Sabtu, 14 Desember 2013

Jaringan Ulama Timur Tengah dan Indonesia

"+"

Review Book

JARINGAN ULAMA TIMUR  TENGAH DAN KEPULAUAN NUSANTARA ABAD XVII DAN XVIII
(Karya Prof. Dr. H. Azumardi Azra,MA)

BUKU BAB III
PEMBAHARUAN DALAM JARINGAN ULAMA DAN PENYEBARANNYA KE DUNIA ISLAM YANG LEBIH LUAS


A.   Pendahuluan
Dalam sejarah Islam telah dilakukan beberapa telaah mengenai kecenderungan-kecenderungan intelektual yang dikembangkan oleh para ulama mereka tercermin dalam afiliasi bidang hukum (madzhab) dan tarekat yang memiliki tradisi-tradisi Islam yang terkait satu sama lain dalam jaringan yang berbeda bukan hanya dalam latar belakang geografis namun yang lebih penting lagi dalam preferensi religius intelektual.
Para ulama dalam jaringan tersebut menjadi ulama pengembara dari pusat pengajaran ilmu-ilmu keislaman ke pusat yang lain untuk belajar dari satu guru ke guru yang lain sebelum mereka menetap di Haramayn atau tempat lainnya, jadi mereka dipengaruhi oleh banyak guru dan menyerap berbagai jalan pikiran dan kecenderungan-kecenderungan intelektual sehingga untuk mengurai ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh jaringan ulama itu agak sulit karena harus mengetahui terlebih dahulu latar belakang ulama tersebut, dalam tataran ini  Azyumardi Azra terus berupaya menarik garis-garis besar dari berbagai kecenderungan intelektual keagamaan dari jaringan ulama tersebut untuk memahami dan mengetahui ciri-ciri jaringan ulama.
Adapun ciri paling menonjol dari jaringan ulama adalah saling pendekatan (reaproachment) antara para ulama yang berorientasi pada syari’at khususnya para fuqoha dan para sufi. Sikap saling pendekatan diantara mereka banyak diajarkan oleh Al-Qusyairi dan Al-Ghazali  akhirnya konflik yang berlangsung lama antara kedua kelompok cendekiawan muslim ini makin berkurang. Sebagian mereka adalah ahl al syari’ah (fuqoha) dan ahl al haqiqoh (sufi) sekaligus, sehingga mereka menguasai tidak hanya menguasai syari’at namun juga haqiqoh (realitas mistis atau Ilahiah). Dalam hal ini Azyumardi Azra bersikap sangat hati-hati untuk tidak menarik kesimpulan bahwa mereka telah memandang pendekatan ini sebagi proses rekonsiliasi diantara mereka telah selesai.
Perjalanan sejarah yang cukup panjang dalam proses pembaruan dalam jaringan ulama dan penyebarannya, pada bab ini Azyumardi Azra mengupasnya secara runtut, belau membahas neo sufisme dan telaah hadits yang mengadopsi pemikiran Fazlur Rahman, yang didalamnya banyak membahas dinamika pemikiran para ulama, disamping itu juga dikupas tentang neo sufisme dan syari’at, neo sufisme dan  aktivisme serta neo sufisme dan organisasi tarekat.
Pada bagian akhir Bab. III ini banyak membahas jaringan ulama pada abad XVIII dan hubungan-hubungan ulama mereka di Asia dan Afrika, selain itu juga dibahas tentang kesinambungan dan perubahan kandungan religius intelektual jaringan ulama tersebut.

B.   Gambaran umum jaringan ulama pada BAB. III
Dalam paparan sebelumya dibahas mengenai Haramayn yang merupakan dua kota suci yakni Mekah dan Madinah sebagai simbol pemersatu umat Islam diseluruh dunia, dimana keberadaan dua kota ini merupakan tempat Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad serta dipancarkannya Islam keseluruh dunia sehingga Islam berkembang pesat sampai sekarang.
Haramayn menurut pengertian tertentu adalah sebuah panci pelebur (melting pot) dimana berbagai tradisi kecil Islam melebur menjadi suatu sintetis baru yang sangat condong pada tradisi besar (great tradition). Misalnya para ulama dari anak benua India membawa tradisi-tradisi mistis mistis ke haramayn, sementara ulama dari Mesir dan Afrika utara datang dengan membawa ilmu-ilmu hadis. Tradisi-tradisi ini berinteraksi antara satu dengan lainnya.
Sintesis baru tidak sepenuhnya merupakan perkembangan baru dalam sejarah tradisi-tradisi sosial dan intelektual Islam, namun demikian sintesis baru itu memiliki beberapa ciri khas jika dibandingkan dengan tradisi sebelumnya dan dalam beberapa hal ia juga mengandung beberapa unsur kesinambungan dengan tradisi-tradisi sebelumya.
Haramayn sejak permulaan Islam telah dikenal sebagai pusat utama hadis karena  Nabi sebagai sumber hadis hidup dan memulai mengembangkan ajaran Islam di sana, juga Maliki dan Hambali yang dikenal sebagai ahl al hadis telah mengembangkan pengaruh kuat mereka di jazirah Arabia, bahkan Maliki sangat dominan di Afrika utara dan Barat serta Mesir.
Kaum hambali terkenal dengan keteguhannya berpegang pada hadis dan penolakan mereka pada filosofi rasional serta mistisisme spekulatif, begitu juga dikalangan ahl hadis dan mazhab Maliki di Afrika utara dan Mesir terdapat keengganan menerima tasauf.
Sejak akhir abad XVI dimulailah hubungan dikalangan para ulama di Haramayn karena perkembangan para ahli Hadis yang semakin luas jangkauannya. Dalam paparan ini banyak dijelaskan peran para Muhaddis yang menjadi penghubung para ulama yang juga menjadi perangsang timbulnya kecenderungan-kecenderungan religius intelektual baru di dalam jaringan. Bahkan para ulama-ulama dalam jaringan itu yang dikenal sebagai sufi, seperti Al-Qusyasyi, Al Kurani, Al-Nakhli atau Abd Allah Al-Bashri sesungguhnya mempunyai kaitan erat dengan tradisi-tradisi ilmiah hadis Mesir dan Afrika utara. Tak diragukan lagi telaah-telaah hadis bagi para ulama ini merupakan subjek paling penting dalam keahlian mereka.
Makna khusus yang diberikan para ulama pada hadis mencerminkan usaha-usaha mereka dengan sadar untuk membuat cara-cara Nabi disamping ajaran-ajaran Al-Qur’an tidak hanya menjadi sumber hukum tetapi juga inspirasi yang tak habis-habisnya bagi amalan moral yang layak. Oleh karena itu dengan sendirinya dalam telaah-telaah hadis mereka tidak membatasi diri hanya mempelajari buku-buku hadis standar. Azyumardi Azra telah mencoba mengutip beberapa buku diluar Al Kutub Al sittah yang ditelaah Al-Nakhli, menurutnya tampak jelas dari penjelasan Al-kKurani bahwa enam buku induk hadis itu hanya sebagian kecil saja dari telaaah-telaah hadisnya, banyak buku hadis yang kurang begitu dikenal.
Tekanan pada telaah hadis atau sunnah Nabi yang merupakan sumber kedua hukum Islam menuntun para ulama kita menuju apresiasi lebih besar pada makna syaria’at dalam tasawuf. Dengan pandangan yang jernih mengenai hubungan yang layak antara syariat dan tasawuf, tidaklah mengherankan bahwa Al-Qusyasyi merupakan pendukung yang gigih dari Neo Sufisme. Dia menjelsakan bahwa tidak akan ada maqam atau ahwal (tahap-tahap dalam perjalanan mistis) yang sejati tanpa bekal cukup akan pengetahuan (‘ilm) dan perbuatan baik (‘amal) seperti yang diajarkan Al-Qur’an dan hadits.
Menurut Fazlur Rahman yang dikutip Azyumardi Azra pada Bab ini, Neo Sufifme adalah tasawuf yang telah diperbaharui yang terutama dilucuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya dan digantikan dengan kandungan yang tidak lain dari dalil-dalil ortodoksi Islam. Pusat perhatian Neo Sufisme adalah rekontruksi sosio moral dari masyarakat muslim.
Rahman berpendapat bahwa kelompok terpenting dari para ulama muslim yang bertanggung jawab dalam membantu merealisasikan kebangkitan Neo Sufisme adalah para ahli tradisi (ahl hadits), dimana setelah gerakan sufi menawan perhatian dunia Islam secara emosional, spiritual dan intelektual pada abad VI Hijriah/XII Masehi karena kaum tradisionis menyadari bahwa adalah mustahil mengabaikan sepenuhnya kekuatan kaum sufi.
Kecenderungan intelektual lainnya yang cukup mencolok dari jaringan ulama adalah tekanannya pada penggunaan akal dan pada pengamalan penilaian indifidu (ijtihad) dalam masalah-masalah keagamaan.
Al Qusyasyi mendorong kaum muslim yang memiliki ilmu  (pengetahuan)  yang memadai agar memahami baik makna lahir maupun makna batin dari ayat-ayat Al- Qur’an dan hadits. Dia menghimbau agar orang-orang yang mengabdikan diri pada agama agar melaksanakan ijtihad. Contoh Ibn ‘Arabi banyak sekali memanfaatkan hadits untuk membuat ijtihad sendiri, meski banyak diantara ahl al-hadits menentang pendapat Ibn ‘Arabi, ijtihad Ibn ‘Arabi pada pokoknya merupakan penafsiran baru atas dokrin-dokrin mistis Islam. Adapun bagi mereka yang memiliki pengetahuan sedikit, Al-Qusyasyi berpendapat mereka lebih baik menerima ijtihad orang lain dan menjadi Muqallid (pengikut).
Al-Qusyasyi bukan hanya menekankan penggunaan akal melainkan juga aktivisme. Dia mendorong kaum muslimin meninggalkan kelalaian dan kebodohan, mencari ilmu dan memanfaatkan waktu mereka untuk-tujuan-tujuan yang baik. Disamping itu juga mendorong kaum muslimin agar menjalankan tugas-tugas duniawi untuk menopang kehidupan dengan jalan mengajar, berdagang dan bertani.
Menurut pendapatnya seorang sufi sejati bukanlah orang yang mengasingkan diri dari masyarakat melainkan orang yang menganjurkan kebaikan dan melarang kejahatan dan mau membantu mereka yang tertindas, sakit dan miskin juga dapat bekerja sama timbal balik (ta’awun) dengan orang muslim lainnya demi kebaikan masyarakat.
Dari paparan di atas dapat kita lihat semangat pembaharuan dari jaringan ulama’ jelas terpusat pada rekonstruksi sosio-moral dan intelektual atas masyarakat muslim. Di sini Azyumardi Azra hanya menemukan sedikit bukti yang menunjukkan terjadinya diskusi dikalangan para ulama’ mengenai kemunduran masyarakat muslim baik secara sosial, politik maupun keagamaan, mereka jelas menyadari bahwa masyarakat memerlukan reaktualisasi. Menurut mereka jalan yang paling rasional untuk mencapai tujuan adalah dengan pengembangan pemahaman yang lebih berimbang atas setiap aspek dalam Islam, menekankan seluruh ajarannya secara holistik, seperti pada bidang hukum dan mistis, intelektual dan praktikal serta sosial dan individual.
Dengan demikian tak seorang pun diantara para ulama’ menolak tasawuf atau mengesampingkan syariat. Tekanan mereka jelas pada pembaharuan, purifikasionis dan aktivis. Ada upaya yang dilakukan secara sadar oleh para ulama’ di dalam jaringan itu untuk mendamaikan aliran-aliran pemikiran yang berbeda-beda yang sering dianggap bertentangan satu dengan lainnya oleh para ulama’ sebelum mereka. Tampaknya tidak ada prasangka terhadap para ulama’ yang telah menjadi subyek kontroversi seperti Al-Ghazali atau Ibn ‘Arab. Para ulama’ dalam jaringan tersebut berusaha secara maksiamal untuk memahami ajaran-ajaran mereka.
Salah seorang tokoh berpengaruh di dalam jaringan ulama’ yakni Ibrahim Al-Kurani telah berpulang menjelang akhir abad XVII. Namun jaringan yang berpusat di Haramayn tidak kehilangan memontumnya, karena pada awal abad XVIII murid-murid dan rekan-rekan seangkatannya memegang peranan yang cukup dominan, diantaranya Hasan Al-Ajami, Ahmad Al-Nakhli, Abd Allah Al-Bashri dan Abd Al-Hadi Al-Sindi.
Seorang tokoh yang sangat penting dalam jaringan ulama’ generasi berikutnya pada abad XVIII adalah Muhammad Hayat b. Ibrahim Al-Sindi Al-Hanafi (w. di Madinah pada 1163/ 1749 ), ia termasuk salah sorang tokoh yang menghubungkan jaringan ulama’ secara langsung dengan Muhammad b. Abd Al-Wahhab (1115-1201/ 1703-1787), lewat hubungan inilah dapat di lacak asal usul ajaran Wahhabiyah.
Muhammad Hayat menentang pertikaian yang tidak perlu diantara Mazhab-mazhab namun sebaliknya mengajarkan toleransi dan rekonsiliasi diantara mereka. Dia juga menghimbau para ulama’ melakukan ijtihad berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, menentang inovasi yang tak berdasar (bid’ah dhalalah) yang akhirnya membawa kemusyrikan. Penentangan terhadap bid’ah dan praktek-praktek syirik adalah dua diantara doktrin-doktrin penting yang dikembangkan Ibn Abd Al-Wahhab, hampir bias dipastikan dia mendapat dukungan dari Muhammnad Hayat.
Pada bagian akhir bab III ini dijelaskan bahwa organisasi-organisasi tarekat yang terpusat di manfaatkan bukan hanya untuk menyebarkan Islam namun juga merekrut pengikut yang cukup banyak dan tahab berikutnya di gunakan sebagai sarana efektif dalam jihad melawan masyarakat yang dianggap korup secara religius, sosial maupun politis.

C.   Analisis Buku
Dari pemaparan hasil tulisan Azyumardi Azra yang termaktub dalam bab III ini muncul sebuah gambaran realitas umat Islam memiliki sikap semangat rekonsiliasi yang cukup tinggi. Bagaimana dijelaskan pada awalnya muncul berbagai kolompok pemikiran keagamaan yang berbeda-beda, namun pada akhirnya dengan diseponsori oleh para tokoh ulama’, umat Islam dapat menerima perbedaan diantara mereka, dalam satu kesatuan yang utuh yakni sebagai umat Islam kaffah. Hal tersebut tercipta dengan tujuan utama yang paling penting adalah bagaimana agama Islam bisa menyebar luas keseluruh penjuru dunia.
Pandangan yang dimiliki oleh masyarakat muslim bila dibandingkan dengan daerah ataupun negara-negara di dunia pada saat itu, adalah sebuah pemikiran yang spektakuler. Dimana sudah terbentuknya sikap rekonsiliasi yang mewarnai masyarakat muslim dengan wujud menerima perbedaan diantara sesama muslim,  ini adalah suatu hal yang secara psikologis cukup sulit untuk diterima1.
Secara mendasar kasatuan pendapat dalam segala hal tidaklah mungkin bisa tercapai, khususnya setelah perkembangan-perkembangan individu manusia yang demikian pesatnya serta keanekaragaman kebutuhan2. Bila demikian sebenarnya perbedaan diantara manusia merupakan sunatullah3, dan itu berari adalah hal yang wajar. Karenanya bila Tuhan menghendaki kesatuan pendapat itu, niscaya akan diciptakannya manusia tanpa akal budi4. Manusia diciptakan seperti binatang atau bahkan bagaikan benda-benda yang tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih. Dan kalau demikian halnya, pastilah seluruh manusia dimuka bumi ini akan satu pandangan, satu  pikiran, satu anggapan, satu keinginan, satu tujuan dan satu kenyakinan, maka jadinya dinamika kehidupan tidak akan pernah tercipta. Padahal Tuhan melihat baik dan buruknya seseorang dari komitmennya untuk beraktualisasi diri dalam kehidupan nyata. Dengan demikian bahwa perbedaan manusia telah menjadi kehendak Tuhan, agar terjalin kerjasama diantara mereka dalam mencapai kebajikan dan keridhaan-Nya5.
Semangat rekonsiliasi yang demikian ini yang menjadikan dinamisnya dan berkembangnya Islam sampai pada puncak kejayaannya. Agar tidak terjadi sebuah sikap ke-fanatisme-an, dengan disertai sikap taqlid yang membabibuta, maka setiap umat hendaknya mau menggali ajaran-ajaran agama secara utuh, dan mampu memahami pesan-pesan universal Tuhan secara luas6, disamping itu pula, harus dinyakini secara penuh bahwa Tuhan merupakan sumber ajaran agama yang secara hakiki dan tidak pernah membutuhkan sikap pengabdian umatnya, jadi Manusialah yang membutuhkan Tuhan dan bukan Tuhan yang membutuhkan manusia.

D.   Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat diambil pemahaman bahwa:
1.    Para ulama’ pada abad VIII yang tergabung dalam jaringan ulama’ Haramayn terafiliasi dalam bidang mazhab yang memiliki teradisi-tradisi Islam dan terkait antara satu dengan yang lainnya dalam jaringan yang berbeda khususnya dalam bidang tarekat.
2.    Dari beberapa perbedaan tersebut para ulama’ Haramayn tetap memiliki komitmen saling pendekatan sebagai proses rekonsiliasi untuk menyikapi perbedaan tersebut.
3.    Pendekatan dan rekonsiliasi ini dibangun untuk menyebarkan Islam keseluruh penjuru dunia.
4.    Setelah adanya komitmen yang kuat diantara para ulama sebagai proses dinamika pemikiran mereka untuk terwujudnya kesinambungan dan perubahan kandungan religius intelektual di dunia Islam.



DAFTAR PUSTAKA


Monks, et, al., psikologi Perkembangan; Pengantar dalam berbagai bagiannya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984.

Departemen Agama  RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992.

Andito, Atas Nama Agama; Wacana Agama dalam dialog Bebas konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Cumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 101-104.

Rifa’i Seregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik sampai ke Neo Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 1999.





1 Bagaimanapun juga Manusia lahir sebagai mahluk sosial disamping itu juga sebagai mahluk individu. Dengan keindividuannya tersebut manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan yang tidak mudah menerima manusia yang lain. Bisa jadi kepribadian setiap orang cenderung eksklusif, Baca Monks, et, al., psikologi Perkembangan; Pengantar dalam berbagai bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984), 3-5.
2 QS. 2: 213 artinya “Manusia tadinya satu kesatuan, kemudian mereka berselisih….”, Baca juga Rifa’i Seregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik sampai ke Neo Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 1999. hal 137, disampaikan bahwa manusia juga memiliki hakekat akan jati dirinya.
3 QS. 11: 118 artinya “Seandainya Tuhan menghendaki, niscaya dia menjadikan manusia satu umat (tetapi Tuhan tidak menghendaki itu) sehingga mereka akan terus menerus berbeda pendapat”.
4 Baca Andito, Atas Nama Agama; Wacana Agama dalam dialog Bebas konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), 152.
5 QS. 49: 13 artinya “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu terdiri dari pria, wanita dan kami jadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu semua saling mengenal (bekerja sama). Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Tuhan adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

6 Bukankah Islam tidak hanya sekedar sebagai agama doktrin semata, tetapi lebih dalam Islam memiliki nilai yang cukup universal bila diterjemahkan dalam konteks realitas dunia Baca Cumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 101-104.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar