Jumat, 13 Desember 2013

Globalisasi; Perang atau perdamaian

"+"

Globalisasi:
“Perang Peradaban” atau “Perdamaian Dunia”




A.    Pendahuluan

Dewasa ini, globalisasi menjadi wacana publik (public opinion) yang menarik perhatian sejumlah kalangan. Wacana tersebut dapat ditemukan dalam bentuk buku, artikel lepas, seminar, simposium, dan wahana-wahana ilmiah lainnya. Ini mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang penting di balik globalisasi, sehingga masyarakat merasa “wajib” untuk meresponsnya. Respons masyarakat pun bermacam-macam: ada yang pro, ada yang kontra; ada yang optimis, dan ada juga yang pesimis.
Dalam perspektif ekonomi, globalisasi diartikan sebagai proses internasionalisasi produk, mobilisasi yang semakin membengkak dari modal dan masyarakat internasional, penggandaan dan intensifikasi ketergantungan ekonomi. Sementara dalam perspektif politik-ideologi, globalisasi dirumuskan sebagai liberasi perdagangan dan investasi, privatisasi, adopsi sistem politik demokrasi dan otonomi daerah. Dari kacamata teknologi, globalisasi berarti penguasaan dunia melalui penguasaan teknologi dan informasi.[1] Kemudian dalam pengertian budaya, globalisasi merupakan proses akulturasi norma-norma, seperti pluralitas keagamaan, Hak Asasi Manusia (HAM), dan bahkan gaya hidup.
Terlepas dari perbedaan perspektif dalam mendefinisikan globalisasi, yang jelas ia sangat berpengaruh terhadap hidup dan kehidupan masyarakat. Menurut Fromm, “kini manusia tidak berkutik di hadapan berhala materialis-me, kediktatoran uang, anomistis dan perbudakan. Materialisme fundamenta-listis telah menjebak manusia ke dalam belenggu alienasi (keterasingan manusia dari Tuhan, sesama manusia, lingkungan) dan sinisme.”[2] 
Yang tidak kalah pentingnya untuk dicermati dengan munculnya globalisasi ini adalah kemungkinan munculnya benturan peradaban antara belahan dunia yang satu dengan belahan dunia lainnya, baik yang berakar dari budaya, teknologi, ideologi, maupun agama. Atau sebaliknya, globalisasi malah melahirkan perdamaian dunia seiring dengan gencarnya wacana demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan belakangan ini, multikultura-lisme. Point inilah yang menjadi sentral kajian dalam makalah ini.

B.     Definisi Globalisasi

Globalisasi secara harfiah berasal dari kata “global” yang berarti sedunia atau sejagat.[3] Istilah yang konon dipopulerkan oleh Theodore Lavitte pada tahun 1985 ini, menurut Mukti Ali, “menunjukkan satu corak kesadaran baru yang memperhatikan persoalan-persoalan baru, hal-hal yang khusus dan universal, lokal, regional dan internasional yang saling berhubungan dengan cara yang dulu belum pernah terjadi”.[4]  
Sementara itu, Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan memberi batasan bahwa “globalisasi pada prinsipnya mengacu pada perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi, transformasi, dan informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi bisa ‘dijangkau’ dengan mudah”.[5] Ahmed dan Donnan memberi contoh tentang kasus buku Sanatic Verses karya Salman Rusydie di akhir tahun 1980-an. Hanya dalam beberapa jam saja, apa yang terjadi di Inggris dengan begitu cepat sudah muncul respons di Pakistan dan India. Protes terhadap buku itu terjadi di berbagai belahan dunia. Begitu cepatnya berita tentang buku tersebut merupakan perwujudan era komunikasi, transformasi dan informasi.
Situasi demikian tentunya tidak lepas dari kecanggihan di bidang komunikasi seperti radio, televisi, telepon, faximile, internet dan sebagainya. Melalui berbagai peralatan tersebut, berbagai peristiwa-peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia yang lain dapat diakses dengan mudah. Seolah-olah tidak ada pembatas antara dunia yang satu dengan dunia lainnya.
Berangkat dari realitas tersebut, A. Qordri Azizi menyebut bahwa era globalisasi berarti terjadinya pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama di seluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi dan informasi hasil modernisasi di bidang teknologi. Pertemuan dan gesekan ini akan menghasilkan “kompetisi liar” yang saling mempengaruhi; saling bertabrakannya nilai-nilai yang berbeda; atau saling kerja sama yang akan menghasilkan sintesa dan antitesa baru.[6]
Dengan kata lain, globalisasi terkait dengan interaksi-interaksi transnasional yang melibatkan semua elemen masyarakat secara nyata. Elemen-elemen masyarakat itu terdiri dari pemerintah, masyarakat, organisasi-organisasi sosial, lembaga-lembaga pendidikan, maupun individu-individu. Watak globalisasi yang imanen dalam segala bidang kehidupan merupakan fenomena sosiologis yang menyentuh wilayah kehidupan sosial dan spiritual yang sudah barang tentu berimplikasi pada interdependensi antara elemen-elemen masyarakat tersebut.  
Bila definisi-definisi di atas cenderung terbatas pada globalisasi dalam perspektif informasi, ada definisi lain yang cukup kritis di mana globalisasi dilihat dari kacamata ekonomi. Mansour Fakih, misalnya, mendefinisikan globalisasi sebagai “suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global”.[7]
Hal ini berarti bahwa proses global ini pada hakikatnya bukan sekedar merupakan banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang lebih luas, mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, gaya hidup, bentuk pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia. Mengingat luasnya cakupan wilayah perubahan ini menjadikan gerak perubahan global terasa sulit dibendung, sebab kekuatan tersebut datang bagaikan badai yang mengepung dan dilengkapi dengan instumen-instrumen super canggih, mulai dari yang bersifat persuasif hingga yang bersifat koersif.[8]


C.    Akar Historis Globalisasi

Sebelum “booming” term globalisasi, kita barangkali masih ingat dengan istilah developmentalisme atau pembangunanisme. Menurut Mansour Fakih, setidak-tidaknya ada tiga watak dari developmentalisme. Pertama, ia melanggengkan struktur ekonomi yang eksploitatif. Dalam skala regional ia melanggengkan hubungan dependensi antara negara berkembang dan maju, antara elit kota dan golongan miskin. Development dan underdevelopment adalah konsep yang berkaitan, yakni mundurnya suatu negara adalah akibat mundurnya negara lain, sehingga menimbulkan ketergantungan.

Kedua, developmentalisme sendiri merupakan dominasi kultural dan ideologi terhadap Dunia Ketiga. Melalui proyek bantuan, pertukaran ahli, transfer teknologi, beasiswa dan sebagainya, ia menggusur budaya dan politik masyarakat bawah dan lokal. Ajaran agama, pendidikan, media massa, dan lembaga lain dipakai untuk menjinakkan rakyat. Akhirnya ia mampu menciptakan konsep realitas baru dengan mempengaruhi selera, moralitas, kebiasaan, prinsip keberagaman, politik serta pola hubungan sosial.

Ketiga, developmentalisme juga menjadi pengetahuan yang sarat ideologi dan kontrol. Mekanisme kontrol terjadi setelah Dunia Ketiga dilabeli underdevelopment, sehingga mereka merasa berhak untuk menganiaya. Karena pengetahuan itu mengandung kekuasaan, maka dengan  developmentalime Dunia Ketiga menjadi didominasi.[9] 

Setelah era developmentalisme yang dianggap gagal telah berakhir, maka masyarakat dunia kini memasuki era baru yang disebut globalisasi. Di antara ciri khas yang paling mencolok dari globalisasi adalah “pasar bebas” (liberalisasi perekonomian). Ini bisa dilihat dari munculnya, AFTA, NAFTA, APEC, WTO dan lembaga-lembaga sejenenisnya.  Inti dari pasar bebas adalah setiap individu diberi hak untuk mengejar kepentingannya. Namun demikian tetap ada aturan main, yaitu bahwa setiap individu tidak boleh melanggar hak dan kepentingan individu lain. Makanya harus ada fair play termasuk juga kepatuhan terhadap aturan perdagangan. 

Dalam rangka mengejar kepentingan individu tersebut, maka tidak ada lagi batasan wilayah; dan dalam waktu bersamaan juga tidak dikehendaki campur tangan lebih besar dari pemerintah. Individu memiliki keleluasaan untuk menentukan corak perekonomiannya. Menurut paham pasar bebas ini, keberadaan negara tidak boleh memperkecil, apalagi merampas, hak-hak individu dalam praktik perdagangan, sebaliknya eksistensi negara justru untuk menjaga dan melindungi hak-hak individu tersebut. Individu-individu dalam hal ini berwujud TNCs-TNCs yang semakin memperlemah negara-negara dunia ketiga.

Ini bisa dilihat dari melemahnya industri nasional, apalagi home industry. Salah satu contoh yang amat sederhana adalah harga beras atau gula. Kualitas beras atau gula impor ternyata jauh lebih bagus dan beras atau gula dalam negeri, harganya pun lebih murah dibanding dengan harga nasional. Dengan kenyataan semacam ini, masyarakat jelas memilih beras atau gula impor. Konsekuensinya, perusahaan dalam negeri tidak mampu berbuat apa-apa. Yang dapat mereka lakukan adalah secepatnya menutup usahanya agar tidak rugi semakin banyak.

Kompetisi dalam pasar bebas adalah ibarat seorang petinju “kerempeng” kekurangan gizi melawan petinju tinggi-besar dengan gizi terpenuhi. Dalam pertarungan semacam ini, penonton sudah bisa memastikan siapa pemenangnya, sekalipun pertandingan belum dimulai. Petinju berbadan kerempeng dan kekurangan gizi itu adalah negara-negara miskin di Dunia Ketiga, sementara petinju dengan tubuh tinggi-besar adalah negara-negara gaya yang dengan kualitas SDM yang luar biasa dan berikut TNCs-nya yang mengakui berbagai kegiatan perekonomian internasional.

Dengan demikian, globalisasi pada dasarnya lebih merupakan agenda TNCs—melalui mekanisme yang diciptakan oleh WTO—untuk memaksakan kepentingannya melalui kebijakan reformasi atau aturan suatu negara dalam berbagai bidang seperti perpajakan, tenaga kerja, perdagangan, investasi dan segala aturan yang memudahkan pencapaian tujuan perdagangan mereka. Melalui cara semacam ini, maka akan memberi kemudahan kepada TNCs untuk dalam mengeksploitasi sumberdaya manusia atau alam melalui berbagai kesepakatan perdagangan bebas itu.[10]

   

D.    Konfigurasi Globalisasi

Bahruddin Darus mengajukan lima konfigurasi globalisasi, antara lain: (1) globalisasi informasi dan komunikasi, (2) globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas, (3) globalisasi gaya hidup, pola konsumsi, budaya, dan kesadaran, (4) globalisasi media massa, (5) globalisasi politik dan wawasan.[11] Sementara itu, Muhtarom melengkapinya dengan tiga konfigurasi yang lain, yaitu: globalisasi hukum, globalisasi ilmu pengetahuan, dan globalisasi agama.[12]
Delapan konfigurasi yang ditawarkan oleh Darus dan Muhtarom di atas bisa disederhanakan menjadi lima konfigurasi globalisasi, yaitu:
            1.      Globalisasi Informasi
Informasi dan komunikasi yang didukung dengan menggunakan teknologi dapat dilakukan dengan mudah dan efektif. Teknologi informasi dan komunikasi memberikan efektivitas dan efisiensi yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Proses komunikasi melalui media massa, seperti radio, televisi, internet, surat kabar, film dan semacamnya, dapat mengatasi perbedaan ruang dan waktu antara penyampai pesan dan penerima pesan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa teknologi komunikasi melalui media massa di era seperti sekarang ini sudah barang tentu dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat. Akselerasi informasi tidak hanya disebabkan oleh penemuan-penemuan teknologi-teknologi baru, akan tetapi juga disebabkan oleh kepentingan individu dan masyarakat untuk semakin memahami dan bekerjasama dengan berbagai lapisan masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri.[13]     
Sayangnya, dinamika informasi yang mengagumkan tersebut cenderung lepas kontrol, di mana semua orang, baik anak-anak ataupun orang dewasa, sama-sama bisa menikmati informasi yang disediakan oleh media massa, tidak peduli apakah informasi itu positif atau tidak. Padahal, anak-anak (dan orang dewasa sekalipun) mudah terbius dan sekaligus menirukan sesuatu yang dia peroleh dari media massa.
            2.      Globalisasi Ekonomi
Globalisasi ekonomi merupakan pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam sebuah sistem ekonomi global. Segenap aspek perekonomian; pasokan dan permintaan, bahan mentah. informasi dan transportasi, tenaga kerja, keuangan, distribusi, serta kegiatan-kegiatan pemasaran menyatu dan terjalin dalam hubungan interdependensi yang berskala global.[14]
Perjanjian internasional di Marakesh, Maroko, pada bulan April 1994 yang menghasilkan kesepakatan internasional yang disebut General Agreement on Tarif and Trade (GATT) menjadi tonggak awal dimulainya era globalisasi di bidang ekonomi. Substansi kesepakatan GATT menyebutkan bahwa setiap negara yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut harus patuh pada aturan internasional yang mengatur perilaku perdagangan antar pemerintah dalam era perdagangan bebas.[15]
Sebagai tindak lanjut dari, pada tahun 1995 dibentuk sebuah organisasi pengawasan dan kontrol yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO). Kemudian disusul dengan pembentukan blok-blok ekonomi; di Asia dibentuk Asean Free Trade Are (AFTA) yang dimulai tahun 2003, di negara-negara Asia Pasifik dibentuk Asia Pasific Economic Corporation (APEC) yang akan dilakukan mulai tahun 2020, lalu di Eropa didirikan Single European Market (SEM), dan di negara-negara Atlantik Utara juga didirikan sebuah organisasi yang bernama North Amerika Free Trade Area (NAFTA).

            3.      Globalisasi Budaya
Di era globalisasi seakan-akan tidak ada pembatas antara dunia yang satu dengan dunia lainnya. Apa saja yang terjadi di negara tertentu bisa dengan mudah dan cepat diakses oleh negara-negara yang lain. Kondisi semacam ini tentu akan mempercepat transplantasi atau akulturasi budaya antara bangsa yang satu dengan bangsa-bangsa lainnya. Bahkan pada titik klimaks, barangkali tidak ada lagi kekhasan budaya sebuah bangsa tertentu di planet ini, sebab semua budaya sudah lebur menjadi satu dalam sebuah komunitas global. Atau malah sebaliknya, globalisasi dapat merajut kembali dan memperkokoh budaya lokal dan nasional untuk dipopulerkan kepada masyarakat global sebagai sebuah ciri khas dan keunikan suatu bangsa, apalagi bangsa yang multietnik, multikultur, dan multireligius seperti Indonesia. 
Menurut Anthony Giddens, globalisasi dan pencerahan yang berkeinginan untuk menghancurkan mitos tradisi, hanya sebagian (kecil saja) yang berhasil. Tradisi masih tetap, hampir seluruh Eropa dan bahkan jauh lebih berurat akar dihampir seluruh bagian di dunia lain. Masih tetap bertahannnya tradisi, terutama di negeri industri, menunjukkan bahwa perubahan institusional yang ditandai oleh modernitas sangat terbatas pada lembaga publik, terutama pemerintahan dan ekonomi.[16]
Terbukti, banyak tradisi lokal atau nasional suatu negara yang tergerus oleh budaya global yang tidak jelas asal-usulnya. Masyarakat hanya mengkonsumsi dan meniru suatu budaya tanpa berpikir dari mana dan milik siapa budaya itu. Contoh yang paling sederhana adalah soal pakaian. Pakaian lokal atau nasional masyarakat Indonesia, misalnya, hanya dipakai pada hari-hari tertentu saja, seperti pada saat upacara pernikahan, kegiatan keagamaan, atau hanya dipakai oleh pejabat pemerintah di hari-hari tertentu saja. Selain hari-hari tersebut, praktis masyarakat memakai pakaian Barat sesuai dengan seleranya masing-masing. 
            4.      Globalisasi Hukum
Kehidupan ekonomi global dengan aktivitas perusahaan transnasional sangat berpengaruh terhadap hukum, dan sekaligus memberi peluang untuk mengubah logika dan praktik hukum. Globalisasi telah menghilangkan batas-batas kenegaraan, sehingga tidak ada lagi negara yang dapat mengklaim bahwa ia menganut sistem hukum secara absolut. Telah terjadi proses saling mempengaruhi antar sistem hukum. Sistem hukum Timur Tengah, misalnya, mengalami proses yang saling mempengaruhi dengan sistem hukum Timur Jauh.[17]    
Tegaknya hukum yang beradab dan berkeadilan harus berdiri di tas hubungan moral antara warga negara dan hukum, dan kemampuan sistem hukum dan politik untuk memenuhi tuntutan keadilan warga negara. Nasikun[18] menulis bahwa antara keadilan dan hukum terkait erat. Hal ini sejalan dengan dua premis klasik. Pertama, perlu terjadinya korenspondensi resiprokal antara hukum dan keadilan. Hukum menuntut  kewajiban-kewajiban timbal balik dari kedua belah pihak. Kewajiban setiap warga negara untuk tunduk terhadap otoritas-otoritas hukum haruslah berkorenspondensi dengan kewajiban hukum untuk mewujudkan keadilan. Kedua, hubungan timbal bak antara tertib hukum dan keadilan sosial harus dipandang suatu proses yang bersifat dinamis.
 Premis-premis tersebut menunjukkan bahwa konsep penegakan hukum tidaklah semata-mata hanya mewajibkan setiap warga negara untuk mematuhi dan tunduk kepada hukum, melainkan juga melihat sejauh mana hukum telah melaksanakan fungsinya sebagai sarana terwujudnya keadilan. Untuk mendapatkan keadilan harus melalui proses pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dengan mengacu pada hukum acara yang menjamin pemeriksaan obyektif oleh hakim yang jujur dan adil. Tujuannya adalah untuk memperoleh keputusan yang adil dan benar.[19]
            5.      Globalisasi Politik
Kehidupan politik yang mencakup bermacam-macam kegiatan berkaitan dengan perilaku politik individu maupun kelompok kepentingan. Seorang individu atau kelompok dapat disebut berpolitik manakala mereka berpartisipasi dalam kehidupan politik dan aktivitas mereka berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan-kebijakan untuk suatu masyarakat.[20] 
Contoh yang paling mutakhir dalam hal ini adalah kasus invasi Israel ke Lebanon (baca: Hisbollah) yang telah menewaskan lebih dari seribu orang. Dalam masalah ini, berbagai negara dunia berpartisipasi untuk menghentikan pertikaian antara kedua belah pihak, termasuk Indonesia.
Globalisasi politik juga masuk ke wilayah perekonomian. Kelompok-kelompok negara yang bekerjasama dalam bidang ekonomi seperti AFTA, APEC, SEM maupun NAFTA, pada hakikatnya tidak lepas dari kebijakan politik. Dunia barat yang memegang kebijakan ekonomi global itulah yang melontarkan isu demokratisasi. Demokrasi tidak sekedar menjamin hak politik dan tegaknya rule of law. Demokrasi juga mencakup bidang ekonomi dengan penguasaan kekuatan-kekuatan ekonomi dan upaya memperkecil perbedaan sosial dalam ekonomi terutama perbedaan-perbedaan yang timbul dari distribusi kekayaan yang tidak merata.[21]  

 

E.     Gerakan “Globalisasi”

Istilah perang peradaban kini menjadi istilah yang sangat populer, khususnya di kalangan akademisi dan pengamat politik global. Istilah tersebut diciptakan oleh Samuel P. Huntington melalui bukunya, The Class of Civilizations and The Remaking of World Order, yang diindonesiakan menjadi Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia.
Perbincangan mengenai globalisasi dan hubungannya dengan perang peradaban atau perdamaian dunia tampaknya cukup menarik apabila dikaitkan dengan suhu politik mutakhir yang berkembang belakangan ini, khususnya setelah Korea Utara mengumumkan bahwa dirinya sukses melakukan uji coba nuklir di bawah tanah pada tanggal 9 Oktober lalu. Kontan saja, perbuatan tersebut memicu respon dan komentar beragam dari publik internasional. Ada yang mengecam, ada yang mendukung dan ada pula yang diam. Indonesia tampaknya termasuk dalam kelompok yang diam, tidak pro dan tidak kontra.
Apa yang dilakukan oleh Korut itu merupakan sebuah keberanian tersendiri setelah sekian lama mendapat tekanan dan kecaman dari sejumlah negara internasional. Bagi sebagian pengamat masalah Asia Timur, langkah Korut itu adalah sesuatu yang telah lama diperkirakan. Korut telah lama mengembangkan teknologi nuklirnya. Banyak ahli meyakini negara ini memiliki cadangan material yang mampu memproduksi hingga 10 bom nuklir sekelas bom yang dijatuhkan AS di Nagasaki dan Hiroshima.
Menurut Prof Shen Dingli, Dekan Jurusan Kajian AS di Universitas Fudan, China, Korut ada dalam titik kepercayaan tinggi dalam menghadapi tekanan dan ancaman internasional, khususnya AS dan sekutunya di Asia Timur. Menurut Dingli, Korut begitu yakin bahwa ia tidak akan begitu saja diserang oleh AS. Kim Jong Il juga yakin bahwa kemarahan Gedung Putih terhadap tindakan Korut itu tidak akan sampai pada hal terburuk, yakni AS menyerang Korut.[22]
Bagi korut, uji coba itu adalah pembuktian falsafah “pertahanan diri” yang ingin ditunjukkan kepada dunia. Falsafah ini menjadi pedoman yang menganjurkan Korut mengontrol sendiri keamanan negaranya, bukan menggantungkan diri pada perbaikan hubungan dengan AS yang berlagak menjadi polisi dunia. Lebih dari itu, Korut kini malah mengancam akan melakukan uji coba nuklir yang kedua. Sikap Korut ini menjadikan kondisi keamanan Asia Timur yang amat bergantung kepada AS kini menghadapi tantangan yang lebih besar.
Pemandangan ini merupakan cermin dari eskalasi politik global saat ini. Politik global menurut Huntington berbeda dengan politik lokal. “Politik global adalah peradaban; politik lokal adalah etnisitas. Persaingan antara negara adidaya digantikan oleh benturan antara peradaban”.[23]
Lebih lanjut Huntington menulis, “konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial, antara golongan kaya dan golongan miskin, atau antara kelompok-kelompok ekonomi lainnya, tetapi konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda. Pertikaian antarsuku dan konflik antaretnis—dalam konteks peradaban—akan sangat sering terjadi.”[24] 
Pertanyaannya, bisakah tindakan Korut melawan AS dan kawan-kawan disebut “perang” antarsuku atau antarkonflik? Dalam hemat penulis, sikap Korut itu bukan ketegangan antarsuku atau perang antaretnis, tetapi ketegangan antara penindas dan tertindas, antara penguasa dunia dan negara terisolir. Barangkali kita akan mengatakan bahwa ketegangan antara Korut dan AS cs merupakan konflik ideologi. Ini barangkali benar kalau melihat siapa saja yang menjadi sekutu Korut, yaitu Rusia dan Cina yang sama-sama berhaluan komunis. Sementara itu AS dan sejumlah negara Eropa bermadzhab kapitalis.
Akan tetapi kita jangan lupa bahwa Korut juga didukung oleh Pakistan dan Iran. Keduanya adalah tidak berdiri di atas ideologi komunis-sosialis, melainkan agama yang nota bene Islam. Kita tahu bahwa beberapa tahun terakhir ini juga muncul ketegangan antara Iran dan AS cs. Masalahnya juga sama dengan Korut, yaitu soal nuklir. Karena itu, penulis menganggap bahwa ketegangan antar negara-negara tersebut adalah bukan masalah etnis, suku ideologi, atau agama, melainkan soal persaingan menjadi negara terkuat dalam konteks militer. Berbicara soal kekuatan militer, yang menjadi indikator utamanya adalah nuklir. Jika suatu negara mampu mempersenjatai militernya dengan nuklir yang canggih, maka kekuatan militer negara tersebut pasti diperhitungkan. 
Negara seperti Korut, Iran dan Pakistan tidak akan mampu mengembangkan nuklir tanpa adanya intensitas dan sirkulasi informasi di bidang Iptek yang mengalir begitu cepat dari negara satu ke negara-negara lainnya. Dan Iptek inilah yang menjadi ikon globalisasi. Tanpa adanya kemajuan Iptek, maka tidak akan pernah ada yang namanya globalisasi.
Melihat fenomena di atas, globalisasi tampaknya tidak akan menjadi pendorong terciptanya perdamaian dunia, sekalipun usaha-usaha ke arah sana selalu di usahakan, akan tetapi malah menjadi pemicu meletusnya perang peradaban, khususnya dalam konteks nuklir (dalam konteks militer). Bukan mustahil, beberapa waktu mendatang muncul negara-negara lain yang meniru Iran atau Korut dengan mengembangkan nuklir sebagai alat resistensi terhadap AS dan kawan-kawan yang berlagak menjadi raja diraja di dunia ini. Kita bisa membayangkan apa jadinya dunia ini jika musuh-musuh AS sama-sama mempersenjatai militernya dengan kekuatan nuklir. Maka yang akan terjadi bukan saja benturan peradaban dalam konteks pemikiran Huntington, lebih dari itu yang terjadi justru Perang Dunia Jilid III. Perang Jilid III ini kemungkinan besar akan lebih dahsyat, sebab perang yang muncul adalah perang nuklir yang sekali luncur sanggup merenggut jutaan nyawa anak manusia. Akhirnya, kita akan bergumam, “Inikah tanda kiamat sudah dekat?”
Akan kontras dengan fenomena di atas apabila kita mengamati serangkaian pertemuan-pertemuan bilateral atau multilateral antara beberapa petinggi negara, baik dari dunia pertama maupun dunia ketiga. Terlepas dari kepentingan pada masing-masing pihak, hal itu mengindikasikan bahwa arus globalisasi dapat mempererat perdamaian dunia.
Ambil contoh, belakangan ini seantero jagat dihebohkan dengan masalah terorisme, khususnya pasca tragedi 11/9—yang anehnya dikaitkan dengan jaringan “Islam garis keras. Masyarakat dunia tampaknya memiliki satu persepsi bahwa terorisme sangat mengancam perdamaian dunia yang telah mereka semai sejak pasca meletusnya Perang Dunia II. Warga dunia kemudian ramai-ramai memperbincangkan terorisme dan tentu saja bagaimana mengatasinya.
Contoh lain adalah tragedi kemanusiaan yang menimba bangsa Indonesia dan sebagian negara-negara tetangga, yaitu tsunami dan gempa susulan, mulai dari Aceh hingga Yogyakarta. Dalam waktu yang sangat sebentar, bantuan datang dari banyak negara, baik berupa makanan, obat-obatan, pakaian, pembangunan infrastruktur, dan semacamnya. Ini bukti bahwa globalisasi yang ditandai dengan cepatnya arus informasi, selain berdampak pada ketegangan-ketegangan antara negara, juga menjadi jarum emas untuk merajut kedamaian hakiki. 
 

F.     Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Globalisasi adalah sebuah kondisi di mana hampir tidak ada pembatas ruang dan waktu antara dunia yang satu dengan dunia lainnya, baik dalam konteks sosial, politik, ekonomi maupun budaya.
2.      Secara historis, globalisasi merupakan perkembangan lebih lanjut dari ideologi kapitalisme yang mengangung-angungkan liberalisasi ekonomi (pasar bebas). Menurut ideologi ini, negara tidak boleh ikut campur dalam kegiatan perekonomian. Biarkanlah masalah tersebut ditangani oleh pihak swasta, sebab campur tangan pemerintah dinilai akan menghambat dinamika perekonomian. Untuk itulah saat ini bermunculan organisasi-organisasi internasional seperti AFTA, NAFTA, APEC, WTO dan lembaga-lembaga sejenenisnya yang menjadi induk dari pasar bebas tersebut.
3.      Ada lima konfigurasi globalisasi, yaitu: (1) globalisasi informasi, (2) globalisasi ekonomi, (3) globalisasi budaya, (4) globalisasi politik, dan (5) globalisasi hukum.
4.      Globalisasi tampaknya tidak akan melahirkan perdamaian dunia akan tetapi malah memicu perang peradaban. Perang peradaban ini ditandai dengan perang peradaban nuklir yang belakangan ini semakin gencar diperbincangkan.  



DAFTAR PUSTAKA



Ahmed, Akbar S., dan Donnan, Hanstings, Islam, Globalization and Postmodernity, London, Routledge, 1994
Ali, Mukti, Agama, Globalisasi dan Pembangunan, dalam Menanggapi Tantangan Masa Depan (Kumpulan Pemikiran Para Pakar Menyambut Tiga Puluh Tahun Lemhannas, Jakarta, Sinar Harapan, 1995
Azizi, A. Qordi, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Budiaharjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu-ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 1977
Dahlan, Muhidin M., “Sosialisme Religius”: Mendayung di antara Sosialisme dan Kapitalisme, dalam Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat?, Yogyakarta, Kreasi Wacana, Cet. Ke-3, 2001
Darus, Baharuddin, “Pengembangan Kajian Ekonomi Islami pada IAIN di Abad ke-21” dalam Syahrin Harahap (ed), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, Yogyakarta, Tiara Wacana 1998
Fakih, Mansour, Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta, Insist Press dan Pustaka Pelajara, 2002
Fakrullah, Hudan Arif, “Membangun Hukum yang Berstruktur Sosial di Indonesia dalam Kancah Trend Globalisasi” dalam Satjipto Rahardjo, Wajah Hukum di Era Globalisasi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000
Farid, Lily Yulianti, Mengapa Korea Utara Tak Gentar?, KOMPAS, 12 Oktober 2006
Giddens, Anthony, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Terj. Andry Kristiawan. dan Yustina Koen S., Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001
Hornby, AS., Oxford English Advanced Learner’s Dictionary, fifth edition, Oxford University Press, 1995
Huntington, Samuel P., Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. Sadat Ismail, 2004
Mahmutarom, Pembangunan Hukum dalam Konteks Global, dalam Muammar Ramadhan dan Ahmad Gunawan BS, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta, Kerjasama Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo, dan Program Doktor Undip Semarang, 2006
Muhtarorm H.M., Reproduksi Ulama di Era Globalisasi (Resistensi Tradisional Islam), Yogyakarta, 2005
Nasikun, “Globalisasi dan Problematika Pembangunan Hukum, dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Problem Globalisasi, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2000
Prinst, Darwan, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak asasi Manusia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001
Wahono, Francis, Teologi Pembebesan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, Yogyakarta, LKiS, 2000





[1] Francis Wahono, Teologi Pembebesan, Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya, Yogyakarta, LKiS, 2000, hlm. xiv-xv
[2] Muhidin M. Dahlan, “Sosialisme Religius”: Mendayung di antara Sosialisme dan Kapitalisme, dalam Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat?, Yogyakarta, Kreasi Wacana, Cet. Ke-3, 2001, hlm. viii
[3] AS. Hornby, Oxford English Advanced Learner’s Dictionary, fifth edition, Oxford University Press, 1995, hlm. 503
[4] Mukti Ali, Agama, Globalisasi dan Pembangunan, dalam Menanggapi Tantangan Masa Depan (Kumpulan Pemikiran Para Pakar Menyambut Tiga Puluh Tahun Lemhannas, Jakarta, Sinar Harapan, 1995, hlm. 314
[5] Akbar S. Ahmed dan Hanstings Donnan, Islam, Globalization and Postmodernity, London, Routledge, 1994, hlm. 1 
[6] A. Qordi Azizi, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 20
[7] Mansor Fakih, Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta, Insist Press dan Pustaka Pelajara, 2002, hlm. 194
[8] Ibid., hlm. 8-9
[9] Ibid., hlm. 320-21
[10] Mahmutarom, Pembangunan Hukum dalam Konteks Global, dalam Muammar Ramadhan dan Ahmad Gunawan BS, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Yogyakarta, Kerjasama Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo, dan Program Doktor Undip Semarang, 2006, hlm. 182  
[11] Baharuddin Darus, “Pengembangan Kajian Ekonomi Islami pada IAIN di Abad ke-21” dalam Syahrin Harahap (ed), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, Yogyakarta, Tiara Wacana 1998, hlm. 165-6 
[12] Muhtarorm H.M., Reproduksi Ulama di Era Globalisasi (Resistensi Tradisional Islam), Yogyakarta, 2005, hlm. 54-67    
[13] Muhtarom, Op.Cit., hlm. 51
[14] Muhtarorm, hlm. 52
[15] Ibid, hlm. 52-53
[16] Anthony Giddens, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Terj. Andry Kristiawan. dan Yustina Koen S., Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001: 39
[17] Hudan Arif Fakrullah, “Membangun Hukum yang Berstruktur Sosial di Indonesia dalam Kancah Trend Globalisasi” dalam Satjipto Rahardjo, Wajah Hukum di Era Globalisasi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 52 
[18] Nasikun, “Globalisasi dan Problematika Pembangunan Hukum, dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Problem Globalisasi, Surakarta, Muhammadiyah University Press, 2000, hlm. 37
[19] Darwan Prinst, Sosialisasi dan Diseminasi Penegakan Hak asasi Manusia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 21
[20] Miriam Budiaharjo, Dasar-dasar Ilmu-ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 1977, hlm. 32
[21] Ibid, hlm. 34
[22] Lily Yulianti Farid, Mengapa Korea Utara Tak Gentar?, KOMPAS, 12 Oktober 2006, hlm. 6
[23] Samuel P. Huntington, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, terj. M. Sadat Ismail, 2004, hlm. 9
[24] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar