Rabu, 18 Desember 2013

Ijtihad; Model Studi Islam

"+"


IJTIHAD SEBAGAI MODEL
PENDEKATAN MEANSTREAM STUDI ISLAM



A.     Pendahuluan
                        Islam lahir dari proses penurunan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. yang karena itu lalu dirumuskan sebagai perintah atau firman Tuhan. Islam dipahami sebagai seperangkat nilai, norma, tananan hukum, dan perintah atau aqidah - syari’ah – akhlaq yang ya’lu wala yu’la ‘alaih, unggul dan tidak ada yang mengungguli. Dalam konteks ini Islam tidak pernah bias disalahkan dan jika terjadi sesuatu yang tak sesuai, ungkapan yang muncul adalah limadza tahkumu almuslimun, meski sebenarnya untuk menunjuk kegagalan Islam. Sering juga kita dengar ungkapan :”yang salah bukan Islamnya tetapi orang yang memeluknya”.
                        Menurut A. Qodri Azizy, pengkajian tentang studi Islam dapat ditelusuri dari masa Nabi Muhammad SAW. dengan beberapa fasenya.[1] Fase pertama, pengkajian Islam berarti mendengarkan penjelasan Nabi Muhammad SAW., baik lewat al Qur’an maupun Haditsnya. Fase kedua, Ulama Islam mencoba memahami atau menafsirkan nash tersebut, sambil memberi jawaban terhadap kasus-kasus yang tidak secara tegas disebutkan dalam nash. Sedangkan fase ketiga, pengkajian Islam berupa mempelajari pikiran ulama yang sudah terbangun sebagai disiplin keilmuan (the body of knowledge). Fase keempat, penyegaran pengkajian terhadap proses pemikiran ulama. Disini sudah mulai jelas menempatkan apa yang selama ini dianggap doktrin atau dogma sebagai hasil ijtihad ulama. Fase kelima, dekonstruksi apa yang telah terjadi dan apa yang telah dipraktekkan oleh ulama terdahulu. Kosekuensinya akan terjadi deabsolutisasi atau desakralisasi ilmu-ilmu keislaman.
                        Fase keenam (fase terakhir), adalah usaha kelanjutan, yaitu merekonstruksi keilmuan Islam yang dianggap baku untuk disesuaian dengan tuntutan yang ada. Hal ini merupakan ijtihad baru sebagai konstruksi ulang disiplin ilmu-ilmu keislamanyang sudah dianggap baku. Dalam fase ini juga dilakukan pendekatan secara interdisipliner, multidisipliner, atau bahkan transdisipliner. Tentu harus mengacu pada misi utama Islam, yakni kemaslahatan umat di satu sisi, dan selanjutnya dengan cirri utama Islam di sisi yang lain.

B.     Pengertian Fiqih
                        Pengertian fiqih secara terminologis, sebagai ilmu tentang hukum syari’ah (bukan i’tiqadiyah) yang berkaitan dengan amal manusia yang diambil dan disimpulkan (muktasah) dari dalil-dalil tafsili, adalah fiqih yang diletakkan  oleh para perintisnya (mujtahidin) –pada dasar-dasar pembentuknya– al Qur’an, al Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dalam pembentukannya, fiqih selalu mempunyai konteks dengan kehidupan nyata dan arena itu bersifat dinamis. Ini tergambar dalam proses pembentukannya yang tidak lepas dari konteks lingkungan yang sering disebut sebagai asbab al nuzul bagi ayat-ayat al Qur’an dan asbab al wurud bagi al Sunnah.
                        Selanjutnya adanya fiqih muyassar kontemporer yang mempunyai keistimewaan dengan posisinya yang original dan reformis yang menganalisis beberapa permasalahan ushul secara independent, dari sini dalil yang jauh dari pensakralan terhadap yang lama dan antipati terhadap yang baru. Dengan menjaga hal-hal lama yang baik dan mengakomodasi hal-hal baru yang lebih baik, serta mengambil hikmah secara selektif.
                        Ada perdebatan seputar ushul fiqih yang selalu muncul. Apakah ijtihad dan tajdid dapat dilakukan seperti dalam masalah cabang fiqih (furu’ fiqih) ?, atau apakah ushul fiqih itu sesuatu yang qath’i yang tidak mengenal tadjid, pengembangan, atau ijtihad ?.
                        Sebenarnya ushul fiqih sebagaimana cabang-cabang fiqih lainnya, ada yang bersifat qath’i (tidak menerima tajdid dan pengembangan) seperti al Qur’an dan as Sunnah serta qaidah-qaidah qath’i yang diambil (istimbath) dari keduanya. Misalnya pembebanan (taklifi) sesuai dengan kemampuan segala urusan dengan maksud dan tujuannya dan tidak membahayan dirinya dan orang lain. Disamping itu juga ada yang bersifat dhann (dugaan), yakni menerima ijtihad dan tajdid.


C.     Interpretasi Ulama tentang Makna Pembaharuan
         Hadits Nabi SAW. yang artinya :
“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini di penghujung setiap seratus tahun, orang yang mengadakan pembaharuan (interpretasi) agama untuknya”. (H.R. Abu Dawud dari Abi Hurairah)[2]
               Mayoritas ulama sepakat mengakui Hadits di atas sebgai hadits shahih. Misalnya, Al Baihagi dan Al Hakim dari kalangan ulama Salaf. Al Hafizh Al Iraqi, Ibnu Hajar Al Asqalani. Dan Al Sayuthi dari kalangan ulama khalaf[3]  Demikian pula Nashir al Din al Albani dari kalangan ulama kontemporer.[4]
Dari pengakuan ulama tentang status kesahaihan hadits tersebut dapat dijadikan dasar hukum adanya pembaharuan atau transformasi pemikiran terhadap ajaran-ajaran Islam, termasuk dalam hal ini pembaharuan pemikiran dari segi aspek hukumnya.
               Selain hadits di atas, masih ada hadits lain yang bertemakan pembaharuan, yakni :
   …….”Perbaharuilah imanmu, Rasulullah ditanya: “Bagaimanakah cara memperbaharui iman kami?”. Rasuslullah menjawab; Perbanyaklah ucapan La ilaha illallah” (H.R. Ahmad dari Abi Hurairah)[5]
                        Meskipun hadits di atas konteksnya berbeda dengan hadits sebelumnya, namun dapat dijadikan argument bahwa Nabi Muhammad SAW. selalu menganjurkan kepada ummatnya untuk senantiasa mengadakan pembaharuan terhadap ajaran agamanya, termasuk hukum-hukumnya.
                        Yang menjadi tinjauan dalam hadits ialah kata jaddidu- yang secara etimologi berakar pada kata jadiidun,  yang menunjukkan pada tiga arti pokok : (1) keagungan, (2) bahagian, dan (3) pegangan. Kata ini kemudian berubah menjadi jaddada, jaddada,yang berarti “memperbaharui” atau lawan kata usang.[6]
         Kata baru dalam konteks bahasan ini, menghimpun tiga pegangan yang tidak dapt dipisahkan antara satu sama lai, yaitu (1) barang yang diperbaharui pada mulanya pernah ada dan pernah dialami orang lain; (2) barang itu dilanda zaman sehingga menjadi usang dan ketinggalan zaman; (3) barang itu kembali diaktualkan dalam bentuk kreasi baru[7]
                        Dengan demikian tajdid (pembaharuan) adalah sesuatu yang pernah actual pada awalnya, tetapi karena perkembangan waktu, sesuatu tidak menjadi baru lagi dan untuk mengaktualkan kembali harus mengacu pada konteksnya semula.
         Sebagai contoj “memperbaharui wudlu”. Wudlu itu pada awalnya baru, tetapi karena waktu telah berlalu dan menimbulkan keraguan, maka wudlu diperbaharui dengan mengulang lagi.
                        Al Qumi mendefinisikan tajdid sebagai menghidupkan kembali amalan al Qur’an dan al Sunnah yang pernah aktual dan menetapkan hukum suatu perbuatan berdasarkan kedua sumber tersebut.[8] Sementara itu, al Qari menyatakan bahwa tajdid adalah membedakan antara sunnah dan bid’ah, memperjelas kandungan sunnah dan memuliakan ahlinya, serta menghancurkan bid’ah dan memerangi ahlinya.[9]
                        Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa memperbaharui agama buan berarti mengadakan hal yang baru terhadap ajaran agama, tetapi hanya mengembalikan ajaran agama yang sudah bercampur dengan bid’ah menjadi murni kembali seperti semula. Seoarang pembaharu harus orang yang ahli dalam bidang ilmu agama, baik yang berhubungan dengan hukum amaliah maupun hukum pokok (aqidah).
                        Akhir-akhir ini muncul kelompok orang-orang yang memahami makna tajdid berbeda dengan pemahaman ulama salaf seperti yang dikemukakan di atas, yaitu mengajak umat Islam untuk memperbaharui seluruh aspek pemikiran ajaran Islam, seperti pembaharuan ushul al fiqh, ulum al Qur’an, ulum al hadits, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Selain dari itu, kelompok ini mengecam umat Islam yang masih berpegang kepada hukum-hukum yang digariskan oleh ahli fiqih terdahulu, dengan menganggap bahwa hukum-hukum semacam itu sudah ketinggalan (kadaluwarsa). Pemahaman makna seperti ini ditolak oleh Dr. Mahmud Thahhan dan dianggapnya sesat.[10]
                        Sebanarnya baik Thahhan maupun Husnan mengakui adanya istilah tajdid dalam Islam, tetapi tidak boleh melampaui batas. Sebab harus dibedakan mana yang boleh diubah dan yang tidak boleh.

D.     Pengertian dan Macam-Macam Ijtihad
                        Transformasi pemikiran atau ijtihad merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Kedua istilah tersebut sering diientikan dengan penafsiran maknanya. Sebab antara keduanya mempunyai tujuan yang hamper sama, terutama jika dikaitkan dengan upaya aktualisasi ajaran Islam, yang bertujuan untuk menghasilkan pemikiran baru. Jika ditelusuri lebih jauh, diantara keduanya terdapat perbedaan, terutama dilihat dari segi obyeknya.
                        Secara terminologis, kata ijtihad  berakar dari kata jahada yang berarti sultan atau kesusahan”.[11] Dari sudut ilmu sharf, kata ijtihad bentuknya mengikuti timbangan ifti’al yang menunjukkan arti berlebih (mubalaghah) dalam melaksanakan suatu perbuatan.[12] Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa berijtihad bukanlah kegiatan yang mudah atau ringan, tetapi mengandung kesulitan serta membutuhkan pengerahan tenaga dan daya piker yang maksimal.
                        Secara terminology, Abd al Wahab Khalaf mendefinisikan ijtihad sebagai pengerahan daya upaya untuk sampai kepada hokum syara’ dan dalil yang terinci, dengan bersumber dari dalil-dalil syara’.[13] Sedangkan Muhammad Abu Zahrah mengartikannya sebagai daya upaya ahli hokum Islam semaksimal mungkin dalam meng-istinbath-kan hokum praktis dari dalil-dalilnya yang terinci. Muhammad Musa Tuwana juga memberikan definisi ijtihad yang senada, yakni dalam pengerahan segala uapaya ahli hokum Islam dalam menggali hokum-hukum syara’ yang berstatus cabang dan dalil-dalilnya.[14]
                        Jika dibandingkan pengertian ijtihad dengan pengertian transformasi pemikiran seperti dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa ijtihad merupakan bagian dari transformasi pemikiran. Seorang mujtahid tidak mutlak menjadi seorang tokoh transformasi, tetapi seorang tokoh transformasi tergolong mujtahid. Oleh karena itu, ijtihad mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya transformasi pemikiran.

E.     Ijtihad Nabi Muhammad SAW.
                        Ada perbedaan pendapat para ulama dalam mensikapi ijtihad Nabi Muhammad SAW. Perbedaan itu tibl akibat perbedaan penafsiran terhadap ayat 3 – 4 surat al Najm sebagai berikut :
         “Dan tiadalah yang menciptakannya itu (al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya tidak lain hanyalah wahyu”(an Najm : 3-4)
         Ayat di atas dimaksudkan sebagai sanggahan terhadap orang-orang yang telah atau akan menuduh beliau sebagai aorang yang mengada-ada, sekaligus sebagai penjelasan bahwa beliau betul-betul nabi dan rasul Allah SWT. Alasan inilah yang dipedomani oleh ulama yang tidak menganggap adanya ijtihad Nabi SAW.
                        Menurut Muhammas Ali al Sayis, bahwa pembinaan syariat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW. dikukuhkan berdasarkan peristiwa yang muncul. Adakalanya ketika wahyu belum turun mengenai sesuatu peristiwa beliau ijtihad berdasarkan petunjuk yang telah diberikan kepadanya dalam beberapa hokum atau berdasarkan hikmah (rahasia) tasyri’ Selain itu terkadang beliau bermusyawarah ijtihad jama’) bersama para sahabat.
         Praktik ijtihad yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW. antara lain (1) Nabi SAW. mnggunakan metode qiyas ketika menjawab pertanyaan seorang wanita dari suku Junainah tentang masalah haji. Beliau menganalogikan antara utang kepada manusia dengan utang kepada Allah. (2) Nabi SAW. pernah menegur sahabat yang tengah mengawinkan pohon kurma yang sedang berbunga dengan sabdanya “ Seandainya kalian tidak melakukannya, itu lebih baik”. Seketika para sahabat berhenti melakukannya. Berselang beberapa lama diberitakan kepada beliau bahwa kurma itu tidak berbuah, maka Nabi SAW. bersabda “Sesungguhnya aku hanya manusia biasa ….. “

F.      Ijtihat Sahabat
                        Yang dimaksud sahabat dalam uraian ini adalah orang-orang yang pernah bertemu dan bergaul dengan Nabi SAW. Namun jika dikaitkan dengan aktifitas ijtihad, maka rumusan tersebut masih bersifat umum, sebab tidak semua orang yang pernah bertemu dan bergaul dengan Nabi SAW. dapat dipastikan mampu  berijtihad atau memberi fatwa.
                        Diantara masalah yang dihadapi para sahabat adalah (1) pemilihan tokoh diantara sahabat yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi SAW., (2) menghadapi para pembangkang zakat dan orang-orang murtad, (3) kekhawatiran Umar ra. Terhadap keutuhan al Qur’an.

G.     Ijtihad Tabi’in dan Tabi’ tabi’in
                        Para tabi’in dalam aktivitas ijtihad dengan menempuh dua jalur : (1)mengumpulkan sunnah dan atsar sebagai dasar ijtihad mereka, setelah al Qur’an dan al Hadits, (2) berijtihad dengan pendapat sendiri dalam masalah yang atidak terdapat nasnya dan tidak ditemukan pada fatwa sahabat dengan tetap berpedoman pada metode berpikir yang telah dicontohkan para sahabat sebelumnya.[15]  
                        Ada perbedaan yang cukup menonjol aktivitas ijtihad yang dilakukan oleh tabi’in dan sahabat, hal ini karena : (1) meningkatnya pertikaian politik, (2) domisili para ulama yang sudah terpencar.

H.     Ijtihad Masa Kini
                        Pada dasarnya setiap masalah-masalah yang dihadapi itu telah ada di dalam al Qur’an dan al hadits. Tetapi ada yang dijelaskan secra tegas dan ada yang masih global, karena itu memerlukan penalaran yang mendalam. Dan permasalahan yang dihadapi umat Islam diberbagai tempat tidak semuanya sama. Oleh karena itu perlunya pemakaian ijtihad yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, seperti bentuk ijtihad berikut :
1)      Ijtihad Intiqa’i
2)      Ijtihad Insya’i, diperlukan karena permasalahan yang timbul dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3)      Ijtihad Komparatif, ialah menggabungkan kedua bentuk ijtihad di atas.
               Pada dasaarnya, hasil ijtihad yang dihasilkan oleh para ulama terdahulu merupakan karya besar yang tetap utuh, bukanlah menjadi patokan mutlak, masih memerlukan ijtihad baru. Karena itu, diperlukan kamampuan mengutak-atik hasil sebuah ijtihad, dengan jalan menggabungkan kedua bentuk ijtihad di atas.




DAFTAR PUSTAKA

Abd al Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al Fiqh, al Majlis al A’la al Indunisi li al Da’wah al Islamiyah, Jakarta. 1972.

Ahmad Qodri A. Azizy, redefinisi Bermadzhab dan Berijtihad : Al Ijtihad al Ilmi al Asyri,Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Islam IAIN Walisongo Semarang, 2003.

Ahmad Qodri A. Azizy, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman, irektorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 2003.

Ahmad Qodri A. Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan terciptanya Masyarakat madani, Yogyakarta, Pustaa Pelajar, 2004.

H. M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, Dalam Teori dan Praktek, Pustaka Pelajar Offseat, 2002.

KH. MAm Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994.

Yusuf al Qardhawi, al Ijtihad fiy al Syari’ah al Islamiyah ma’a an NadharahTahliliyah fiy al Ijtihad al Mu’ashir, terjemahan Ahmad Syathori, Itjihad dalam Syariat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1987.

Yusuf al Qardhawi, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, Jakarta, Gema Insani, 2002.

Muhammad Musa Tuwana, al Ijtihad wa Madza Hajatina ilahifi Hadzin al Ashr, Dar al Fikr al Arabi, Kairo, 1972.






[1]   A. Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Dipertais Ditjen Bagais Depag RI, 2003), hal. 22.
[2]   Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq al Azdi  al Sijistasni, Sunan Abi Dawud, Mustafa al Babi al Halabi wa Auladu, Mesir, 1995. Juz. II hal 424.
[3]   Faidh al Qadir bi Syarh al Jami’ al Shagir, Dar al Fikr, Beirut, 1972, Juz. II, hal. 282.
[4]   Rifyal Ka’bah dan Busthami Sa’id, Reaktualisasi Ajaran Islam (Pembaharuan Agama, VisiModernis dan Pembaharuan Agama Visi Salaf), Minaret, Jakartta, 1987, hal. 50.
[5]   Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Dar al Fikr, Beirut, 1978, Juz. IV, h. 309.
[6]   Abi al Husain Ahmad bin Faris Zakariya, Mu’zamMaqayis al Lughah, Dar al Fikr l al Thaba’ah wa al Nashr, Beirut, 1979, Juz I, h. 306.
[7]   Rifyal Ka’bah dan Busthami Sa’id, Loc Cit.
[8]   Muhammad Abd al Rauf al Mannawi, Faidh al Qadir bi Syarh al Jami’ al Shaggir, Dar al Fikr, Beirut, 1972, Juz. Ii, h. 282.
[9]   Abi Thayyib Muhammad Syam al Haq al Azhim, op. cit., h. 281.
[10] Penolakan Dr. Mahmud Thahhan di atas disebabkan oleh munculnya kelompok tertentu di Sudan yang dipimpin oleh Dr. Hasan al turabi (Perdana Menteri Sudan) yang ingin mengadakan transformasi pada semua aspek ajaran Islam dan seluruh disiplin ilmunya dengan melupakan hasil ijtihad ulama terdahulu. Lengkapnya di Mahmud Thahhan, Mafhum al Tajdid bain al Sunnah al Nabawiyah wa al Mujaddidin al Muakhirin, terkjemahan M. Thalib, Pembaharuan Pemikiran Islam, Sebuah Upaya Tipu Daya Belajar dan Kasus Sudan, Amarpress, Surabaya, 1987, h. 9-11.
[11] Abi al Husain Ahmad bin Faris Zakariya, Mu’zamMaqayis al Lughah, op. cit.
[12] Yusuf al Qardhawi, al Ijtihad fiy al Syari’ah al Islamiyah ma’a an NadharahTahliliyah fiy al Ijtihad al Mu’ashir, terjemahan Ahmad Syathori, Itjihad dalam Syariat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, h.1.
[13] Abd al Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al Fiqh, al Majlis al A’la al Indunisi li al Da’wah al Islamiyah, Jakarta. 1972, h. 216.
[14] Muhammad Musa Tuwana, al Ijtihad wa Madza Hajatina ilahifi Hadzin al Ashr, Dar al Fikr al Arabi, Kairo, Mesir, 1972, h. 98.
[15] Muhammad Abu Zahrah, op. cit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar