Jumat, 20 Desember 2013

Teori Interaksionisme

"+"

Kemunculan Interaksionisme
(The Structure of Sociological Theory 
karya Jonathan H. Turner Pada Bab III Interaction Theory)



A.    Pendahuluan
Umumnya kelahiran manusia pada awal keberadaannya adalah seorang diri, namun demikian mengapa dalam perkembangan selanjutnya manusia harus hidup bermasyarakat? Berangkat dari pertanyaan sederhana itu --tentu-- mengundang sejumlah analisis-analisis untuk dipecahkan  dikalangan  akademisi  secara   ilmiah.   Seperti      diketahui
--berdasarkan pandangan kaum agamawan, khususnya Islam-- manusia pertama adalah Adam telah ditakdirkan untuk hidup bersama dengan manusia lain. Manusia lain itu adalah istrinya bernama Hawa.
Dalam analisis sosial, apabila kehidupan manusia dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya seperti hewan, jelas manusia tidak dapat hidup seorang sendiri. Seekor anak ayam walaupun tanpa induknya mampu mencari makan dan memenuhi hidupnya sendiri. Demikian pula hewan-hewan lain seperti ikan, katak, kucing, anjing, harimau, singa dan sebagainya. Hidup anak hewan itu ketika baru dilahirkan oleh induknya, mereka memiliki insting tentang kemampuannya bertahan hidup.
Kenyaataan tersebut berbeda dengan manusia. Seorang anak manusia yang baru dilahirkan oleh ibunya, apabila tidak mendapat perhatian khusus akan berakibat fatal. Kefatan itu bisa pada tingkat kematian, apabila si bayi (baca: anak manusia) tidak mendapat perhatian khusus.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa manusia tanpa manusia lain bisa dipastikan akan mati. Keberadaan Bayi misalnya, harus diajar makan, berjalan, makan, bermain dan lain sebagainya. Sejak lahir manusia berhubungan dengan manusia lainnya. Lagi pula manusia tidak dikarunia Tuhan dengan alat-alat fisik yang cukup untuk hidup mandiri. Singa misalnya, karena diberi kuku dan gigi yang kuat dengan waktu yang tidak lama mampu untuk mencari makan sendiri. Fisik katak pun diberi alat-alat khusus untuk dapat hidup di darat mamupun di tempat-tempat berair. Akan tetapi manusia tidak demikian. Alat-alat fisiknya tidak sekuat hewan. Manusia hanya diberi alat-alat untuk bertahan hidup. Alat-alat itu seperti sebut saja fikiran. Lebih jauh, fikiran manusia merupakan alat yang jauh lebih sempurna dari alat-alat fisik hewan. Namun demikian, fikiran itu tak dapat secara langsung digunakan sebagai alat hidup. Fikiran manusia hanya bisa dimanfaatkan untuk mencari alat-alat materiil yang diperlukan untuk bertahan hidup baginya.
Hewan-hewan seperti sapi, kuda, jerapah, gajah sanggup hidup tanpa pakaian. Sementara manusia tidak mungkin, tapi dengan menggunakan kemampuan daya fikirnya dia menciptakan pakaian untuk melindungi diri terhadap berbagai macam kondisi cuaca. Oleh karena itu dalam menghadapi alam sekeliling, setiap manusia harus hidup berkawan dengan manusia-manusia lain.
Dalam proses tersebut, terjadi yang dinamakan pergaulan. Pergaulan terjadi karena adanya hubungan antar manusia dengan manusia lain. Dari hubungan itu, masing-masing manusia perlu adanya penyesuaian diri. Penyesuaian diri diperlukan untuk mempertahankan keharmonisan dalam bergaul. Sebab masing-masing manusia memiliki latar belakang pemikiran, kebiasaan, ego, karakter yang berbeda-beda. Untuk itu penyesuaian diri manusia memerlukan fikiran, perasaan dan kehendak.
Realitas tersebut dalam konteks sosial ditentukan oleh sebuah sosialisasi. Dan sosialisasi itu menggunakan alat yang salah satu instrumennya adalah interaksi (Hoogvelt, 1976: 97). Proses interaksi ini juga yang mendasari terjadinya dinamika masyarakat untuk kehidupan manusia itu sendiri (Young and Raymod, 1977: 36). Dengan interaksi akan terjadi berbagai macam kegiatan sosial.
Kegiatan sosial tersebut yang menunjukkan adanya sebuah realasi antara manusia dengan sebuah masyarakat. Untuk itu relasi masyarakat dan individu (manusia) memiliki keterkaitan. Keterkaitan itu berangkat atas asumsi bahwa terbentuknya masyarakat terbangun atas individu-individu itu sendiri. Berangkat dari berbagai fenomena tersebut, tulisan ini akan mereview tentang masalah kemunculan interaksionisme.



B.     Point Penting Dalam Buku
Dalam Buku The Structure of Sociological Theory  karya Jonathan H. Turner pada Bab III Interaction Theory  di bagian The Emergence of Interactionisme secara mendasar menjelaskan beberapa pandangan tentang interaksi. Interaksi ini bukan sekedar sebagai ciri khas manusia dengan mahluk lain, tetapi lebih jauh menelaahnya dalam perspektif sosiologis. Telaah ini adalah sebagai berikut:
Hubungan manusia dengan lingkungannya bercirikan keterbukaan. Oleh karenanya boleh jadi keterbukaannya, manusia telah mencapai prestasi yang luar biasa dalam menaklukkan alam. Manusia telah berhasil untuk menghuni bagian terbesar dari muka bumi ini. Memang benar bahwa hal itu memungkinkan manusia untuk melakukan berbagai jenis kegiatan. Tetapi fakta bahwa di satu tempat ia terus hidup mengembara dan di tempat lainnya manusia dapat beralih ke satu jenis garapan tertentu yang mampu menjadikan dirinya untuk tetap bereksistensi. Secara biologis dalam hal hubungan manusia dengan lingkungannya; perlengkapan indrawi dan pendorongnya yang spesifik menurut jenisnya jelas membatasi lingkup kemungkinan-kemungkinannya. Keistimewaan perkembangan eksistensinya didukung dengan kemampuan biologis manusia terletak dalam komponen nalurinya. Sementara naluri binatang tidak demikian. Dengan dorongan naluriahnya manusia bisa bereksistensi dengan lingkungannya secara enjoi.
Keunggulan manusia yang demikian mewujudkan suatu kegiatan sosial yang terangkum dalam pola-pola kemasyarakatan. Kegiatan sosial ini yang menunjukkan adanya sebuah realasi antara manusia dengan sebuah masyarakat. Untuk itu relasi masyarakat dan individu (manusia) memiliki keterkaitan. Keterkaitan itu berangkat atas asumsi bahwa terbentuknya masyarakat terbangun atas individu-individu itu sendiri. Apabila demikia maka secara realistik memunculkan pertanyaan mendasar bahwa dengan cara apa individu mencerminkan masyarakat atau masyarakat mencerminkan individu dan bagaimana masyarakat membentuk individu atau individu membentuk, menciptakan dan mempertahankan serta merubah masyarakat. Demikian pula dengan cara apa masyarakat dan individu dapat mempresentasikan interelasi dan perbedaannya.
Dalam struktur masyarakat yang lebih makro, proses tersebut terkadang terjadi sebuah dinamika yang mengarah kepada sebuah kekacauan, perubahan yang sangat cepat (revolusi), terjadinya konflik antar kelompok dan lain sebagaimana yang mampu menngeser nilai-nilai kemanusia, yang bisa saja mengarah tidak jauh berbeda dengan binatang. Untuk itu perlu, bagaimana memahami proses interaksi yang kemudian mampu mewujudkan eksistensi manusia secara lebih humanis serta manusiawi.
Perwujudan atas berbagai pertanyaan tersebut yang menjadi akar dari munculnya interaksionisme. Dengan teori ini, diharapkan lahir sebuah pemahaman terhadap keperbedaan masyarakat yang pasti adanya. Pemahaman terhadap keperbedaan yang ada itu mendorong pada setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk melakukan evaluasi diri. Hasil atas evaluasi diri itu diharapkan mampu menciptakan keharmonisan sosial. Sehingga melahirkan suatu pola kehidupan manusia yang survive terhadap keperbedaan yang memang secara alamiah adalah sebuah kewajaran. Dalam bingkaian interaksionisme, keperbedaan masyarakat tidak memicu suatu pertikaian ataupun perselisihan. Tetapi dengan perbedaan itu mampu melahirkan sebuah kebersamaan yang saling melengkapi antara satu dengan yang lain.
Hanya sekedar untuk mengumpamakan antara manusia dengan binatang ---yang dipandang tidak memiliki keperbedaan begitu mencolok. Bila dibanding dengan binatang secara umumnya manusia menempati kedudukan yang khas dalam dunianya dari pada dunia binatang. Berbeda dengan binatang menyusui ---atau yang setingkat lainnya---, ia tidak mempunyai lingkungan yang dikembangkan secara dinamis dan juga, tidak punya lingkungan yang dibangun secara kukuh oleh organisasi naluri-nalurinya sendiri. Lebih jelasnya, Tidak ada dunia-manusia dalam pengertian sama terkait dengan dunia-anjing, dunia-kuda, dunia-kucing, dunia-semut, ataupun dunia hewan lainnya.
Meskipun secara spesifik punya kemampuan untuk belajar dan boleh jadi mampu mengakumulasikan hasilnya. Seekor anjing atau kuda secara individual mempunyai hubungan yang pada umumnya sudah tetap dan tak berubah tingkah lakunya dengan perubahan lingkungannya, serta juga merupakan lingkungan bagi semua anggota lainnya dari jenisnya masing-masing.
Satu implikasi yang jelas dari keadaan ini adalah bahwa anjing dan kuda tersebut beserta binatang lainnya ---jika dibandingkan dengan manusia--- kemampuan untuk merubah jauh lebih terbatas. Keterbatasan itu karena pada diri binatang tidak pada suatu kemampuan yang khas dalam menciptakan atau mengelola lingkungannya secara permanen. Tetapi kekhasan lingkungan binatang-binatang ini tidaklah sekedar menyangkut keterbatasan kemampuan untuk mengelola saja. Ia mengacu kepada sifat yang secara kebutuhan biologisnya tak berubah dalam hubungan untuk mengelola lingkungan seperti pada dunia-manusia.


C.    Interaksi sebagai Faktor Utama Dalam Kehidupan
Bentuk umum dari proses sosial adalah interaksi. Oleh karena interaksi sosial merupakan syarat dari terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis sekaligus yang menyangkut hubungan antar orang perorangan, antar kelompok-kelompok manusia maupun antar orang perorangan dengan kelompok manusia[1]. Apabila terjadi pertemuan diantara dua orang atau lebih maka pada saat itu terjadi interaksi sosial. Interaksi sosial yang dilakukan adalah bisa saja saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan lebih dari itu bisa juga berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bagian dari bentuk-bentuk terjadinya interaksi sosial.
Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula dalam masyarakat. Interaksi itu akan lebih mencolok manakala terjadi sebuah benturan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan kelompok. Misalnya, di kalangan banyak suku di Indonesia, berlaku suatu tradisi yang telah melembaga dalam diri masyarakat. Tradisi yang melembaga dalam diri masyarakat itu umpanya adalah tradisi perkawinan. Dalam tradisi perkawinan itu fihak laki-laki diharuskan memberikan mas kawin kepada fihak wanita. Mas kawin itu terkadang dalam jumlah yang cukup besar sehingga memberatkan kepada fihak laki-laki. Secara mendasar, tradisi perkawinan yang didalamnya fihak laki-laki harus memberikan mas kawin kepada fihak perempuan adalah sebuah tradisi yang berada dalam alam fikiran bahwa dengan dikawinnya si perempuan itu, maka ia akan berpisah dengan keluarganya, maka timbul ketidak seimbangan dalam keluarga si perempuan. Keseimbangan akan dicapai kembali apabila syarat-syarat mas kawin tadi di penuhi. Karena beratnya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh fihak laki-laki sering kali menyebabkan terjadinya kawin “lari”, yang dalam hal ini disetujui oleh calon istri. Persoalan itu biasanya penyelesaiannya melibatkan masyarakat. Hal itu karena menyangkut kepentingan umum dan juga menyangkut tata tertib masyarakat.
Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada pelbagai faktor, antara lai; faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan bergabung[2]. Apabila masing-masing ditinjau secara lebih dalam, faktor imitasi misalnya, memiliki peranan yang sangat penting dalam proses interaksi sosial. Misalnya salah satu segi positifnya adalah imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun tidak menutup kemungkinan imitasi juga mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif. Misalnya, yang ditiru adalah tindakan yang menyimpang dari aturan yang ditetapkan oleh masyarakat untuk menjadi norma ataupun nilai.
Faktor sugesti terjadi apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh fihak lain. Jadi proses ini sebenarnya hampir sama dengan imitasi. Akan tetapi titik tolaknya berbeda. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena fihak yang menerima dengan dilandasi dengan emosi.
Mungkin bisa jadi proses sugesti terjadi apabila orang yang memberikan pandangan adalah orang yang berwibawa atau mungkin karena sifatnya yang otoriter. Kiranya bisa jadi bahwa sugesti terjadi oleh sebab yang memberikan pandangan atau sikap yang akan dilakukan merupakan bagian terbesar dari kelompok yang bersangkutan.
Identifikasi sebenarnya merupakan  kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan fihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam dari pada imitasi, oleh karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya maupun dengan disengaja oleh karena seringkali seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses kehidupannya. Walaupun dapat berlangsung dengan sendirinya, proses identifikasi berlangsung dalam suatu keadaan di mana seseorang yang beridentifikasi benar-benar mengenal fihak lain ---yang menjadi idealnya--- sehingga pandangan, sikap, kaidah yang berlaku pada fihak lain tadi dapat melembaga dan bahkan menjiwainya. Nyatalah bahwa berlangsungnya identifikasi mengakibatkan terjadinya pengaruh-pengaruh yang lebih mendalam ketimbang proses imitasi dan sugesti walaupun ada kemungkinan bahwa pada mulanya proses identifikasi diawali oleh imitasi dan atau sugesti.
Proses simpati merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada fihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami fihak lain dan untuk bekerjasama dengannya. Ini merupakan perbedaan utama dengan identifikasi yang didorong oleh keinginan untuk belajar dari fihak lain yang dianggap kedudukannya lebih tinggi dan harus dihormati karena mempunyai kelebihan-kelebihan atau kemampuan-kemampuan tertentu yang patut dijadikan contoh. Proses simpati akan berkembang di dalam suatu keadaan dimana faktor saling mengerti.
Hal-hal tersebut merupakan fator yang menjadi dasar berlangsungnya proses interaksi sosial, walaupun dalam kenyataannya proses tadi memang sangat kompleks, sehingga kadang-kadang sulit mengadakan pembedaan tegas antara faktor-faktor tersebut.

D.    Relasi Sosial dengan Manusia
Apabila dicermati dengan seksama, sebuah kelompok manusia mampu menghasilkan suatu lingkungan yang manusiawi. Lingkungan yang manusiawi itu berangkat dari totalitas bentukan-bentukan atas sosio-kultural dan psikologis yang melingkupinya. Tidak satu pun dari bentukan-bentukan itu dapat dipahami sebagai hasil atas produk diri manusia itu sendiri. Seperti halnya tidak mungkin bagi manusia untuk berkembang sebagai manusia dalam keadaan terisolasi untuk menghasilkan suatu lingkungan manusiawi. Sebagaimana dalam sebuah film legenda berjudul Tarzan. Secara biologis Dia (baca: Tarzan) merupakan  manusia yang hidup terisolasi dengan lingkungan sesama manusianya. Maka ketika kehidupan Tarzan menginjak dewasa yang pada umumnya memiliki kemampuan sebagaimana manusia dewasa, ia justru bertingkahlaku seperti monyet. Contoh pada kasus yang lain adalah tingkah laku kelompok manusia tinggal di daerah pesisir pantai dengan kelompok manusia yang tinggal di daerah penggunungan. Corak karakter maupun tingkah lakunya akan memiliki keperbedaan yang cukup berbeda diantara keduanya.
Fenomena tersebut yang menunjukkan adanya sebuah keterkaitan/ relasi masyarakat dengan dibangun atas dasar individu yang ada. Lebih jauh relasi ini akan membentuk sebuah pranata, norma sehingga menciptakan ketertiban-ketertiban dalam sebuah masyarakat (Ihromi: 1981: 83). Secara empiris, eksistensi manusia belangsung dalam suatu konteks ketertiban, keterarahan dan kestabilan. Darimana asalnya kestabilan tatanan manusiawi yang ada secara empiris itu? dapat dinunjukkan oleh adanya fakta bahwa suatu tatanan sosial yang sudah ada di dahului oleh setiap perkembangan organismis individu. Namun demikian, ketertiban itu hanyalah bercorak khusus/lokal. Kekhususan corak masyarakat yang bersifat lokal itu disebabkan karena belum tentunya corak yang demikian sama dengan corak di suatu masyarakat yang lain. Hal ini yang menimbulkan sebuah keperbedaan corak masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.
Keperbedaan tersebut, boleh jadi akan memicu sebuah konflik, perselisihan, pertengkaran, perkelahian atau bahkan lebih jauh akan mendorong pada sebuah peperangan antar kelompok, suku, daerah, bangsa. Konflik-konflik yang terjadi hanya dilatar belakangi oleh sebuah kesalahfahaman, keperbedaan cara pandang, latar belakang dan lain-lain. Sehingga disintegrasi sosial bisa meluas cakupannya. Taruhlah sebagai contoh timbulnya Perang Dunia II. Dalam fenomena itu, keterlibatan hampir sebagian besar masyarakat dari berbagai kelompok mulai dari negara, bangsa, suku bahkan agama ikut dalam konflik ini. Padahal, apabila disimak antara yang menang ataupun yang kalah sama-sama dirugikan. Akibat perang dunia II mampu menyebabkan kerusakan yang luar biasa. Kerusakan itu, mulai dari kerusakan fisik maupun fisikis. Kerusakan fisik di tunjukkan dengan banyaknya korban jiwa yang berjatuhan diantara kedua belah fihak, rusaknya ekosistem alam, hancurnya bangunan dan lain sebagainya. Sementara itu kerusakan fisikis ditunjukkan dengan munculnya ketegangan sosial, kesedihan manusia yang ditinggal mati keluarganya dalam medan peperangan, rusaknya sistem sosial (penggabaian terhadap Hak Asasi Manusia) dan lain sebagainya. Yang jelas, kerusakan kerusakan itu tidak saja di tanggung oleh kelompok yang kalah, tetapi bagi kelompok yang menang pun mengalami kerusakan yang tidak jauh beda dengan kelompok yang kalah. Selanjutnya siapa yang menang? Untuk itu, apabila dipahami secara mendasar perselisihan tidak akan memecahkan persoalan tetapi akan menimbulkan masalah baru diantara keduanya yang berkonflik. Apabila perdamaian tidak segera diwujudkan boleh jadi akan memicu persoalan kemanusian yang tidak akan pernah ada habisnya.

E.     Jiwa Manusia
Dalam pandangan Herbert Mead, diantara keunikan jiwa manusia adalah kapasitas jiwa tersebut yang bisa digunakan pertama  untuk menggunakan simbol-simbol tertentu untuk menunjuk terhadap obyek di dalam lingkungannya, kedua untuk melatih secara samar-samar serangkaian perbuatan alternatif terhadap obyek-obyek tersebut, ketiga untuk menghindari dari perbuatan-perbuatan yang buruk dan kemudian memilih sejumlah perbuatan yang baik. Mead mengistilahkan proses penggunaan simbol tersebut dengan istilah pelatihan imajinatif. Sehingga hal itu menjadikan konsepsi jiwa menurut Mead sebagai sebuah proses dari pada sebuah struktur. Lebih jauh lagi eksistensi suatu masyarakat atau suatu kelompok masyarakat yang terorganisir oleh Mead dilihat sebagai sebuah ketergantungan kapasitas manusia dalam melakukan pelatihan imajinatif secara optimal.
Apabila dikaji lebih mendalam analisis terhadap jiwa Herbert Mead kebanyakan tidak fokus terhadap jiwa manusia dewasa. Tetapi terhadap bagaimana kapasitas jiwa itu pertama kali muncul didalam diri manusia. Jika tidak seorang bayi akan mengembangkan jiwanya baik atas masyarakat maupun pribadi jiwa manusia tidak pernah ada. Sebab bagi Mead jiwa akan muncul dari proses selektif yang berangkat dari sejumlah gerak tubuh manusia dari orang-orang yang ada dilingkungannya atau yang mengasuhnya. Seleksi gerak tubuh tersebut yang kemudian muncul menjadi sebuah kesepahaman terhadap suatu yang diinginkan. Sehingga gerak tubuh itu memiliki makna umum baik terhadap bayi maupun dilingkungan orang-orang yang ada disekitarnya. Dengan perkembangan semacam ini, gerak tubuhakan menggambarkan obyek-obyek yang sama dan membawa disposisi-disposisi yang serupa terhadap semua kegiatan pada sebuah interaksi. Karena gerak tubuh memiliki semacam makna umum, maka Mead menggambarkan bahwa hal itu diistilahkan gerak tubuh konfensional atau gerak tubuh yang lazim di sebuah masyarakat.
Kemampuan untuk menggunakan atau menginterpretasikan gerak tubuh konfensional tersebut dengan makna umum, hal itu berarti telah mempresentasikan sebuah tahapan signifikan perkembangan jiwa atau pribadi yang ada di sebuah masyarakat. Dengan menginterpretasikan gerak tubuh itu manusia melahirkan kapasitas untuk memerankan peran orang lain. Pada realitas seperti itu menunjukkan sebuah tahapan yang bisa merefleksikan dari orang lain yang dikumpulinya untuk survive. Maka berangkat dari fenomena itu akan menunjukkan level baru yang efisien di dalam lingkungan sosialnya.
Dengan demikian ketika suatu organisme mampu mengembangkan kapasitasnya yang berati telah menunjukkan pemahaman terhadap gerak tubuh konfensional dan sekaligus menunjukkan gerak tubuh itu dalam memainkan peran orang lain serta kemampuan dalam melatih secara imajinatif atas serangkaian perbuatan-perbuatan alternativ. Oleh karenanya Mead menyakini bahwa perubahan atas serangkaian gerak tubuh itu merupakan bagian dari kemampuan atas perkembangan jiwa seseorang untuk mengekspresikan sesuatu yang dimengerti oleh orang lain dan hal itu juga sudah menjadi sebuah kesepahaman yang sama antara satu dengan yang lainnya.
Pandangan semacam itu hanya bisa dilakukan oleh manusia yang memiliki kemampuan untuk menunjukkan secara simbolik diri mereka sendiri sebagaimana obyek yang diinginkannya. Interpretasi atas gerak tubuh kemudian juga untuk melanyani sebagai dasar dari terjadinya evaluasi diri. Kapasitas ini untuk mengarahkan atas kesan seseorang sebagai sebuah obyek evaluasi di dalam interaksinya yang sangat tergantung terhadap proses perkembangan jiwa. Apa yang dipahami oleh Mead sebagai sesuatu yang signifikan adalah bahwa pribadi yang fana berasal dari kesan-kesan yang lain di dalam sistuasi interaktif masing-masing individu yang biasanya mengkristal obesisi diri.  Dengan adanya obsesi diri ini, perbuatan-perbuatan individu oleh Mead dilihat untuk diletakkan di atas disposisi yang konsisten atau dipandang sebagai sebuah tipe tertentu.
Berdasar atas pandangan itu Mead menggambarkan adanya tahapan perkembangan yang ada pada diri seseorang. Masing-masing tahapan itu menggambarkan atas sebuah kristalisasi dari sebuah konsepsi diri yang stabil. Tahapan yang ada pada diri seseorang itu adalah; pertama memainkan/play. Didalam hal ini seorang bayi hanya mampu untuk menirukan serangkaian gerak tubuh tertentu dari tubuh orang lain, kedua tahapan game dimana seorang itu hanya mampu untuk meniru atau memainkan peran dari sejumlah orang-orang yang ada disekelilingnya, ketiga seorang mampu memainkan sikap-sikap orang lain secara umum atau memainkan sikap-sikap dalam sebuah masyarakat. Pada tahapan ini individu mampu memvisualisasikan sekian banyak perspektif komunitas, atau memainkan norma ataupun nilai yang ada pada suatu masyarakat.
Atas dasar hal tersebut maka menurut Mead bahwa masyarakat menggambarkan suatu interaksi teroganisir diantara individu yang berbeda-beda. Sehingga, interaksi sangat tergantung terhadap kapasitas jiwa dan pribadi seseorang. Oleh karenanya evaluasi diri sangat perlu dihadirkan dalam membentuk sebuah keharmonisan yang lebih baik. Untuk menciptakan koordinasi dari aktivitas-aktivitas yang berbeda-beda dari komunitas sosial yang ada diperlukan sebuah kontrol sosial.
Koordinasi-koordinasi yang diciptakan tersebut berguna dalam mengharmonisasikan sebuah kemapanan yang lebih kondusif agar tidak terjadi ketegangan diantara masyarakat yang ada.

F.     Kesimpulan
Berdasar pada uraian tersebut secara garis besar penulis menyampaikan bahwa:
1.      Tujuan munculnya interaksionisme dilatarbelakangi untuk menciptakan keharmonisan sosial dengan memahami keperbedaan masyarakat. .
2.      Teori ini berangkat dari individu dan masyarakat yang memiliki relasi dalam terciptanya dunia-manusia yang manusiawi.



[1] Kimball Young and Raymond W. Mack, Sociology and Social Life, (New York: Book Company, 1995), 137.
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. Keenambelas,  (Jakarta: Rajawali Pres, 1992), 69.

1 komentar:

  1. Harrah's Resort Atlantic City - Mapyro
    Located in Atlantic 공주 출장마사지 City, Harrah's Resort Atlantic 보령 출장안마 City is within a 울산광역 출장샵 15-minute walk of Hard Rock Hotel & 통영 출장안마 Casino and 6 minutes by 아산 출장안마 foot from Atlantic City Boardwalk.

    BalasHapus