JARINGAN ULAMA;
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII
(Karya Prof. Azyumardi
Azra)
BAB II
JARINGAN ULAMA DI HARAMAYN
ABAD
KETUJUH BELAS
A. Pendahuluan
Realita perkembangan pemikiran sejarah dunia Islam
yang terjadi pada abad ke 17 bila digambarkan seperti sombiosis mutualisme antara guru dan murid. Dimana keberadaan guru tidak memiliki
arti yang berarti bila tidak ada murid yang diajar, begitu juga dengan adanya
murid sebagai orang yang akan menuntut ilmu tidak ada guru tentu akan mengalami
ke-mandeg-an karena tidak ada yang
membimbing, memfasilitasi, mengarahkan. Jadi proses dialektika pemberdayaan akan tercipta bila kedua unsur utama
ini ada dalam tujuan untuk terjadinya proses pendidikan1.
Sehingga dalam perspektif pendidikan diakui bahwa hubungan antara guru dengan
murid, dan begitu juga sebaliknya hubungan antara murid dengan guru bisa
menumbuhkan sebuah sikap kedekatan emosional yang cukup kuat diantara mereka2. Ini terjadi karena dibangun dari hasil
ke intensitasan hubungan antara ke dua belah fihak yang sama-sama saling pro
aktif, ---tidak semata-mata karena dorongan eksternal dari sebuah bentuk
rekayasa yang dibuat-buat--- guna mengembangkan tanggung jawab intektual di
tingkat masyarakat yang lebih luas.
Gambaran
dari realitas itu yang secara monumental menciptakan suasana dinamika yang
cukup kondusif, sebagaimana terjadi sebuah jaringan ulama di Haramayn. Dalam
persoalan ini keterlibatan antara guru dan murid memainkan peranan yang cukup
singnifikan dalam terciptanya dinamika jaringan ulama ini. Bagaimana tidak,
hubungan yang tercipta dengan cukup kondusifnya tersebut menjadikan mata rantai
yang sulit untuk dipisahkan antara satu dengan yang lain, seolah semuanya
saling membutuhkan dan dibutuhkan.
Setidaknya
dinamika sosial seperti ini, yang menjadikan dinamisnya sebuah gerakan sosial,
pemikiran, kebudayaan, maupun kenyakinan suatu kelompok ---tidak menutup
terjadi proses islamisasi--- tanpa disengaja, akibat intensitas dinamika sosial
yang tercipta pada waktu itu. Terpengaruhi adalah hal yang wajar sebagai
konsekwensi logis dari bias yang tercipta akan sebuah proses dinamika sosial
kemasyarakatan itu sendiri.
Sebagaimana telah ditegaskan dalam bagian
pendahulaun keinginan, Azyumardi Azra, secara implisit ingin melacak sejauh mana
sumber-sumber dan bias yang diakibatkan dari sumber itu sendiri, sehingga
mengetahui secara persis perjalanan historis dari sebuah kenyataan yang ada.
B. Isi Pokok Jaringan Ulama Pada Bab II
Sisi yang dimunculkan sebagai awal opini dari uraian
bab II adalah; pertama keberadaan kota Makkah dan Madinah
merupakan simbol kekuatan Islam, minimal sebagai tempat pemersatu umat Islam di
seluruh penjuru dunia. Mulai dari kutub utara sampai selatan, dari sebrang
barat sampai timur, dari tempat jauh terpencil sekalipun, semua umat Islam
tetap memandang keberadaan kota
Makkah dan Madinah, sampai-sampai kedua kota
ini juga disebut Haramayn. Hal ini
karena keberadaan dari kedua kota
ini yang merupakan tempat Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad dan juga dari
kedua kota ini
awal mula Islam disiarkan serta ditegakkan keseluruh umat manusia di penjuru
dunia. Ditambahkan lagi kota
Makkah sebagai qilah, kearah mana
umat Islam menghadapkan wajahnya dalam sholat dan di Makkah pula juga umat
Islam menyempurnakan rukun Islam yang terakhir yakni menunaikan ibadah haji.
Kedua, pengaruh
dari pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan setiap tahun, di Makkah dan Madinah
menjadi tempat pertemuan terbesar kaum Muslimin dari berbagai penjuru dunia,
sehinga menjadikan kota Makkah dan Madinah lebih kosmopolitan masyarakatannya.
Maka wajar bagi mereka yang mengajar dan menuntut ilmu di kedua tempat ini di
pandang pada umumnya memiliki pengetahuan luas oleh masyarakat pada umumnya,
karena daerah tersebut tingkat interaksinya lebih kompleks dengan masyarakat
Muslim di berbagai penjuru dunia, maka wajar bila mereka yang bergulat dengan
dunia keilmuan dikedua tempat ini, memiliki pengalaman luas dibanding dengan
tempat-tempat lain di dunia Muslim. Sementara, juga muncul anggapan dikalangan
kaum muslimin, bahwa mereka yang menuntut ilmu di kedua kota ini lebih sempurna dibanding mereka yang
menuntut ilmu diluar kedua kota
Makkah dan Madinah. Singkatnya, ilmu yang diperoleh di Haramayn di
pandang lebih tinggi ilmunya. Sehingga mereka yang lulusan dari Haramayn lebih
dihormati dari pada mereka yang lulusan dari pendidikan di tempat lain.
Ketiga,
penulis Prof. DR. Azyumardi Azra menggiring wacana terbentuknya jaringan ulama’
di Haramayn ini, awal mulanya akibat adanya konflik internal dikalangan
umat Islam, yang berakibat lemahnya dinamika keagamaan di dunia Islam. Hal ini
di pertegas dengan ada pelucutan Dinasti Abbasiyah sejak abad ke 9, yang
mengakibatkan stabilitas politik menurun drastis. Bahkan pada 317/ 929 kaum
Syi’ah Qarmathiyah menyerbu Makkah dan membunuh 30.000 jamaah haji serta
penduduk setempat. Setelah menjarah Makkah mereka melarikan “batu hitam” (Hajar Al Aswad) ke Al Hijr, kubu mereka
di Arabia Barat.
Penjarahan yang dilakukan oleh Qarmathiyah jelas
menimbulkan dampak negatif akan subtansialnya bagi Haramayn. Selama
beberapa dasawarsa anarkhi yang dimulai oleh kaum Qarmathiyah, penduduk dan
para jamah haji di Haramayn dalam situasi kacau tidak menentu.
Sampai-sampai pelaksanaan ibadah haji sendiri terhenti total. Lebih celaka
lagi, pada waktu bersamaan para penguasa Haramayn terlibat konflik
internal demi kekuasaan diantara sesama mereka. Hal ini berimbas pada setiap
sendi kebutuhan hidup manusia mengalami inflasi, disetiap pasar-pasar pada
tutup, jalannya pendidikan pun terganggu tidak sebagaimana normalnya.
Keempat,
dengan situasi yang demikian kebangkitan jaringan ulama ini muncul yang
dilatarbelakangi tidak saja bersifat keagamaan semata, tetapi juga mencakup
berbagai hal diantaranya adalah faktor ekonomi, sosial dan politik. Baru ketika
pada abad ke 11 Kaum Sunni meraih kembali kontrol politik. Dibawah payung
Khalifah Abbasiyah di Baghdad, mereka sungguh-sungguh memulihkan stabilitas
yang sudah tidak menentu tersebut. Hasilnya, para ulama Sunni yang pada awalnya
mengembara kemana-mana selama masa-masa yang tidak menentukan tadi terdorong
kembali ke negeri asalnya.
Dari sini di mulai kebangkitan jaringan ulama yang
dikembangkan lewat kegiatan-kegiatan akademis yang mereka bentuk. Hal ini awali
dari pertumbuhan madrasah sebagai lembaga tipikal Muslim, guna
mentrasformasikan dan mengembangkan tradisi-tradisi keagamaan bagi masyarakat Haramayn
khususnya dan masyarakat Muslim diseluruh penjuru dunia pada umumnya.
C. Analisis buku
Berdasar dari pendekatan-pendekatan yang tertuang
dalam uraian bab ini, saya menganalisis dari sisi kemanfaatan yang ada dalam
buku ini. Setidaknya sebagaimana yang sudah ditegaskan dalam uraian sebelumnya
bahwa keinginan, Azyumardi Azra, secara implisit dari penulisan buku tersebut
adalah ingin melacak sejauh mana sumber-sumber dan bias yang diakibatkan dari
sumber itu sendiri, sehingga mengetahui secara persis perjalanan historis dari
sebuah kenyataan yang ada dan tidak hanya saja dikaji pada aspek
“organisasional”nya saja.
Dari kacamata tersebut memang cukup menarik, dimana
untuk menyelami sebuah kenyataan, tidak hanya terbatas pada faktor kulitnya
saja tetapi lebih jauh, perlu menyelami faktor-faktor internal dalam
mempengaruhi timbulnya permukaan kulit tersebut. Sehingga memunculkan suatu
analisis-analisis yang lebih falid pada tingkat keobyektifitasaannya, karena
bagaimanapun sebuah kebenaran yang obyektif harus memperhatikan faktor-faktor
internal yang juga bisa dijadikan analisis dari munculnya sebuah fenomena yang
berkembang3, ditambahkan lagi bahwa pada proses
pengungkapan fakta sejarah ini juga dilakukan berdasar pada literatur-literatur
para tokoh sejarawan Timur Tengah sebagai orang yang merasakan langsung
perkembangan yang terjadi pada waktu itu, namun juga hendaknya didukung oleh
literatur-literatur para tokoh sejarawan Barat ---meski ada beberapa fakta yang
berbeda dari hasil pengungkapannya---. Secara nyata apabila konteksnya
demikian, bila disimak tingkat keakuratan tentu diharapkan mendekati kebenaran.
Namun, yang menjadi kelemahan dalam buku tersebut,
bahwa judul pada bab II, ditegaskan tentang “Jaringan Ulama di Haramayn Abad ke
Tujuh Belas”, tetapi penulis (Prof. DR. Azyumardi Azra) justru menceritakan
fenomena sejarah dari abad ke 9 sampai abab ke 11. Maka, hal ini seolah ada
loncatan cerita sejarah yang terpenggal, sebagaimana judul bab menegaskan
“jaringan ulama Haramayn abad ke tujuh belas” dia (penulis Prof. DR. Azyumardi
Azra) malah bercerita tentang kondisi sejarah pada abad ke yang jauh tidak
mendekati abad 17. Loncatan cerita sejarah ini yang perlu dipertimbangkan ulang
oleh Prof. DR. Azyumardi Azra dalam menelusuri secara persis perjalanan
historis terbentuknya jaringan ulama di Haramayn pada abad ke 17 tersebut, guna
mendapatkan analisis yang lebih akurat dan obyektif dari fenomena sejarah itu
sendiri.
Bila dikaji lebih dalam lagi, bahwa munculnya
jaringan ulama sebagaimana uraian pada bab ini adalah sebuah hal yang wajar
untuk bisa terjadi, karena disebabkan munculnya mata rantai yang cukup kuat dan
tercipta sangat dominan, demikian juga memiliki keterkaitan hubungan antara
satu dengan yang lain ---sebagaimana telah digambarkan pada bagian
pendahuan---. Tetapi, ada satu hal yang masih belum terjawab bahwa sampai
sejauhmana dinamika perkembangan intelektual diantara mereka?, sebab selama
periode ini para ulama di Haramayn dalam proses pendidikannya pada waktu
itu masih bersifat konsevator yakni
dengan mempertahankan budaya masa lalunya4
---meski saya juga tidak menafiqkan munculnya jaringan ulama’ bagaikan mata
rantai yang tidak pernah terpisahkan sampai sekarang ini---- sehingga
mengakibatkan fenomena sistem pendidikan yang demikian terbukti bahwa halaqah
(diskusi) yang dilakukan hanya muncul apabila fenomena atau persoalan
keagamaan di masyarakat luas tengah mengkristal, maka dimungkinkan dari budaya
ini, jangan heran jika secara kultur ---tidak harus mengklaim semuanya---
pemikiran-pemikiran umat Islam cenderung lebih pasif dari pada reaktif, lebih
cenderung bertahan dari pada progresif5,
meski pada awal mulanya Nabi saw mengajarkan tentang penggunaan
“akal” secara maksimal6.
Tentu sepantasnya, apabila iklim budaya pendidikan
terutama dalam dunia Islam dituntut lebih bersifat reflektif dan progresif.
Artinya, fungsi yang pertama adalah
iklim budaya akademis dalam Islam harus mampu menggambarkan corak dan
arus kebudayaan yang sedang berlangsung, sedangkan pada fungsi yang kedua
adalah iklim budaya akademis dalam Islam dituntut mampu memperbaharui dan
mengembangkan kebudayaan agar dicapai kemajuan7.
Bila demikian penjabarannya, sangat naif apabila masyarakat muslim sampai
saat ini masih memandang bahwa mereka yang alumni Haramayn lebih mulya
bila dibandingkan dengan mereka yang alumni di luar negara Haramayn.
Kalau pada abad ke 17 boleh jadi pandangan itu benar, karena Haramayn adalah
sebuah tempat pertemuan umat Islam dari seluruh pelosok penjuru dunia, ini
dikarenakan bagi umat Islam seluruh penjuru dunia menunaikan ibadah haji.
Sehingga dari pelaksanaan pertemuan ibadah haji ini terjalin informasi dan
komunikasi yang aktual tengah berkembang di masyarakat Muslim dari berbagai
daerah di penjuru dunia tersebut.
Saat ini persoalannya bukan kemulyaan seseorang yang
ditunjukkan dengan lulusannya di satu tempat saja yang di anggap sakral semata,
tetapi pada masa sekarang, akibat dari gerakan globalisasi yang sudah melanda
di segenap penjuru dunia dan merubah sistem nilai kemanusiaan yang lebih
kompleks, tentu bagaimana saat ini manusia dituntut mampu menguasai informasi
dengan di landasi pengetahuan cukup, karena dengan fondamen tersebut manusia tentu
saja dengan mudahnya bisa menciptakan (memainkan peranan) yang terbaik dimuka
bumi ini bagi kesejahteraan umat manusia di seluruh penjuru dunia, karena
kendali ada digenggaman tangannya dengan berbagai informasi dan pengetahuan
yang dimilikinya.
Sehingga saat ini pengetahuan yang luas bukan saja
didapatkan di Haramayn hanya dengan predikat kemulyaan semata, tetapi
sekarang harus difikirkan apa gunanya predikat mulya/ keagungan kalau diri kita
masih dibanyang-banyangi/ dibawa kendali oleh orang lain? tidak bebas dalam
menentukan sikap. Hanya kemenangan semu semata yang dimiliki jika demikian,
lebih parah lagi jika mereka adalah orang-orang non Muslim yang akan terus
berusaha memancing dan mencari melemahkan kepada umat Islam.
D. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian diatas dapat disimpulkan bahwa; pertama terjadinya
jaringan ulama di Haramayn pada
abad ke 17, karena akibat tingkat intensitas budaya akademik, terutama bagi
guru dan murid; kedua selama periode ini para ulama di Haramayn mengembangkan
budaya akademik yang diciptakan dalam proses pendidikannya secara intens,
tetapi hanya bersifat konsevator yakni
dengan mempertahankan budaya masa lalunya saja; ketiga yang perlu
diperhatikan bahwa pada bagian bab ini ada loncatan cerita sejarah yang cukup
jauh waktunya dengan terciptanya jaringan ulama di Haramayn abad ke 17.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Pendidikan Islam Antisipatoris, Edukasi,
Vol. II, Januari, 2004.
Barnadib,
Sutari Imam, Pengantar Pendidikan
Sistematis, Yogyakarta, Fak. Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1984.
Baum,
Gregory, Truth Beyond Relativism; Karl
Mannheim’s Sociology of Knowledg, Terj. Arow, Masyhuri, Agama Dalam Bayang-bayang Relativisme;
Sebuah Analisis Sosiologis Sintesa Kebenaran Historis-Normatif, Yogya,
Tiara Wacana, 1999.
Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di
Indonesia, Yogyakarta, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, 1999.
Nasroen, Falsafah Dalam Keredlaan Allah, Djakarta,
Bulan Bintang, 1967.
Sanaky,
Hujair AH, Paradigma Pendidikan Islam; Membangun Masyarakat Madani
Indonesia, Yogyakarta, Safiria Insania Press, 2003.
Soebahar,
Abdul Halim, Reorientasi Pendidikan Islam
di Era Globalisasi, Jember, Makalah Hasil Diskusi Gebyar Refleksi Tarbiyah,
2000.
Sudjana S, Strategi
Pembelajaran; Pendidikan Luar Sekolah, Bandung, Falah Production, 2000.
1
Sebagaimana dalam ilmu pendidikan antara pendidik dan anak didik tidak bisa
berdiri sendiri, tetapi diantara semuanya saling mempengarungi dan membutuhkan
; baca, Barnadib, Sutari Imam, Pengantar
Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Fak. Ilmu Pendidikan, 1984), 36. Bandingkan juga Sudjana, Strategi
Pembelajaran; Pendidikan Luar Sekolah, (Bandung: Falah Production, 2000),
3.
2 diantara mereka juga menumbuhkan hubungan
yang sangat erat; baca, Sudjana, Strategi Pembelajaran; Pendidikan Luar
Sekolah, Ibid, 3.
3 Diskursus kebenaran, tidak hanya saja berputar
pada fenomena kejadian semata, tetapi yang lebih penting harus mampu mencari
akar sebagai basis dari fenomena itu sendiri, Baca; Baum, Gregory, Truth Beyond Relativism; Karl Mannheim’s
Sociology of Knowledg, Terj. Arow, Masyhuri, Agama Dalam Bayang-Bayang Relativisme; Sebuah Analisis Sosiologi
Pengetahuan Karl Mannheim tentang Sintesa Kebenaran Historis-Normatif, (Yogya:
Tiara Wacana, 1999), x.
4 Karenanya sifat pendidikan yang demikian ini
perlu ditentang karena akan menghasilkan SDM yang tidak kreatif, padahal di
adakannya pendidikan adalah untuk mempersiapkan SDM yang mampu mengatasi
persoalan yang akan datang, malah ini sebaliknya bahwa proses pendidikan yang
dilakukan hanya sekedar mewariskan budaya lama, tentunya ini bertentangan
dengan sebuah Hadist Nabi SAW “Allimu
auladzakum fainnahum mukhluquna lizamanin ghairi zamanikum” (Didiklah
anak-anakmu, sesungguhnya mereka mahluk yang akan hidup pada suatu zaman yang
sama sekali berbeda dengan zamanmu); baca Achmadi, Pendidikan Islam Antisipatoris, Edukasi, Vol. II (Semarang:
Januari, 2004), 144. Demikian juga baca
Djohar, Reformasi dan Masa Depan
Pendidikan di Indonesia, (Yogyakarta: Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, 1999), 209, menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya sebatas
berfungsi sebagai inkulturasi, yakni hanya sekedar berfungsi sebagai pewaris
nilai-nilai yang ada sekarang ke
genarasi mendatang, tetapi lebih dari itu fungsi pendidikan hendaknya juga
diarahkan untuk menyiapkan generasi dalam menghadapi segala macam bentuk
tantangan yang ada dikehidupan masa datang.
5 Hal ini terbukti ketika berbagai macam tuduhan
yang dialamatkan kepada umat Islam untuk melemahkan agama Islam, Umat Islam
hanya “bertahan” dengan melakukan retorika pembelaan, tetapi umat Islam sampai
saat ini masih belum bisa membuat opini segar dalam menciptakan sensasi
terhadap para musuh-musuh agama Islam yang ingin menjatuhkan (menyudutkan)
Islam. Tetapi apakah ini juga bagian dari strategi umat Islam? atau bahkan juga
meltalitas umat Islam yang memang cenderung pasif dari pada reaktif?, mari
direnungkan bersama.
6 bagaimana telah disebutkan dalam Al qur’an
sendiri kalimat ta’lamun, ta’qilun,
tafakarun, ta’dzakkarun, tadabbarun, ya’ulil albab, dan sebagainya, baca
lebih lanjut Nasroen, Falsafah Dalam
Keredlaan Allah, (Djakarta: Bulan Bintang, 1967), 40.
7 Soebahar, Abdul Halim, Reorientasi Pendidikan Islam di Era Globalisasi, (Jember: makalah
diskusi Gebyar Refleksi Tarbiyah, 2000),15. Bandingkan juga Sanaky,
Hujair AH, Paradigma Pendidikan Islam; membangun Masyarakat Madani Indonesia , (Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2003), 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar