Review Book
JARINGAN ULAMA TIMUR
TENGAH DAN KEPULAUAN NUSANTARA ABAD XVII DAN XVIII
(Karya Prof.
Dr. H. Azumardi Azra,MA)
BUKU BAB III
PEMBAHARUAN
DALAM JARINGAN ULAMA DAN PENYEBARANNYA KE DUNIA ISLAM YANG LEBIH LUAS
A.
Pendahuluan
Dalam
sejarah Islam telah dilakukan beberapa telaah mengenai
kecenderungan-kecenderungan intelektual yang dikembangkan oleh para ulama
mereka tercermin dalam afiliasi bidang hukum (madzhab) dan tarekat yang
memiliki tradisi-tradisi Islam yang terkait satu sama lain dalam jaringan yang
berbeda bukan hanya dalam latar belakang geografis namun yang lebih penting
lagi dalam preferensi religius intelektual.
Para ulama dalam jaringan
tersebut menjadi ulama pengembara dari pusat pengajaran ilmu-ilmu keislaman ke
pusat yang lain untuk belajar dari satu guru ke guru yang lain sebelum mereka
menetap di Haramayn atau tempat lainnya, jadi mereka dipengaruhi oleh banyak
guru dan menyerap berbagai jalan pikiran dan kecenderungan-kecenderungan
intelektual sehingga untuk mengurai ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh
jaringan ulama itu agak sulit karena harus mengetahui terlebih dahulu latar
belakang ulama tersebut, dalam tataran ini
Azyumardi Azra terus berupaya menarik garis-garis besar dari berbagai
kecenderungan intelektual keagamaan dari jaringan ulama tersebut untuk memahami
dan mengetahui ciri-ciri jaringan ulama.
Adapun
ciri paling menonjol dari jaringan ulama adalah saling pendekatan (reaproachment)
antara para ulama yang berorientasi pada syari’at khususnya para fuqoha dan
para sufi. Sikap saling pendekatan diantara mereka banyak diajarkan oleh
Al-Qusyairi dan Al-Ghazali akhirnya
konflik yang berlangsung lama antara kedua kelompok cendekiawan muslim ini
makin berkurang. Sebagian mereka adalah ahl al syari’ah (fuqoha) dan ahl al
haqiqoh (sufi) sekaligus, sehingga mereka menguasai tidak hanya menguasai
syari’at namun juga haqiqoh (realitas mistis atau Ilahiah). Dalam hal ini
Azyumardi Azra bersikap sangat hati-hati untuk tidak menarik kesimpulan bahwa
mereka telah memandang pendekatan ini sebagi proses rekonsiliasi diantara mereka
telah selesai.
Perjalanan
sejarah yang cukup panjang dalam proses pembaruan dalam jaringan ulama dan
penyebarannya, pada bab ini Azyumardi Azra mengupasnya secara runtut, belau
membahas neo sufisme dan telaah hadits yang mengadopsi pemikiran Fazlur Rahman,
yang didalamnya banyak membahas dinamika pemikiran para ulama, disamping itu
juga dikupas tentang neo sufisme dan syari’at, neo sufisme dan aktivisme serta neo sufisme dan organisasi
tarekat.
Pada
bagian akhir Bab. III ini banyak membahas jaringan ulama pada abad XVIII dan
hubungan-hubungan ulama mereka di Asia dan Afrika, selain itu juga dibahas
tentang kesinambungan dan perubahan kandungan religius intelektual jaringan
ulama tersebut.
B.
Gambaran
umum jaringan ulama pada BAB. III
Dalam
paparan sebelumya dibahas mengenai Haramayn yang merupakan dua kota suci yakni
Mekah dan Madinah sebagai simbol pemersatu umat Islam diseluruh dunia, dimana
keberadaan dua kota ini merupakan tempat Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad
serta dipancarkannya Islam keseluruh dunia sehingga Islam berkembang pesat
sampai sekarang.
Haramayn
menurut pengertian tertentu adalah sebuah panci pelebur (melting pot) dimana
berbagai tradisi kecil Islam melebur menjadi suatu sintetis baru yang sangat
condong pada tradisi besar (great tradition). Misalnya para ulama dari
anak benua India membawa tradisi-tradisi mistis mistis ke haramayn, sementara
ulama dari Mesir dan Afrika utara datang dengan membawa ilmu-ilmu hadis.
Tradisi-tradisi ini berinteraksi antara satu dengan lainnya.
Sintesis
baru tidak sepenuhnya merupakan perkembangan baru dalam sejarah tradisi-tradisi
sosial dan intelektual Islam, namun demikian sintesis baru itu memiliki
beberapa ciri khas jika dibandingkan dengan tradisi sebelumnya dan dalam
beberapa hal ia juga mengandung beberapa unsur kesinambungan dengan
tradisi-tradisi sebelumya.
Haramayn
sejak permulaan Islam telah dikenal sebagai pusat utama hadis karena Nabi sebagai sumber hadis hidup dan memulai
mengembangkan ajaran Islam di sana, juga Maliki dan Hambali yang dikenal
sebagai ahl al hadis telah mengembangkan pengaruh kuat mereka di jazirah
Arabia, bahkan Maliki sangat dominan di Afrika utara dan Barat serta Mesir.
Kaum
hambali terkenal dengan keteguhannya berpegang pada hadis dan penolakan mereka
pada filosofi rasional serta mistisisme spekulatif, begitu juga dikalangan ahl
hadis dan mazhab Maliki di Afrika utara dan Mesir terdapat keengganan menerima
tasauf.
Sejak
akhir abad XVI dimulailah hubungan dikalangan para ulama di Haramayn karena
perkembangan para ahli Hadis yang semakin luas jangkauannya. Dalam paparan ini
banyak dijelaskan peran para Muhaddis yang menjadi penghubung para ulama yang
juga menjadi perangsang timbulnya kecenderungan-kecenderungan religius
intelektual baru di dalam jaringan. Bahkan para ulama-ulama dalam jaringan itu
yang dikenal sebagai sufi, seperti Al-Qusyasyi, Al Kurani, Al-Nakhli atau Abd
Allah Al-Bashri sesungguhnya mempunyai kaitan erat dengan tradisi-tradisi
ilmiah hadis Mesir dan Afrika utara. Tak diragukan lagi telaah-telaah hadis bagi
para ulama ini merupakan subjek paling penting dalam keahlian mereka.
Makna
khusus yang diberikan para ulama pada hadis mencerminkan usaha-usaha mereka
dengan sadar untuk membuat cara-cara Nabi disamping ajaran-ajaran Al-Qur’an
tidak hanya menjadi sumber hukum tetapi juga inspirasi yang tak habis-habisnya
bagi amalan moral yang layak. Oleh karena itu dengan sendirinya dalam
telaah-telaah hadis mereka tidak membatasi diri hanya mempelajari buku-buku
hadis standar. Azyumardi Azra telah mencoba mengutip beberapa buku diluar Al
Kutub Al sittah yang ditelaah Al-Nakhli, menurutnya tampak jelas dari
penjelasan Al-kKurani bahwa enam buku induk hadis itu hanya sebagian kecil saja
dari telaaah-telaah hadisnya, banyak buku hadis yang kurang begitu dikenal.
Tekanan
pada telaah hadis atau sunnah Nabi yang merupakan sumber kedua hukum Islam
menuntun para ulama kita menuju apresiasi lebih besar pada makna syaria’at
dalam tasawuf. Dengan pandangan yang jernih mengenai hubungan yang layak antara
syariat dan tasawuf, tidaklah mengherankan bahwa Al-Qusyasyi merupakan
pendukung yang gigih dari Neo Sufisme. Dia menjelsakan bahwa tidak akan ada
maqam atau ahwal (tahap-tahap dalam perjalanan mistis) yang sejati tanpa bekal
cukup akan pengetahuan (‘ilm) dan perbuatan baik (‘amal) seperti yang diajarkan
Al-Qur’an dan hadits.
Menurut
Fazlur Rahman yang dikutip Azyumardi Azra pada Bab ini, Neo Sufifme adalah
tasawuf yang telah diperbaharui yang terutama dilucuti dari ciri dan kandungan
ekstatik dan metafisiknya dan digantikan dengan kandungan yang tidak lain dari
dalil-dalil ortodoksi Islam. Pusat perhatian Neo Sufisme adalah rekontruksi
sosio moral dari masyarakat muslim.
Rahman
berpendapat bahwa kelompok terpenting dari para ulama muslim yang bertanggung
jawab dalam membantu merealisasikan kebangkitan Neo Sufisme adalah para ahli
tradisi (ahl hadits), dimana setelah gerakan sufi menawan perhatian dunia Islam
secara emosional, spiritual dan intelektual pada abad VI Hijriah/XII Masehi
karena kaum tradisionis menyadari bahwa adalah mustahil mengabaikan sepenuhnya
kekuatan kaum sufi.
Kecenderungan
intelektual lainnya yang cukup mencolok dari jaringan ulama adalah tekanannya
pada penggunaan akal dan pada pengamalan penilaian indifidu (ijtihad) dalam
masalah-masalah keagamaan.
Al
Qusyasyi mendorong kaum muslim yang memiliki ilmu (pengetahuan)
yang memadai agar memahami baik makna lahir maupun makna batin dari
ayat-ayat Al- Qur’an dan hadits. Dia menghimbau agar orang-orang yang
mengabdikan diri pada agama agar melaksanakan ijtihad. Contoh Ibn ‘Arabi banyak
sekali memanfaatkan hadits untuk membuat ijtihad sendiri, meski banyak diantara
ahl al-hadits menentang pendapat Ibn ‘Arabi, ijtihad Ibn ‘Arabi pada pokoknya
merupakan penafsiran baru atas dokrin-dokrin mistis Islam. Adapun bagi mereka
yang memiliki pengetahuan sedikit, Al-Qusyasyi berpendapat mereka lebih baik
menerima ijtihad orang lain dan menjadi Muqallid (pengikut).
Al-Qusyasyi
bukan hanya menekankan penggunaan akal melainkan juga aktivisme. Dia mendorong
kaum muslimin meninggalkan kelalaian dan kebodohan, mencari ilmu dan
memanfaatkan waktu mereka untuk-tujuan-tujuan yang baik. Disamping itu juga
mendorong kaum muslimin agar menjalankan tugas-tugas duniawi untuk menopang
kehidupan dengan jalan mengajar, berdagang dan bertani.
Menurut
pendapatnya seorang sufi sejati bukanlah orang yang mengasingkan diri dari
masyarakat melainkan orang yang menganjurkan kebaikan dan melarang kejahatan
dan mau membantu mereka yang tertindas, sakit dan miskin juga dapat bekerja
sama timbal balik (ta’awun) dengan orang muslim lainnya demi kebaikan
masyarakat.
Dari
paparan di atas dapat kita lihat semangat pembaharuan dari jaringan ulama’
jelas terpusat pada rekonstruksi sosio-moral dan intelektual atas masyarakat
muslim. Di sini Azyumardi Azra hanya menemukan sedikit bukti yang menunjukkan
terjadinya diskusi dikalangan para ulama’ mengenai kemunduran masyarakat muslim
baik secara sosial, politik maupun keagamaan, mereka jelas menyadari bahwa
masyarakat memerlukan reaktualisasi. Menurut mereka jalan yang paling rasional
untuk mencapai tujuan adalah dengan pengembangan pemahaman yang lebih berimbang
atas setiap aspek dalam Islam, menekankan seluruh ajarannya secara holistik,
seperti pada bidang hukum dan mistis, intelektual dan praktikal serta sosial
dan individual.
Dengan
demikian tak seorang pun diantara para ulama’ menolak tasawuf atau
mengesampingkan syariat. Tekanan mereka jelas pada pembaharuan, purifikasionis
dan aktivis. Ada upaya yang dilakukan secara sadar oleh para ulama’ di dalam
jaringan itu untuk mendamaikan aliran-aliran pemikiran yang berbeda-beda yang
sering dianggap bertentangan satu dengan lainnya oleh para ulama’ sebelum
mereka. Tampaknya tidak ada prasangka terhadap para ulama’ yang telah menjadi
subyek kontroversi seperti Al-Ghazali atau Ibn ‘Arab. Para ulama’ dalam
jaringan tersebut berusaha secara maksiamal untuk memahami ajaran-ajaran
mereka.
Salah
seorang tokoh berpengaruh di dalam jaringan ulama’ yakni Ibrahim Al-Kurani
telah berpulang menjelang akhir abad XVII. Namun jaringan yang berpusat di
Haramayn tidak kehilangan memontumnya, karena pada awal abad XVIII murid-murid
dan rekan-rekan seangkatannya memegang peranan yang cukup dominan, diantaranya
Hasan Al-Ajami, Ahmad Al-Nakhli, Abd Allah Al-Bashri dan Abd Al-Hadi Al-Sindi.
Seorang
tokoh yang sangat penting dalam jaringan ulama’ generasi berikutnya pada abad
XVIII adalah Muhammad Hayat b. Ibrahim Al-Sindi Al-Hanafi (w. di Madinah pada
1163/ 1749 ), ia termasuk salah sorang tokoh yang menghubungkan jaringan ulama’
secara langsung dengan Muhammad b. Abd Al-Wahhab (1115-1201/ 1703-1787), lewat
hubungan inilah dapat di lacak asal usul ajaran Wahhabiyah.
Muhammad
Hayat menentang pertikaian yang tidak perlu diantara Mazhab-mazhab namun
sebaliknya mengajarkan toleransi dan rekonsiliasi diantara mereka. Dia juga
menghimbau para ulama’ melakukan ijtihad berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits,
menentang inovasi yang tak berdasar (bid’ah dhalalah) yang akhirnya membawa
kemusyrikan. Penentangan terhadap bid’ah dan praktek-praktek syirik adalah dua
diantara doktrin-doktrin penting yang dikembangkan Ibn Abd Al-Wahhab, hampir
bias dipastikan dia mendapat dukungan dari Muhammnad Hayat.
Pada
bagian akhir bab III ini dijelaskan bahwa organisasi-organisasi tarekat yang
terpusat di manfaatkan bukan hanya untuk menyebarkan Islam namun juga merekrut
pengikut yang cukup banyak dan tahab berikutnya di gunakan sebagai sarana
efektif dalam jihad melawan masyarakat yang dianggap korup secara religius,
sosial maupun politis.
C.
Analisis
Buku
Dari
pemaparan hasil tulisan Azyumardi Azra yang termaktub dalam bab III ini muncul
sebuah gambaran realitas umat Islam memiliki sikap semangat rekonsiliasi yang
cukup tinggi. Bagaimana dijelaskan pada awalnya muncul berbagai kolompok
pemikiran keagamaan yang berbeda-beda, namun pada akhirnya dengan diseponsori
oleh para tokoh ulama’, umat Islam dapat menerima perbedaan diantara mereka,
dalam satu kesatuan yang utuh yakni sebagai umat Islam kaffah. Hal
tersebut tercipta dengan tujuan utama yang paling penting adalah bagaimana
agama Islam bisa menyebar luas keseluruh penjuru dunia.
Pandangan
yang dimiliki oleh masyarakat muslim bila dibandingkan dengan daerah ataupun
negara-negara di dunia pada saat itu, adalah sebuah pemikiran yang spektakuler.
Dimana sudah terbentuknya sikap rekonsiliasi yang mewarnai masyarakat muslim
dengan wujud menerima perbedaan diantara sesama muslim, ini adalah suatu hal yang secara psikologis
cukup sulit untuk diterima1.
Secara
mendasar kasatuan pendapat dalam segala hal tidaklah mungkin bisa tercapai,
khususnya setelah perkembangan-perkembangan individu manusia yang demikian
pesatnya serta keanekaragaman kebutuhan2.
Bila demikian sebenarnya perbedaan diantara manusia merupakan sunatullah3, dan itu berari adalah hal yang
wajar. Karenanya bila Tuhan menghendaki kesatuan pendapat itu, niscaya akan
diciptakannya manusia tanpa akal budi4.
Manusia diciptakan seperti binatang atau bahkan bagaikan benda-benda yang tak
bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih. Dan kalau demikian
halnya, pastilah seluruh manusia dimuka bumi ini akan satu pandangan, satu pikiran, satu anggapan, satu keinginan, satu
tujuan dan satu kenyakinan, maka jadinya dinamika kehidupan tidak akan pernah
tercipta. Padahal Tuhan melihat baik dan buruknya seseorang dari komitmennya
untuk beraktualisasi diri dalam kehidupan nyata. Dengan demikian bahwa
perbedaan manusia telah menjadi kehendak Tuhan, agar terjalin kerjasama
diantara mereka dalam mencapai kebajikan dan keridhaan-Nya5.
Semangat
rekonsiliasi yang demikian ini yang menjadikan dinamisnya dan berkembangnya
Islam sampai pada puncak kejayaannya. Agar tidak terjadi sebuah sikap
ke-fanatisme-an, dengan disertai sikap taqlid yang membabibuta, maka
setiap umat hendaknya mau menggali ajaran-ajaran agama secara utuh, dan mampu
memahami pesan-pesan universal Tuhan secara luas6,
disamping itu pula, harus dinyakini secara penuh bahwa Tuhan merupakan sumber
ajaran agama yang secara hakiki dan tidak pernah membutuhkan sikap pengabdian
umatnya, jadi Manusialah yang membutuhkan Tuhan dan bukan Tuhan yang
membutuhkan manusia.
D.
Kesimpulan
Dari uraian
tersebut dapat diambil pemahaman bahwa:
1.
Para
ulama’ pada abad VIII yang tergabung dalam jaringan ulama’ Haramayn terafiliasi
dalam bidang mazhab yang memiliki teradisi-tradisi Islam dan terkait antara satu
dengan yang lainnya dalam jaringan yang berbeda khususnya dalam bidang tarekat.
2.
Dari
beberapa perbedaan tersebut para ulama’ Haramayn tetap memiliki komitmen saling
pendekatan sebagai proses rekonsiliasi untuk menyikapi perbedaan tersebut.
3.
Pendekatan
dan rekonsiliasi ini dibangun untuk menyebarkan Islam keseluruh penjuru dunia.
4.
Setelah
adanya komitmen yang kuat diantara para ulama sebagai proses dinamika pemikiran
mereka untuk terwujudnya kesinambungan dan perubahan kandungan religius
intelektual di dunia Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Monks,
et, al., psikologi Perkembangan; Pengantar dalam berbagai bagiannya, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1984.
Departemen
Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung:
Gema Risalah Press, 1992.
Andito,
Atas Nama Agama; Wacana Agama dalam dialog Bebas konflik, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1998.
Cumaidi
Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2000), 101-104.
Rifa’i
Seregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik sampai ke Neo Sufisme, Jakarta:
Rajawali Press, 1999.
1 Bagaimanapun juga Manusia lahir
sebagai mahluk sosial disamping itu juga sebagai mahluk individu. Dengan
keindividuannya tersebut manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan yang
tidak mudah menerima manusia yang lain. Bisa jadi kepribadian setiap orang
cenderung eksklusif, Baca Monks, et, al., psikologi Perkembangan; Pengantar
dalam berbagai bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984),
3-5.
2 QS. 2: 213 artinya “Manusia
tadinya satu kesatuan, kemudian mereka berselisih….”, Baca juga Rifa’i
Seregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik sampai ke Neo Sufisme, Jakarta:
Rajawali Press, 1999. hal 137, disampaikan bahwa manusia juga memiliki hakekat
akan jati dirinya.
3 QS. 11: 118 artinya “Seandainya
Tuhan menghendaki, niscaya dia menjadikan manusia satu umat (tetapi Tuhan tidak
menghendaki itu) sehingga mereka akan terus menerus berbeda pendapat”.
4 Baca Andito, Atas Nama
Agama; Wacana Agama dalam dialog Bebas konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1998), 152.
5 QS. 49: 13 artinya “Wahai
seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu terdiri dari pria,
wanita dan kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar
kamu semua saling mengenal (bekerja sama). Sesungguhnya yang paling mulia
diantara kamu di sisi Tuhan adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
6 Bukankah Islam tidak hanya
sekedar sebagai agama doktrin semata, tetapi lebih dalam Islam memiliki nilai
yang cukup universal bila diterjemahkan dalam konteks realitas dunia Baca
Cumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2000), 101-104.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar