IJTIHAD SEBAGAI MODEL
PENDEKATAN MEANSTREAM STUDI ISLAM
A. Pendahuluan
Islam
lahir dari proses penurunan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. yang karena itu
lalu dirumuskan sebagai perintah atau firman Tuhan. Islam dipahami sebagai
seperangkat nilai, norma, tananan hukum, dan perintah atau aqidah - syari’ah –
akhlaq yang ya’lu wala yu’la ‘alaih, unggul dan tidak ada yang
mengungguli. Dalam konteks ini Islam tidak pernah bias disalahkan dan jika
terjadi sesuatu yang tak sesuai, ungkapan yang muncul adalah limadza tahkumu
almuslimun, meski sebenarnya untuk menunjuk kegagalan Islam. Sering juga
kita dengar ungkapan :”yang salah bukan Islamnya tetapi orang yang memeluknya”.
Menurut A. Qodri Azizy,
pengkajian tentang studi Islam dapat ditelusuri dari masa Nabi Muhammad SAW.
dengan beberapa fasenya.[1] Fase
pertama, pengkajian Islam berarti mendengarkan penjelasan Nabi Muhammad
SAW., baik lewat al Qur’an maupun Haditsnya. Fase kedua, Ulama Islam
mencoba memahami atau menafsirkan nash tersebut, sambil memberi jawaban
terhadap kasus-kasus yang tidak secara tegas disebutkan dalam nash.
Sedangkan fase ketiga, pengkajian Islam berupa mempelajari pikiran ulama
yang sudah terbangun sebagai disiplin keilmuan (the body of knowledge). Fase
keempat, penyegaran pengkajian terhadap proses pemikiran ulama. Disini
sudah mulai jelas menempatkan apa yang selama ini dianggap doktrin atau dogma
sebagai hasil ijtihad ulama. Fase kelima, dekonstruksi apa yang telah
terjadi dan apa yang telah dipraktekkan oleh ulama terdahulu. Kosekuensinya
akan terjadi deabsolutisasi atau desakralisasi ilmu-ilmu keislaman.
Fase
keenam (fase terakhir), adalah usaha kelanjutan, yaitu merekonstruksi
keilmuan Islam yang dianggap baku untuk disesuaian dengan tuntutan yang ada.
Hal ini merupakan ijtihad baru sebagai konstruksi ulang disiplin
ilmu-ilmu keislamanyang sudah dianggap baku. Dalam fase ini juga dilakukan pendekatan secara interdisipliner,
multidisipliner, atau bahkan transdisipliner. Tentu harus mengacu pada misi
utama Islam, yakni kemaslahatan umat di satu sisi, dan selanjutnya dengan cirri
utama Islam di sisi yang lain.
B. Pengertian Fiqih
Pengertian
fiqih secara terminologis, sebagai ilmu tentang hukum syari’ah (bukan i’tiqadiyah)
yang berkaitan dengan amal manusia yang diambil dan disimpulkan (muktasah)
dari dalil-dalil tafsili, adalah fiqih yang diletakkan oleh para perintisnya (mujtahidin) –pada
dasar-dasar pembentuknya– al Qur’an, al Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dalam pembentukannya,
fiqih selalu mempunyai konteks dengan kehidupan nyata dan arena itu bersifat
dinamis. Ini tergambar dalam proses pembentukannya yang tidak lepas dari
konteks lingkungan yang sering disebut sebagai asbab al nuzul bagi
ayat-ayat al Qur’an dan asbab al wurud bagi al Sunnah.
Selanjutnya
adanya fiqih muyassar kontemporer yang mempunyai keistimewaan dengan
posisinya yang original dan reformis yang menganalisis beberapa permasalahan
ushul secara independent, dari sini dalil yang jauh dari pensakralan terhadap
yang lama dan antipati terhadap yang baru. Dengan menjaga hal-hal lama yang
baik dan mengakomodasi hal-hal baru yang lebih baik, serta mengambil hikmah
secara selektif.
Ada perdebatan
seputar ushul fiqih yang selalu muncul. Apakah ijtihad dan tajdid dapat
dilakukan seperti dalam masalah cabang fiqih (furu’ fiqih) ?, atau
apakah ushul fiqih itu sesuatu yang qath’i yang tidak mengenal tadjid,
pengembangan, atau ijtihad ?.
Sebenarnya
ushul fiqih sebagaimana cabang-cabang fiqih lainnya, ada yang bersifat qath’i
(tidak menerima tajdid dan pengembangan) seperti al Qur’an dan as Sunnah
serta qaidah-qaidah qath’i yang diambil (istimbath) dari keduanya.
Misalnya pembebanan (taklifi) sesuai dengan kemampuan segala urusan
dengan maksud dan tujuannya dan tidak membahayan dirinya dan orang lain. Disamping
itu juga ada yang bersifat dhann (dugaan), yakni menerima ijtihad dan
tajdid.
C. Interpretasi Ulama tentang
Makna Pembaharuan
Hadits Nabi SAW. yang
artinya :
“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini di
penghujung setiap seratus tahun, orang yang mengadakan pembaharuan
(interpretasi) agama untuknya”. (H.R. Abu Dawud dari Abi Hurairah)[2]
Mayoritas
ulama sepakat mengakui Hadits di atas sebgai hadits shahih. Misalnya, Al
Baihagi dan Al Hakim dari kalangan ulama Salaf. Al Hafizh Al
Iraqi, Ibnu Hajar Al Asqalani. Dan Al Sayuthi dari kalangan ulama khalaf[3] Demikian pula Nashir al Din al Albani dari
kalangan ulama kontemporer.[4]
Dari pengakuan ulama tentang status kesahaihan hadits
tersebut dapat dijadikan dasar hukum adanya pembaharuan atau transformasi
pemikiran terhadap ajaran-ajaran Islam, termasuk dalam hal ini pembaharuan
pemikiran dari segi aspek hukumnya.
Selain
hadits di atas, masih ada hadits lain yang bertemakan pembaharuan, yakni :
…….”Perbaharuilah
imanmu, Rasulullah ditanya: “Bagaimanakah cara memperbaharui iman kami?”.
Rasuslullah menjawab; Perbanyaklah ucapan La ilaha illallah” (H.R. Ahmad
dari Abi Hurairah)[5]
Meskipun hadits di atas
konteksnya berbeda dengan hadits sebelumnya, namun dapat dijadikan argument
bahwa Nabi Muhammad SAW. selalu menganjurkan kepada ummatnya untuk senantiasa
mengadakan pembaharuan terhadap ajaran agamanya, termasuk hukum-hukumnya.
Yang
menjadi tinjauan dalam hadits ialah kata jaddidu- yang secara etimologi
berakar pada kata jadiidun, yang
menunjukkan pada tiga arti pokok : (1) keagungan, (2) bahagian, dan (3)
pegangan. Kata ini kemudian berubah menjadi jaddada, jaddada,yang
berarti “memperbaharui” atau lawan kata usang.[6]
Kata
baru dalam konteks bahasan ini, menghimpun tiga pegangan yang tidak dapt dipisahkan
antara satu sama lai, yaitu (1) barang yang diperbaharui pada mulanya pernah
ada dan pernah dialami orang lain; (2) barang itu dilanda zaman sehingga
menjadi usang dan ketinggalan zaman; (3) barang itu kembali diaktualkan dalam
bentuk kreasi baru[7]
Dengan
demikian tajdid (pembaharuan) adalah sesuatu yang pernah actual pada
awalnya, tetapi karena perkembangan waktu, sesuatu tidak menjadi baru lagi dan
untuk mengaktualkan kembali harus mengacu pada konteksnya semula.
Sebagai
contoj “memperbaharui wudlu”. Wudlu itu pada awalnya baru, tetapi karena waktu
telah berlalu dan menimbulkan keraguan, maka wudlu diperbaharui dengan
mengulang lagi.
Al
Qumi mendefinisikan tajdid sebagai menghidupkan kembali amalan al Qur’an
dan al Sunnah yang pernah aktual dan menetapkan hukum suatu perbuatan
berdasarkan kedua sumber tersebut.[8]
Sementara itu, al Qari menyatakan bahwa tajdid adalah membedakan antara
sunnah dan bid’ah, memperjelas kandungan sunnah dan memuliakan ahlinya, serta
menghancurkan bid’ah dan memerangi ahlinya.[9]
Dari
pengertian di atas dapat dipahami bahwa memperbaharui agama buan berarti
mengadakan hal yang baru terhadap ajaran agama, tetapi hanya mengembalikan
ajaran agama yang sudah bercampur dengan bid’ah menjadi murni kembali seperti
semula. Seoarang pembaharu harus orang yang ahli dalam bidang ilmu agama, baik
yang berhubungan dengan hukum amaliah maupun hukum pokok (aqidah).
Akhir-akhir
ini muncul kelompok orang-orang yang memahami makna tajdid berbeda
dengan pemahaman ulama salaf seperti yang dikemukakan di atas, yaitu
mengajak umat Islam untuk memperbaharui seluruh aspek pemikiran ajaran Islam,
seperti pembaharuan ushul al fiqh, ulum al Qur’an, ulum al hadits, dan
ilmu-ilmu keislaman lainnya. Selain dari itu, kelompok ini mengecam umat Islam
yang masih berpegang kepada hukum-hukum yang digariskan oleh ahli fiqih
terdahulu, dengan menganggap bahwa hukum-hukum semacam itu sudah ketinggalan (kadaluwarsa).
Pemahaman makna seperti ini ditolak oleh Dr. Mahmud Thahhan dan dianggapnya
sesat.[10]
Sebanarnya
baik Thahhan maupun Husnan mengakui adanya istilah tajdid dalam Islam,
tetapi tidak boleh melampaui batas. Sebab harus dibedakan mana yang boleh
diubah dan yang tidak boleh.
D. Pengertian dan Macam-Macam Ijtihad
Transformasi
pemikiran atau ijtihad merupakan dua istilah yang tidak dapat
dipisahkan. Kedua istilah tersebut sering diientikan dengan penafsiran
maknanya. Sebab antara keduanya mempunyai tujuan yang hamper sama, terutama
jika dikaitkan dengan upaya aktualisasi ajaran Islam, yang bertujuan untuk
menghasilkan pemikiran baru. Jika ditelusuri lebih jauh, diantara keduanya
terdapat perbedaan, terutama dilihat dari segi obyeknya.
Secara
terminologis, kata ijtihad berakar dari kata jahada yang berarti
sultan atau kesusahan”.[11] Dari
sudut ilmu sharf, kata ijtihad bentuknya mengikuti timbangan ifti’al yang
menunjukkan arti berlebih (mubalaghah) dalam melaksanakan suatu
perbuatan.[12]
Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa berijtihad bukanlah kegiatan yang mudah
atau ringan, tetapi mengandung kesulitan serta membutuhkan pengerahan tenaga
dan daya piker yang maksimal.
Secara
terminology, Abd al Wahab Khalaf mendefinisikan ijtihad sebagai
pengerahan daya upaya untuk sampai kepada hokum syara’ dan dalil yang terinci,
dengan bersumber dari dalil-dalil syara’.[13]
Sedangkan Muhammad Abu Zahrah mengartikannya sebagai daya upaya ahli hokum
Islam semaksimal mungkin dalam meng-istinbath-kan hokum praktis dari
dalil-dalilnya yang terinci. Muhammad Musa Tuwana juga memberikan definisi ijtihad
yang senada, yakni dalam pengerahan segala uapaya ahli hokum Islam dalam
menggali hokum-hukum syara’ yang berstatus cabang dan dalil-dalilnya.[14]
Jika
dibandingkan pengertian ijtihad dengan pengertian transformasi pemikiran
seperti dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa ijtihad merupakan
bagian dari transformasi pemikiran. Seorang mujtahid tidak mutlak menjadi
seorang tokoh transformasi, tetapi seorang tokoh transformasi tergolong
mujtahid. Oleh karena itu, ijtihad mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam upaya transformasi pemikiran.
E. Ijtihad Nabi Muhammad SAW.
Ada
perbedaan pendapat para ulama dalam mensikapi ijtihad Nabi Muhammad SAW.
Perbedaan itu tibl akibat perbedaan penafsiran terhadap ayat 3 – 4 surat al
Najm sebagai berikut :
“Dan
tiadalah yang menciptakannya itu (al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya,
ucapannya tidak lain hanyalah wahyu”(an Najm : 3-4)
Ayat
di atas dimaksudkan sebagai sanggahan terhadap orang-orang yang telah
atau akan menuduh beliau sebagai aorang yang mengada-ada, sekaligus sebagai
penjelasan bahwa beliau betul-betul nabi dan rasul Allah SWT. Alasan inilah
yang dipedomani oleh ulama yang tidak menganggap adanya ijtihad Nabi SAW.
Menurut
Muhammas Ali al Sayis, bahwa pembinaan syariat Islam pada masa Nabi Muhammad
SAW. dikukuhkan berdasarkan peristiwa yang muncul. Adakalanya ketika wahyu
belum turun mengenai sesuatu peristiwa beliau ijtihad berdasarkan
petunjuk yang telah diberikan kepadanya dalam beberapa hokum atau berdasarkan
hikmah (rahasia) tasyri’ Selain itu terkadang beliau bermusyawarah ijtihad
jama’) bersama para sahabat.
Praktik
ijtihad yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW. antara lain (1) Nabi SAW.
mnggunakan metode qiyas ketika menjawab pertanyaan seorang wanita dari
suku Junainah tentang masalah haji. Beliau menganalogikan antara utang kepada
manusia dengan utang kepada Allah. (2) Nabi SAW. pernah menegur sahabat yang
tengah mengawinkan pohon kurma yang sedang berbunga dengan sabdanya “
Seandainya kalian tidak melakukannya, itu lebih baik”. Seketika para
sahabat berhenti melakukannya. Berselang beberapa lama diberitakan kepada
beliau bahwa kurma itu tidak berbuah, maka Nabi SAW. bersabda “Sesungguhnya
aku hanya manusia biasa ….. “
F. Ijtihat Sahabat
Yang
dimaksud sahabat dalam uraian ini adalah orang-orang yang pernah bertemu dan
bergaul dengan Nabi SAW. Namun jika dikaitkan dengan aktifitas ijtihad, maka
rumusan tersebut masih bersifat umum, sebab tidak semua orang yang pernah
bertemu dan bergaul dengan Nabi SAW. dapat dipastikan mampu berijtihad atau memberi fatwa.
Diantara
masalah yang dihadapi para sahabat adalah (1) pemilihan tokoh diantara sahabat
yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi SAW., (2) menghadapi para
pembangkang zakat dan orang-orang murtad, (3) kekhawatiran Umar ra. Terhadap
keutuhan al Qur’an.
G. Ijtihad Tabi’in dan Tabi’ tabi’in
Para
tabi’in dalam aktivitas ijtihad dengan menempuh dua jalur : (1)mengumpulkan
sunnah dan atsar sebagai dasar ijtihad mereka, setelah al Qur’an dan al Hadits,
(2) berijtihad dengan pendapat sendiri dalam masalah yang atidak terdapat
nasnya dan tidak ditemukan pada fatwa sahabat dengan tetap berpedoman pada
metode berpikir yang telah dicontohkan para sahabat sebelumnya.[15]
Ada
perbedaan yang cukup menonjol aktivitas ijtihad yang dilakukan oleh tabi’in dan
sahabat, hal ini karena : (1) meningkatnya pertikaian politik, (2) domisili
para ulama yang sudah terpencar.
H. Ijtihad Masa Kini
Pada
dasarnya setiap masalah-masalah yang dihadapi itu telah ada di dalam al Qur’an
dan al hadits. Tetapi ada yang dijelaskan secra tegas dan ada yang masih
global, karena itu memerlukan penalaran yang mendalam. Dan permasalahan yang
dihadapi umat Islam diberbagai tempat tidak semuanya sama. Oleh karena itu
perlunya pemakaian ijtihad yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat,
seperti bentuk ijtihad berikut :
1)
Ijtihad Intiqa’i
2)
Ijtihad Insya’i, diperlukan karena
permasalahan yang timbul dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3)
Ijtihad Komparatif, ialah menggabungkan
kedua bentuk ijtihad di atas.
Pada
dasaarnya, hasil ijtihad yang dihasilkan oleh para ulama terdahulu merupakan
karya besar yang tetap utuh, bukanlah menjadi patokan mutlak, masih memerlukan
ijtihad baru. Karena itu, diperlukan kamampuan mengutak-atik hasil sebuah
ijtihad, dengan jalan menggabungkan kedua bentuk ijtihad di atas.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd al Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al Fiqh, al Majlis
al A’la al Indunisi li al Da’wah al Islamiyah, Jakarta. 1972.
Ahmad
Qodri A. Azizy, redefinisi Bermadzhab dan Berijtihad : Al Ijtihad al Ilmi al
Asyri,Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Islam IAIN
Walisongo Semarang, 2003.
Ahmad
Qodri A. Azizy, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman, irektorat Perguruan Tinggi
Agama Islam Departemen Agama RI, 2003.
Ahmad
Qodri A. Azizy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan
SDM dan terciptanya Masyarakat madani, Yogyakarta, Pustaa Pelajar, 2004.
H.
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, Dalam Teori dan Praktek, Pustaka
Pelajar Offseat, 2002.
KH.
MAm Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
1994.
Yusuf al Qardhawi, al Ijtihad fiy al Syari’ah al
Islamiyah ma’a an NadharahTahliliyah fiy al Ijtihad al Mu’ashir, terjemahan
Ahmad Syathori, Itjihad dalam Syariat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1987.
Yusuf al Qardhawi, Fiqih Praktis bagi Kehidupan
Modern, Jakarta, Gema Insani, 2002.
Muhammad Musa Tuwana, al Ijtihad wa Madza Hajatina ilahifi Hadzin al
Ashr, Dar al Fikr al Arabi, Kairo, 1972.
[1] A.
Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Dipertais
Ditjen Bagais Depag RI, 2003), hal. 22.
[2] Abu
Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq al Azdi
al Sijistasni, Sunan Abi Dawud, Mustafa al Babi al Halabi wa
Auladu, Mesir, 1995. Juz. II hal 424.
[3] Faidh
al Qadir bi Syarh al Jami’ al Shagir, Dar al Fikr, Beirut, 1972, Juz. II,
hal. 282.
[4] Rifyal
Ka’bah dan Busthami Sa’id, Reaktualisasi Ajaran Islam (Pembaharuan Agama,
VisiModernis dan Pembaharuan Agama Visi Salaf), Minaret, Jakartta, 1987,
hal. 50.
[5]
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin
Hanbal, Dar al Fikr, Beirut, 1978, Juz. IV, h. 309.
[6]
Abi al Husain Ahmad bin Faris Zakariya, Mu’zamMaqayis
al Lughah, Dar al Fikr l al Thaba’ah wa al Nashr, Beirut, 1979, Juz I, h.
306.
[7]
Rifyal Ka’bah dan Busthami Sa’id, Loc
Cit.
[8] Muhammad Abd al Rauf al Mannawi, Faidh al
Qadir bi Syarh al Jami’ al Shaggir, Dar al Fikr, Beirut, 1972, Juz. Ii, h.
282.
[9] Abi Thayyib Muhammad Syam al Haq al Azhim, op.
cit., h. 281.
[10]
Penolakan Dr. Mahmud Thahhan di atas disebabkan oleh munculnya kelompok
tertentu di Sudan yang dipimpin oleh Dr. Hasan al turabi (Perdana Menteri
Sudan) yang ingin mengadakan transformasi pada semua aspek ajaran Islam dan
seluruh disiplin ilmunya dengan melupakan hasil ijtihad ulama terdahulu.
Lengkapnya di Mahmud Thahhan, Mafhum al Tajdid bain al Sunnah al Nabawiyah
wa al Mujaddidin al Muakhirin, terkjemahan M. Thalib, Pembaharuan Pemikiran
Islam, Sebuah Upaya Tipu Daya Belajar dan Kasus Sudan, Amarpress, Surabaya,
1987, h. 9-11.
[11]
Abi al Husain Ahmad bin Faris Zakariya, Mu’zamMaqayis al Lughah, op. cit.
[12] Yusuf
al Qardhawi, al Ijtihad fiy al Syari’ah al Islamiyah ma’a an NadharahTahliliyah
fiy al Ijtihad al Mu’ashir, terjemahan Ahmad Syathori, Itjihad dalam
Syariat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, h.1.
[13] Abd al
Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al Fiqh, al Majlis al A’la al Indunisi li al Da’wah
al Islamiyah, Jakarta. 1972, h. 216.
[14] Muhammad
Musa Tuwana, al Ijtihad wa Madza Hajatina ilahifi Hadzin al Ashr, Dar al
Fikr al Arabi, Kairo, Mesir, 1972, h. 98.
[15]
Muhammad Abu Zahrah, op. cit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar