Peradaban
Barat dalam Globalisasi:
RESPONS
ISLAM
A. Pendahuluan
Munculnya peradaban Barat adalah ketika selesainya
revolusi 17891. Dasar-dasar kemapanan
Barat ini akibat perubahan yang terjadi di masyarakat melalui proses
modernisasi2 yang cukup panjang3. Diketahui bahwa pada masa lalu, suatu
peradaban yang mengagumkan biasanya ditentukan oleh perbedaan-perbedaan
kuantitatif dalam sebuah kekuasaan. Tetapi, munculnya masyarakat modern di
Barat secara kualitatif memiliki bentuk kekuasaan yang lebih berkualitas dengan
menghadirkan 2 (dua) hal, yakni; pertama kemajuan tehnologi yang di
dukung dengan; kedua kemajuan ilmu pengetahuan. Berangkat dengan
berbekal dua hal tersebut cukup memungkinkan negara-negara yang secara fisik
kecil seperti Inggris, Prancis dapat mendominasi sebagian besar negara-negara
di belahan dunia manapun ketika itu.
Simak saja, salah satu sejarah telah membuktikan
ketika hadirnya rombongan Napoleon datang ke Mesir. Saya menganalogikan hal
itu, ibarat rombongan Napoleon mengadakan sebuah pameran di masyarakat primitif
(pedalaman) yang jauh dari informasi, dengan menyajikan berbagai karya-karya
produk dari hasil ilmu pengetahuan yang didapatkannya, dan kemudian dari salah
satu pengunjung yakni orang Mesir, bahkan dia ini adalah seorang ulama/ guru,
tokoh masyarakat, seorang cendekiawan menjadi terheran-heran, merasakan seolah
ada yang ganjil (aneh) dan terkagum-kagun yang luar biasa, sehingga
sampai-sampai dia menulis dalam buku diarenya
dari hasil kunjungannya itu dengan kalimat, “Saya telah melihat disana (tempat pameran) benda-benda dan
percobaan-percobaan ganjil dan mampu menghasilkan yang besar untuk dapat
ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita”. Demikianlah tulisan
dari seorang cendekiawan Islam waktu itu terhadap kemajuan yang dimiliki oleh
bangsa Barat saat itu, namun demikian tanpa disadari “ada udang dibalik batu”,
ada sebuah misi-misi tertentu yang tengah dilancarkan oleh Barat saat itu.
Walhasil, dalam waktu singkat Barat pun mampu menguasai hampir di seluruh negara-negara
Islam, bahkan hampir dibelahan negara-negara dunia hanya berbekal dengan dua
hal tersebut.
Gelombang ekspedisi peradaban Barat yang hampir tidak
bisa terbendung, menyadarkan dunia Islam akan kelemahan dan ketidak
berdayaannya. Serangan kultural tersebut, lebih jauh lagi telah menempatkan
bangsa-bangsa Muslim khususnya sebagai korban gerakan misi Barat ---tanpa
disadari--- masuk pada posisi yang cukup dilematis4.
Disatu sisi Umat Muslim ada responsibilitas untuk mengembalikan kejayaan masa
lalu, namun disisi lain mereka tidak bisa lepas dari pengaruh dan
ketergantungannya pada peradaban bangsa Barat yang mulai mengurita.
Di sisi lain, dengan
hadirnya era globalisasi lebih menjadikan faktor pendukung yang kondusif untuk
lebih mengguatkan “misionaris” Barat kepada bangsa-bangsa lain diseluruh dunia,
agar negara-negara di seluruh penjuru dunia meng-“idola”-kan Barat sebagai
sebuah bangsa yang mapan, yang baik dan kuat. Sehingga secara tidak langsung
negara-negara lainnya pun segan dan akhirnya tunduk pada “kebijakan” yang
diinginkan Barat. Dari potret itu, makalah ini berusaha mengungkap tentang
Hegemoni Peradaban Barat dalam Globalisasi: Respons Islam.
B.
Peradaban Barat
Fenomena atas perkembangan peradaban Barat yang
demikian baik, sebenarnya berangkat dari proses yang panjang jauh sebelum
muncul peradaban-peradaban lain seperti Cina di bawah Dinasti Tang, Sung dan
Ming serta peradaban Islam5.
Dasar-dasar kemapanan Barat atas peradaban yang
dihasilkan karena didukung oleh proses modernisasi6.
Proses itu sebagaimana dijelaskan di pendahuluan karena ditopang oleh kemajuan
tehnologi dan didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan. Modernisasi ini,
melibatkan industrialisasi, meningkatkan masyarakat yang berdaya, meningkatkan
masyarakat yang melek huruf, majunya tingkat pendidikan, kesejahteraan,
tingginya mobilisasi sosial, berbagai tatanan sosial lebih kompleks dan beragam
lainnya. Hal itu merupakan konsekwensi dari hasil perkembangan ilmu pengetahuan
dan tehnologi sejak abad XVIII yang
menjadikan manusia mampu membentuk serta mengendalikan alam melalui cara-cara
yang tak terhingga. Oleh karenanya, modernisasi diistilahkan oleh Samuel P.
Huntington merupakan proses perubahan yang terjadi secara cepat dengan didukung
oleh kemajuan IPTEK dari masyarakat primitif menuju masyarakat berperadaban7.
Sehingga pandangan masyarakat yang berperadaban adalah
identik dengan masyarakat modern dan merupakan lawan kata dari pandangan
masyarakat tradisonal, gaya berfikir masyarakat modern bercirikan; pertama
berfikir secara rasional (dengan mengutamakan akal), kedua menghargai
terhadap proses/ kerja sebagai usaha, ketiga mengedepankan yang efektif
dan efisien dalam segala hal, keempat lebih mempertimbangkan
fungsionalisme dalam bekerja/ proses, sedangkan gaya berfikir masyarakat
tradisional bercirikan; pertama tidak menggunakan akal secara maksimal
(cenderung berfikir emosional), kedua
mengesampingkan proses dan lebih berfikir praktis (hasil), ketiga
tidak mempertimbangkan unsur efektif dan efisien, keempat tidak memperhatikan
nilai fungsionalnya dalam bekerja (melakukan proses)8.
Ide tentang “peradaban” berawal dari memperlawankannya
pada istilah “barbarisme”. Masyarakat yang telah berperadaban dibedakan dari
masyarakat primitif (tradisional) karena mereka adalah masyarakat yang sudah
hidup menetap dan terpelajar9.
Berperadaban adalah baik, tidak berperadaban adalah buruk. Konsep peradaban
menyajikan sebuah tolak ukur yang dapat dijadikan acuan dalam memberikan
penilaian terhadap berbagai dinamika kehidupan masyarakat, terbukti yang selama
abad XIX, orang-orang Eropa banyak melakukan upaya intelektual, diplomatis dan
politis terhadap negara-negara non Barat.
C.
Era Globalisasi: Dampak yang Muncul
Kata globalisasi dalam kamus ilmiah, mengandung
makna pengglobalan pada seluruh aspek kehidupan secara menyeluruh di segala
aspek kehidupan10. Demikian juga menurut Ishomuddin menyampaikan
bahwa globalisasi berasal dari kata “globe” yang berarti “baca dunia”, sehingga
globalisasi di sebut pula sebagai gerakan mendunia yakni suatu perkembangan
pembentukan sistem dan nilai-nilai kehidupan yang bersifat global11.
Dari pemahaman tersebut memberikan gambaran bahwa
salah satu manifestasi globalisasi adalah terciptanya masyarakat terbuka, yakni
runtuhnya sekat-sekat yang membatasi pergaulan antar bangsa, apakah itu sekat
politik, ekonomi ataupun sekat budaya12.
Era globalisasi menggambarkan suatu abad (masa),
dengan bentuk tatanan masyarakatnya yang mampu menerobos tabir, wilayah,
sekat walaupun jauh, sehingga manusia di
dunia seolah menjadi satu keluarga. Apa yang terjadi sekarang masyarakat di
daerah kutub utara mampu dipelosok negeri bisa diketahui saat itu juga oleh
masyarakat di daerah kutub selatan ataupun di tempat yang lain. Proses
komunikasi antar manusia dalam berbagai dimensi kehidupan akan bebas dari
segala hambatan yang menghalanginya13.
Hal yang demikian, menunjukkan kehidupan manusia dibelahan bumi ini seolah
mengerut, seolah kita tidak lagi bicara tentang atom tetapi lebih kecil lagi “bit”,
maka ini semakin memperkecil wilayah keberadaan manusia, namun demikian
tetap pada dimensi yang lebih luas14.
Paduan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi
ini terutama kemajuan informasi semakin terasa dampaknya diseluruh pelosok
dunia. Hal itu disebabkan kemajuan di bidang informasi akan memungkinkan tiap
individu memperoleh informasi dari belahan dunia manapun dalam waktu yang cukup
singkat, akhirnya menjadikan intensitas interaksi antar individu akan semakin
meningkat.
Memang pada awal mulanya gerakan globalisasi ini
bertujuan untuk menciptakan jaringan bisnis (perdagangan internasional) secara
luas, tanpa mempertimbangkan status dimana dan dari mana mereka berasal. Yang
penting arus barang dan jasa mampu menjangkau pelosok-pelosok dunia dengan
kendali kekuatan ekonomi raksasa15. Maka globalisasi menciptakan jaringan
internasional, terlebih realitas demikian di dukung kemajuan Ilmu Pengetahuan
dan Tehnologi terutama bidang komunikasi. Dengan bekal tersebut memudahkan
manusia dalam mewujudkan impiannya walaupun jauh di tempat tinggalnya.
Berdasar pada realitas tersebut, tampak jelas bahwa
globalisasi akan membawa akibat yang cukup signifikan bagi masyarakat dunia
internasional. Hal itu, akan membawa dampak baru terhadap pola fikir, budaya,
nilai, gaya hidup tersendiri. Misalnya saja globalisasi di bidang informasi,
akan mempercepat penambahan wawasan khasanah pengetahuan manusia serta
memperkaya masukan terhadap bahan-bahan pertimbangan yang dibutuhkan untuk
mengambil keputusan. Akan tetapi disisi lain tanpa disadari oleh banyak fihak,
akibat dengan mengglobalnya akses informasi yang diperoleh dalam era
globalisasi tidak menutup kemungkinan didalamnya memuat pula misi atau
kepentingan-kepentingan tertentu terhadap nilai-nilai budaya ataupun
idiologi-idiologi dari sekian sumber informasi yang ditampilkan.
Pengaruh-pengaruh era globalisasi akan membawa dampak
terhadap suatu kelompok masyarakat di suatu negara terutama bagi negara
berkembang terlebih lagi negara “miskin” (terbelakang), yang tanpa disadari
sebenarnya bisa masuk perangkap dari kepentingan suatu kelompok masyarakat
tertentu yang telah memiliki kesiapan sebelumnya. Akibatnya, lebih ironis
adalah di negara yang belum memiliki kesiapan di era globalisasi ini maka bisa
jadi akan tercerabutnya suatu nilai, budaya, norma, adat sebagai ciri khas
identitas dari suatu kelompok masyarakat tersebut.
D.
Hegemoni Peradaban Barat Dalam Globalisasi
Berangkat dari realita yang
dimunculkan oleh era globalisasi atas peradaban Barat tersebut, akan mampu
menciptakan iklim yang kondusif guna menyebarkan pengaruhnya pada dunia
internasional dengan menciptakan sistem hegomoni. Hal ini bisa saja terjadi
agar Barat di mata negara-negara dunia
internasional (khususnya bagi negara-negara non Barat) menjadi kelompok negara
disegani, dikagumi dan bahkan dijadikan contoh ((role model) oleh
negara-negara lain, bahkan lebih jauh kedepan secara politis mampu memiliki
kebijakan khusus atas negara-negara lain.
Hal itu dilakukan karena
mempertimbangkan faktor kepentingan yang didapatkan ketika pengaruh tersebut diterima
oleh semua kalangan di negara-negara penjuru dunia. Memang secara nyata
praktek-praktek imperialisme dan kolonialisme mendapat penolakan dari berbagai
negara di dunia, bahkan Indonesia sendiri sejak kemerdekaannya pada tanggal 17
agustus tahun 1945 dengan tegas menolak
segala bentuk penindasan dan kekerasan diatas dunia manapun juga yang tertuang
dalam pembukaan UUD 1945. Namun demikian, tanpa disadari oleh sebagian besar
umat manusia di penjuru dunia ini gaya imprealisme dan koloniasme telah masuk
pada dimensi yang samar. Bagaimana tidak? Bentuk propaganda yang dimunculkan
atas suatu negara mengakibatkan hilangnya sebagian hak-hak asasi manusia. Sebut
saja sebagai contoh penaklukan kekuasaan rezim Saddam Husain atas Irak yang
dilakukan oleh Amerika Serikat beserta dengan sekutu-sekutunya dengan dalih
menghilangkan sebuah rezim yang otoriter, karena Amerika beserta sekutunya
memandang rezim yang otoriter akan memasung dan menghilangkan hak asasi manusia
yang sudah menjadi kesepakatan dunia internasional untuk dipelihara. Tetapi
realitasnya sampai sekarang apa yang terjadi di Irak ketika rezim Saddam Husain
sudah tumbang?, ini salah satu contoh persoalan ketika suatu negara merasa
kuat, dan mendapat simpatik dengan nilai demokrasinya dari berbagai negara di
dunia. Apakah ini bukan bagian dari sebuah hegemoni yang tengah dikembangkan
oleh negara Amerika beserta dengan sekutu-sekutunya atas negara-negara
lainnya.
Pada dasarnya hegenomi
merupakan proses ingin menguasai suatu kelompok atau daerah tanpa kekerasan
dengan menciptakan ide-ide maupun pola fikir tertentu. Ditinjau dari istilah
bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hegemoni adalah proses mempengaruhi
kekuasaan suatu negara atas negara lain16.
demikian juga disampaikan oleh Komarudin Hidayat yang mengartikan bahwa
hegemoni sebagai sebuah penguasaan atau dominasi terhadap fihak lain17.
Dari proses tersebut
menurut Nurbini yang mengutip pandangan dari Jalaludhin Rahmad mengungkapkan
bahwa hegemoni peradaban Barat terhadap dunia internasional telah menciptakan
tren 3F; yaitu Food (makanan), Fashion (pakaian) dan Fun (hiburan)18.
E. Respons Islam
Ketika pasca imprealisme dan kolonialisme terdapat
banyak pemikir Islam yang berusaha memetakan ---setidaknya melihat kondisi umum
dunia Islam khususnya---. Respon Islam ini sering kali diistilahkan dengan
menyebutnya “kembangkitan kembali pada dunia Islam” dengan semangat
pembaharuan, sebagaimana disebutkan oleh Fazlurrahman. Secara umum Fazlurrahman
melihat pembaharuan Islam pada dasarnya ada empat kelompok yaitu konservatisme,
sekulerisme, revivalisme dan modernisme19.
Dalam sikapnya tentang konservatisme dipandang sebagai
kelompok yang berislam secara membabi buta, sedangkan bagi kelompok sekuleris
murni dipandang sebagai kelompok yang tidak mempunyai keimanan terhadap Islam.
Revivalisme pra-modernis khususnya gerakan wahabiyah
yang dipimpin oleh Ibn Abdul Wahab pada abad 18 di Arab, hal ini dipandang oleh
Fazlurrahman sebagai gerakan murni dari kesadaran keislaman. Diantara
prinsip-prinsip pokoknya adalah:
- keprihatinan yang mendalam terhadap degradasi sosio moral umat Islam.
- Himbauan terhadap Islam murni dan meninggalkan tahayyul yang ditanamkan oleh sufisme populer, meninggalkan tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum tradisional dan berusaha melaksanakan ijtihad.
- Himbauan untuk meninggalkan faham teologi predermistik (Jabariyah).
- Himbauan untuk melaksanakan pembaharuan (revivalis) dengan senjata (jihad) jika perlu20.
Dalam pandangan yang lain A. Qodri Azizy menyampaikan
bahwa masyarakat Islam dalam merespon peradaban Barat, dengan dua sikap yang
berbedadan satu sikap kritis dan hati-hati. Pertama sebagian Muslim merespon
secara berbalikan, yaitu dengan sikap anti Barat. Kedua sebagian Muslim yang
lain terpengaruh oleh arus peradaban Barat dengan munculnya modernisasi dan
sekulerisasi, dan itu berakibat pada anggapan pemisahan antara agama dan
politik, antara masalah uhrowi dan duniawi. Kelompok ini menjadikan Barat
sebagai kiblat dan role model dalam masa depan dan bahkan
dijadikan sebagai way of life mereka. Sedangkan yang ketiga sebagian
dari mereka bersikap kritis, namun tidak secara otomatis anti Barat21. Sikap pada kelompok ini, peradaban
Barat dengan sekian konsekwensi yang terjadi, dilakukan modefikasi sekiranya
tetap tidak bertentangan dengan hal-hal yang mereka anggap prinsipil dalam
pandangan agama Islam. Kelompok yang ketiga ini menganggap Barat tidak secara
otomatis sebagai musuh dan dalam waktu bersamaan tidak pula mengganggap Barat
sebagai role model yang hebat dalam segalanya dan harus ditiru. Bagi
mereka, Barat juga memiliki unsur kebaikan, sehingga mereka tidak berkeberatan
untuk menerima eclecticism, selama tidak harus mengorbankan agama. Namun
demikian, dalam sisi lain mereka juga sadar dan perlu kejelian untuk membaca
secara tepat dan cepat kejelekan-kejelekan yang muncul sebagai bentuk
kekurangan yang dimiliki oleh Barat, dan pada bagian ini harus mampu disikapi
secara kritis serta mendalam pada batas tertentu untuk di tolak.
Sementara R. Hrair Dekmejien, dalam tulisannya Multiple
Faces of Islam telah mengidentifikasi tantangan Islam yang muncul akibat
dominasi Barat dengan setting masyarakat Arab, yaitu; 1) Krisis identitas, 2)
Krisis legitimasi, 3) Kelas elit yang tidak jelas, 4) Konflik kelas, 5)
Melemahnya militer dan 6) Krisis budaya22.
Berangkat dari identifikasi tantangan itu, diharapkan umat Islam mampu
memetakan persoalan dan mengatasinya dengan baik.
Disisi lain Bassam Tibbi seorang pemikir Islam
kelahiran Arab mencoba membuat para fase respon masyarakat dunia non Barat
---yang sebagian besar pun masyarakat Muslim--- terhadap peradaban Barat. Fase
pertama reaksi-reaksi kekerasan, hal ini sebagai revivalisme dan Fase
kedua adalah fase pembuangan diri dan proyeksi diri kedalam kultur asing.
Fase ini adalah dengan munculnya westernisasi dan munculnya para intelektual
didikan Barat, dimana selama pendidikan di Barat kalangan elit intektual ini
mengintegrasikan nilai-nilai Barat yang kemudian harus hidup pada masyarakat
yang belum memiliki sub struktur maju. Fase ketiga dengan retropeksi
kulturalnya23.
Lebih jelasnya hal tersebut dijelaskan oleh Samuel P.
Huntinton bahwa tokoh-tokoh politik dan
intelektual dari masyarakat Muslim ini memberikan reaksi terhadap pengaruh
Barat melalui satu atau lebih dari tiga cara, yakni; menolak peradaban Barat
maupun westernisasinya, menerima keduanya, menerima yang pertama dan menolak
yang kedua24. penolakan ini dimulai
sejak tahun 1542 hingga pertengahan abad XIX, dalam Islam hanya berlaku pada
kelompok fundamentalis yang sangat ekstrim dimana telah menolak modernisasi dan
westernisasi. Mereka bisanya tidak mau menggunakan telivisi, radio, bahkan
melarang memakai jam tangan serta akribut-akribut lain yang bermodelkan Barat,
mereka sangat anti terhadap model-model Barat tersebut, bahkan apabila ada
seorang Muslim yang memakai model-model ala Barat mereka berarti telah kafir.
Sedangkan bagi kelompok kedua mereka berasumsi bahwa peradaban Barat dan
westernisasinya sangat dibutuhkan dan diperlukan dalam kehidupan sehari-hari,
maka budaya pribumi yang tidak sepadan dengan modernisasi harus ditinggalkan
atau dibuang, oleh karenanya bila masyarakat ingin mengikuti modernisasi yang
bagi mereka adalah berarti mengikuti zaman, maka masyarakat harus sepenuhnya
terbaratkan. Kelompok ini disebut dengan consummatory. Pandangan ini
justru menjadi lebih populer di kalangan Barat sendiri dari pada di kalangan
elit non Barat dengan bahasa sederhananya, “Untuk meraih sukses, kalian harus
seperti kami, jalan kamilah satu-satunya jalan yang terbaik”. Pada kelompok
ketiga ini bisa disebut sebagai kelompok reformis, berusaha menggabungkan
peradaban Barat dengan warisan nilai-nilai yang telah ada.
F. Kesimpulan.
Dari pemaparan uraian diatas disimpulkan bahwa:
1.
Dasar-dasar kemapanan Barat atas peradaban yang
dihasilkan karena didukung oleh proses modernisasi, Proses itu karena ditopang
oleh kemajuan tehnologi dan didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan secara
intens.
2.
Era globalisasi menggambarkan suatu masa, dengan bentuk
tatanan masyarakatnya yang mampu menerobos tabir, wilayah, sekat
walaupun jauh, sehingga manusia di dunia
seolah menjadi satu keluarga. Dari pemahaman tersebut memberikan gambaran bahwa
salah satu manifestasi globalisasi adalah terciptanya masyarakat terbuka, yakni
runtuhnya sekat-sekat yang membatasi pergaulan antar bangsa, apakah itu sekat
politik, ekonomi ataupun sekat budaya, terlebih lagi ditopang dengan kemajuan
informasi.
3.
Berangkat dari realita yang dimunculkan oleh era
globalisasi atas peradaban Barat tersebut, akan mampu menciptakan iklim yang
kondusif guna menyebarkan pengaruhnya pada dunia internasional dengan
menciptakan sistem hegomoni yang kuat terhadap negara-negara lain di dunia.
4.
Masyarakat Islam dalam merespon peradaban Barat
diwujudkan dengan tiga bentuk yakni, dengan dua sikap yang berbedadan dan
satunya sikap kritis dan hati-hati. Pertama sebagian Muslim merespon secara
berbalikan, yaitu dengan sikap anti Barat. Kedua sebagian Muslim yang lain
terpengaruh oleh arus peradaban Barat dengan munculnya modernisasi dan
sekulerisasi sedang ketiga sebagian dari mereka bersikap kritis, namun tidak
secara otomatis anti Barat, artinya masih menerima namun demikian tetap
melakukan koreksi terhadap kelemahan-kelemahan Barat selama tidak bertentangan
dengan nilai-nilai yang mereka warisi sebelumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Giddens, The
Consequences of Modernity, Cambridge: Polity Press, 1990.
A. Qodri
Azizy, Melawan Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan
Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Akbar S.
Ahmed dan Hastings Donnan, Islam Globalization and Postmodernity, London:
Routledge, 1994.
Achmadi,
Bahan Kuliah Pengantar Pemikiran Pendidikan Islam disampaikan, pada hari jum’at
tanggal 21 Mei 2004, pukul 14-00 – 16.00.
Azyumardi
Azra, Konflik Baru Antar Peradaban; Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Bassam Tibbi,
The Crisis of Modern Islam; A Preindustrial Culture in the Scientific
Technological Age, Terj. Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Dadang S.
Anshori, Menggagas Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana
Politik Pembangunan, Bandung: Al Qopriat Jatinangor, 2000.
Eka Wahyu.K.
dan Azis Suganda, Pendidikan Tinggi Era Indonesia Baru, Jakarta:
Grasindo, 1999.
Fazlurrahman,
Islam Challangges and Opportunities, Terj. Harun Nasution dan Azyumardi
Azra, Jakarta: Yayasan Obor.
Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
H.A.R.
Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad
21, Magelang: Tera Indonesia, 1999.
Ishomuddin, Spektrum
Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, Malang: UMM Press, 1996.
Jhon Obert
Voll, Islam Continuity an Change in the Modern World, Terj. Ajat Sudrajat,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Komarudin
Hidayat, Islam dan Hegemoni Sosial, Jakarta: Media Citra, 2002.
M. Dahlan Al
Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
Nurbini, Dakwah
Islam dan Era Globalisasi, Semarang: Jurnal Risalah IAIN Walisongo, 1997.
Samuel P.
Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Terj.
M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam, 2004.
Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
R. Hrair
Dekmenjian, Multiple Faces of Islam, dalam Andrew Jerichaw and Jorgen
Baek Somonsen, Islam in A Changing World, Europe and the Midle East, Surrey:
Curzon Press, 1997.
1 Baca Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam: Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), 28.
2 Baca Jhon Obert Voll, Islam
Continuity an Change in the Modern World, Terj. Ajat Sudrajat (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1997), 123.
3 Barat dalam pengembangan peradabannya
sampai pada puncak berangkat dari keseriusannya pada bidang pengembangan ilmu
pengetahuan dan tehnologi, dalam proses panjangnya itu melibatkan berbagai
pengembangan dan transmisi pengetahuan sejak masa Yunani, Kresten, Islam dan
Eropa. Karena itu sebenarnya kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi Barat
sekarang ini berhutang pada tradisi keilmuan Judeo-Christian-Islamic.
Disitu terjadi proses pertukaran intelektuan dan keilmuan yang intens
diantara ketiga tradisi keagamaan, sosial dan kultural. Baca Azyumardi Azra, Konflik
Baru Antar Peradaban; Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), 10.
4 Bukti dari ekspedisi Napoleon ke Mesir
tersebut telah menimbulkan kesadaran baru di kalangan umat Islam. Islam yang
pada mulanya dianggap sebagai suatu kekuatan super power ternyata sudah
rapuh dan dengan mudah dikalahkan oleh lawan-lawannya, terutama oleh Bangsa
Barat. Umat Islam baru menyadari betapa lemahnya kekuatan Islam dan betapa
sudah majunya Bangsa Barat.
5 Baca Samuel P. Huntington, The Clash
of Civilizations and the Remaking of World Order, Terj. M. Sadat Ismail,
(Yogyakarta: Qalam, 2004), 56.
6 Baca Jhon Obert Voll, Islam
Continuity an Change in the Modern World, Ibid, 123.
7 Baca Samuel P. Huntington, The Clash
of Civilizations and the Remaking of World Order, Ibid, 97-98.
8 Bahan Kuliah Pengantar Pemikiran
Pendidikan Islam disampaikan oleh Prof. Dr. H. Achmadi, pada hari jum’at
tanggal 21 Mei 2004, pukul 14-00 – 16.00.
9 Samuel P. Huntington, The Clash of
Civilizations and the Remaking of World Order, Ibid, 38.
10 M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah
Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 203.
11 Baca Ishomuddin, Spektrum
Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, (Malang: UMM Press, 1996), 16.
12 Baca Dadang S. Anshori, Menggagas
Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan,
(Bandung: Al Qopriat Jatinangor, 2000), 273.
13 Sebagaimana dijelaskan oleh Akbar S.
Ahmed dan H. Donnan bahwa globalisasi pada prinsipnya mengacu pada perkembangan
yang sangat cepat dengan didukung oleh kecanggihan teknologi baik teknologi
komunikasi, transformasi dan informasi mampu membawa ke bagian sudut-sudut
dunia manapun secara mudah, Baca Akbar
S. Ahmed dan Hastings Donnan, Islam Globalization and Postmodernity, (London:
Routledge, 1994), 1-2. Baca juga A. Giddens, The Consequences of Modernity, (Cambridge:
Polity Press, 1990), 64.
14 Baca H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda
Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad 21, (Magelang: Tera
Indonesia, 1999), 52.
15 Baca Eka Wahyu.K. dan Azis Suganda, Pendidikan
Tinggi Era Indonesia Baru, (Jakarta: Grasindo, 1999), 5.
16 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), 345.
17 Komarudin Hidayat, Islam dan
Hegemoni Sosial, (Jakarta: Media Citra, 2002), xiv.
18 Nurbini, Dakwah Islam dan Era
Globalisasi, (Semarang: Jurnal Risalah IAIN Walisongo, 1997), 2.
19 empat kelompok ini sebenarnya bisa
dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu menerima dan menolak. Bagi
kelompok konservatif dan sekuleris termasuk kelompok yang menerima dan menolak
peradaban Barat secara membabi buta, sedangkan bagi kelompok revivalis dan
modernis adalah kelompok yang menerima dan menolak dengan proses selektif.
20 Baca Fazlurrahman, Islam
Challangges and Opportunities, Terj. Harun Nasution dan Azyumardi Azra
(Jakarta: Yayasan Obor), 20-26.
21 A. Qodri Azizy, Melawan
Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya
Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 28.
22 R. Hrair Dekmenjian, Multiple Faces
of Islam, dalam Andrew Jerichaw and Jorgen Baek Somonsen, Islam in A
Changing World, Europe and the Midle East, (Surrey: Curzon Press, 1997),
1-3.
23 Baca Bassam Tibbi, The Crisis of
Modern Islam; A Preindustrial Culture in the Scientific Technological Age, Terj.
Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), 19-21.
24 Samuel P. Huntington, The Clash of
Civilizations and the Remaking of World Order, Ibid, 105-106.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar