Jumat, 20 Desember 2013

Remaja dan Kehidupan Seks

"+"

REMAJA DAN KEHIDUPAN SEKS DI MANCA NEGARA;
PERSPEKTIF KULTURAL





A.    Pendahuluan
Remaja adalah aset bangsa, apabila remajanya bermental baik maka bisa diharapkan sebuah bangsa akan menjadi bangsa yang baik, sebaliknya bila remajanya rusak maka akan rusak pula bangsa tersebut. Ungkapan yang begitu indah sekaligus menakutkan tersebut sering kita persepsikan sebagai kata mutiara, yang biasa kita dengar dari pidato pejabat, ceramah para kiai maupun pesan moral dari aktivis pemuda. Keindahan ungkapan tersebut terasa manakala kita memiliki optimisme terhadap perilaku para remaja yang positif dan sesuai dengan norma agama, memenuhi harapan generasi tua, dan tidak bertentangan dengan budaya yang dimiliki oleh komunitas remaja. Sebaliknya optimisme ini bisa berubah menjadi trauma kultural jika ternyata perilaku remaja menyimpang dari rel rel harapan.
Salah satu diantara perilaku menyimpang para remaja yang cukup meresahkan generasi tua akhir akhir ini adalah pola kehidupan seks yang cenderung lepas kendali, yang termanifestasikan dalam bentuk hubungan seks pra-nikah atau pre marital intercourse (PMI). Contoh lain seperti beberapa kasus perkosaan dimana korban maupun pelakunya adalah remaja, bisnis prostitusi dikalangan ABG, atau tindak abortus kriminalis sebagaimana banyak diekspose beberapa media massa, serta beberapa kasus pelecehan seksual (sexual harassment) yang dilakukan kaum pria yang tidak terpublikasikan oleh media, adalah bentuk lain dari perilaku disorder yang perlu disikapi secara lebih teliti. Faktor penyebab dari kehidupan remaja yang cenderung menyimpang ini biasanya lantas di identifikasi sebagai pengaruh budaya barat, baik yang didapat melalui media maupun pengalaman  saat mereka bersentuhan langsung dengan kehidupan  barat yang kemudian taken for granted sebagai style baru dalam kehidupan remaja. Meskipun demikian ada pula yang berpendapat bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah tidak jelasnya ketentuan yuridis yang mengatur masalah tersebut,[1] serta birokrasi yang cenderung berbelit belit didalam menempuh upaya yuridis.
Hal ini disebabkan landasan hukum yang kita pakai sebagian besar bukanlah produk hukum kita sendiri yang didasarkan pada budaya asli bangsa (the genuine culture), melainkan produk hukum warisan penjajah Belanda.  Sedangkan upaya penegakan hukum yang diharapkan sesuai dengan karakter bangsa (yaitu bangsa religious) dengan prioritas pada landasan ajaran Islam sebagai penduduk mayoritas, sampai sekarang masih menimbulkan pro dan kontra.

B. Pola Pergaulan Remaja Mancanegara
Pada umumnya image yang berkembang di masyarakat selama ini, sebagaimana banyak diciptakan oleh media massa sebagai public opinion makers yang dikemas baik dalam bentuk berita ataupun hiburan, adalah bahwa dunia Barat dengan budaya seks bebasnya telah -dan sedang- menebarkan dangerous culture serta dangerous disease keseluruh penjuru dunia, misalnya melalui semakin cepat tersebarnya virus HIV, [2]  yang telah memakan banyak korban. Hal ini diperkuat dengan realitas bentukan yang diciptakan oleh media massa khususnya televisi, umpamanya, dengan tayangan opera sabun (soap opera) import - ambil contoh serial televisi Melrose Place, Beverly Hills 90210, atau Dawson Creek, yang memang banyak menawarkan potret kehidupan serupa.
Ada beberapa kebenaran yang tidak bisa dipungkiri bahwa budaya seks bebas yang terjadi di Indonesia selama ini memang ada kemiripan dengan apa yang terjadi di manca negara (Barat). Namun image yang sudah terlanjur tercipta mengenai kemungkinan adanya hubungan influencial tersebut nampaknya masih perlu ditelaah lebih lanjut -disamping beberapa image negatif lainnya tentang kehidupan seks remaja manca negara - yang sudah hampir menjadi trade mark mereka.
Upaya pelurusan terhadap image negatif tersebut perlu dilakukan melalui pendekatan lintas budaya dalam konteks understanding other culture. Barangkali cara yang cukup relevan dengan kasus ini adalah dengan menggunakan pisau bedah analisis wacana dengan tujuan untuk menghindarkan tragedi blaming the others when thing goes wrong, atau menuding pihak lain ketika terjadi suatu kesalahan.
Analisis wacana yang ditawarkan van Dijk sebagaimana dikutip oleh Eriyanto mengatakan bahwa sebuah teks (wacana) tidak bisa semata mata dianalisis dari struktur teksnya atau konstruk keadaannya saja, tetapi perlu juga dilihat dari kerangka bahasa, kultural, dan persepsi dari pemakai (pemberi makna).[3] Dalam hal ini fenomena kehidupan seks bebas yang dipraktekkan oleh sebagian remaja mancanegara adalah sebuah wacana bagi kita, yang oleh karena itulah, maka tulisan ini akan mencoba menganalisisnya secara kultural dari perspektif orang luar (the outsider). Sebagaimana diakui oleh banyak orang bahwa kebenaran sebuah budaya adalah relatif dan subyektif dimana masing masing komunitas atau pemilik sebuah budaya hanya akan mengakui budayalah yang paling benar. Sedangkan budaya orang lain yang tidak sama dengan yang dipakainya dianggap salah atau tidak baik.
Terlepas dari kebenaran serta relativitas sebuah budaya, hal penting yang akan dikemukakan dalam tulisan ini adalah mengenai beberapa faktor utama yang membentuk sikap serta perilaku remaja dalam mencapai kebahagiaan hidup. Berdasarkan perspektif psikologi, sebagaimana ditawarkan oleh Spilka, ekspresi perilaku manusia pada umumnya  ditentukan oleh beberapa faktor penting, diantaranya adalah pekerjaan yang cocok, perkawinan yang bahagia, rasa cinta, dan agama.[4]  Keempat faktor tersebut saling melengkapi dalam proses pembentukan kepribadian seseorang secara idealistis, yang kadang kadang sulit untuk menentukan faktor mana yang paling dominan. Adapun mengenai seberapa penting sebenarnya masing masing faktor (khususnya rasa cinta dan sentimen agama) tersebut mampu mempengaruhi perilaku seks bebas remaja mancanegara tentunya juga relatif. Maksudnya adalah bahwa hal tersebut akan sangat bergantung pada individu masing masing, meskipun tidak menutup kemungkinan ada beberapa faktor yang sifatnya bisa digeneralisir.
Sepertinya hampir menjadi asumsi umum yang taken for granted bahwa mayoritas remaja mancanegara menganut pola pergaulan bebas, hedonis, serta individualis yang konon tidak sesuai dengan adat ketimuran (untuk kontekstualnya baca Indonesia).[5] Minimal informasi semacam inilah yang sering dimunculkan oleh beberapa kalangan seperti para misionaris agama, pendidik, serta generasi tua sebagai upaya preventif terhadap generasi berikutnya agar tidak terjebak kedalam pola pergaulan yang salah (minimal salah dalam perspektif mereka).
Terlepas dari benar tidaknya asumsi tersebut diatas, masalah substansial yang perlu dicermati yaitu bahwa kehidupan remaja, yang sedang menapaki proses pembangunan citra diri atau image building  melalui proses pembelajaran sosial (social learning), adalah masa yang sensitif terhadap perubahan karena mereka selalu mengadakan identifikasi dan duplikasi terhadap lingkungan sekitarnya. Proses pembelajaran ini bisa diperoleh dari berbagai sumber seperti lingkungan keluarga, masyarakat, dan tak kalah pentingnya, media massa.
Menurut Spilka, meskipun lingkungan keluarga (terutama orang tua) mempunyai peran yang besar terhadap pola pergaulan remaja, namun ternyata yang lebih banyak mempengaruhi proses interaksi sosialnya adalah lingkungan pergaulan dengan teman sebaya atau peer group, sedangkan fungsi agama bagi sebagian orang hanya merupakan sarana pemenuhan kepuasan yang sangat pribadi atau personal satisfaction.[6] Melihat fenomena ini, oleh karenanya, bukan hal yang aneh manakala banyak generasi muda manca negara yang lebih suka hidup secara terpisah dari orang tuanya dengan alasan mencoba menciptakan kemandirian, meskipun dengan konsekuensi harus mencari nafkah sendiri. Konsekuensi ekonomis ini barangkali bukan merupakan hal yang memberatkan karena, bagi remaja Australia misalnya, mereka mendapat dukungan finansial yang memadai dari pemerintah setempat bagi para penganggur atau jobless sehingga meskipun tidak mempunyai pekerjaan namun mereka tetap mendapatkan jaminan hidup.
Akibat adanya kecenderungan hidup terpisah dari orang tua ini adalah semakin longgarnya kontrol orang tua terhadap kehidupan remaja. Padahal, menurut Dedy Mulyana, masa remaja adalah tahapan dimana secara psikologis pendampingan orang tua sangat diperlukan demi menghindarkan mereka dari proses pergaulan serta  proses social learning yang menyesatkan.[7] Ada diantara mereka yang kemudian mencari pasangan hidup bersama dengan lawan jenis tanpa harus terikat oleh perkawinan yang syah, yang menurut adat timur merupakan hal tabu. Sewaktu tinggal di Canberra, Australia, penulis pernah mengamati fenomena yang aneh dimana beberapa pasangan remaja (mahasiswa) yang tinggal dalam satu kamar pada salah satu apartemen mahasiswa bisa hidup dengan santai, tanpa pekewuh, seolah olah menganggap itu hal yang lumrah. Dikatakan aneh karena perguruan tinggi setempat sebagai institusi pendidikan terkait ternyata membiarkan saja hal ini terjadi dan menganggap perilaku tersebut sebagai hal yang wajar. Hal yang lebih aneh lagi bahwa perguruan tinggi dimaksud seperti memaklumi dan membiarkan praktek hubungan seksual pra nikah sebagai akibat dari fenomena hidup bersama yang dilakukan oleh mahasiswanya. Minimal sikap aneh perguruan tinggi tersebut bisa dilihat dari salah satu fasilitas yang diberikan kepada mahasiswa berupa kondom yang bisa diperoleh secara cuma cuma pada sebuah tempat yang disebut student centre.[8]
Ada perasaan risih, asing, bahkan jijik pada saat pertama kali penulis menyaksikan seorang mahasiswi dengan santainya mengambil beberapa buah kondom tersebut. Perasaan tersebut muncul karena berdasarkan kerangka pikir yang sudah tertanami oleh religious values (Islam) yang sangat restriktif terhadap etika pergaulan semacam itu. Disinilah relativitas sebuah budaya muncul, dimana budaya normatif (tekstual) Islam mesti berhadapan dengan budaya kontekstual setempat.
Meskipun demikian ternyata disisi lain para remaja mancanegara tidak selamanya berupa komunitas yang egosentris (yang oleh beberapa kalangan secara salah kaprah sering dikonotasikan dengan individualis). Secara general, budaya yang rupanya telah mengakar tertanam pada masyarakat mancanegara (barat) dilandasi dengan prinsip hidup yang menghormati hak asasi orang lain, maka para remajanya pun berupaya menerapkan hal tersebut dalam kehidupan sehari hari. Budaya menghormati hak asasi orang lain ini nampak kuat terutama karena pemerintah setempat cukup kondusif dalam mempertahankan budaya ini, bahkan pelanggaran hak asasi dianggap sebagai perbuatan kriminal dan bisa mengakibatkan hukuman atau denda tertentu.
Salah satu perbuatan yang dianggap melanggar hak asasi dan merupakan pelecehan seksual (dalam konteks kehidupan remaja) misalnya, melontarkan ekspresi atau sapaan terhadap lawan jenis yang bernada seronok seperti bersiul atau kata sapaan iseng yang tidak mengenakkan hati. Hal seperti ini secara substansial tidak terlalu mengakibatkan konsekuensi yuridis menurut sistem budaya ketimuran (baca Indonesia), namun bisa menjadi masalah yang sangat serius bagi budaya barat. Kondisi perbedaan semacam inilah yang, barangkali, sering memunculkan keluhan turis wanita kulit putih yang berkunjung ke Indonesia ketika harus menghadapi keisengan pria pria Indonesia.[9] Meskipun pada umumnya para turis mancanegara menganggap bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang ramah, namun disisi lain nampaknya ada kesan negatif mengenai sifat iseng yang sering dilakukan kaum pria.
Karena sistem budaya dan sistem yuridis yang sudah dipahami secara generatif ini, maka pada umumnya perilaku remaja sebagai sub-sistem sosial kemasyarakatan pun sedikit banyak mencerminkan norma tersebut. Sehingga secara general timbul kesan bahwa remaja mancanegara memiliki perilaku yang sopan dan menghormati orang lain. Salah satu indikasi adanya kesan ini, misalnya, yang ditunjukkan oleh para remaja (baik pria maupun wanita) pada saat berada dalam kendaraan umum yang biasanya segera memberikan tempat duduknya ketika melihat ada orang tua yang berdiri. Etika yang berlaku diatas kendaraan umum (city bus) dicantumkan secara tertulis pada setiap armada bus yang berbunyi: Children and students travelling on concession cards should give up their seats when adults are standing. Meskipun sebagian orang mempunyai asumsi bahwa remaja biasanya kurang menghormati orang tua,[10] peraturan yang dibuat oleh orang dewasa ternyata relatif ditaati.
Namun sayangnya image yang diciptakan oleh media massa (minimal yang terlihat pada film maupun soap opera televisi) serta asumsi generasi tua sendiri tentang remaja mancanegara biasanya negatif, misalnya secara sepihak mereka menggambarkan kehidupan remaja yang amburadul dengan mengekspose budaya premanisme, mabuk mabukan serta penggunaan obat terlarang, free sex dan keberaniannya memberontak terhadap orang tua. Bentuk resistensi yang kemudian dilakukan oleh generasi tua (khususnya manula) adalah dengan cara memilih hidup terpisah dengan keluarga (anak cucu) dengan memilih komunitas mereka di panti panti jompo.

C. Hubungan Relasional Pria -Wanita
Salah satu sisi yang menarik ketika mencermati pola hubungan relational antara pria dan wanita mancanegara adalah bahwa secara general pria menempatkan wanita pada posisi yang khusus, terutama dalam etika pergaulan. Pada umumnya pria beranggapan bahwa wanita adalah komunitas yang perlu dilindungi  serta diperlakukan secara istimewa, di Inggris misalnya, ada budaya elite dimana pria biasanya mencium tangan wanita sebagai bentuk penghormatan. Atau kebiasaan kaum elit yang hampir menjadi tradisi seperti mempersilahkan wanita duduk terlebih dahulu pada sebuah perjamuan resmi, membukakan serta menutupkan pintu mobil, serta beberapa perlakuan khusus lain pada peristiwa peristiwa tertentu dimana wanita selayaknya didahulukan sehingga sering kita dengar mereka mengatakan: Lady's first.
Namun secara ideologis, pola hubungan laki laki perempuan sepertinya masih diwarnai oleh tarik menarik antara model patriarchi yang menempatkan pria sebagai the first class dan egalitarianisme yang menuntut persamaan hak antara pria dan wanita.[11] Kalau dibandingkan dengan hubungan relasional yang dipraktekkan dalam budaya timur, sebenarnya budaya barat memiliki pola yang relatif lebih egaliter, misalnya relasi yang terjadi dalam sebuah lembaga perkawinan, dimana pria barat lebih siap untuk berpartisipasi dalam pekerjaan pekerjaan rumah tangga (domestik). Mekanisme pengaturan dalam pekerjaan rumah tangga biasanya tidak didasarkan pada siapa yang mempunyai kewajiban untuk melakukan tugas tertentu, tetapi lebih banyak pada siapa yang mempunyai kesempatan untuk melakukan tugas tersebut. Contoh lain dalam kehidupan kampus, misalnya, para mahasiswa yang diberi tugas kolektif membuat karya ilmiah tidak memposisikan mahasiswi hanya sebagai tukang ketik saja tetapi juga memberi kesempatan kepada mahasiswi untuk berperan sebagai konseptor dan penggagas ide sesuai dengan kadar kemampuan masing masing.
Namun demikian fenomena adanya tarik menarik antara model patriarchi dan egalitarian masih kelihatan yang, paling tidak, ditandai dengan semakin gencarnya tuntutan kaum feminist didalam memperjuangkan hak hak wanita disektor publik, seperti hak memperoleh gaji yang sama, hak untuk dalam berkiprah dlam dunia politik, serta hak untuk memperoleh kesempatan kerja yang sama dengan kaum pria dalam work system.

D. Agama dan Perilaku Seks Bebas
Yang dimaksud dengan perilaku seks bebas adalah hubungan seks yang dilakukan tanpa didasari oleh aturan atau norma sosial yang berlaku secara umum, misalnya hubungan seks pra nikah atau pre marital intercourse (PMI), kecenderungan berganti ganti pasangan tidak resmi, serta hubungan seks yang dilakukan dengan lawan jenis yang bukan pasangan resminya (perselingkuhan). Beberapa contoh tersebut merupakan asumsi umum, yang konon sering diklaim sebagai budaya barat. Akan tetapi pembahasan dalam  tulisan ini hanya akan difokuskan pada masalah pertama (pre marital intercourse) yang banyak terjadi pada kalangan remaja barat, yang nampaknya sudah banyak dipraktekkan pula oleh remaja kita, meskipun kita tidak bisa secara gampang mengklaim bahwa keduanya budaya tersebut merupakan hubungan influensial.
Dibagian depan tulisan ini telah disebutkan bahwa salah satu faktor pembentuk perilaku manusia adalah norma agama yang meliputi ketaatan seseorang terhadap agama yang dianutnya. Namun demikian meskipun hampir semua agama memiliki norma etika yang hampir sama (diantaranya anjuran untuk berbuat baik kepada sesama, larangan berhubungan seks pra-nikah dan sebagainya), ada hal yang menarik bahwa ternyata perbedaan sosio-kultural yang dimiliki oleh para pemeluk agama sangat berpengaruh terhadap proses aktualisasi diri mereka dalam kehidupan keseharian. Tampaknya pengaruh sosio-kultural terhadap perilaku seseorang ini begitu kuatnya sehingga pada kondisi tertentu, mampu menggeser peran agama.
Menyimak pola kehidupan seks bebas yang dipraktekkan remaja di barat (serta masyarakat bagian lain yang juga mempraktekkan budaya serupa), ada beberapa kondisi yang menyebabkan mereka berperilaku berbeda dengan mereka yang hidup dan dididik dalam lingkungan budaya asli atau the genuine culture, diantaranya, (a) sistem kepercayaan, (b) sistem kode yang berimplikasi pada sistem budaya,[12] dan (c) pandangan dunia (world view) [13] yang dimiliki oleh masing masing individu. Persoalannya adalah seberapa jauh sebenarnya ketiga faktor penting tersebut mampu memberi nuansa terhadap perilaku seks bebas mereka ?.

a. Sistem Kepercayaan
Yang dimaksud dengan sistem kepercayaan disini adalah totalitas konsep yang dimiliki oleh seseorang yang bermuara pada nilai nilai agama atau religious values, yang sudah barang tentu kadarnya berbeda antara seorang dengan yang lainnya yang bisa disebabkan oleh faktor usia, lingkungan pergaulan, serta latar belakang keluarga. Sebagaimana dijelaskan oleh Bryan Turner, [14] dalam perspektif individual, agama memiliki peran sebatas diri individu sedangkan perannya terhadap sektor publik semakin tersubordinasi oleh paham sekularisme, permasalahan ekonomi, dan kekuasaan politis. Paham sekularisme yang cenderung memisahkan antara urusan agama dan dunia nampaknya lebih mewarnai kadar religiusitas kalangan remaja barat. Dengan demikian, dibanding dengan masyarakat yang beradat timur, remaja barat sebagai komunitas dalam sebuah sistem sosial memiliki keunikan tersendiri didalam melihat agama sebagai pegangan hidup, dengan kata lain, kebanyakan dari mereka tidak memiliki concern yang signifikan terhadap agama. Dalam kehidupan seks, misalnya, mereka lebih mendasarkan pada sisi kepuasan individual atau individual satisfaction ketimbang sisi religious valuenya.
Disamping itu, menurut Argyle dan Hallahmi, kecenderungan untuk melakukan premarital intercourse (PMI) atau hubungan seks pranikah ditengarai berhubungan erat dengan tinggi rendahnya kadar religiusitas seseorang, dengan sebuah asumsi bahwa semakin religius seseorang  maka semakin kecil kemungkinan untuk melakukan PMI, dan sebaliknya.[15] Statemen Argyle dan Hallahmi ini diperkuat dengan data statistik hasil penelitian yang dilakukan terhadap pengikut keagamaan pada beberapa buah gereja di London. Oleh karenanya, ada fenomena logis bahwa remaja barat yang kebanyakan kurang memiliki sensitivitas religius tersebut menganut kebiasaan (budaya) seks bebas dengan salah satu indikasi melakukan seks pra-nikah.
Ketika kondisi ini dilihat dari perspektif ketimuran, yang nota bene dilandasi dengan frame religious atau concern terhadap budaya setempat, maka ada semacam penyimpangan norma sosial yang terjadi pada perilaku mereka. Karena pada dasarnya proses pemaknaan yang dilakukan oleh seseorang atau sebuah komunitas biasanya tidak bisa lepas dari kerangka pikir serta (menurut jalaludin Rakhmat) konsep diri[16] si pemberi makna. Sehingga ketika seseorang merasa dirinya adalah mahluk religious, maka dia akan berusaha berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya serta menganggap orang lain yang tidak religious tidak benar.

b. Sistem Kode
Kalau dilihat dari perspektif lingustik, sepertinya sistem kode kurang relevan dengan analisis perilaku yang menjadi wacana dalam tulisan ini. Tetapi sistem kode dalam konteks ini akan dilihat dari perspektif kultural yang maksudnya adalah cara penyandian atau persepsi yang dilakukan oleh seseorang terhadap pesan atau fenomena yang berkembang disekitarnya, yang merupakan cara unik yang dimiliki oleh masing masing individu.[17] Keunikan dari masing masing individu dalam mempersepsi sebuah pesan pada akhirnya secara kolektif mampu membentuk budaya kode atau cultural coding system, yang terbedakan menjadi sistem kode tekstual dan kontekstual.[18] Dengan kata lain proses persepsi suatu saat bisa dilakukan dengan menerima pesan, tetapi bisa juga dengan cara memaknai pesan.
Dalam sistem kode yang mengacu pada persepsi kontekstual (proses pemaknaan), hubungan seks pra-nikah sebagai sebuah pesan dipersepsi oleh kalangan remaja barat sebagai sesuatu yang lumrah meskipun secara tekstual normatif (religious) merupakan sebuah tabu yang tidak boleh dilanggar. Persepsi kontekstual dimaksud adalah ketika fenomena tersebut ternyata secara kultural hampir menjadi satu kebiasaan yang dilakukan banyak orang, tidak mengingkari norma sosial dan bukan hal terlarang.
Wacana ini menjadi semakin kompleks ketika dalam sistem patronase kekeluargaan sendiri remaja memiliki kecenderungan untuk hidup terpisah dari keluarga (baca orang tua) dan memilih hidup bersama peer group, sehingga kontrol dari orang tua terhadap perilaku anak anaknya relatif longgar. Hal ini diperparah lagi dengan sikap individualis (dalam konteks tidak mau mencampuri urusan orang lain) yang dianut dan dikembangkan oleh masyarakat barat, yang mengakibatkan nyaris hilangnya kontrol sosial antar sesama dan terbentuknya kondisi permisif. Sebagai akibatnya sistem kode yang berlakupun lebih banyak didasarkan pada kondisi sosial yang melingkupi komunitas tersebut.
Dampak yang nyata dari pola kehidupan seks bebas semacam ini sangat variatif diantaranya tingginya angka abortus kriminalis sebagai konsekuensi dari kehamilan yang tidak dikehendaki, banyaknya wanita yang mengambil keputusan untuk menjadi single parent, tingginya angka penderita HIV akibat dari seringnya berganti ganti pasangan, dan sebagainya.

c. World view
Kalau sistem kepercayaan yang dianut oleh seseorang lebih mengarah pada perspektif religius, maka world view atau pandangan hidup merupakan sikap (kondisi psikologis) yang paling asasi yang dimiliki oleh seseorang dalam mengambil posisi dalam sebuah kelompok sosial. Termasuk didalamnya adalah bagaimana orientasi yang dimiliki seseorang dalam mempersepsi keberadaan tuhannya (persepsi religius), konsep kemanusiaan (hubungan dengan sesama) dan lingkungan sekitar, serta pranata sosial yang ada disekitarnya.[19] Karena konsep religius dan relasional telah dibahas pada bagian sebelumnya, maka kali ini pembahasan akan difokuskan pada masalah pranata sosial dalam konteks persepsi tentang sebuah ikatan kekeluargaan atau household.
Ada perbedaan persepsi dikalangan masyarakat yang berkembang mengenai makna sebuah keluarga, terutama bagi mereka yang berbeda budaya. Bisa jadi, perbedaan persepsi ini muncul secara semantis dalam menterjemahkan serta memaknai kata household itu sendiri, apakah dia bermakna family (keluarga) atau rumah tangga yang menurut konteks kita sebenarnya hampir sama. Pada umumnya bangsa kita memandang bahwa household (baik dalam konteks rumah tangga atau keluarga) adalah sebuah lembaga yang suci dan agung dalam rangka meneruskan keturunan (regenerasi) yang syah serta mencari kebahagiaan hidup, sehingga perlu dijaga kelestariannya dengan, kadang kadang, sebuah pengorbanan.
Tetapi bagi sebagian masyarakat barat, household dimaknai secara sangat sederhana sebagai sekelompok orang yang hidup bersama dan berbagi berbagai fasilitas yang ada, sebagaimana diungkapkan oleh Kress Gunther bahwa: A household is simply a group of people living together in the same residence, sharing the same facilities.[20] Disini nampaknya konsep berbagi atau sharing menjadi kunci utama dalam mempersepsi sebuah household, sehingga menjadi daya tarik utama bagi seseorang yang ingin membangun lembaga tersebut.
Logika dari ungkapan ini adalah bahwa bagi mereka yang tidak tertarik untuk sharing fasilitas yang mereka miliki, maka sebuah keluarga tidak begitu penting untuk dibangun. Sebagai akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan seksual yang biasanya diekspresikan secara agresif, mereka lebih memilih jalur mencari pasangan yang cocok untuk hidup bersama tanpa harus melalui perkawinan yang syah. Dengan demikian ketika dalam perjalanannya mereka sudah merasa tidak cocok lagi (bahasa kasarnya: bosan) maka mereka bisa berpisah dan mencari partner lain yang cocok tanpa harus merasa bersalah karena telah mengingkari lembaga kebersamaan. Makanya bukan hal yang aneh kalau kita sering melihat atau mendengar mereka sering berganti ganti pasangan. Akibatnya, banyak wanita barat yang hamil dimana tidak diketahui secara pasti laki laki yang mana yang menghamilinya.
Gambaran ini misalnya bisa kita peroleh dari kehidupan para artis barat, ambil kasus Jodie Foster, yang memiliki anak tanpa diketahui (atau yang bersangkutan tidak mau menceritakan) siapa ayahnya. Di Indonesia, misalnya kasus Zarima atau Sarah Azhari, yang mempunyai anak tanpa informasi yang jelas mengenai identitas ayahnya. Barangkali masih banyak Jodie Foster atau Zarima yang lain yang tidak kita ketahui karena tidak terpublikasikan melalui media.

E. Penutup
            Gambaran negatif tentang kehidupan remaja mancanegara (barat) yang cenderung bebas, termasuk dalam perilaku seksualnya, yang sudah terlanjur melekat dalam benak berbagai kalangan sepertinya tidak bisa dipungkiri kebenarannya. Yang menjadi kekhawatiran kita adalah bahwa potret kehidupan semacam itu hampir tiap hari ditatap oleh remaja dan anak anak kita melalui media massa (terutama televisi). Bahkan ada indikasi yang menunjukkan bahwa sebagian dari remaja kita sudah mempraktekkan gaya hidup yang serupa, meskipun tidak mudah mengatakan apakah sebenarnya remaja kita tengah mengalami proses keterpengaruhan atau proses penciptaan budaya.
            Kalau diamati dari perspektif budaya, maka ada semacam pemahaman kultural dalam arti, dengan melihat latar belakang kehidupan mereka, kita bisa memaklumi mengapa remaja mancanegara memiliki life style semacam itu. Namun bukan berarti lantas kita bisa bersikap permisif dalam arti menyetujui manakala remaja kita lantas melakukan imitasi dan duplikasi, karena pada hakekatnya norma agama serta budaya kita tidak bisa mentolerir perbuatan kita anggap menyimpang dari pespektif budaya timur tersebut. Meskipun sebenarnya tidak semua orang dengan gampangnya bisa terpengaruh oleh pesan pesan yang disampaikan oleh media massa atau oleh kontak langsung dengan pembawa pesan, namun ada baiknya sesegera mungkin diupayakan solusi preventif (serta kuratifnya bagi yang sudah terlanjur terpengaruh).
            Upaya preventif dan kuratif ini menjadi tugas bersama antara orang tua, masyarakat dengan para tokohnya, lingkungan sekolah dengan para pendidiknya, LSM (terutama dengan pusat pusat kajian gendernya), dan tak kalah pentingnya pemerintah. Kerjasama yang sinergis berbagai kalangan tersebut diharapkan akan mampu mengatasi permasalahan moral remaja sebagai aset bangsa. Semoga.


DAFTAR PUSTAKA

Argyle, M. and Hallahmi, B.B. (1975), The Social Psychology of Religion, London: Roudledge.

Eriyanto, (2001), Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta:LkiS

Gunther, K. (1989), Communication and Culture, New South Wales: New South Wales University Press.

Hall, E.T., (1988), "Context and Meaning", in Samovar, L.A. and Porter, R.E. (eds.), Intercultural Communication: A Reader, California: Wardsworth, p.: 44-54.

Heryanto, A, (1998), "Seks, Ras, dan Politik", dalam Ibrahim, I.S. dan Suranto, H. (ed.), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung: Rosda Karya, hal. 45 - 51.

Mulyana, D. (1999), Nuansa Nuansa Komunikasi: Meneropong politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer, bandung: Rosda Karya.

Mulyana, D. dan Jalaludin Rahmat, (1996), Komunikasi Antarbudaya: Panduan berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, Bandung: Remaja Rosda Karya.

Rakhmat, J., (1996), Psikologi Komunikasi, edisi IV, Bandung: Rosda Karya.

Samovar.L.A, dan Porter, R.E., (1988), Intercultural Communication: A Reader, California: Wadsworth.

Sarbaugh, L.E., (1988), Intercultural Communication, Brunswick, U.S.A.: Transaction Book.

Sciortino, R. (1999), Menuju Kesehatan Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Spilka, B. et.al (1985), The Psychology of Religion: An Empirical Approach, New Jersey: Prentice Hall.

Turner, B. (1983), Religion and Social Theory: A Materialist Perspective, London: Heinemann Educational Book.

Wolf, N. (1997), Gegar Gender: Kekuasaan Perempuan Menjelang Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Semesta.

Surat kabar harian Suara Merdeka, Sabtu 26 Mei 2001.



[1] Artikel pada harian Suara Merdeka, Sabtu 26 Mei 2001. 
[2] Sciortino, R. Menuju Kesehatan Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hal.: 205
[3] Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. LkiS, Yogyakarta, 2001, hal.: 260.
[4] Spilka, B. et.al , The Psychology of Religion: An Empirical Approach, Prentice Hall, New Jersey, 1985, hal.: 111
[5] Mengenai permasalahan ini ada sebuah buku yang secara spesifik diterbitkan sebagai pedoman untuk berkomunikasi dengan (serta memahami perilaku) orang orang yang berbeda budaya dimana ada bagian khusus mengenai upaya memahami perilaku masyarakat yang hedonis dan invidualis.  Untuk lebih jelasnya lihat Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat (ed) dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1996.
[6]  Spilka, op. cit. hal.: 88.
[7]  Mulyana, D., Nuansa Nuansa Komunikasi: Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer, Rosda Karya, Bandung, 1999, hal.: 40.
[8] Pengalaman ini merupakan pengamatan langsung yang diperoleh pada saat penulis menempuh studi disalah satu perguruan tinggi di Canberra antara tahun 1991-1993.
[9] Heryanto, A. "Seks, Ras, dan Politik", dalam Ibrahim, I.S. dan Suranto, H. (ed.), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, Bandung, Rosda Karya, 1998, hal.: 45.
[10] Samovar,L.A. and Porter, R.E. (eds.), Intercultural Communication: A Reader, Wadsworth, U.S.A., 1988, hal.: 141.
[11] Wolf, N. Gegar Gender: Kekuasaan Perempuan Menjelang Abad 21, Yogyakarta, Pustaka Semesta, 1997, hal.: 37.
[12] Samovar, L.A. and Porter, R.E., op.cit., hal.: 24. Selanjutnya Samovar dan Porter menambahi bahwa organisasi sosial, termasuk organisasi keagamaan juga turut memberikan pengaruh terhadap perilaku seseorang.
[13] Sarbaugh, L.E., Intercultural Communication, Brunswick, U.S.A., Transaction Book, 1988, hal.: 27.
[14] Turner, B. Religion and Social Theory: A Materialist Perspective, London, Heinemann Educational Book, 1983, hal.: 4.
[15] Argyle, M and Hallahmi, B.B., The Social Psychology of Religion, London and Boston, Routlegde and Kegan Paul, 1975, hal: 153.
[16] Rakhmat, J., Psikologi Komunikasi , edisi IV, Rosda Karya, Bandung, 1996, hal.: 104.
[17] Sarbaugh, op. cit. hal.: 34.
[18] Hall, E.T., "Context and Meaning" , dalam Samovar, L.A. dan Porter, R.E., Intercultural Communication: A Reader, california, Wardsworth, hal.: 44.
[19] Samovar, L.A. and Porter, R.E., Op. cit., hal.: 26.
[20] Gunther, K (ed.), Communication and Culture: An Introduction, New South Wales University Press, New South Wales, 1989, hal.: 32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar