Rabu, 18 Desember 2013

Penyalahgunaan Dalam Doktrin Mu'tazilah

"+"

Al-Mihnah :
Sebagai Noda Hitam Penyalahgunaan Kekuasaan
Dalam Sosialisasi Doktrin Mu'tazilah




I.        Pendahuluan
Kaum Mu'tazilah dalam teologi Islam mendapat sebutan "ka­um rasionalis Islam". Sebutan tersebut diberikan karena mereka banyak memakai akal dalam persoalan teologi (Harun Nasution, 1986 : 38).
Kaum Mu'tazilah mempunyai lira ajaran pokok (ushul al­khomsah)yang harus diyakini tiap pengikut-pengikutnya. Lima ajaran pokok tersebut yaitu al-Tauhid, Al-'Adl, al-Wa'd wa al Wa'id, Al-Manzilah bain al-Manzilatain dan Al-Amr bi al-Ma'ruf, Wa an-Nahi 'an al-Munkar, (Harun Nasution, 1995 : 135; Wattt, 1987 : 73).
Menurut al-Khayyat (1957:93) seseorang dapat diakui men­jadi pengikut atau penganut Mu'tazilah, hanyalah orang yang me­ngakui dan menerima kelima dasar ajaran tersebut dia tas secara integral komprehensif. Orang yang hanya menerima ushul al-khomsah secara partial tidak dapat dipandang sebagai orang Mu'tazi­lah.
Dalam dimensi sejarah, kaum Mu'tazilah berkembang pesat dimasa pemerintahan dinasti Abbasiah. Bahkan ketika kholifah al-Maakmun berkuasa, faham Mu'taazilah di jadikan mazhab resmi negara (Ahmad Amin, tt : 163). Kendati demikian ajaran ini belum dapat diterima oleh masyarakat luas bahkan mendapat tantangan amat sengit karena perbedaan-perbedaan pendirian terutama dari al-Fuqoha' dan al-Muhadditsun.
Diantara perbedaan penairian yang amat fundamental yaitu perselisihan pendapat tentang "apakah al-Qur'an makhluq atau bukan". Para al-Fugoha' dan al-Muhadditsun berkeyakinan akan keqodiman al-Qur'an. Faham keqodiman al-Qur'an ditolak oleh kaum Mu'tazilah bahkan ditentang habis-habisan. Karena aliran Mu'tazilah menjadi mazhab resmi negara dengan kholifah sebagai top figur, maka logis dan wajar seklai manakala faham "annal qur'ana makhluoun" (Muhammad Abu Zahroh, tt : 302) dimasyarakatkan kepada seluruh masyarakat pada waktu itu.
Penyiaran ajaran kholq Al-Qur'an dalam Mu'tazilah sangat disayangkan sekali, hal ini disebabkan mereka menggunakan pak­saan dan kekerasan (Harun Nasution, 1986 : 56). Menurut Norcho­lis Madjid ( 1984 ;: 21) orang yang tidak sepaham dengannya dikejar kejar bahkan disiksa. Peristiwa pemaksaan faham kholq al-Qur'an terkenal dengan nama al-Mihnah. Kasus ini burlangsung sejak kho­lifah al-Makmun hingga al-wasiq.
Al-Mihnah bertitik tolak dari argumentasi bahwa syirik ada­lah dosa besar yang tidak dapat diampuni. Mengakui al-Qur'an qodim (kekal) adalah syirik, karena yang qodim hanyalah Allah saja, selain Allah adalah baharu. Al-Qur'an adalah baharu dan tidak qodim karena ia adalah ciptaan (Walter Melville Patton, 1897 : 101). Bagi al-Makmun orang yang mempunyai faham syirik ti­dak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan (Harun Nasution, 1986 : 61).
Dalam makalah ini akan diuraikan apakah al-Mihnah itu, bagaimana latar belakang timbulnya serta pengaruhnya bagi perkembangan al-Mu'tazilah.

II.     Definisi al-Mihnah
Al-Mihnah secara etimologis berasal dari akar kata mahana yamhanu mahnan yang berarti ikhtabara, yang artinya menguji (Louis Ma'luf, 1973 : 750). Menurut F. Steingass (1978 : 969) al-Mihnah adalah hard work yang berarti kerja keras. Sedang­kan menurut Hans Wehr (1971:895) dalam Dictionary of Modern Written Arabic diartikan sebagai to examine yang berarti meng­uji. Pakar sejarah terkemuka mengidentikkan mihnah dengan inqu­isition (Harun Nasution, 1986 : 62). Inquisition menurut Collin Cobuild (1987 : 753) adalah an official investigation, especially one which is very thrugh and uses harsh method of questioning artinya pengusutan resmi, khususnya yang dilakukan secara sempurna dan menggunakan pertanyaan yang keras. Menurut Von Grunebaum (1964 : 64) al-Mihnah diartikan sebagai test of faith yang artinya pemeriksaan terhadap keimanan seseorang.
Berdasarkan pada ta'rif tersebut diatas, penulis dapat mengambil suatu pokok pikiran bahwa al-Mihnah adalah upaya pe­masyarakatan kaum Mu'tazilah tentang faham kholq al-Qur'an ke­pada masyarakat pada masa kholifah al-Makmun sampai dengan kholifah al-Wasia yang disertai paksaan dan kekerasan.
Dalam faham Mu'tazilah diterangkan bahwa al-Qur'an ada­lah makhluk dalam arti tidak qodim. Faham kemakhlukan al-Qur'an merupakan konsekuensi dari faham tauhid. Tuhan betul-betul Maha Esa. Allah adalah qodim. Tidak ada yang qodim selai-Nya. Manakala al-Qur'an qodim maka terjadilah ta'addud al-qudama Pengakuan tentang adanya yang qodim selain Allah adalah syirik (Mustofa Muhammad al-Ghurabi, tt : 37).
Al-Mihnah diberlakukan dalam upaya memasyarakatkan faham bahwa al-Qur'an adalah makhluk. Menurut M. Abu Zahroh (tt : 298) para qodhi yang menyatakan berpendapat sama dengan Mu'tazilah dalam arti mengakui bahwa al-Qur'an adalah makhluk, dapat mel­anjutkan jabatannya dan kesaksiannya di pengadilan dapat diterima.

III.  Proses Pelaksanaan al-Mihnah
Awal pelaksanaan al-Mihnah pada masa pemerintahan kholi­fah al-Makmun dari dinasti Abbasiah, Prosesnya diawali dengan pengiriman beberapa surat instruksi pemeriksaan keimanan sese­orang tentang }holy al-Qur'an, dari kholofah yang ditujukan ke­pada Ishaq bin Ibrahim gubernur di Bagdad.
Surat kholifah berisi uraian tentang faham bahwa al-Qur'an adalah makhluk dan tidak qodim. Selanjutnya gubernur Ishaq bin Ibrahim hendaknya melaksanakan mihnah terhadap pejabat dan pembesar lembaga peradilan serta menyampaikan laporan kepada kholifah.
Ilustrasi tentang pengiriman surat instruksi mihnah dari kholifah al-Makmun kepada gubernur Ishaq bin Ibrahim dapat di­lihat dalam buku "Ahmad Ibn Hanbal Walmihnah" halaman 100-118.
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kholifah al-Makmun mengirimkan beberapa surat kepada gubernurnya di Bagdad.
Surat pertama berisi instruksi melaksanakan mihnah kepada al­-qudhot dan al-aka ir. Dalam suratnya yang pertama al-Makmun se­laku amirul mukminin menjelaskan kepada Ibrahim bahwa ia berke­wajiban memelihara dan menegakkan keyakinan yang benar (al-haq) kepada masyarakat Keyakinan yang benar menurutnya adalah bahwa al-Qur'an merupakan makhluk dalam arti baharu dan tidak qodim. Surat pertama disusul atau ditindaklanjuti dengan surat kedua. Surat kedua berisi perintah supaya tujuh tokoh terkemuka dari kalangan al-Muhadditsun dikirim ke Tarsus untuk menghadap kholifah al-Makmun. Ketujuh tokoh tersebut yaitu Muhammad Ibn Salad, Abu Muslim Abdurrahim Ibn Yunus, Yahya Ibn Ma'in, Zuha­ir Ibn Harb Abu Khoisumah, Isma'il Ibn David, Ismail Ibn Mas’ud dan Ahmad Ibn Ibrahim al-Dauraqi (Patton, tt : 108).
Perjalanan mereka bertujuh dikawal oleh pasukan keamanan menuju Tarsus, Ketujuh tokoh tersebut didepan kholifah al-Makmun mengakui bahwa al-Qur'an adalah makhluk, dalam arti cipta­an Allah seperti kejadian lainnya didalam alam semesta.
Surat kedua ditindaklanjuti dengan surat ketiga, yang isinya tidak jauh berbeda satu sama lain. Hanya saja ada pe­nambahan" dan uraian dasar pemikiran tentang kemakhluqan al­-Qur'an sebagaimana yang dianut oleh kholifah al-Makmun (Patt­on, tt : 112). Selanjutnya gubernur Bagdad menjalankan mihnah ter­hadap para al-Fuqoha' (ahli-ahli hukum), al-Hukkam (pembesar-­pembesar kehakiman) dan al-Muhadditsun (ahli-ahli hadist).
Jawaban beberapa mihnah terhadap tokoh-tokoh yang diter­ima oleh gubernur membuat kholifah murka, Karena kemurkaan yang teramat mendalam, kholifah menukis surat keempat yang beris­ikan perintah yang keras sekali. Kholifah memerintahkan su­paya mihnah diulang kembali. Manakala mereka masih tetap syirik dalam arti tidak menerima faham bahwa al-Qur'an adalah ma­khluk, maka hendaknya dijatuhi hukuman mati. Dengan adanya instruksi kholifah terhadap para al-Fuqoha', al-Qudhot maupun al-Muhadditsun maka sebagian besar dari mereka mengakui al-Qur'an itu ciptaan Allah kecuali empat tokoh yang secara ter­ang-terangan mereka menolak tentang faham kemakhlukan al-Qur'an. Keempat tokoh tersebut ya itu al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, Sajjadat, al-Qorariri, dan Muhammad Ibn Nuh (Thobari, Jilid VIII : 644). Keempat tokoh tersebut lantas dibelenggu dan dipen­jarakan. Sajjadat dan al-Qororiri sebelum diberangkatkan menuju markas ketentaraan amirul mukminin di Asia Kecil mengakui bahwa al-Qur'an adalah ciptaan Allah. Hanya Ahmad Ibn Hanbal dan Mu­hammad Ibn Nuh saja yang tetap tidak mengakui bahwa al-Qur'an adalah makhluk (Muhammad Abu Zahroh, tt : 299).
Gubernur Ishaq Ibn Ibrahim menyampaikan laporan lengkap mengenai mihnah ulangan kepada kholifah al-Makmun dimana pihak-pihak yang berbalik mengakui al-Qur'an sebagai ciptaan Allah karena unsur keterpaksaan bukan karena keyakinan diri, Mereka menyatakan “annahum mukrahuna walaisa 'alal mukrohi ha­rojon” yang artinya, mereka kena paksa dan seseorang terpaksa tidak dibebani tanggung jawab dari Allah.
Surat kelima kholifah al-Makmun membantah pendirian dari beberapa pihak yang berbalik mengakui kemakhlukan al-Qur’an de­ngan menyatakan: … “ayat suci didalam al-Qur'an yang berbunyi: kecuali orang yang kena paksa tetapi hatinya tetap teguh dengan iman (surat al-Nahl : 106) adalah cuma berlaku terhadap orang yang pura-pura "musyrik" akan tetapi hatinya tetap "mukmin" ayat ini bukan berlaku bagi orang yang kenyakinannya sendiri syirik akan tetapi pura-pura beriman …" (Thobari, Jilid VIII : 645).
Surat kelima berisi perintah untuk menangkap tokoh yang menolak bahwa al-Qur'an adalah makhluk dan menghadapkannya ke­pada kholifah di Tarsus.-Se-belum tawanan tiba di Tarsus kholi­fah al-Makmun meninggal. Tawanan itu dikembalikan ke Bagdad, Namun sebelum sampai ketujuan Muhammad Ibn Nuh meninggal dunia, Ahmad Ibn Hanbal tetap ditahan karena dianggap sebagai tokoh penting yang menolak paham kholq al-Qur'an, (Harun Nasution, 1986:63).
Salah satu dialog yang terjadi antara Ishaq Ibn Ibrahim. gubernur Bagdad dengan al-Imam Ahmad Ibn Hanbal berjalan seb­agai berikut :

Ishaq          : Apa pendapatmu tentang al-Qur'an ?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan
Ishaq          : Apakah ia diciptakan ?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan. Saya tak dapat mengatakan lebih dari itu
Ishaq          : Apa arti ayat, Maha Mendengar (Basir) ?
dan Maha Melihat (Basir) ?
(Ishaq) ingin menguji Ibn Hanbal tentang faham antropomrphisme) Ibn Hanbal : Tuhan mensifatkan diri-Nya (dengan kata-kata itu)
Ishaq          : Apa artinya ?
Ibn Hanbal : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana Ia sifatkan diri-Nya (Harun Nasution, 1986 : 62 ).

Surat kholifah al-Makmun yang dikirimkan kepada gubernur di Bagdad yang berisikan mihnah dapat pula dilihat dalam “Tar­ikh al-Thobari jilid VIII, hal; 631-648”. Menurut Ahmad Amin (1936 : 168) didalam karyanya "Dhuha al-Islam Jilid III" kandungan inti surat al-Makmun dapat disintesiskan kedalam li­ma pernyataan.
1.      Al-Makmun merasa berkewajiban memelihara keyakinan yang dianut umat Islam dari setiap kekeliruan, apalagi jikalau bertalian dengan pokok-pokok keyakinan yaitu mempersamakan keazalian Allah Maha Esa dengan sesuatu yang lainnya seumpama al-Qur'an.
2.      Lapisan awam dewasa itu sangat hangat memperbincangkan masalah kejadian al-Qur'an itu Qodim karena al-Qur'an adalah kalam Allah, pendapat semacam ini dibantah oleh al-Makmun didalam suratnya beralaskan pernyataan didalam al-Qur'an sendiri.
3.      Sebagian besar para hakim (al-Qudhot) sendiri, yang menduduki jabatan-jabatan peradilan menganut keyakinan tentang "keazalian" al-Qur'an, dan selanjutnya bertindak menerima kesaksian setiap saksi yang mengakui keazalian al-Qur'an dan sebaliknya menolak kesaksian setiap saksi yang mengakui kemakhlukan al-Qur'an.

4.      Al-Makmun berpendirian bahwa keputusan seorang hakim dan kesaksian seorang saksi tidaklah dapat diterima ke­cuali keyakinan yang dianutnya itu benar, Barang siapa berkeyakinan tentang keazalian al-Qur'an maka keyaki­nannya sudah tidak dapat dipercaya.
5.      Al-Makmun tidak bersedia mempercayakan jabatan-jabatan agung serupa itu kepada seorang, kecuali imannya benar dan tauhidnya benar.

Kalau dikaji secara cermat beberapa surat al-Makmun yang dikirimkan kepada gubernur di Bagdad tentang mihnah adalah upaya pribadi kholifah untuk menjaga agar keimanan seseorang be­nar-benar bersih dari unsur kemusyrikan.

IV.  Mihnah sesudah kholifah al-Makmun
Sebelum al-Makmun meninggal dunia telah berwasiat kepada penggantinya yaitu saudaranya sendiri yang bernama al-Mu'tasim, agar meneruskan mihnah kepada para al-Fugoha' dan al-Muhadditsun tentang faham kholq al-Qur'an (M. Abu Zahroh, tt : 299).
Dalam melanjutkan mihnah, al-Mu'tasim bersikap lebih keras dari pendahulunya. Diantara tokoh yang tetap bersikukuh pada pendapatnya dan menolak bahwa al-Qur'an adalah makhluk yaitu Ahead Ibn Hanbal. Menurut Ahmad Amin dalam bukunya "dhuha al-Islam" jilid III (1936 : 180) al-Mu'tasim memerintahkan untuk mem­berikan hukuman cambuk kepada Ahmad Ibn Hanbal kurang lebih 38 kali sehingga darahnya mengalir dan kulitnya terkelupas. Dia dimasuki ke dalam penjara dan kholifah menyuruh seorang tabib untuk mengobatinya sampai sembuh, Ahmad Ibn Abi Daud mempengaruhi kholifah agar Ahmad Ibn Hanbal dibunuh raja, te­tapi kholifah menolak karena khawatir akan menggoyahkan kedu­dukannya sebagai khalifah.
Setelah al-Mu'tasim meninggal digantikan oleh al-Wasiq. Dalam masa pemerintahannya al-mihnah masih tetap berjalan, ak­an tetapi ia tidak berani mencambuk Ahmad Ibn Hanbal sebagaimana pada zaman al-Mu'tasim (Abu Zahroh, tt : 300). Dalam melaksanakan al-mihnah ia tetap tegas dan keras, bahkan sempat membunuh Ahmad Ibn Nasr dengan tangannya sendiri, sedangkan Ahmad Ibn Hanbal diusir untuk meninggalkan Bagdad (Ahmad Amin, 1936 : 182).
Al-Wasiq meninggal pada tahun 232 H/847 M. Kemudian di­gantikan oleh al-Mutawakkil yang menghapuskan pelaksanaan mih­nah pada tahun 848 M (Patton, tt : 172), Setelah al-Mutawakkil membatalkan kebijakan al-Makmun tentang penerimaan aliran al-Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara, pamor kaum Mu'tazilah mulai menurun, apalagi setelah al-Mutawakkil menunjukkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ahmad Ibn Hanbal yang dikenal sebagai lawan Mu'tazilah terbesar saat itu. Kondisinya menjadi terbalik dimana Ahmad Ibn Hanbal dan pengi­kut-pengikutnya kemudian menjadi golongan yang dekat dengan pemerintah, sedangkan kaum Mu'tazilah menjadi golongan yang jauh dari dinasti Abbas, Umat Islam yang tak setuju dengan ajaran­-ajaran Mu'tazilah mulai merasa bebas untuk menyerang mereka (Harun Nasution, 1986 : 68).

V.     Dinamika al-Mu'tazilah pasca al-mihnah
Dengan dibatalkannya al-mihnah yang mengakibatkan kaum Mu'tazilah mulai menurun pengaruhnya serta dari hart kehari semakin redup senarnya. Al-Mihnah yang dijalankan oleh kaum Mu'tazilah terhadap kelompok lain yang tidak sepaham dengannya ternyata membawa dampak negatif yang tidak menguntungkan bagi­nya sebagai suatu aliran. Mereka mendapat tantangan keras dark umat Islam lain karena dalam menyebarkan faham mereka memberl­akukan kekerasan bahkan memberlakukan hukum mati bagi mereka yang menolak (Harun Nasution, 1986 : 43). Pemikiran rasional dan kekerasan kaum Mu'tazilah melatarbelakangi timbulnya aliran-aliran teologi baru dalam Islam.
Pada masa kekeasaan Dinasti Buwaihi (945 - 1055 M), kaum Mu'tazilah naik daun kembali. Di masa ini orang-orang Mu'tazi­lah mulai menduduki posisi-posisi penting dan strategis dalam negara. Aliran ini mendapat sokongan dari Perdana Menteri Sa­hib Ibn Abbad dari Sultan Fakhr al-Daulah.
Dinasti Buwaihi beraliran Syi'ah dimana dalam teologinya mem­punyai faham-faham dasar yang sama dengan aliran al-Mu'tazilah, faktor yang melatarbelakangi kesamaan faham dasar dalam teol­ogi kedua aliran tidak begitu jelas. Diantara argumen-argumen yang dimajukan sesudah kaum Mu'tazilah jatuh (dan kemudian kaum Asy'ariah berpengaruh dalam masyarakat Islam) kedua golongan tersebut mempunyai interest yang sama untuk menentang aliran Ahli sunnah. Disamping itu golongan Syi'ah banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat, yang bagi Syi'ah teologi yang berdasar pada rasio seperti dianjurkan kaum Mu'tazilah lebih sesuai dari pada aliran teologi yang bersifat tradisio­nal, seperti yang ditimbulkan oleh al-Asy'ari (Harun Nasution, 1986 : 74).
Sewaktu Dinasti Buwaihi digulingkan oleh Tugril dari Di­nasti Saljuk di tahun 1055 M, kedudukan Mu'tazilah belum meng­alami perubahan. Tugril mempunyai Perdana Menteri yang berali­ran Mu'tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad Ibn Mansur al-Kunduri, Atas pengaruhnya kaum Mu'tazilah tetap dalam keadaan baik dan Ahli sunnah sebaliknya mulai mengalami masa kesukaran, Antara golongan Asy'ariah dan Mu'tazilah timbul permusuhan, Atas usaha al-Kunduri, Sultan Tugril mengeluarkan perintah un­tuk menangkap pemuka-pemuka aliran Asy'ariah. Penangkapan ter­hadap pemuka-pemuka Asy'ariah berhenti dengan wafatnya Tugril ditahun 1063 M. Penggantinya Alp Arselan (1063 - 1092) menga­ngkat Nizam al-Mulk sebagai Perdana Menteri, Perdana Menteri yang baru ini beraliran Asy'ariah, dan atas usahanya aliran ini maju dengan pesatnya yang mengakibatkan kemunduran Mu'tazialah (Harun Nasution, 1986:75), Pemikiran-pemikiran al-Mu'tazila mulai ditimbulkan kembali oleh pemuka-pemuka pembaharuan dalam Islam periode abad kesembilan belas M, terutama oleh amaluddin al-Afghoni, Muhammad Abduh, dan Ahmad Khan (Harun Nasution, 1986 : 43).
Diawal abad ke sembilan belas tokoh yang populer mengembangkan faham rasionalitas adalah Muhammad Abduh, Menurut M, Abduh karena tuntutan zaman dan suasana umat Islam telah berbeda dari zaman klasik maka ajaran Islam perlu disesuaikan de­ngan keadaan modern. Dalam ajaran Islam ada masalah ibadah dan mu'amalah. Karena hal yang bersinggungan dengan masalah mu'am­alah dijelaskan secara umum tanpa rincian yang mendetail, maka hendaknya ia ditafsirkan sesuai dengan tuntutan zaman. Upaya untuk menjelaskan prinsip umum menurut tuntutan zaman me­merlukan ketajaman akal pikiran. Tidak mengherankan jikalau Mu­hammad Abduh menegaskan bahwa al-Qur'an berbicara kepada akal pikiran bukan kepada perasaan (Harun Nasution, 1987 : 45).
Di Indonesia pemikiran Mu'tazilah sudah lama mendapat tempat yang terhormat. Misal, baik Harun Nasution yang mempunyai komitment tinggi terhadap faham rasionalitas terbukti pada tahun 1968 sempat menggegerkan persada Indonesia ketika menulis tesis Ph.D-nya di Universitas Mc. Gill, Montreal Canada dengan judul "The Place of Reason in Abduh's Theology, Its Impact on His Theological System and Views", Dan banyak contoh lain seperti tokoh pembaharu, K.H. Ahmad Dahlan, H, Agoes Salim, Norcholis Madjid yang banyak diilhami paham rasional Muhammad Abduh. Dalam menatap dinamika kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, umat Islam dipacu agar dapat berfikir kritis analitis filosofis. Dalam upaya membudayakan berfikir sistematis filosofis dalam teologi Islam hanya Mu'azilah yang menjadi sumber khazanah utamanya.

VI.  Penutup dan Kesimpulan
Pendapat yang berkembang ditengah-tengah masyarakat dima­na timbul kesan bahwa kaum Mu'tazilah adalah kafir, ternyata ditemukan bukti autentik dalamal-Qur'an. Secara tegas Muhammad Abu Zahroh menolak tuduhan, bahwa Mu'tazilah adalah aliran sesat dari aliran yang telah keluar dari Islam. Perselisihan dan pertikaian yang terjadi dengan aliran lain­nya hanyalah diseputar masalah furu'iyah dan tidak menyebabkan keluar dari Islam.
Dari pembahasan singkat makalah ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Al-Mihnah merupakan noktah hitam bagi kaum Mu'tazilah ka­rena mereka menggunakan jalan kekerasan didalam mensosialisasikan ajaran-ajarannya.
2.      Al-Mihnah sebenarnya merupakan konsekuensi dari ajaran tauhid kaum Mu'tazilah, dimana mereka ingin memurnikan faham seorang mukmin dari syirik. Orang yang mengakui ba­hwa al-Qur'an qodim dikatakan telah terjerumus dalam kategori syirik.
3.      Perkembangan dan penyiaran mihnah pada waktu itu secara substansial dilatarbelakangi oleh intervensi pemerintah.
4.      Kaum Mu'tazilah mengalami masa pasting surut. Masa kejaya­annya pada waktu kholifah al-Makmun, Masa Kemundurannya dimasa al-Mutawakkil, Pada masa Dinasti Buaaaihi kaum Mu'tazilah bangkit dan muncul kembali. Kemudian kaum Mu'tazilah tenggelam lagi, baru muncul kembali pada awal abad kesembilan belas M.
5.      Ditengah hidup yang kompetitif di era informasi dewasa ini, “faham rasionalitas kaum Mu'tazilah” mendapatkan tem­pat yang proporsional, bahkan banyak diminati dan ditumb­uh kembangkan oleh kaum intelektual.




DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahroh, Muhammad Tanpa Tahun. Tarikh al-Madzahib, al­-Islamiyah. Jilid III. Kairo: Dar al-Fikri.
Al-Khayyat, Abu al-Hasayn Abd al-Rahim. 1957. Al-Ihtisar. Beirut.
Amin, Ahmad. Tanpa Tahun. Dhuha al-Islam. Jilid III. Beirut: Darul Kitab al-Arobi.
Al-Ghurobi, Ali Mustofa. 1958. Tarikh al-Firoq, al-Islamiyah. Mesir.
Al-Thobari, Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir. Tanpa Tahun. Jilid VIII. Dar al-Fikri.
Cobuild, Collin. 1987, English, Language, Dictionary. London: University of Birmigham.
Nasution, Haru,, 986. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jilid II, Cetakan keenam. Jakarta: UI Press,
__________, 1987. Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah. Analisa Perbandingan. Cetakan kelima, Jakarta: UI Press.
__________, 1995. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.
Gruneboum, G. E. Von. 1963. Clasical Islam A History. London.
Madjid, Norcholis, 1963, Khasanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Patton, Walter Melville. 1897. Ahmad Ibn Hanbal walmihnah,, London.
Stringass, F. 1978. Arabic English Dictionary. India: Cosmo Publication.
Wehr, Hans. 1987. A Dictionary of Modern Written Arabic,. London: George Allen Ana Unwin.
Watt, W. Montgomery. 1987. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Jakarta: P3M.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar