan melarang memakai jam tangan serta akribut-akribut lain yang bermodelkan Barat, mereka sangat anti terhadap model-model Barat tersebut, bahkan apabila ada seorang Muslim yang memakai model-model ala Barat mereka berarti telah kafir. Sedangkan bagi kelompok kedua mereka berasumsi bahwa peradaban Barat dan westernisasinya sangat dibutuhkan dan diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, maka budaya pribumi yang tidak sepadan dengan modernisasi harus ditinggalkan atau dibuang, oleh karenanya bila masyarakat ingin mengikuti modernisasi yang bagi mereka adalah berarti mengikuti zaman, maka masyarakat harus sepenuhnya terbaratkan. Kelompok ini disebut dengan consummatory. Pandangan ini justru menjadi lebih populer di kalangan Barat sendiri dari pada di kalangan elit non Barat dengan bahasa sederhananya, “Untuk meraih sukses, kalian harus seperti kami, jalan kamilah satu-satunya jalan yang terbaik”. Pada kelompok ketiga ini bisa disebut sebagai kelompok reformis, berusaha menggabungkan peradaban Barat dengan warisan nilai-nilai yang telah ada.

F.     Kesimpulan.

Dari pemaparan uraian diatas disimpulkan bahwa:
1.      Dasar-dasar kemapanan Barat atas peradaban yang dihasilkan karena didukung oleh proses modernisasi, Proses itu karena ditopang oleh kemajuan tehnologi dan didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan secara intens.
2.      Era globalisasi menggambarkan suatu masa, dengan bentuk tatanan masyarakatnya yang mampu menerobos tabir, wilayah, sekat walaupun jauh,  sehingga manusia di dunia seolah menjadi satu keluarga. Dari pemahaman tersebut memberikan gambaran bahwa salah satu manifestasi globalisasi adalah terciptanya masyarakat terbuka, yakni runtuhnya sekat-sekat yang membatasi pergaulan antar bangsa, apakah itu sekat politik, ekonomi ataupun sekat budaya, terlebih lagi ditopang dengan kemajuan informasi.
3.      Berangkat dari realita yang dimunculkan oleh era globalisasi atas peradaban Barat tersebut, akan mampu menciptakan iklim yang kondusif guna menyebarkan pengaruhnya pada dunia internasional dengan menciptakan sistem hegomoni yang kuat terhadap negara-negara lain di dunia.
4.      Masyarakat Islam dalam merespon peradaban Barat diwujudkan dengan tiga bentuk yakni, dengan dua sikap yang berbedadan dan satunya sikap kritis dan hati-hati. Pertama sebagian Muslim merespon secara berbalikan, yaitu dengan sikap anti Barat. Kedua sebagian Muslim yang lain terpengaruh oleh arus peradaban Barat dengan munculnya modernisasi dan sekulerisasi sedang ketiga sebagian dari mereka bersikap kritis, namun tidak secara otomatis anti Barat, artinya masih menerima namun demikian tetap melakukan koreksi terhadap kelemahan-kelemahan Barat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka warisi sebelumnya.




DAFTAR PUSTAKA


A. Giddens, The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity Press, 1990.

A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan, Islam Globalization and Postmodernity, London: Routledge, 1994.

Achmadi, Bahan Kuliah Pengantar Pemikiran Pendidikan Islam disampaikan, pada hari jum’at tanggal 21 Mei 2004, pukul 14-00 – 16.00.

Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban; Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Bassam Tibbi, The Crisis of Modern Islam; A Preindustrial Culture in the Scientific Technological Age, Terj. Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Dadang S. Anshori, Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, Bandung: Al Qopriat Jatinangor, 2000.

Eka Wahyu.K. dan Azis Suganda, Pendidikan Tinggi Era Indonesia Baru, Jakarta: Grasindo, 1999.

Fazlurrahman, Islam Challangges and Opportunities, Terj. Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Jakarta: Yayasan Obor.

Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1999.

Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, Malang: UMM Press, 1996.

Jhon Obert Voll, Islam Continuity an Change in the Modern World, Terj. Ajat Sudrajat, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.

Komarudin Hidayat, Islam dan Hegemoni Sosial, Jakarta: Media Citra, 2002.

M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.

Nurbini, Dakwah Islam dan Era Globalisasi, Semarang: Jurnal Risalah IAIN Walisongo, 1997.

Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Terj. M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam, 2004.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

R. Hrair Dekmenjian, Multiple Faces of Islam, dalam Andrew Jerichaw and Jorgen Baek Somonsen, Islam in A Changing World, Europe and the Midle East, Surrey: Curzon Press, 1997.



1 Baca Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 28.
2 Baca Jhon Obert Voll, Islam Continuity an Change in the Modern World, Terj. Ajat Sudrajat (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), 123.
3 Barat dalam pengembangan peradabannya sampai pada puncak berangkat dari keseriusannya pada bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, dalam proses panjangnya itu melibatkan berbagai pengembangan dan transmisi pengetahuan sejak masa Yunani, Kresten, Islam dan Eropa. Karena itu sebenarnya kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi Barat sekarang ini berhutang pada tradisi keilmuan Judeo-Christian-Islamic. Disitu terjadi proses pertukaran intelektuan dan keilmuan yang intens diantara ketiga tradisi keagamaan, sosial dan kultural. Baca Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban; Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 10.
4 Bukti dari ekspedisi Napoleon ke Mesir tersebut telah menimbulkan kesadaran baru di kalangan umat Islam. Islam yang pada mulanya dianggap sebagai suatu kekuatan super power ternyata sudah rapuh dan dengan mudah dikalahkan oleh lawan-lawannya, terutama oleh Bangsa Barat. Umat Islam baru menyadari betapa lemahnya kekuatan Islam dan betapa sudah majunya Bangsa Barat.
5 Baca Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Terj. M. Sadat Ismail, (Yogyakarta: Qalam, 2004), 56.
6 Baca Jhon Obert Voll, Islam Continuity an Change in the Modern World, Ibid, 123.
7 Baca Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Ibid, 97-98.
8 Bahan Kuliah Pengantar Pemikiran Pendidikan Islam disampaikan oleh Prof. Dr. H. Achmadi, pada hari jum’at tanggal 21 Mei 2004, pukul 14-00 – 16.00.
9 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Ibid, 38.
10 M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 203.
11 Baca Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, (Malang: UMM Press, 1996), 16.
12 Baca Dadang S. Anshori, Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, (Bandung: Al Qopriat Jatinangor, 2000), 273.
13 Sebagaimana dijelaskan oleh Akbar S. Ahmed dan H. Donnan bahwa globalisasi pada prinsipnya mengacu pada perkembangan yang sangat cepat dengan didukung oleh kecanggihan teknologi baik teknologi komunikasi, transformasi dan informasi mampu membawa ke bagian sudut-sudut dunia manapun secara mudah, Baca  Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan, Islam Globalization and Postmodernity, (London: Routledge, 1994), 1-2. Baca juga A. Giddens, The Consequences of Modernity, (Cambridge: Polity Press, 1990), 64.
14 Baca H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1999), 52.
15 Baca Eka Wahyu.K. dan Azis Suganda, Pendidikan Tinggi Era Indonesia Baru, (Jakarta: Grasindo, 1999), 5.
16 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 345.
17 Komarudin Hidayat, Islam dan Hegemoni Sosial, (Jakarta: Media Citra, 2002), xiv.
18 Nurbini, Dakwah Islam dan Era Globalisasi, (Semarang: Jurnal Risalah IAIN Walisongo, 1997), 2.
19 empat kelompok ini sebenarnya bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu menerima dan menolak. Bagi kelompok konservatif dan sekuleris termasuk kelompok yang menerima dan menolak peradaban Barat secara membabi buta, sedangkan bagi kelompok revivalis dan modernis adalah kelompok yang menerima dan menolak dengan proses selektif.
20 Baca Fazlurrahman, Islam Challangges and Opportunities, Terj. Harun Nasution dan Azyumardi Azra (Jakarta: Yayasan Obor), 20-26.
21 A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 28.
22 R. Hrair Dekmenjian, Multiple Faces of Islam, dalam Andrew Jerichaw and Jorgen Baek Somonsen, Islam in A Changing World, Europe and the Midle East, (Surrey: Curzon Press, 1997), 1-3.
23 Baca Bassam Tibbi, The Crisis of Modern Islam; A Preindustrial Culture in the Scientific Technological Age, Terj. Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), 19-21.
24 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Ibid, 105-106.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar