AGAMA
DALAM BAYANG-BAYANG RELATIFISME
Karya
Prof. Gregory Baum, Judul Asli:
Truth
Beyond Relativism Terj. Achmad Murtajib dan Masyhuri Arow
A. PENDAHULUAN
Apabila kita bertanya
kepada umat beragama tentang kebenaran agama-agama di seluruh dunia mungkin,
dan ini di pastikan jawaban dari setiap pemeluk agamanya masing-masing pasti
menyatakan bahwa agamanyalah yang paling benar dan diterima disisi Tuhan. Sudah
di pastikan bahwa mereka saling mengklaim demikian, tetapi apakah jawaban itu
benar?, lalu siapa yang paling benar?, karena bila kita menggunakan ukuran
rasionalitas, tentu tidak semua demikian kebenarannya, pasti ada yang lebih
benar. Kalau semua benar akan membingungkan, demikian ukuran akal kita.
Untuk itu pada kajian yang ditulis oleh penulis
mencoba mengkaji sebuah buku yang berjudul tentang “Agama Dalam Bayang-Bayang Relativisme”. Wacana tentang kebenaran
agama memang sungguh rumit. Pada bagian awal ini dicoba dengan menggunakan
konsep Islam, di mana dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat ke-62 telah di
tegaskan yang artinya “Sesungguhnya
orang-orang Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah,
hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan
mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati”. Kalaulah ayat ini di pahami oleh umat Islam sebagaimana bunyi
harfiahnya, dan di terima pula oleh para pengikut agama-agama tanpa
mengaitkannya dengan teks-teks keagamaan yang lain, niscaya absolutisme dalam
keberagamaan akan sangat berkurang atau bahkan pupus sama sekali.
Seandainya paham keberagamaan ini di nyatakan bahwa
“kebenaran agama” ada ditangan manusia dengan melalui pemahaman teks-teks kitab
sucinya masing-masing dan Tuhan merestui perbedaan cara keberagamaan umat-Nya
yang demikian, niscaya akan timbul kelompok yang saling mengkafirkan.
Untuk itu diharapkan agar setiap umat mau menggali
ajaran-ajaran agama secara utuh, mampu memahami pesan-pesan universal Tuhan
secara luas, maka tidak akan timbul fanatisme buta, yang terkesan akan adanya
sebuah keabsolutan dalam beragama. Bila kita mau akui secara jujur, bukankah
agama-agama monoteisme dengan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa, pada hakekatnya
menganut ajaran universalisme?, padahal Tuhan Yang Maha Esa itulah yang
sebenarnya menciptakan seluruh umat manusia di seluruh alam jagad raya ini.
Seluruh umat manusia berasal dari satu keturunan, betapapun berbeda agama,
bangsa, atau warna kulit.
Disamping itu pula, telah diyakini secara penuh oleh
setiap penganut agama bahwa Tuhan yang
merupakan sumber ajaran agama tidak membutuhkan pengabdian manusia. Ketaatan
dan kedurhakaan manusia tidak akan menambah atau mengurangi kesempurnaan-Nya.
Manusia diberi-Nya kebebasan untuk menerima atau menolak petunjuk agama dan
karena itu pula, Dia menuntut ketulusan dan keikhlasan dalam beragama serta
tidak membenarkan paksaan dalam bentuk nyata atau terselubung, besar atau
bahkan sekecil-kecilnya sekalipun. Yang dituju oleh setiap agama adalah
kemaslahatan umat manusia. Tuhan yang sedemikian besarnya, sehingga rahmat-Nya
pasti menyentuh seluruh mahluk-Nya.
Salah satu fungsi agama, bahkan fungsinya yang
terpenting adalah menciptakan rasa aman dan sejahtera bagi pemeluknya. Dari
sini terlihat kaitan sangat erat antara “iman” dan “aman”. Rasa aman tersebut
diperoleh melalui kenyakinan tentang sesuainya sikap manusia dengan kehendak
dan petunjuk Tuhan. Dengan melakukan penelitian atau tanpa penelitian, pemeluk
masing-masing agama telah memiliki kebenaran-kebenaran yang dinilainya sebagai
kebenaran mutlak. Mustahil akan tercipta rasa aman itu bila kenyakinan yang
demikian itu sifatnya mengusik.
Di ketahui bahwa ajaran agama yang diterima oleh para
utusan-utusan-Nya secara estafet, bila ditelusuri ke belakang, akan ditemukan
bahwa sumbernya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Secara pasti, setelah pembawa agama
yang menjadi utusan Tuhan tidak lagi berada di tengah-tengah umatnya, maka di
pastikan petunjuk-petunjuk yang dibawanya mengalami perubahan interpretasi,
bahkan memerlukan petunjuk-petunjuk praktis baru, yang mungkin tadinya belum dikenal
pada masa utusan tersebut berada di tengah-tengah masyarakatnya.
Apabila penganut suatu agama menyepakati suatu
interpretasi tunggal, maka interpretasi tersebut akan menjadi absolut di
kalangan mereka. Sebaliknya, apabila ia mengandung berbagai kemungkinan makna,
maka ia menjadi relatif. Kesepakatan satu kelompok dalam satu agama untuk
memberikan interpretasi tunggal dapat saja ditolak oleh kelompok yang lain
dalam suatu agama. Dan pada saat itu pandangan kelompok pertama menjadi
absolut, tetapi tidak absolut untuk yang lain. Demikianlah, absolutsitas dapat
bertingkat-tingkat.
Di ketahui bahwa wacana yang berkembang tentang hal
tersebut diatas, para ulama’ telah berpendapat bahwa dalam menetapkan
absolutisitas satu ajara agama (Islam) haruslah berdasarkan
argumentasi-argumentasi yang pasti (tidak diragukan kebenarannya), baik pada
sumber pokonya (al qur’an) maupun interpretasinya sebagai bentuk dari qiyas, ijma’ atau ijtihat.
Bila di pahami secara mendalam sikap absolutisitas
sebenarnya adalah suatu sikap yang ekslusif (kedalam), tidak menuntut
pernyataan atau kenyataan diluar bagi yang tidak menyakininya. Namun, ketika
kaum Musyrik bersikeras menolak ajaran Islam, demi kemaslahatan bersama, Tuhan
memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk berkata kepada mereka, “……dan sesungguhnya kami atau kamu yang
berada dalam kebenaran, atau dalam kesesatan yang nyata. Kamu tidak akan
diminta mempertanggung jawabkan pelanggaran-pelanggaran kami dan kami pun tidak
akan diminta mempertanggun jawabkan perbuatan-perbuatan kamu. Katakanlah, Tuhan
kelak akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi keputusan di antara kita
dengan benar. Sesungguhnya Dia Mahapemberi keputusan lagi Mahamengetahui”
(QS. 34: 24-26).
Dalam ayat di atas terlihat bahwa ketika
absolutisitas diantar keluar, ke dunia nyata. Nabi Saw, tidak diperintahkan
menyatakan apa yang di dalam (kenyakinan tentang kemutlakan kebenaran ajaran),
tetapi justru sebaliknya kandungan ayat tersebut menyatakan; “mungkin kami yang
benar, dan mungkin pula tuan. Mungkin kami yang salah, dan mungkin juga tuan,
kita serahkan saja kepada Tuhan untuk memutuskannya”. Bahkan, dapat diamati
dari redaksi di atas sikap yang diajarkan Al qur’an jauh lebih toleran, untuk
itu pada tataran manusia kebenaran pada hakekatnya nisbi atau relatif,
kebanaran yang mutlak adalah menjadi hak preogatif Tuhan. Manusia tidak bisa
mengklaim bahwa dirinya atau kelompoknyalah yang paling benar diantara yang
lain.
Agama mengajarkan yang demikian karena kesatuan
pendapat dalam segala hal tidak mungkin tercapai, khususnya setelah
perkembangan penduduk yang demikian pesatnya serta keanekaragaman kebutuhan. Manusia tadinya satu kesatuan, kemudian
mereka berselisih (QS. 2: 213). Sebenarnya perbedaan antara manusia
merupakan sunatullah (kehendak Tuhan jua), Seandainya Tuhan menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia satu umat
(tetapi Tuhan tidak menghendaki itu) sehingga mereka akan terus menerus berbeda
pendapat (QS. 11: 118). Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat,
niscaya diciptakannya manusia tanpa akal budi. Diciptakannya manusia seperti
binatang atau bahkan benda-benda yang tak bernyawa dan tidak memiliki kemampuan
untuk memilah dan memilih. Kalau demikian halnya, tidak mustahil bagi Tuhan
untuk menjadikan manusia di seluruh muka bumi ini akan jadi satu pandangan,
pikiran, anggapan, keinginan, tujuan dan kenyakinan.
Oleh karena itu secara alamiah atau dalam bahasa
agama disebut sunnahtullah, Perbedaan
manusia telah menjadi kehendak Tuhan, agar bagaimana bisa terjalin kerja sama
di antara mereka dalam mencapai kebajikan dan keridhaan-Nya. Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami
telah menciptakan kamu terdiri dari pria, wanita dan kami jadikan kamu sekalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu semua saling mengenal (bekerja
sama). Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Tuhan adalah yang
paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS.
49: 13).
Salah satu kelemahan manusia adalah semangatnya yang
menggebu-gebu sehingga ada di antara mereka yang bersikap melebihi sikap Tuhan,
menginginkan agar manusia seluruhnya satu pendapat dan satu aliran atau agama.
Semangat yang menggebu-gebu ini pulalah yang menggantarkannya pada proses
pemaksaan pandangan yang harus dianut oleh orang lain. Padahal, Tuhan sendiri
memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih jalannya sendiri. Siapa yang ingin percaya, silakan dan siapa
yang ingin menolak terserah jua baginya (QS. 18: 29). Bahkan ada yang lebih
parah lagi, yakni manusia yang memutlakkan jatuhnya siksaan (nas neraka) Tuhan kepada kelompok
manusia yang selain dari golongannya, seakan-akan ingin membatasi Rahmat Tuhan.
Padahal, Tuhan sendiri menyatakan menyatakan, “Rahmat-Ku mengalahkan
amarah-Ku”. Al qur’an juga mengabadikan ucapan Nabi Isa, ketika umatnya sedang
diadili karena mempersekutukan Tuhan: Apabila
Engkau menyiksa mereka, maka (itu wajar, karena mereka) adalah hamba-hamba Mu
(yang bersalah) tetapi jika Engkau memaafkan mereka maka (itu pun wajar) karena
Engkau Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. 5: 118).
B. ISI BUKU DAN PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN
Memang dalam realitasnya, sesuatu hal yang tidak bisa
ditolak adalah kebutuhan akan keterlibatan agama dalam dialektika historis
peradapan umat manusia. Namun, juga terdapat satu catatan yang harus digaris
bawahi, sekali keterlibatan agama telah menunjukkan signifikansinya atas
kebobrokan sebuah peradaban, maka pada saat itu jualah agama harus “hengkang” darinya. Dengan kata lain
sakralitas dan sekuleritas peradaban umat manusia sesungguhnya ditentukan oleh
signifikansinya agama itu sendiridalam hal mewujudkan masa depan peradaban yang
lebih manusiawi.
Pada era pertengahan, sejarah telah mencatat bahwa
agama (dalam hal ini adalah pengaruh gereja) telah membuktikan signifikansinya
dalam suatu peradaban umat manusia. Walaupun pada akhirnya agama --- karena
terbukti menjadi “biang” kemunduran
dan kebodohan --- harus ditumbangkan oleh kekuatan-kekuatan progresif era
berikutnya yakni Renaissance dan Aufklarung.
Dalam dua Zaman yang ditelah disebutkan terakhir ini,
berlanjut hingga pada abad modern, dimana agama “ditelanjangi” dan sekaligus diikuti dari berbagai prespektif
ilmiah, serta pada gilirannya ditempatkan sejajar dengan obyek penelitian
ilmiah. Agama tidak lagi menjadi sakral dan unik. Sebagai manusia (umat)
beragama kita meski bersikap acuh terhadap kenyataan tersebut, sebab agama
tentu saja berbeda dari wilayah-wilayah riset ilmiah. Namun, disini kita
dituntut membuktikan kearifan agama itu sendiri.
Adalah kenyataan yang normal jika terjadi sebuah bentuk
respon terhadap agama yang mencerminkan kepentingan atau kebutuhan lokasi
sosial kultural pada zamannya. Dan sebaliknya, merupakan kenyataan yang tidak
normal jika bentuk-bentuk respon tersebut tidak mencerminkan kebutuhan lokasi
sosio kultural dizamannya. Kenyataannya bahwa agama sering kali terbukti
menjadi alat legitimasi kepentingan posisi kekuasaan tertentu, baik politik,
ekonomi, sosial maupun tingkat kultural adalah sebagai kenyataan yang
seharusnya membuat kita, manusia yang beragama, menjadi “panas” dan terpaksa
harus membelanya dan kemudian mengembalikan agama pada fitrahnya sebagai pembebas umat manusia dari berbagai bentuk
penindasan, diskriminasi dan eksploitasi.
Dalam konteks ini “pengulitan” dan “penelanjangan”
terhadap agama melalui berbagai perspektif ilmiah seperti sosiologi, psikologi,
antropologi dan lain-lain, mestinya dapat dipahami dan disikapi secara arif
oleh manusia beragama. Bahkan sekalipun “pengulitan” dan “penelanjangan” ini
berakhir dengan misalnya; apa yang terkenal dari Karl Marx “agama adalah opium
masyarakat” dan Nietzsche “Tuhan telah mati”.
Agama dalam bayang-bayang relativisme, mencoba
memberikan suatu perspektif teoritik dan metodologis tentang semesta realitas,
khususnya adalah agama. Sebagai sebuah teori, yang berusaha untuk mencoba
menganalisis kaitan antara pengetahuan dan kehidupan, sebagai riset sosiologis
historis berupaya menelusuri bentuk-bentuk yang diambil oleh perkembangan
intelektual manusia yang berkaitan dengan sikap keberagamaan. Sementara itu dalam
tulisan ini muncul sebagai pendekatan metodologisnya adalah sosiologi
pengetahuan dalam usahanya untuk memperluas berbagai kesalingterkaitan yang
mencolok dalam krisis pemikiran modern.
Prof. Gregory Baum menunjukkan ketajamannya dalam
mensintesiskan antara dua episteme yang saling bersebrangan itu, yakni antara
sisi naturalistik-positivistis dan humanistik-historis. Biarpun mungkin kita
banyak yang sudah lama mengetahui polemik antara klaim obyektivisme naturalisme
epistemologi modern yang pararel anggaplah demikian, dengan klaim paradigma
teologis dalam agama-agama tentang apa yang disebut sebagai Dzat yang obyektif
dan bukan subyektif di satu sisi dan episteme humanistik historis
epistemologi postmodern di sisi lain
yang senantiasa “berbeda” dan “bersebrangan” dalam melihat dan memaknai
realitas.
Perbedaan tersebut oleh Baum, coba dibedah dalam
kerangka sintetik antara sisi normatif dan historis tentang realitas melalui
kacamata sosiologi pengetahuan sebagai pisau analisisnya. Titik sintetik yang
ia tawarkan terbingkai dalam pandangannya yang sangat tegas tentang emansipasi dan solidaritas. Maksudnya, diskursus kebenaran (agama) ditarik jauh
dari hanya soal obyektivitas dan subyektivitas menuju diskursus sejauhmana
kebenaran tersebut mencerminkan misi pembebasan pada kaum tertindas yang
didasari oleh komitmen emansipatoris dan dialog yang didasari oleh komitmen
solidaritas.
C. KELEBIHAN PENDEKATAN
Berdasarkan analisis tersebut diatas bahwa pendekatan
buku ini adalah sosiologi pengetahuan sebagai pisau analisisnya. Dari sini
muncul gambaran bahwa sosiologi pengetahuan yang dijadikan sebagai pendekatan
pada buku ini memiliki kelebihan yang cukup ideal dalam memahami secara
arif dan sekaligus bisa dijadikan
sebagai paradigma atau pijakan dalam mempertanyakan mainstreem positivisme dalam segala segmen kehidupan masyarakat.
Mengapa demikian?, secara historis konseptualitasnya
bahwa kita ketahui sosiologi pengetahuan muncul sebagai bentuk respon terhadap
realitas ilmu-ilmu sosial yang mengadopsi ilmu-ilmu alam baik dalam teori,
metodologi maupun epistemologi.
Apabila demikian dengan mengunakan pisau analisis
sosiologi pengetahuan yang digunakan, apakah kebenaran agama berada dalam
lingkaran relativisme?, jawaban dari pertanyaan tersebut tidak harus dinyatakan
dalam bentuk kalimat yang singkat, yakni “ya” dan atau “tidak”, tetapi justru
dengan sosiologi pengetahuan ingin menemukan kriteria yang oprasional untuk
menunjukkan keterkaitan antara pikiran dan tindakan secara koperhensif bukan
parsial.
Lalu bagaimana dengan kebenaran agama, kebenaran
teologis?. Dari pertanyaan dasar ini di dalam buku tersebut, dengan menggunakan
pendekatan sosiologi pengetahuannya telah memberikan gambaran (kesimpulan)
bahwa terlebih dahulu bagi kita perlu di pahami secara mendasar bila akan
bicara tentang agama, kita semua tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari
dua dimensi yang ada, yakni dimensi normatif
dan dimensi historis. Pada dimensi normatif kita mengakui adanya realitas transendental
yang bersifat mutlak dan universal, yang itu melampaui ruang dan waktu. Inilah
sesungguhnya realitas ke-Tuhan-an. Namun, pada dimensi historis, agama yang bersumber dari Tuhan tersebut diperuntukkan
bagi manusia, maka agama tidak bisa dipisahkan dari kesejarahan dan kehidupan
umat manusia yang berada dalam batasan ruang dan waktu. Jadi dengan demikian,
agama telah terangkai oleh konteks pergumulan kehidupan pemeluknya. Dan
karenanya, akses pemahaman manusia terhadap realitas transendental
(normativitas) agama tidak akan pernah sama persis seperti apa yang dikehendaki
oleh-Nya. Ia hanyalah batas dari manifestasi keberagamaan umat dalam menghayati
spiritualitas agama.
Inilah realitas kemanusiaan; realitas yang selalu
berada di bawah realitas ke-Tuhan-an. Oleh karena itu sangat naif jika ada
manusia (umat) beragama yang mengklaim diri sebagai satu-satunya “pemangku” dan
pemilik kebenaran yang transendental itu. Dan pada dimensi historis inilah sosiologi pengetahuan menempati signifikansinya
dalam wawasan diskursus keberagamaan.
Dengan demikian, jadi dari pendekatan sosiologi
pengetahuan dapat kita pahami bahwa bagaimanapun agama tidak lagi menjadi
entitas ideologis yang tertutup. Ia selalu berbicara dan berada dalam setting dialektika peradaban sepanjang
sejarah umat manusia.
Memang diskursus keagamaan sesungguhnya manusia
selalu hanya berada pada dimensi historis agama dan tidak akan pernah sampai
pada dimensi normatifitas agama. Untuk itu dalam hal ini agama memang bukanlah
sesuatu yang harus diperdebatkan atau diilmiahkan, melainkan untuk diamalkan
dan dihayati. Sebaliknya pada dimensi historis, agama merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari entitas peradapan umat manusia yang berada dalam setting perjalanan sejarah.
Agama merupakan wilayah rasionalitas kebudayaan yang
selalu merencanakan masa depan peradaban manusia yang lebih baik melalui
kerangka dialektika sisi teologis ke dalam kehidupan sosio kultural.
Dari pendekatan sosiologis pengetahuan ini pula
sebagai metodologinya telah menelorkan ide bahwa wilayah teologis agama sebagai
diskursus kebenaran yang tidak hanya berpusar pada persoalan salah-benar,
teologis-historis dan semacamnya, melainkan ditarik
pada persoalan sejauhmana keterkaitannya dengan komitmen emansipasi dan
solidaritas. Komitmen emansipasi dan solidaritas ini menjadi basis dan modal
bagi infrastruktur dalam dialog antar agama-agama di dunia bagi kesinambungan perkembangan
peradaban, negara-bangsa, barat-timur untuk mencapai yang lebih baik bagi umat
manusia seluruh dunia dalam menggapai kehidupan yang lebih baik.
Untuk itu dalam pendekatan ini diperoleh secara
tersirat kekurangan pada tataran realitas bahwa diskursus kebenaran masih
berkutat pada klaim formalistik belaka dan belum mampu menemukan ruh kebenaran itu sendiri dalam praksis
hidup sosial kolektif.
Akibatnya, realitas keberagamaan yang demikian
seringkali kering dari isu-isu riil yang mengelilingi mereka dan akhirnya
dibuat alasan oleh sebagian orang untuk meninggalkan agama karena dianggapnya
sudah tidak lagi relevan bagi masyarakat modern. Padahal kebenaran agama, tidak
bisa lepas dari keter-kaitannya dengan komitmen emansipasi dan solidaritas.
Komitmen emansipatoris sebagai ukuran kebenaran
(agama) artinya kebenaran (agama) harus mampu membebaskan umat manusia dari
belenggu-belenggu zamannya dan status quo
serta mampu mengentaskan umat manusia dari ketertindasan, kebodohan dan
eksploitasi struktural maupun kultural. Selain itu komitmen solidaritas sebagai
ukuran kebenaran artinya kebenaran (agama) harus mampu mengeluarkan manusia
dari lingkaran-lingkaran ideologis yang sempit, keras dan bermusuhan untuk
menuju pada kehidupan yang dialogis yang penuh kedamaian, tanpa kecurigaan.
Kondisi seperti ini tentunya akan membawa peradaban manusia menuju peradaban
yang beretos produktif, dinamis dan progresif.
Jadi akhirnya, dari sini didapat kepahaman tentang
keniscayaan komitmen kebenaran akan emansipasi dan solidaritas tersebut yang
telah diuraikan diatas, berarti bahwa latar keimanan suatu agama yang beraneka
ragam akan senantiasa bertemu pada tingkat kehidupan riil dalam hidup
keseharian masyarakat. Jadi sekali lagi ini berarti, kita tidak mempersoalkan
wilayah kebenaran iman, melainkan mempersoalkan fenomena keterpisahan asumsi
kebenaran dari nilai-nilai etik baik ditingkat realitas struktural maupun
ditingkat kultural seperti keadilan, kejujuran, persamaan, penindasan,
otoriter, pengeksploitasian (kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan dan
kebodohan) dan sebagainya.
Perbedaan-perbedaan yang ada lebur ke dalam perjuangan isu-isu kemanusiaan
dengan melakukan proyek-proyek berorientasi perubahan menuju struktur sosio
kultural yang egaliter, demokratis, adil dan damai.
D. KELEMAHAN PENDEKATAN
Sosiologi pengetahuan yang didasari oleh keterangan
sebagaimana dimuka tadi, memang ideal disatu sisi namun, bila telaah secara mendalam
diketahui celah kekurangannya. Sosiologi pengetahuan memang berbeda dengan
ilmu-ilmu alam (positivisme) yang mengafirmasi kebenaran (pengetahuan) bebas
nilai, apriori dan obyektif, sementara sosiologi pengetahuan melihat kebenaran
dan pengetahuan hanya pada diri kemampuan manusia semata. Padahal kemampuan
manusia hanyalah bersifat subyektif dan ini berarti ia tidak bebas nilai
ataupun akan menimbulkan ketidak obyektifan dalam menterjemahkan sesuatu yang
universal (kebenaran agama) tersebut.
Memang bila ditelaah lagi, pengetahuan tidak akan
pernah lepas dari sikap subyektifitas individu manusia yang membawanya. Latar
belakang sosial dan psikologi individu akan senantiasa mempengaruhi proses
terjadinya pengetahuan, tetapi apakah hal itu harus menjadikan bahwa hasil dari
proses harus dijadikan patokan standart dari langkah pijakan yang cukup
universal?, tentu, bila demikian halnya dari pernyataan tersebut menandakan
bahwa sebuah ide tidaklah harus menjadikan klaim yang mutlak dan pijakan
seterusnya. Namun, bagaimana proses dialogis harus tetap terjadi sepanjang
peradaban umat manusia terjadi.
Oleh karena itu, dari perspektif sosiologi
pengetahuan ini kita akan menjadi sadar bahwa semua manusia atau masyarakat ---
dengan belbagai macam latar belakang sosial
dan psikologi mereka masing-masing --- berhak mengajukan perspektif
tentang kebenaran. Masyarakat dunia maju (Barat) misalnya, tidak mempunyai
alasan untuk mendikte masyarakat dunia ketiga (Timur). Begitu juga masyarakat
Timur tidak punya alasan untuk merasa inferior dihadapan masyarakat Barat. Bila
hal ini terjadi maka kebenaran suatu agama akan menjadi “aneh”, jika harus
dibarengi klaim salah atas eksistensi kebenaran agama lain. Oleh karena itu,
klaim kebenaran akan menjadi sesuatu yang naif.
Namun terkadang dalam tataran realitas, mungkin
karena egonya (sifat superior) manusia hal tersebut sungguh sulit untuk tidak
dilakukan. Disinilah letak kelemahan yang terjadi pada sisi sosiologis
pengetahuan. Apabila manusia tidak dapat menanggalkan sifat superioritasnya
tersebut maka klaim kebenaran yang subyektif akan terjadi dan ini akan
mengakibatkan ke-jumud-an dalam tingkat sosial yang lebih luas. Terlebih lagi
bila hal tersebut sampai berimbas pada sendi-sendi kehidupan umat manusia;
ekonomi, politik, keamanan dan lain sebagainya.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan pada uraian diatas, pada aitem ini penulis akan menyimpulkan
sebagai benang merah dalam tema ini
adalah:
- Agama Dalam Bayang-Bayang Relatifisme; karya Prof. Gregory Baum ini mengunakan pendekatan sosiologi pengetahuan yang lebih bermuatan sosiologis.
- Sosiologi pengetahuan muncul sebagai bentuk respon terhadap realitas ilmu-ilmu sosial yang mengadopsi ilmu-ilmu alam baik dalam teori, metodologi maupun epistemologi.
- Kelebihan yang di dapatkan dari pendekatan sosiologi pengetahuan ini bahwa secara umum bicara tentang kebenaran agama, kita semua tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari dua dimensi yang ada, yakni dimensi normatif dan dimensi historis. Untuk itu agama tidak lagi menjadi entitas ideologis yang tertutup. Ia selalu berbicara dan berada dalam setting dialektika peradaban sepanjang sejarah umat manusia. Karenanya agama merupakan wilayah rasionalitas kebudayaan yang selalu merencanakan masa depan peradaban manusia yang lebih baik melalui kerangka dialektika sisi teologis ke dalam kehidupan sosio kultural. wilayah teologis agama sebagai diskursus kebenaran yang tidak hanya berpusar pada persoalan salah-benar, teologis-historis dan semacamnya, melainkan ditarik pada persoalan sejauhmana keterkaitannya dengan komitmen emansipasi dan solidaritas. Jadi kita tidak mempersoalkan wilayah kebenaran iman, melainkan mempersoalkan fenomena keterpisahan asumsi kebenaran dari nilai-nilai etik baik ditingkat realitas struktural maupun ditingkat kultural seperti keadilan, kejujuran, persamaan, penindasan, otoriter, pengeksploitasian (kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan dan kebodohan) dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan yang ada lebur ke dalam perjuangan isu-isu kemanusiaan dengan melakukan proyek-proyek berorientasi perubahan menuju struktur sosio kultural yang egaliter, demokratis, adil dan damai.
- Sosiologi pengetahuan, bila telaah secara mendalam diketahui celah kekurangannya, dimana sosiologi pengetahuan memang berbeda dengan ilmu-ilmu alam (positivisme) yang mengafirmasi kebenaran (pengetahuan) bebas nilai, apriori dan obyektif, sementara itu sosiologi pengetahuan melihat kebenaran dan pengetahuan hanya pada diri kemampuan manusia semata. Padahal kemampuan manusia hanyalah bersifat subyektif dan ini tidak bebas nilai ataupun akan menimbulkan ketidak obyektifan dalam menterjemahkan sesuatu yang universal (kebenaran agama) tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar