Sabtu, 14 Desember 2013

Jaringan Ulama Di Haramayn

"+"

JARINGAN ULAMA;

Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII

(Karya Prof. Azyumardi Azra)

BAB II
JARINGAN ULAMA DI HARAMAYN
ABAD KETUJUH BELAS


A.    Pendahuluan

Realita perkembangan pemikiran sejarah dunia Islam yang terjadi pada abad ke 17 bila digambarkan seperti sombiosis mutualisme antara guru dan murid. Dimana keberadaan guru tidak memiliki arti yang berarti bila tidak ada murid yang diajar, begitu juga dengan adanya murid sebagai orang yang akan menuntut ilmu tidak ada guru tentu akan mengalami ke-mandeg-an karena tidak ada yang membimbing, memfasilitasi, mengarahkan. Jadi proses dialektika pemberdayaan akan tercipta bila kedua unsur utama ini ada dalam tujuan untuk terjadinya proses pendidikan1. Sehingga dalam perspektif pendidikan diakui bahwa hubungan antara guru dengan murid, dan begitu juga sebaliknya hubungan antara murid dengan guru bisa menumbuhkan sebuah sikap kedekatan emosional yang cukup kuat diantara mereka2. Ini terjadi karena dibangun dari hasil ke intensitasan hubungan antara ke dua belah fihak yang sama-sama saling pro aktif, ---tidak semata-mata karena dorongan eksternal dari sebuah bentuk rekayasa yang dibuat-buat--- guna mengembangkan tanggung jawab intektual di tingkat masyarakat yang lebih luas.
Gambaran dari realitas itu yang secara monumental menciptakan suasana dinamika yang cukup kondusif, sebagaimana terjadi sebuah jaringan ulama di Haramayn. Dalam persoalan ini keterlibatan antara guru dan murid memainkan peranan yang cukup singnifikan dalam terciptanya dinamika jaringan ulama ini. Bagaimana tidak, hubungan yang tercipta dengan cukup kondusifnya tersebut menjadikan mata rantai yang sulit untuk dipisahkan antara satu dengan yang lain, seolah semuanya saling membutuhkan dan dibutuhkan.
Setidaknya dinamika sosial seperti ini, yang menjadikan dinamisnya sebuah gerakan sosial, pemikiran, kebudayaan, maupun kenyakinan suatu kelompok ---tidak menutup terjadi proses islamisasi--- tanpa disengaja, akibat intensitas dinamika sosial yang tercipta pada waktu itu. Terpengaruhi adalah hal yang wajar sebagai konsekwensi logis dari bias yang tercipta akan sebuah proses dinamika sosial kemasyarakatan itu sendiri.
Sebagaimana telah ditegaskan dalam bagian pendahulaun keinginan, Azyumardi Azra, secara implisit ingin melacak sejauh mana sumber-sumber dan bias yang diakibatkan dari sumber itu sendiri, sehingga mengetahui secara persis perjalanan historis dari sebuah kenyataan yang ada.

B.     Isi Pokok Jaringan Ulama Pada Bab II

Sisi yang dimunculkan sebagai awal opini dari uraian bab II adalah; pertama keberadaan kota Makkah dan Madinah merupakan simbol kekuatan Islam, minimal sebagai tempat pemersatu umat Islam di seluruh penjuru dunia. Mulai dari kutub utara sampai selatan, dari sebrang barat sampai timur, dari tempat jauh terpencil sekalipun, semua umat Islam tetap memandang keberadaan kota Makkah dan Madinah, sampai-sampai kedua kota ini juga disebut Haramayn. Hal ini karena keberadaan dari kedua kota ini yang merupakan tempat Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad dan juga dari kedua kota ini awal mula Islam disiarkan serta ditegakkan keseluruh umat manusia di penjuru dunia. Ditambahkan lagi kota Makkah sebagai qilah, kearah mana umat Islam menghadapkan wajahnya dalam sholat dan di Makkah pula juga umat Islam menyempurnakan rukun Islam yang terakhir yakni menunaikan ibadah haji.
Kedua, pengaruh dari pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan setiap tahun, di Makkah dan Madinah menjadi tempat pertemuan terbesar kaum Muslimin dari berbagai penjuru dunia, sehinga menjadikan kota Makkah dan Madinah lebih kosmopolitan masyarakatannya. Maka wajar bagi mereka yang mengajar dan menuntut ilmu di kedua tempat ini di pandang pada umumnya memiliki pengetahuan luas oleh masyarakat pada umumnya, karena daerah tersebut tingkat interaksinya lebih kompleks dengan masyarakat Muslim di berbagai penjuru dunia, maka wajar bila mereka yang bergulat dengan dunia keilmuan dikedua tempat ini, memiliki pengalaman luas dibanding dengan tempat-tempat lain di dunia Muslim. Sementara, juga muncul anggapan dikalangan kaum muslimin, bahwa mereka yang menuntut ilmu di kedua kota ini lebih sempurna dibanding mereka yang menuntut ilmu diluar kedua kota Makkah dan Madinah. Singkatnya, ilmu yang diperoleh di Haramayn di pandang lebih tinggi ilmunya. Sehingga mereka yang lulusan dari Haramayn lebih dihormati dari pada mereka yang lulusan dari pendidikan di tempat lain.
Ketiga, penulis Prof. DR. Azyumardi Azra menggiring wacana terbentuknya jaringan ulama’ di Haramayn ini, awal mulanya akibat adanya konflik internal dikalangan umat Islam, yang berakibat lemahnya dinamika keagamaan di dunia Islam. Hal ini di pertegas dengan ada pelucutan Dinasti Abbasiyah sejak abad ke 9, yang mengakibatkan stabilitas politik menurun drastis. Bahkan pada 317/ 929 kaum Syi’ah Qarmathiyah menyerbu Makkah dan membunuh 30.000 jamaah haji serta penduduk setempat. Setelah menjarah Makkah mereka melarikan “batu hitam” (Hajar Al Aswad) ke Al Hijr, kubu mereka di Arabia Barat.
Penjarahan yang dilakukan oleh Qarmathiyah jelas menimbulkan dampak negatif akan subtansialnya bagi Haramayn. Selama beberapa dasawarsa anarkhi yang dimulai oleh kaum Qarmathiyah, penduduk dan para jamah haji di Haramayn dalam situasi kacau tidak menentu. Sampai-sampai pelaksanaan ibadah haji sendiri terhenti total. Lebih celaka lagi, pada waktu bersamaan para penguasa Haramayn terlibat konflik internal demi kekuasaan diantara sesama mereka. Hal ini berimbas pada setiap sendi kebutuhan hidup manusia mengalami inflasi, disetiap pasar-pasar pada tutup, jalannya pendidikan pun terganggu tidak sebagaimana normalnya.
Keempat, dengan situasi yang demikian kebangkitan jaringan ulama ini muncul yang dilatarbelakangi tidak saja bersifat keagamaan semata, tetapi juga mencakup berbagai hal diantaranya adalah faktor ekonomi, sosial dan politik. Baru ketika pada abad ke 11 Kaum Sunni meraih kembali kontrol politik. Dibawah payung Khalifah Abbasiyah di Baghdad, mereka sungguh-sungguh memulihkan stabilitas yang sudah tidak menentu tersebut. Hasilnya, para ulama Sunni yang pada awalnya mengembara kemana-mana selama masa-masa yang tidak menentukan tadi terdorong kembali ke negeri asalnya.
Dari sini di mulai kebangkitan jaringan ulama yang dikembangkan lewat kegiatan-kegiatan akademis yang mereka bentuk. Hal ini awali dari pertumbuhan madrasah sebagai lembaga tipikal Muslim, guna mentrasformasikan dan mengembangkan tradisi-tradisi keagamaan bagi masyarakat Haramayn khususnya dan masyarakat Muslim diseluruh penjuru dunia pada umumnya. 

C.    Analisis buku

Berdasar dari pendekatan-pendekatan yang tertuang dalam uraian bab ini, saya menganalisis dari sisi kemanfaatan yang ada dalam buku ini. Setidaknya sebagaimana yang sudah ditegaskan dalam uraian sebelumnya bahwa keinginan, Azyumardi Azra, secara implisit dari penulisan buku tersebut adalah ingin melacak sejauh mana sumber-sumber dan bias yang diakibatkan dari sumber itu sendiri, sehingga mengetahui secara persis perjalanan historis dari sebuah kenyataan yang ada dan tidak hanya saja dikaji pada aspek “organisasional”nya saja.
Dari kacamata tersebut memang cukup menarik, dimana untuk menyelami sebuah kenyataan, tidak hanya terbatas pada faktor kulitnya saja tetapi lebih jauh, perlu menyelami faktor-faktor internal dalam mempengaruhi timbulnya permukaan kulit tersebut. Sehingga memunculkan suatu analisis-analisis yang lebih falid pada tingkat keobyektifitasaannya, karena bagaimanapun sebuah kebenaran yang obyektif harus memperhatikan faktor-faktor internal yang juga bisa dijadikan analisis dari munculnya sebuah fenomena yang berkembang3, ditambahkan lagi bahwa pada proses pengungkapan fakta sejarah ini juga dilakukan berdasar pada literatur-literatur para tokoh sejarawan Timur Tengah sebagai orang yang merasakan langsung perkembangan yang terjadi pada waktu itu, namun juga hendaknya didukung oleh literatur-literatur para tokoh sejarawan Barat ---meski ada beberapa fakta yang berbeda dari hasil pengungkapannya---. Secara nyata apabila konteksnya demikian, bila disimak tingkat keakuratan tentu diharapkan mendekati kebenaran.
Namun, yang menjadi kelemahan dalam buku tersebut, bahwa judul pada bab II, ditegaskan tentang “Jaringan Ulama di Haramayn Abad ke Tujuh Belas”, tetapi penulis (Prof. DR. Azyumardi Azra) justru menceritakan fenomena sejarah dari abad ke 9 sampai abab ke 11. Maka, hal ini seolah ada loncatan cerita sejarah yang terpenggal, sebagaimana judul bab menegaskan “jaringan ulama Haramayn abad ke tujuh belas” dia (penulis Prof. DR. Azyumardi Azra) malah bercerita tentang kondisi sejarah pada abad ke yang jauh tidak mendekati abad 17. Loncatan cerita sejarah ini yang perlu dipertimbangkan ulang oleh Prof. DR. Azyumardi Azra dalam menelusuri secara persis perjalanan historis terbentuknya jaringan ulama di Haramayn pada abad ke 17 tersebut, guna mendapatkan analisis yang lebih akurat dan obyektif dari fenomena sejarah itu sendiri.
Bila dikaji lebih dalam lagi, bahwa munculnya jaringan ulama sebagaimana uraian pada bab ini adalah sebuah hal yang wajar untuk bisa terjadi, karena disebabkan munculnya mata rantai yang cukup kuat dan tercipta sangat dominan, demikian juga memiliki keterkaitan hubungan antara satu dengan yang lain ---sebagaimana telah digambarkan pada bagian pendahuan---. Tetapi, ada satu hal yang masih belum terjawab bahwa sampai sejauhmana dinamika perkembangan intelektual diantara mereka?, sebab selama periode ini para ulama di Haramayn dalam proses pendidikannya pada waktu itu masih bersifat konsevator yakni dengan mempertahankan budaya masa lalunya4 ---meski saya juga tidak menafiqkan munculnya jaringan ulama’ bagaikan mata rantai yang tidak pernah terpisahkan sampai sekarang ini---- sehingga mengakibatkan fenomena sistem pendidikan yang demikian terbukti bahwa halaqah (diskusi) yang dilakukan hanya muncul apabila fenomena atau persoalan keagamaan di masyarakat luas tengah mengkristal, maka dimungkinkan dari budaya ini, jangan heran jika secara kultur ---tidak harus mengklaim semuanya--- pemikiran-pemikiran umat Islam cenderung lebih pasif dari pada reaktif, lebih cenderung bertahan dari pada progresif5, meski pada awal mulanya Nabi saw mengajarkan tentang  penggunaan
“akal” secara maksimal6.
Tentu sepantasnya, apabila iklim budaya pendidikan terutama dalam dunia Islam dituntut lebih bersifat reflektif dan progresif. Artinya, fungsi yang pertama adalah  iklim budaya akademis dalam Islam harus mampu menggambarkan corak dan arus kebudayaan yang sedang berlangsung, sedangkan pada fungsi yang kedua adalah iklim budaya akademis dalam Islam dituntut mampu memperbaharui dan mengembangkan kebudayaan agar dicapai kemajuan7.
Bila demikian penjabarannya, sangat naif apabila masyarakat muslim sampai saat ini masih memandang bahwa mereka yang alumni Haramayn lebih mulya bila dibandingkan dengan mereka yang alumni di luar negara Haramayn. Kalau pada abad ke 17 boleh jadi pandangan itu benar, karena Haramayn adalah sebuah tempat pertemuan umat Islam dari seluruh pelosok penjuru dunia, ini dikarenakan bagi umat Islam seluruh penjuru dunia menunaikan ibadah haji. Sehingga dari pelaksanaan pertemuan ibadah haji ini terjalin informasi dan komunikasi yang aktual tengah berkembang di masyarakat Muslim dari berbagai daerah di penjuru dunia tersebut.
Saat ini persoalannya bukan kemulyaan seseorang yang ditunjukkan dengan lulusannya di satu tempat saja yang di anggap sakral semata, tetapi pada masa sekarang, akibat dari gerakan globalisasi yang sudah melanda di segenap penjuru dunia dan merubah sistem nilai kemanusiaan yang lebih kompleks, tentu bagaimana saat ini manusia dituntut mampu menguasai informasi dengan di landasi pengetahuan cukup, karena dengan fondamen tersebut manusia tentu saja dengan mudahnya bisa menciptakan (memainkan peranan) yang terbaik dimuka bumi ini bagi kesejahteraan umat manusia di seluruh penjuru dunia, karena kendali ada digenggaman tangannya dengan berbagai informasi dan pengetahuan yang dimilikinya.
Sehingga saat ini pengetahuan yang luas bukan saja didapatkan di Haramayn hanya dengan predikat kemulyaan semata, tetapi sekarang harus difikirkan apa gunanya predikat mulya/ keagungan kalau diri kita masih dibanyang-banyangi/ dibawa kendali oleh orang lain? tidak bebas dalam menentukan sikap. Hanya kemenangan semu semata yang dimiliki jika demikian, lebih parah lagi jika mereka adalah orang-orang non Muslim yang akan terus berusaha memancing dan mencari melemahkan kepada umat Islam.

D.    Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian diatas dapat disimpulkan bahwa; pertama terjadinya jaringan ulama di  Haramayn pada abad ke 17, karena akibat tingkat intensitas budaya akademik, terutama bagi guru dan murid; kedua selama periode ini para ulama di Haramayn mengembangkan budaya akademik yang diciptakan dalam proses pendidikannya secara intens, tetapi hanya bersifat konsevator yakni dengan mempertahankan budaya masa lalunya saja; ketiga yang perlu diperhatikan bahwa pada bagian bab ini ada loncatan cerita sejarah yang cukup jauh waktunya dengan terciptanya jaringan ulama di Haramayn abad ke 17.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Pendidikan Islam Antisipatoris, Edukasi, Vol. II, Januari, 2004.

Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Pendidikan Sistematis, Yogyakarta, Fak. Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1984.

Baum, Gregory, Truth Beyond Relativism; Karl Mannheim’s Sociology of Knowledg, Terj. Arow, Masyhuri, Agama Dalam Bayang-bayang Relativisme; Sebuah Analisis Sosiologis Sintesa Kebenaran Historis-Normatif, Yogya, Tiara Wacana, 1999.

Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1999.

Nasroen, Falsafah Dalam Keredlaan Allah, Djakarta, Bulan Bintang, 1967.

Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta, Safiria Insania Press, 2003.

Soebahar, Abdul Halim, Reorientasi Pendidikan Islam di Era Globalisasi, Jember, Makalah Hasil Diskusi Gebyar Refleksi Tarbiyah, 2000.

Sudjana S, Strategi Pembelajaran; Pendidikan Luar Sekolah, Bandung, Falah Production, 2000.



1 Sebagaimana dalam ilmu pendidikan antara pendidik dan anak didik tidak bisa berdiri sendiri, tetapi diantara semuanya saling mempengarungi dan membutuhkan ; baca, Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Fak. Ilmu Pendidikan, 1984), 36. Bandingkan juga Sudjana, Strategi Pembelajaran; Pendidikan Luar Sekolah, (Bandung: Falah Production, 2000), 3.
2 diantara mereka juga menumbuhkan hubungan yang sangat erat; baca, Sudjana, Strategi Pembelajaran; Pendidikan Luar Sekolah, Ibid, 3.

3 Diskursus kebenaran, tidak hanya saja berputar pada fenomena kejadian semata, tetapi yang lebih penting harus mampu mencari akar sebagai basis dari fenomena itu sendiri, Baca; Baum, Gregory, Truth Beyond Relativism; Karl Mannheim’s Sociology of Knowledg, Terj. Arow, Masyhuri, Agama Dalam Bayang-Bayang Relativisme; Sebuah Analisis Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim tentang Sintesa Kebenaran Historis-Normatif, (Yogya: Tiara Wacana, 1999), x.
4 Karenanya sifat pendidikan yang demikian ini perlu ditentang karena akan menghasilkan SDM yang tidak kreatif, padahal di adakannya pendidikan adalah untuk mempersiapkan SDM yang mampu mengatasi persoalan yang akan datang, malah ini sebaliknya bahwa proses pendidikan yang dilakukan hanya sekedar mewariskan budaya lama, tentunya ini bertentangan dengan sebuah Hadist Nabi SAW “Allimu auladzakum fainnahum mukhluquna lizamanin ghairi zamanikum” (Didiklah anak-anakmu, sesungguhnya mereka mahluk yang akan hidup pada suatu zaman yang sama sekali berbeda dengan zamanmu); baca Achmadi, Pendidikan Islam Antisipatoris, Edukasi, Vol. II (Semarang: Januari, 2004), 144. Demikian juga baca  Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia, (Yogyakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1999), 209, menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya sebatas berfungsi sebagai inkulturasi, yakni hanya sekedar berfungsi sebagai pewaris nilai-nilai yang ada  sekarang ke genarasi mendatang, tetapi lebih dari itu fungsi pendidikan hendaknya juga diarahkan untuk menyiapkan generasi dalam menghadapi segala macam bentuk tantangan yang ada dikehidupan masa datang.
5 Hal ini terbukti ketika berbagai macam tuduhan yang dialamatkan kepada umat Islam untuk melemahkan agama Islam, Umat Islam hanya “bertahan” dengan melakukan retorika pembelaan, tetapi umat Islam sampai saat ini masih belum bisa membuat opini segar dalam menciptakan sensasi terhadap para musuh-musuh agama Islam yang ingin menjatuhkan (menyudutkan) Islam. Tetapi apakah ini juga bagian dari strategi umat Islam? atau bahkan juga meltalitas umat Islam yang memang cenderung pasif dari pada reaktif?, mari direnungkan bersama.
6 bagaimana telah disebutkan dalam Al qur’an sendiri kalimat ta’lamun, ta’qilun, tafakarun, ta’dzakkarun, tadabbarun, ya’ulil albab, dan sebagainya, baca lebih lanjut Nasroen, Falsafah Dalam Keredlaan Allah, (Djakarta: Bulan Bintang, 1967), 40.
7 Soebahar, Abdul Halim, Reorientasi Pendidikan Islam di Era Globalisasi, (Jember: makalah diskusi Gebyar Refleksi Tarbiyah, 2000),15. Bandingkan juga Sanaky, Hujair AH, Paradigma Pendidikan Islam; membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar