Kemunculan Interaksionisme
(The Structure of
Sociological Theory
karya Jonathan H. Turner Pada
Bab III Interaction Theory)
A. Pendahuluan
Umumnya kelahiran
manusia pada awal keberadaannya adalah seorang diri, namun demikian mengapa dalam
perkembangan selanjutnya manusia harus hidup bermasyarakat? Berangkat dari
pertanyaan sederhana itu --tentu-- mengundang sejumlah analisis-analisis untuk
dipecahkan dikalangan akademisi secara ilmiah. Seperti diketahui
--berdasarkan pandangan kaum
agamawan, khususnya Islam-- manusia pertama adalah Adam telah ditakdirkan untuk
hidup bersama dengan manusia lain. Manusia lain itu adalah istrinya bernama
Hawa.
Dalam
analisis sosial, apabila kehidupan manusia dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya
seperti hewan, jelas manusia tidak dapat hidup seorang sendiri. Seekor anak
ayam walaupun tanpa induknya mampu mencari makan dan memenuhi hidupnya sendiri.
Demikian pula hewan-hewan lain seperti ikan, katak, kucing, anjing, harimau,
singa dan sebagainya. Hidup anak hewan itu ketika baru dilahirkan oleh induknya,
mereka memiliki insting tentang kemampuannya bertahan hidup.
Kenyaataan
tersebut berbeda dengan manusia. Seorang anak manusia yang baru dilahirkan oleh
ibunya, apabila tidak mendapat perhatian khusus akan berakibat fatal. Kefatan
itu bisa pada tingkat kematian, apabila si bayi (baca: anak manusia) tidak
mendapat perhatian khusus.
Kenyataan
tersebut menunjukkan bahwa manusia tanpa manusia lain bisa dipastikan akan
mati. Keberadaan Bayi misalnya, harus diajar makan, berjalan, makan, bermain
dan lain sebagainya. Sejak lahir manusia berhubungan dengan manusia lainnya.
Lagi pula manusia tidak dikarunia Tuhan dengan alat-alat fisik yang cukup untuk
hidup mandiri. Singa misalnya, karena diberi kuku dan gigi yang kuat dengan
waktu yang tidak lama mampu untuk mencari makan sendiri. Fisik katak pun diberi
alat-alat khusus untuk dapat hidup di darat mamupun di tempat-tempat berair. Akan
tetapi manusia tidak demikian. Alat-alat fisiknya tidak sekuat hewan. Manusia
hanya diberi alat-alat untuk bertahan hidup. Alat-alat itu seperti sebut saja
fikiran. Lebih jauh, fikiran manusia merupakan alat yang jauh lebih sempurna
dari alat-alat fisik hewan. Namun demikian, fikiran itu tak dapat secara
langsung digunakan sebagai alat hidup. Fikiran manusia hanya bisa dimanfaatkan
untuk mencari alat-alat materiil yang diperlukan untuk bertahan hidup baginya.
Hewan-hewan
seperti sapi, kuda, jerapah, gajah sanggup hidup tanpa pakaian. Sementara manusia
tidak mungkin, tapi dengan menggunakan kemampuan daya fikirnya dia menciptakan
pakaian untuk melindungi diri terhadap berbagai macam kondisi cuaca. Oleh
karena itu dalam menghadapi alam sekeliling, setiap manusia harus hidup
berkawan dengan manusia-manusia lain.
Dalam proses
tersebut, terjadi yang dinamakan pergaulan. Pergaulan terjadi karena adanya
hubungan antar manusia dengan manusia lain. Dari hubungan itu, masing-masing
manusia perlu adanya penyesuaian diri. Penyesuaian diri diperlukan untuk mempertahankan
keharmonisan dalam bergaul. Sebab masing-masing manusia memiliki latar belakang
pemikiran, kebiasaan, ego, karakter yang berbeda-beda. Untuk itu penyesuaian
diri manusia memerlukan fikiran, perasaan dan kehendak.
Realitas
tersebut dalam konteks sosial ditentukan oleh sebuah sosialisasi. Dan
sosialisasi itu menggunakan alat yang salah satu instrumennya adalah interaksi
(Hoogvelt, 1976: 97). Proses interaksi ini juga yang mendasari terjadinya
dinamika masyarakat untuk kehidupan manusia itu sendiri (Young and Raymod,
1977: 36). Dengan interaksi akan terjadi berbagai macam kegiatan sosial.
Kegiatan
sosial tersebut yang menunjukkan adanya sebuah realasi antara manusia dengan
sebuah masyarakat. Untuk itu relasi masyarakat dan individu (manusia) memiliki keterkaitan. Keterkaitan itu
berangkat atas asumsi bahwa terbentuknya masyarakat terbangun atas
individu-individu itu sendiri. Berangkat dari berbagai fenomena tersebut, tulisan
ini akan mereview tentang masalah kemunculan
interaksionisme.
B. Point Penting Dalam Buku
Dalam Buku The
Structure of Sociological Theory karya
Jonathan H. Turner pada Bab III Interaction Theory di bagian The Emergence of
Interactionisme secara mendasar menjelaskan beberapa pandangan tentang interaksi.
Interaksi ini bukan sekedar sebagai ciri khas manusia dengan mahluk lain,
tetapi lebih jauh menelaahnya dalam perspektif sosiologis. Telaah ini adalah
sebagai berikut:
Hubungan
manusia dengan lingkungannya bercirikan keterbukaan. Oleh karenanya boleh jadi
keterbukaannya, manusia telah mencapai prestasi yang luar biasa dalam
menaklukkan alam. Manusia telah berhasil untuk menghuni bagian terbesar dari
muka bumi ini. Memang benar bahwa hal itu memungkinkan manusia untuk melakukan
berbagai jenis kegiatan. Tetapi fakta bahwa di satu tempat ia terus hidup mengembara
dan di tempat lainnya manusia dapat beralih ke satu jenis garapan tertentu yang
mampu menjadikan dirinya untuk tetap bereksistensi. Secara biologis dalam hal
hubungan manusia dengan lingkungannya; perlengkapan indrawi dan pendorongnya
yang spesifik menurut jenisnya jelas membatasi lingkup
kemungkinan-kemungkinannya. Keistimewaan perkembangan eksistensinya didukung
dengan kemampuan biologis manusia terletak dalam komponen nalurinya. Sementara
naluri binatang tidak demikian. Dengan dorongan naluriahnya manusia bisa
bereksistensi dengan lingkungannya secara enjoi.
Keunggulan
manusia yang demikian mewujudkan suatu kegiatan sosial yang terangkum dalam
pola-pola kemasyarakatan. Kegiatan sosial ini yang menunjukkan adanya sebuah
realasi antara manusia dengan sebuah masyarakat. Untuk itu relasi masyarakat
dan individu (manusia) memiliki
keterkaitan. Keterkaitan itu berangkat atas asumsi bahwa terbentuknya
masyarakat terbangun atas individu-individu itu sendiri. Apabila demikia maka
secara realistik memunculkan pertanyaan mendasar bahwa dengan cara apa individu
mencerminkan masyarakat atau masyarakat mencerminkan individu dan bagaimana
masyarakat membentuk individu atau individu membentuk, menciptakan dan
mempertahankan serta merubah masyarakat. Demikian pula dengan cara apa
masyarakat dan individu dapat mempresentasikan interelasi dan perbedaannya.
Dalam
struktur masyarakat yang lebih makro, proses tersebut terkadang terjadi sebuah
dinamika yang mengarah kepada sebuah kekacauan, perubahan yang sangat cepat
(revolusi), terjadinya konflik antar kelompok dan lain sebagaimana yang mampu
menngeser nilai-nilai kemanusia, yang bisa saja mengarah tidak jauh berbeda
dengan binatang. Untuk itu perlu, bagaimana memahami proses interaksi yang
kemudian mampu mewujudkan eksistensi manusia secara lebih humanis serta
manusiawi.
Perwujudan
atas berbagai pertanyaan tersebut yang menjadi akar dari munculnya
interaksionisme. Dengan teori ini, diharapkan lahir sebuah pemahaman terhadap
keperbedaan masyarakat yang pasti adanya. Pemahaman terhadap keperbedaan yang
ada itu mendorong pada setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk
melakukan evaluasi diri. Hasil atas evaluasi diri itu diharapkan mampu
menciptakan keharmonisan sosial. Sehingga melahirkan suatu pola kehidupan
manusia yang survive terhadap keperbedaan yang memang secara alamiah
adalah sebuah kewajaran. Dalam bingkaian interaksionisme, keperbedaan
masyarakat tidak memicu suatu pertikaian ataupun perselisihan. Tetapi dengan
perbedaan itu mampu melahirkan sebuah kebersamaan yang saling melengkapi antara
satu dengan yang lain.
Hanya
sekedar untuk mengumpamakan antara manusia dengan binatang ---yang dipandang tidak
memiliki keperbedaan begitu mencolok. Bila dibanding dengan binatang secara
umumnya manusia menempati kedudukan yang khas dalam dunianya dari pada dunia
binatang. Berbeda dengan binatang menyusui ---atau yang setingkat lainnya---,
ia tidak mempunyai lingkungan yang dikembangkan secara dinamis dan juga, tidak punya
lingkungan yang dibangun secara kukuh oleh organisasi naluri-nalurinya sendiri.
Lebih jelasnya, Tidak ada dunia-manusia dalam pengertian sama terkait dengan
dunia-anjing, dunia-kuda, dunia-kucing, dunia-semut, ataupun dunia hewan
lainnya.
Meskipun
secara spesifik punya kemampuan untuk belajar dan boleh jadi mampu mengakumulasikan
hasilnya. Seekor anjing atau kuda secara individual mempunyai hubungan yang
pada umumnya sudah tetap dan tak berubah tingkah lakunya dengan perubahan lingkungannya,
serta juga merupakan lingkungan bagi semua anggota lainnya dari jenisnya
masing-masing.
Satu
implikasi yang jelas dari keadaan ini adalah bahwa anjing dan kuda tersebut beserta
binatang lainnya ---jika dibandingkan dengan manusia--- kemampuan untuk merubah
jauh lebih terbatas. Keterbatasan itu karena pada diri binatang tidak pada
suatu kemampuan yang khas dalam menciptakan atau mengelola lingkungannya secara
permanen. Tetapi kekhasan lingkungan binatang-binatang ini tidaklah sekedar
menyangkut keterbatasan kemampuan untuk mengelola saja. Ia mengacu kepada sifat
yang secara kebutuhan biologisnya tak berubah dalam hubungan untuk mengelola lingkungan seperti pada dunia-manusia.
C. Interaksi sebagai Faktor Utama Dalam
Kehidupan
Bentuk umum
dari proses sosial adalah interaksi. Oleh karena interaksi sosial merupakan
syarat dari terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan
hubungan-hubungan sosial yang dinamis sekaligus yang menyangkut hubungan antar
orang perorangan, antar kelompok-kelompok manusia maupun antar orang perorangan
dengan kelompok manusia[1].
Apabila terjadi pertemuan diantara dua orang atau lebih maka pada saat itu
terjadi interaksi sosial. Interaksi sosial yang dilakukan adalah bisa saja
saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan lebih dari itu
bisa juga berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bagian dari
bentuk-bentuk terjadinya interaksi sosial.
Interaksi
sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula dalam masyarakat.
Interaksi itu akan lebih mencolok manakala terjadi sebuah benturan antara
kepentingan perorangan dengan kepentingan kelompok. Misalnya, di kalangan
banyak suku di Indonesia, berlaku suatu tradisi yang telah melembaga dalam diri
masyarakat. Tradisi yang melembaga dalam diri masyarakat itu umpanya adalah
tradisi perkawinan. Dalam tradisi perkawinan itu fihak laki-laki diharuskan
memberikan mas kawin kepada fihak wanita. Mas kawin itu terkadang dalam jumlah
yang cukup besar sehingga memberatkan kepada fihak laki-laki. Secara mendasar,
tradisi perkawinan yang didalamnya fihak laki-laki harus memberikan mas kawin
kepada fihak perempuan adalah sebuah tradisi yang berada dalam alam fikiran
bahwa dengan dikawinnya si perempuan itu, maka ia akan berpisah dengan
keluarganya, maka timbul ketidak seimbangan dalam keluarga si perempuan.
Keseimbangan akan dicapai kembali apabila syarat-syarat mas kawin tadi di
penuhi. Karena beratnya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh fihak laki-laki
sering kali menyebabkan terjadinya kawin “lari”, yang dalam hal ini disetujui
oleh calon istri. Persoalan itu biasanya penyelesaiannya melibatkan masyarakat.
Hal itu karena menyangkut kepentingan umum dan juga menyangkut tata tertib
masyarakat.
Berlangsungnya
suatu proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor, antara lai; faktor
imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat
bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan bergabung[2].
Apabila masing-masing ditinjau secara lebih dalam, faktor imitasi misalnya,
memiliki peranan yang sangat penting dalam proses interaksi sosial. Misalnya
salah satu segi positifnya adalah imitasi dapat mendorong seseorang untuk
mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun tidak menutup
kemungkinan imitasi juga mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif.
Misalnya, yang ditiru adalah tindakan yang menyimpang dari aturan yang
ditetapkan oleh masyarakat untuk menjadi norma ataupun nilai.
Faktor
sugesti terjadi apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang
berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh fihak lain. Jadi proses ini
sebenarnya hampir sama dengan imitasi. Akan tetapi titik tolaknya berbeda.
Berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena fihak yang menerima dengan
dilandasi dengan emosi.
Mungkin bisa
jadi proses sugesti terjadi apabila orang yang memberikan pandangan adalah
orang yang berwibawa atau mungkin karena sifatnya yang otoriter. Kiranya bisa
jadi bahwa sugesti terjadi oleh sebab yang memberikan pandangan atau sikap yang
akan dilakukan merupakan bagian terbesar dari kelompok yang bersangkutan.
Identifikasi
sebenarnya merupakan kecenderungan-kecenderungan
atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan fihak
lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam dari pada imitasi, oleh karena
kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. Proses
identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya maupun dengan disengaja oleh
karena seringkali seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses
kehidupannya. Walaupun dapat berlangsung dengan sendirinya, proses identifikasi
berlangsung dalam suatu keadaan di mana seseorang yang beridentifikasi
benar-benar mengenal fihak lain ---yang menjadi idealnya--- sehingga pandangan,
sikap, kaidah yang berlaku pada fihak lain tadi dapat melembaga dan bahkan
menjiwainya. Nyatalah bahwa berlangsungnya identifikasi mengakibatkan
terjadinya pengaruh-pengaruh yang lebih mendalam ketimbang proses imitasi dan
sugesti walaupun ada kemungkinan bahwa pada mulanya proses identifikasi diawali
oleh imitasi dan atau sugesti.
Proses
simpati merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada fihak
lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting
walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami fihak lain
dan untuk bekerjasama dengannya. Ini merupakan perbedaan utama dengan identifikasi
yang didorong oleh keinginan untuk belajar dari fihak lain yang dianggap
kedudukannya lebih tinggi dan harus dihormati karena mempunyai
kelebihan-kelebihan atau kemampuan-kemampuan tertentu yang patut dijadikan
contoh. Proses simpati akan berkembang di dalam suatu keadaan dimana faktor
saling mengerti.
Hal-hal
tersebut merupakan fator yang menjadi dasar berlangsungnya proses interaksi
sosial, walaupun dalam kenyataannya proses tadi memang sangat kompleks,
sehingga kadang-kadang sulit mengadakan pembedaan tegas antara faktor-faktor
tersebut.
D. Relasi Sosial dengan Manusia
Apabila
dicermati dengan seksama, sebuah kelompok manusia mampu menghasilkan suatu
lingkungan yang manusiawi. Lingkungan yang manusiawi itu berangkat dari totalitas
bentukan-bentukan atas sosio-kultural dan psikologis yang melingkupinya. Tidak
satu pun dari bentukan-bentukan itu dapat dipahami sebagai hasil atas produk diri
manusia itu sendiri. Seperti halnya tidak mungkin bagi manusia untuk berkembang
sebagai manusia dalam keadaan terisolasi untuk menghasilkan suatu lingkungan
manusiawi. Sebagaimana dalam sebuah film legenda berjudul Tarzan. Secara
biologis Dia (baca: Tarzan) merupakan manusia
yang hidup terisolasi dengan lingkungan sesama manusianya. Maka ketika
kehidupan Tarzan menginjak dewasa yang pada umumnya memiliki kemampuan
sebagaimana manusia dewasa, ia justru bertingkahlaku seperti monyet. Contoh
pada kasus yang lain adalah tingkah laku kelompok manusia tinggal di daerah
pesisir pantai dengan kelompok manusia yang tinggal di daerah penggunungan.
Corak karakter maupun tingkah lakunya akan memiliki keperbedaan yang cukup
berbeda diantara keduanya.
Fenomena tersebut
yang menunjukkan adanya sebuah keterkaitan/ relasi masyarakat dengan dibangun
atas dasar individu yang ada. Lebih jauh relasi ini akan membentuk sebuah
pranata, norma sehingga menciptakan ketertiban-ketertiban dalam sebuah
masyarakat (Ihromi: 1981: 83). Secara empiris, eksistensi manusia belangsung
dalam suatu konteks ketertiban, keterarahan dan kestabilan. Darimana asalnya
kestabilan tatanan manusiawi yang ada secara empiris itu? dapat dinunjukkan oleh
adanya fakta bahwa suatu tatanan sosial yang sudah ada di dahului oleh setiap
perkembangan organismis individu. Namun demikian, ketertiban itu hanyalah
bercorak khusus/lokal. Kekhususan corak masyarakat yang bersifat lokal itu
disebabkan karena belum tentunya corak yang demikian sama dengan corak di suatu
masyarakat yang lain. Hal ini yang menimbulkan sebuah keperbedaan corak
masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.
Keperbedaan tersebut,
boleh jadi akan memicu sebuah konflik, perselisihan, pertengkaran, perkelahian atau
bahkan lebih jauh akan mendorong pada sebuah peperangan antar kelompok, suku, daerah,
bangsa. Konflik-konflik yang terjadi hanya dilatar belakangi oleh sebuah
kesalahfahaman, keperbedaan cara pandang, latar belakang dan lain-lain. Sehingga
disintegrasi sosial bisa meluas cakupannya. Taruhlah sebagai contoh timbulnya
Perang Dunia II. Dalam fenomena itu, keterlibatan hampir sebagian besar masyarakat
dari berbagai kelompok mulai dari negara, bangsa, suku bahkan agama ikut dalam
konflik ini. Padahal, apabila disimak antara yang menang ataupun yang kalah
sama-sama dirugikan. Akibat perang dunia II mampu menyebabkan kerusakan yang
luar biasa. Kerusakan itu, mulai dari kerusakan fisik maupun fisikis. Kerusakan
fisik di tunjukkan dengan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan diantara kedua
belah fihak, rusaknya ekosistem alam, hancurnya bangunan dan lain sebagainya.
Sementara itu kerusakan fisikis ditunjukkan dengan munculnya ketegangan sosial,
kesedihan manusia yang ditinggal mati keluarganya dalam medan peperangan,
rusaknya sistem sosial (penggabaian terhadap Hak Asasi Manusia) dan lain
sebagainya. Yang jelas, kerusakan kerusakan itu tidak saja di tanggung oleh
kelompok yang kalah, tetapi bagi kelompok yang menang pun mengalami kerusakan
yang tidak jauh beda dengan kelompok yang kalah. Selanjutnya siapa yang menang?
Untuk itu, apabila dipahami secara mendasar perselisihan tidak akan memecahkan
persoalan tetapi akan menimbulkan masalah baru diantara keduanya yang
berkonflik. Apabila perdamaian tidak segera diwujudkan boleh jadi akan memicu
persoalan kemanusian yang tidak akan pernah ada habisnya.
E. Jiwa Manusia
Dalam
pandangan Herbert Mead, diantara keunikan jiwa manusia adalah kapasitas jiwa
tersebut yang bisa digunakan pertama untuk menggunakan simbol-simbol tertentu untuk
menunjuk terhadap obyek di dalam lingkungannya, kedua untuk melatih
secara samar-samar serangkaian perbuatan alternatif terhadap obyek-obyek tersebut,
ketiga untuk menghindari dari perbuatan-perbuatan yang buruk dan
kemudian memilih sejumlah perbuatan yang baik. Mead mengistilahkan proses
penggunaan simbol tersebut dengan istilah pelatihan imajinatif. Sehingga hal itu
menjadikan konsepsi jiwa menurut Mead sebagai sebuah proses dari pada sebuah
struktur. Lebih jauh lagi eksistensi suatu masyarakat atau suatu kelompok
masyarakat yang terorganisir oleh Mead dilihat sebagai sebuah ketergantungan
kapasitas manusia dalam melakukan pelatihan imajinatif secara optimal.
Apabila
dikaji lebih mendalam analisis terhadap jiwa Herbert Mead kebanyakan tidak
fokus terhadap jiwa manusia dewasa. Tetapi terhadap bagaimana kapasitas jiwa itu
pertama kali muncul didalam diri manusia. Jika tidak seorang bayi akan
mengembangkan jiwanya baik atas masyarakat maupun pribadi jiwa manusia tidak
pernah ada. Sebab bagi Mead jiwa akan muncul dari proses selektif yang berangkat
dari sejumlah gerak tubuh manusia dari orang-orang yang ada dilingkungannya
atau yang mengasuhnya. Seleksi gerak tubuh tersebut yang kemudian muncul
menjadi sebuah kesepahaman terhadap suatu yang diinginkan. Sehingga gerak tubuh
itu memiliki makna umum baik terhadap bayi maupun dilingkungan orang-orang yang
ada disekitarnya. Dengan perkembangan semacam ini, gerak tubuhakan
menggambarkan obyek-obyek yang sama dan membawa disposisi-disposisi yang serupa
terhadap semua kegiatan pada sebuah interaksi. Karena gerak tubuh memiliki semacam
makna umum, maka Mead menggambarkan bahwa hal itu diistilahkan gerak tubuh
konfensional atau gerak tubuh yang lazim di sebuah masyarakat.
Kemampuan
untuk menggunakan atau menginterpretasikan gerak tubuh konfensional tersebut
dengan makna umum, hal itu berarti telah mempresentasikan sebuah tahapan signifikan
perkembangan jiwa atau pribadi yang ada di sebuah masyarakat. Dengan
menginterpretasikan gerak tubuh itu manusia melahirkan kapasitas untuk
memerankan peran orang lain. Pada realitas seperti itu menunjukkan sebuah
tahapan yang bisa merefleksikan dari orang lain yang dikumpulinya untuk survive.
Maka berangkat dari fenomena itu akan menunjukkan level baru yang efisien di
dalam lingkungan sosialnya.
Dengan
demikian ketika suatu organisme mampu mengembangkan kapasitasnya yang berati
telah menunjukkan pemahaman terhadap gerak tubuh konfensional dan sekaligus
menunjukkan gerak tubuh itu dalam memainkan peran orang lain serta kemampuan
dalam melatih secara imajinatif atas serangkaian perbuatan-perbuatan
alternativ. Oleh karenanya Mead menyakini bahwa perubahan atas serangkaian
gerak tubuh itu merupakan bagian dari kemampuan atas perkembangan jiwa
seseorang untuk mengekspresikan sesuatu yang dimengerti oleh orang lain dan hal
itu juga sudah menjadi sebuah kesepahaman yang sama antara satu dengan yang
lainnya.
Pandangan
semacam itu hanya bisa dilakukan oleh manusia yang memiliki kemampuan untuk
menunjukkan secara simbolik diri mereka sendiri sebagaimana obyek yang
diinginkannya. Interpretasi atas gerak tubuh kemudian juga untuk melanyani
sebagai dasar dari terjadinya evaluasi diri. Kapasitas ini untuk mengarahkan
atas kesan seseorang sebagai sebuah obyek evaluasi di dalam interaksinya yang
sangat tergantung terhadap proses perkembangan jiwa. Apa yang dipahami oleh
Mead sebagai sesuatu yang signifikan adalah bahwa pribadi yang fana berasal
dari kesan-kesan yang lain di dalam sistuasi interaktif masing-masing individu
yang biasanya mengkristal obesisi diri. Dengan
adanya obsesi diri ini, perbuatan-perbuatan individu oleh Mead dilihat untuk
diletakkan di atas disposisi yang konsisten atau dipandang sebagai sebuah tipe
tertentu.
Berdasar
atas pandangan itu Mead menggambarkan adanya tahapan perkembangan yang ada pada
diri seseorang. Masing-masing tahapan itu menggambarkan atas sebuah
kristalisasi dari sebuah konsepsi diri yang stabil. Tahapan yang ada pada diri
seseorang itu adalah; pertama memainkan/play. Didalam hal ini
seorang bayi hanya mampu untuk menirukan serangkaian gerak tubuh tertentu dari
tubuh orang lain, kedua tahapan game dimana seorang itu hanya
mampu untuk meniru atau memainkan peran dari sejumlah orang-orang yang ada
disekelilingnya, ketiga seorang mampu memainkan sikap-sikap orang lain
secara umum atau memainkan sikap-sikap dalam sebuah masyarakat. Pada tahapan
ini individu mampu memvisualisasikan sekian banyak perspektif komunitas, atau
memainkan norma ataupun nilai yang ada pada suatu masyarakat.
Atas dasar
hal tersebut maka menurut Mead bahwa masyarakat menggambarkan suatu interaksi
teroganisir diantara individu yang berbeda-beda. Sehingga, interaksi sangat
tergantung terhadap kapasitas jiwa dan pribadi seseorang. Oleh karenanya
evaluasi diri sangat perlu dihadirkan dalam membentuk sebuah keharmonisan yang
lebih baik. Untuk menciptakan koordinasi dari aktivitas-aktivitas yang
berbeda-beda dari komunitas sosial yang ada diperlukan sebuah kontrol sosial.
Koordinasi-koordinasi
yang diciptakan tersebut berguna dalam mengharmonisasikan sebuah kemapanan yang
lebih kondusif agar tidak terjadi ketegangan diantara masyarakat yang ada.
F. Kesimpulan
Berdasar pada uraian tersebut
secara garis besar penulis menyampaikan bahwa:
1. Tujuan munculnya interaksionisme dilatarbelakangi
untuk menciptakan keharmonisan sosial dengan memahami keperbedaan masyarakat. .
2.
Teori ini berangkat dari individu
dan masyarakat yang memiliki relasi dalam terciptanya dunia-manusia yang
manusiawi.
Harrah's Resort Atlantic City - Mapyro
BalasHapusLocated in Atlantic 공주 출장마사지 City, Harrah's Resort Atlantic 보령 출장안마 City is within a 울산광역 출장샵 15-minute walk of Hard Rock Hotel & 통영 출장안마 Casino and 6 minutes by 아산 출장안마 foot from Atlantic City Boardwalk.