Jumat, 13 Desember 2013

Relatifisme Agama

"+"

AGAMA
DALAM BAYANG-BAYANG RELATIFISME
Karya Prof. Gregory Baum, Judul Asli:
Truth Beyond Relativism Terj. Achmad Murtajib dan Masyhuri Arow




A.    PENDAHULUAN
Apabila kita bertanya kepada umat beragama tentang kebenaran agama-agama di seluruh dunia mungkin, dan ini di pastikan jawaban dari setiap pemeluk agamanya masing-masing pasti menyatakan bahwa agamanyalah yang paling benar dan diterima disisi Tuhan. Sudah di pastikan bahwa mereka saling mengklaim demikian, tetapi apakah jawaban itu benar?, lalu siapa yang paling benar?, karena bila kita menggunakan ukuran rasionalitas, tentu tidak semua demikian kebenarannya, pasti ada yang lebih benar. Kalau semua benar akan membingungkan, demikian ukuran akal kita.
Untuk itu pada kajian yang ditulis oleh penulis mencoba mengkaji sebuah buku yang berjudul tentang “Agama Dalam Bayang-Bayang Relativisme”. Wacana tentang kebenaran agama memang sungguh rumit. Pada bagian awal ini dicoba dengan menggunakan konsep Islam, di mana dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat ke-62 telah di tegaskan yang artinya “Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Kalaulah ayat ini di pahami oleh umat Islam sebagaimana bunyi harfiahnya, dan di terima pula oleh para pengikut agama-agama tanpa mengaitkannya dengan teks-teks keagamaan yang lain, niscaya absolutisme dalam keberagamaan akan sangat berkurang atau bahkan pupus sama sekali.
Seandainya paham keberagamaan ini di nyatakan bahwa “kebenaran agama” ada ditangan manusia dengan melalui pemahaman teks-teks kitab sucinya masing-masing dan Tuhan merestui perbedaan cara keberagamaan umat-Nya yang demikian, niscaya akan timbul kelompok yang saling mengkafirkan.
Untuk itu diharapkan agar setiap umat mau menggali ajaran-ajaran agama secara utuh, mampu memahami pesan-pesan universal Tuhan secara luas, maka tidak akan timbul fanatisme buta, yang terkesan akan adanya sebuah keabsolutan dalam beragama. Bila kita mau akui secara jujur, bukankah agama-agama monoteisme dengan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa, pada hakekatnya menganut ajaran universalisme?, padahal Tuhan Yang Maha Esa itulah yang sebenarnya menciptakan seluruh umat manusia di seluruh alam jagad raya ini. Seluruh umat manusia berasal dari satu keturunan, betapapun berbeda agama, bangsa, atau warna kulit.
Disamping itu pula, telah diyakini secara penuh oleh setiap penganut agama  bahwa Tuhan yang merupakan sumber ajaran agama tidak membutuhkan pengabdian manusia. Ketaatan dan kedurhakaan manusia tidak akan menambah atau mengurangi kesempurnaan-Nya. Manusia diberi-Nya kebebasan untuk menerima atau menolak petunjuk agama dan karena itu pula, Dia menuntut ketulusan dan keikhlasan dalam beragama serta tidak membenarkan paksaan dalam bentuk nyata atau terselubung, besar atau bahkan sekecil-kecilnya sekalipun. Yang dituju oleh setiap agama adalah kemaslahatan umat manusia. Tuhan yang sedemikian besarnya, sehingga rahmat-Nya pasti menyentuh seluruh mahluk-Nya.
Salah satu fungsi agama, bahkan fungsinya yang terpenting adalah menciptakan rasa aman dan sejahtera bagi pemeluknya. Dari sini terlihat kaitan sangat erat antara “iman” dan “aman”. Rasa aman tersebut diperoleh melalui kenyakinan tentang sesuainya sikap manusia dengan kehendak dan petunjuk Tuhan. Dengan melakukan penelitian atau tanpa penelitian, pemeluk masing-masing agama telah memiliki kebenaran-kebenaran yang dinilainya sebagai kebenaran mutlak. Mustahil akan tercipta rasa aman itu bila kenyakinan yang demikian itu sifatnya mengusik.
Di ketahui bahwa ajaran agama yang diterima oleh para utusan-utusan-Nya secara estafet, bila ditelusuri ke belakang, akan ditemukan bahwa sumbernya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Secara pasti, setelah pembawa agama yang menjadi utusan Tuhan tidak lagi berada di tengah-tengah umatnya, maka di pastikan petunjuk-petunjuk yang dibawanya mengalami perubahan interpretasi, bahkan memerlukan petunjuk-petunjuk praktis baru, yang mungkin tadinya belum dikenal pada masa utusan tersebut berada di tengah-tengah masyarakatnya.
Apabila penganut suatu agama menyepakati suatu interpretasi tunggal, maka interpretasi tersebut akan menjadi absolut di kalangan mereka. Sebaliknya, apabila ia mengandung berbagai kemungkinan makna, maka ia menjadi relatif. Kesepakatan satu kelompok dalam satu agama untuk memberikan interpretasi tunggal dapat saja ditolak oleh kelompok yang lain dalam suatu agama. Dan pada saat itu pandangan kelompok pertama menjadi absolut, tetapi tidak absolut untuk yang lain. Demikianlah, absolutsitas dapat bertingkat-tingkat.
Di ketahui bahwa wacana yang berkembang tentang hal tersebut diatas, para ulama’ telah berpendapat bahwa dalam menetapkan absolutisitas satu ajara agama (Islam) haruslah berdasarkan argumentasi-argumentasi yang pasti (tidak diragukan kebenarannya), baik pada sumber pokonya (al qur’an) maupun interpretasinya sebagai bentuk dari qiyas, ijma’ atau ijtihat.
Bila di pahami secara mendalam sikap absolutisitas sebenarnya adalah suatu sikap yang ekslusif (kedalam), tidak menuntut pernyataan atau kenyataan diluar bagi yang tidak menyakininya. Namun, ketika kaum Musyrik bersikeras menolak ajaran Islam, demi kemaslahatan bersama, Tuhan memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk berkata kepada mereka, “……dan sesungguhnya kami atau kamu yang berada dalam kebenaran, atau dalam kesesatan yang nyata. Kamu tidak akan diminta mempertanggung jawabkan pelanggaran-pelanggaran kami dan kami pun tidak akan diminta mempertanggun jawabkan perbuatan-perbuatan kamu. Katakanlah, Tuhan kelak akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi keputusan di antara kita dengan benar. Sesungguhnya Dia Mahapemberi keputusan lagi Mahamengetahui” (QS. 34: 24-26).
Dalam ayat di atas terlihat bahwa ketika absolutisitas diantar keluar, ke dunia nyata. Nabi Saw, tidak diperintahkan menyatakan apa yang di dalam (kenyakinan tentang kemutlakan kebenaran ajaran), tetapi justru sebaliknya kandungan ayat tersebut menyatakan; “mungkin kami yang benar, dan mungkin pula tuan. Mungkin kami yang salah, dan mungkin juga tuan, kita serahkan saja kepada Tuhan untuk memutuskannya”. Bahkan, dapat diamati dari redaksi di atas sikap yang diajarkan Al qur’an jauh lebih toleran, untuk itu pada tataran manusia kebenaran pada hakekatnya nisbi atau relatif, kebanaran yang mutlak adalah menjadi hak preogatif Tuhan. Manusia tidak bisa mengklaim bahwa dirinya atau kelompoknyalah yang paling benar diantara yang lain.
Agama mengajarkan yang demikian karena kesatuan pendapat dalam segala hal tidak mungkin tercapai, khususnya setelah perkembangan penduduk yang demikian pesatnya serta keanekaragaman kebutuhan. Manusia tadinya satu kesatuan, kemudian mereka berselisih (QS. 2: 213). Sebenarnya perbedaan antara manusia merupakan sunatullah  (kehendak Tuhan jua), Seandainya Tuhan menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia satu umat (tetapi Tuhan tidak menghendaki itu) sehingga mereka akan terus menerus berbeda pendapat (QS. 11: 118). Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya diciptakannya manusia tanpa akal budi. Diciptakannya manusia seperti binatang atau bahkan benda-benda yang tak bernyawa dan tidak memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih. Kalau demikian halnya, tidak mustahil bagi Tuhan untuk menjadikan manusia di seluruh muka bumi ini akan jadi satu pandangan, pikiran, anggapan, keinginan, tujuan dan kenyakinan.
Oleh karena itu secara alamiah atau dalam bahasa agama disebut sunnahtullah,  Perbedaan manusia telah menjadi kehendak Tuhan, agar bagaimana bisa terjalin kerja sama di antara mereka dalam mencapai kebajikan dan keridhaan-Nya. Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu terdiri dari pria, wanita dan kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu semua saling mengenal (bekerja sama). Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Tuhan adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. 49: 13).
Salah satu kelemahan manusia adalah semangatnya yang menggebu-gebu sehingga ada di antara mereka yang bersikap melebihi sikap Tuhan, menginginkan agar manusia seluruhnya satu pendapat dan satu aliran atau agama. Semangat yang menggebu-gebu ini pulalah yang menggantarkannya pada proses pemaksaan pandangan yang harus dianut oleh orang lain. Padahal, Tuhan sendiri memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih jalannya sendiri. Siapa yang ingin percaya, silakan dan siapa yang ingin menolak terserah jua baginya (QS. 18: 29). Bahkan ada yang lebih parah lagi, yakni manusia yang memutlakkan jatuhnya siksaan (nas neraka) Tuhan kepada kelompok manusia yang selain dari golongannya, seakan-akan ingin membatasi Rahmat Tuhan. Padahal, Tuhan sendiri menyatakan menyatakan, “Rahmat-Ku mengalahkan amarah-Ku”. Al qur’an juga mengabadikan ucapan Nabi Isa, ketika umatnya sedang diadili karena mempersekutukan Tuhan: Apabila Engkau menyiksa mereka, maka (itu wajar, karena mereka) adalah hamba-hamba Mu (yang bersalah) tetapi jika Engkau memaafkan mereka maka (itu pun wajar) karena Engkau Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. 5: 118).

B.     ISI BUKU DAN PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN
Memang dalam realitasnya, sesuatu hal yang tidak bisa ditolak adalah kebutuhan akan keterlibatan agama dalam dialektika historis peradapan umat manusia. Namun, juga terdapat satu catatan yang harus digaris bawahi, sekali keterlibatan agama telah menunjukkan signifikansinya atas kebobrokan sebuah peradaban, maka pada saat itu jualah agama harus “hengkang” darinya. Dengan kata lain sakralitas dan sekuleritas peradaban umat manusia sesungguhnya ditentukan oleh signifikansinya agama itu sendiridalam hal mewujudkan masa depan peradaban yang lebih manusiawi.
Pada era pertengahan, sejarah telah mencatat bahwa agama (dalam hal ini adalah pengaruh gereja) telah membuktikan signifikansinya dalam suatu peradaban umat manusia. Walaupun pada akhirnya agama --- karena terbukti menjadi “biang” kemunduran dan kebodohan --- harus ditumbangkan oleh kekuatan-kekuatan progresif era berikutnya yakni Renaissance dan Aufklarung.
Dalam dua Zaman yang ditelah disebutkan terakhir ini, berlanjut hingga pada abad modern, dimana agama “ditelanjangi” dan sekaligus diikuti dari berbagai prespektif ilmiah, serta pada gilirannya ditempatkan sejajar dengan obyek penelitian ilmiah. Agama tidak lagi menjadi sakral dan unik. Sebagai manusia (umat) beragama kita meski bersikap acuh terhadap kenyataan tersebut, sebab agama tentu saja berbeda dari wilayah-wilayah riset ilmiah. Namun, disini kita dituntut membuktikan kearifan agama itu sendiri.
Adalah kenyataan yang normal jika terjadi sebuah bentuk respon terhadap agama yang mencerminkan kepentingan atau kebutuhan lokasi sosial kultural pada zamannya. Dan sebaliknya, merupakan kenyataan yang tidak normal jika bentuk-bentuk respon tersebut tidak mencerminkan kebutuhan lokasi sosio kultural dizamannya. Kenyataannya bahwa agama sering kali terbukti menjadi alat legitimasi kepentingan posisi kekuasaan tertentu, baik politik, ekonomi, sosial maupun tingkat kultural adalah sebagai kenyataan yang seharusnya membuat kita, manusia yang beragama, menjadi “panas” dan terpaksa harus membelanya dan kemudian mengembalikan agama pada fitrahnya sebagai pembebas umat manusia dari berbagai bentuk penindasan, diskriminasi dan eksploitasi.
Dalam konteks ini “pengulitan” dan “penelanjangan” terhadap agama melalui berbagai perspektif ilmiah seperti sosiologi, psikologi, antropologi dan lain-lain, mestinya dapat dipahami dan disikapi secara arif oleh manusia beragama. Bahkan sekalipun “pengulitan” dan “penelanjangan” ini berakhir dengan misalnya; apa yang terkenal dari Karl Marx “agama adalah opium masyarakat” dan Nietzsche “Tuhan telah mati”.
Agama dalam bayang-bayang relativisme, mencoba memberikan suatu perspektif teoritik dan metodologis tentang semesta realitas, khususnya adalah agama. Sebagai sebuah teori, yang berusaha untuk mencoba menganalisis kaitan antara pengetahuan dan kehidupan, sebagai riset sosiologis historis berupaya menelusuri bentuk-bentuk yang diambil oleh perkembangan intelektual manusia yang berkaitan dengan sikap keberagamaan. Sementara itu dalam tulisan ini muncul sebagai pendekatan metodologisnya adalah sosiologi pengetahuan dalam usahanya untuk memperluas berbagai kesalingterkaitan yang mencolok dalam krisis pemikiran modern.
Prof. Gregory Baum menunjukkan ketajamannya dalam mensintesiskan antara dua episteme yang saling bersebrangan itu, yakni antara sisi naturalistik-positivistis dan humanistik-historis. Biarpun mungkin kita banyak yang sudah lama mengetahui polemik antara klaim obyektivisme naturalisme epistemologi modern yang pararel anggaplah demikian, dengan klaim paradigma teologis dalam agama-agama tentang apa yang disebut sebagai Dzat yang obyektif dan bukan subyektif di satu sisi dan episteme humanistik historis epistemologi  postmodern di sisi lain yang senantiasa “berbeda” dan “bersebrangan” dalam melihat dan memaknai realitas.
Perbedaan tersebut oleh Baum, coba dibedah dalam kerangka sintetik antara sisi normatif dan historis tentang realitas melalui kacamata sosiologi pengetahuan sebagai pisau analisisnya. Titik sintetik yang ia tawarkan terbingkai dalam pandangannya yang sangat tegas tentang emansipasi dan solidaritas. Maksudnya, diskursus kebenaran (agama) ditarik jauh dari hanya soal obyektivitas dan subyektivitas menuju diskursus sejauhmana kebenaran tersebut mencerminkan misi pembebasan pada kaum tertindas yang didasari oleh komitmen emansipatoris dan dialog yang didasari oleh komitmen solidaritas.

C.    KELEBIHAN PENDEKATAN
Berdasarkan analisis tersebut diatas bahwa pendekatan buku ini adalah sosiologi pengetahuan sebagai pisau analisisnya. Dari sini muncul gambaran bahwa sosiologi pengetahuan yang dijadikan sebagai pendekatan pada buku ini memiliki kelebihan yang cukup ideal dalam memahami secara arif  dan sekaligus bisa dijadikan sebagai paradigma atau pijakan dalam mempertanyakan mainstreem positivisme dalam segala segmen kehidupan masyarakat.
Mengapa demikian?, secara historis konseptualitasnya bahwa kita ketahui sosiologi pengetahuan muncul sebagai bentuk respon terhadap realitas ilmu-ilmu sosial yang mengadopsi ilmu-ilmu alam baik dalam teori, metodologi maupun epistemologi.
Apabila demikian dengan mengunakan pisau analisis sosiologi pengetahuan yang digunakan, apakah kebenaran agama berada dalam lingkaran relativisme?, jawaban dari pertanyaan tersebut tidak harus dinyatakan dalam bentuk kalimat yang singkat, yakni “ya” dan atau “tidak”, tetapi justru dengan sosiologi pengetahuan ingin menemukan kriteria yang oprasional untuk menunjukkan keterkaitan antara pikiran dan tindakan secara koperhensif bukan parsial.
Lalu bagaimana dengan kebenaran agama, kebenaran teologis?. Dari pertanyaan dasar ini di dalam buku tersebut, dengan menggunakan pendekatan sosiologi pengetahuannya telah memberikan gambaran (kesimpulan) bahwa terlebih dahulu bagi kita perlu di pahami secara mendasar bila akan bicara tentang agama, kita semua tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari dua dimensi yang ada, yakni dimensi normatif dan dimensi historis. Pada dimensi normatif  kita mengakui adanya realitas transendental yang bersifat mutlak dan universal, yang itu melampaui ruang dan waktu. Inilah sesungguhnya realitas ke-Tuhan-an. Namun, pada dimensi historis, agama yang bersumber dari Tuhan tersebut diperuntukkan bagi manusia, maka agama tidak bisa dipisahkan dari kesejarahan dan kehidupan umat manusia yang berada dalam batasan ruang dan waktu. Jadi dengan demikian, agama telah terangkai oleh konteks pergumulan kehidupan pemeluknya. Dan karenanya, akses pemahaman manusia terhadap realitas transendental (normativitas) agama tidak akan pernah sama persis seperti apa yang dikehendaki oleh-Nya. Ia hanyalah batas dari manifestasi keberagamaan umat dalam menghayati spiritualitas agama.
Inilah realitas kemanusiaan; realitas yang selalu berada di bawah realitas ke-Tuhan-an. Oleh karena itu sangat naif jika ada manusia (umat) beragama yang mengklaim diri sebagai satu-satunya “pemangku” dan pemilik kebenaran yang transendental itu. Dan pada dimensi historis inilah sosiologi pengetahuan menempati signifikansinya dalam wawasan diskursus keberagamaan.
Dengan demikian, jadi dari pendekatan sosiologi pengetahuan dapat kita pahami bahwa bagaimanapun agama tidak lagi menjadi entitas ideologis yang tertutup. Ia selalu berbicara dan berada dalam setting dialektika peradaban sepanjang sejarah umat manusia.
Memang diskursus keagamaan sesungguhnya manusia selalu hanya berada pada dimensi historis agama dan tidak akan pernah sampai pada dimensi normatifitas agama. Untuk itu dalam hal ini agama memang bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan atau diilmiahkan, melainkan untuk diamalkan dan dihayati. Sebaliknya pada dimensi historis, agama merupakan bagian yang tak terpisahkan dari entitas peradapan umat manusia yang berada dalam setting perjalanan sejarah.
Agama merupakan wilayah rasionalitas kebudayaan yang selalu merencanakan masa depan peradaban manusia yang lebih baik melalui kerangka dialektika sisi teologis ke dalam kehidupan sosio kultural.
Dari pendekatan sosiologis pengetahuan ini pula sebagai metodologinya telah menelorkan ide bahwa wilayah teologis agama sebagai diskursus kebenaran yang tidak hanya berpusar pada persoalan salah-benar, teologis-historis dan semacamnya, melainkan ditarik pada persoalan sejauhmana keterkaitannya dengan komitmen emansipasi dan solidaritas. Komitmen emansipasi dan solidaritas ini menjadi basis dan modal bagi infrastruktur dalam dialog antar agama-agama  di dunia bagi kesinambungan perkembangan peradaban, negara-bangsa, barat-timur untuk mencapai yang lebih baik bagi umat manusia seluruh dunia dalam menggapai kehidupan yang lebih baik.
Untuk itu dalam pendekatan ini diperoleh secara tersirat kekurangan pada tataran realitas bahwa diskursus kebenaran masih berkutat pada klaim formalistik belaka dan belum mampu menemukan ruh kebenaran itu sendiri dalam praksis hidup sosial kolektif.
Akibatnya, realitas keberagamaan yang demikian seringkali kering dari isu-isu riil yang mengelilingi mereka dan akhirnya dibuat alasan oleh sebagian orang untuk meninggalkan agama karena dianggapnya sudah tidak lagi relevan bagi masyarakat modern. Padahal kebenaran agama, tidak bisa lepas dari keter-kaitannya dengan komitmen emansipasi dan solidaritas.
Komitmen emansipatoris sebagai ukuran kebenaran (agama) artinya kebenaran (agama) harus mampu membebaskan umat manusia dari belenggu-belenggu zamannya dan status quo serta mampu mengentaskan umat manusia dari ketertindasan, kebodohan dan eksploitasi struktural maupun kultural. Selain itu komitmen solidaritas sebagai ukuran kebenaran artinya kebenaran (agama) harus mampu mengeluarkan manusia dari lingkaran-lingkaran ideologis yang sempit, keras dan bermusuhan untuk menuju pada kehidupan yang dialogis yang penuh kedamaian, tanpa kecurigaan. Kondisi seperti ini tentunya akan membawa peradaban manusia menuju peradaban yang beretos produktif, dinamis dan progresif.
Jadi akhirnya, dari sini didapat kepahaman tentang keniscayaan komitmen kebenaran akan emansipasi dan solidaritas tersebut yang telah diuraikan diatas, berarti bahwa latar keimanan suatu agama yang beraneka ragam akan senantiasa bertemu pada tingkat kehidupan riil dalam hidup keseharian masyarakat. Jadi sekali lagi ini berarti, kita tidak mempersoalkan wilayah kebenaran iman, melainkan mempersoalkan fenomena keterpisahan asumsi kebenaran dari nilai-nilai etik baik ditingkat realitas struktural maupun ditingkat kultural seperti keadilan, kejujuran, persamaan, penindasan, otoriter, pengeksploitasian (kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan dan kebodohan)  dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan yang ada lebur ke dalam perjuangan isu-isu kemanusiaan dengan melakukan proyek-proyek berorientasi perubahan menuju struktur sosio kultural yang egaliter, demokratis, adil dan damai.

D.    KELEMAHAN PENDEKATAN
Sosiologi pengetahuan yang didasari oleh keterangan sebagaimana dimuka tadi, memang ideal disatu sisi namun, bila telaah secara mendalam diketahui celah kekurangannya. Sosiologi pengetahuan memang berbeda dengan ilmu-ilmu alam (positivisme) yang mengafirmasi kebenaran (pengetahuan) bebas nilai, apriori dan obyektif, sementara sosiologi pengetahuan melihat kebenaran dan pengetahuan hanya pada diri kemampuan manusia semata. Padahal kemampuan manusia hanyalah bersifat subyektif dan ini berarti ia tidak bebas nilai ataupun akan menimbulkan ketidak obyektifan dalam menterjemahkan sesuatu yang universal (kebenaran agama) tersebut.
Memang bila ditelaah lagi, pengetahuan tidak akan pernah lepas dari sikap subyektifitas individu manusia yang membawanya. Latar belakang sosial dan psikologi individu akan senantiasa mempengaruhi proses terjadinya pengetahuan, tetapi apakah hal itu harus menjadikan bahwa hasil dari proses harus dijadikan patokan standart dari langkah pijakan yang cukup universal?, tentu, bila demikian halnya dari pernyataan tersebut menandakan bahwa sebuah ide tidaklah harus menjadikan klaim yang mutlak dan pijakan seterusnya. Namun, bagaimana proses dialogis harus tetap terjadi sepanjang peradaban umat manusia terjadi.
Oleh karena itu, dari perspektif sosiologi pengetahuan ini kita akan menjadi sadar bahwa semua manusia atau masyarakat --- dengan belbagai macam latar belakang sosial  dan psikologi mereka masing-masing --- berhak mengajukan perspektif tentang kebenaran. Masyarakat dunia maju (Barat) misalnya, tidak mempunyai alasan untuk mendikte masyarakat dunia ketiga (Timur). Begitu juga masyarakat Timur tidak punya alasan untuk merasa inferior dihadapan masyarakat Barat. Bila hal ini terjadi maka kebenaran suatu agama akan menjadi “aneh”, jika harus dibarengi klaim salah atas eksistensi kebenaran agama lain. Oleh karena itu, klaim kebenaran akan menjadi sesuatu yang naif.
Namun terkadang dalam tataran realitas, mungkin karena egonya (sifat superior) manusia hal tersebut sungguh sulit untuk tidak dilakukan. Disinilah letak kelemahan yang terjadi pada sisi sosiologis pengetahuan. Apabila manusia tidak dapat menanggalkan sifat superioritasnya tersebut maka klaim kebenaran yang subyektif akan terjadi dan ini akan mengakibatkan ke-jumud-an dalam tingkat sosial yang lebih luas. Terlebih lagi bila hal tersebut sampai berimbas pada sendi-sendi kehidupan umat manusia; ekonomi, politik, keamanan dan lain sebagainya.

E.     KESIMPULAN
Berdasarkan pada uraian diatas, pada aitem ini penulis akan menyimpulkan sebagai benang merah  dalam tema ini adalah:
  1. Agama Dalam Bayang-Bayang Relatifisme; karya Prof. Gregory Baum ini mengunakan pendekatan sosiologi pengetahuan yang lebih bermuatan sosiologis.
  2. Sosiologi pengetahuan muncul sebagai bentuk respon terhadap realitas ilmu-ilmu sosial yang mengadopsi ilmu-ilmu alam baik dalam teori, metodologi maupun epistemologi.
  3. Kelebihan yang di dapatkan dari pendekatan sosiologi pengetahuan ini bahwa secara umum bicara tentang kebenaran agama, kita semua tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari dua dimensi yang ada, yakni dimensi normatif dan dimensi historis. Untuk itu agama tidak lagi menjadi entitas ideologis yang tertutup. Ia selalu berbicara dan berada dalam setting dialektika peradaban sepanjang sejarah umat manusia. Karenanya agama merupakan wilayah rasionalitas kebudayaan yang selalu merencanakan masa depan peradaban manusia yang lebih baik melalui kerangka dialektika sisi teologis ke dalam kehidupan sosio kultural. wilayah teologis agama sebagai diskursus kebenaran yang tidak hanya berpusar pada persoalan salah-benar, teologis-historis dan semacamnya, melainkan ditarik pada persoalan sejauhmana keterkaitannya dengan komitmen emansipasi dan solidaritas. Jadi kita tidak mempersoalkan wilayah kebenaran iman, melainkan mempersoalkan fenomena keterpisahan asumsi kebenaran dari nilai-nilai etik baik ditingkat realitas struktural maupun ditingkat kultural seperti keadilan, kejujuran, persamaan, penindasan, otoriter, pengeksploitasian (kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan dan kebodohan)  dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan yang ada lebur ke dalam perjuangan isu-isu kemanusiaan dengan melakukan proyek-proyek berorientasi perubahan menuju struktur sosio kultural yang egaliter, demokratis, adil dan damai.
  4. Sosiologi pengetahuan, bila telaah secara mendalam diketahui celah kekurangannya, dimana sosiologi pengetahuan memang berbeda dengan ilmu-ilmu alam (positivisme) yang mengafirmasi kebenaran (pengetahuan) bebas nilai, apriori dan obyektif, sementara itu sosiologi pengetahuan melihat kebenaran dan pengetahuan hanya pada diri kemampuan manusia semata. Padahal kemampuan manusia hanyalah bersifat subyektif dan ini tidak bebas nilai ataupun akan menimbulkan ketidak obyektifan dalam menterjemahkan sesuatu yang universal (kebenaran agama) tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar