Al-Mihnah :
Sebagai Noda Hitam Penyalahgunaan Kekuasaan
Dalam Sosialisasi Doktrin Mu'tazilah
I.
Pendahuluan
Kaum Mu'tazilah dalam teologi Islam mendapat sebutan "kaum rasionalis
Islam". Sebutan tersebut diberikan karena mereka banyak memakai akal dalam
persoalan teologi (Harun Nasution, 1986 : 38).
Kaum Mu'tazilah mempunyai lira ajaran pokok (ushul alkhomsah)yang
harus diyakini tiap pengikut-pengikutnya. Lima ajaran pokok tersebut yaitu al-Tauhid,
Al-'Adl, al-Wa'd wa al Wa'id, Al-Manzilah bain al-Manzilatain dan Al-Amr bi
al-Ma'ruf, Wa an-Nahi 'an al-Munkar, (Harun Nasution, 1995 : 135; Wattt, 1987
: 73).
Menurut al-Khayyat (1957:93) seseorang dapat diakui menjadi pengikut atau
penganut Mu'tazilah, hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima dasar
ajaran tersebut dia tas secara integral komprehensif. Orang yang hanya menerima
ushul al-khomsah secara partial tidak dapat dipandang sebagai
orang Mu'tazilah.
Dalam dimensi sejarah, kaum Mu'tazilah berkembang pesat dimasa pemerintahan
dinasti Abbasiah. Bahkan ketika kholifah al-Maakmun berkuasa, faham Mu'taazilah
di jadikan mazhab resmi negara (Ahmad Amin, tt : 163). Kendati demikian ajaran
ini belum dapat diterima oleh masyarakat luas bahkan mendapat tantangan amat
sengit karena perbedaan-perbedaan pendirian terutama dari al-Fuqoha' dan
al-Muhadditsun.
Diantara perbedaan penairian yang amat fundamental yaitu perselisihan
pendapat tentang "apakah al-Qur'an makhluq atau bukan". Para
al-Fugoha' dan al-Muhadditsun berkeyakinan akan keqodiman al-Qur'an. Faham
keqodiman al-Qur'an ditolak oleh kaum Mu'tazilah bahkan ditentang
habis-habisan. Karena aliran Mu'tazilah menjadi mazhab resmi negara dengan
kholifah sebagai top figur, maka logis dan wajar seklai manakala faham "annal
qur'ana makhluoun" (Muhammad Abu Zahroh, tt : 302) dimasyarakatkan
kepada seluruh masyarakat pada waktu itu.
Penyiaran ajaran kholq Al-Qur'an dalam Mu'tazilah sangat disayangkan
sekali, hal ini disebabkan mereka menggunakan paksaan dan kekerasan (Harun Nasution,
1986 : 56). Menurut Norcholis Madjid ( 1984 ;: 21) orang yang tidak sepaham
dengannya dikejar kejar bahkan disiksa. Peristiwa pemaksaan faham kholq al-Qur'an
terkenal dengan nama al-Mihnah. Kasus ini burlangsung sejak kholifah
al-Makmun hingga al-wasiq.
Al-Mihnah bertitik tolak dari argumentasi bahwa syirik adalah dosa
besar yang tidak dapat diampuni. Mengakui al-Qur'an qodim (kekal) adalah syirik,
karena yang qodim hanyalah Allah saja, selain Allah adalah baharu. Al-Qur'an
adalah baharu dan tidak qodim karena ia adalah ciptaan (Walter Melville Patton,
1897 : 101). Bagi al-Makmun orang yang mempunyai faham syirik tidak
dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan (Harun
Nasution, 1986 : 61).
Dalam makalah ini akan diuraikan apakah al-Mihnah itu, bagaimana latar belakang
timbulnya serta pengaruhnya bagi perkembangan al-Mu'tazilah.
II.
Definisi al-Mihnah
Al-Mihnah secara etimologis berasal dari akar kata mahana yamhanu mahnan
yang berarti ikhtabara, yang artinya menguji (Louis Ma'luf, 1973 : 750).
Menurut F. Steingass (1978 : 969) al-Mihnah adalah hard work yang
berarti kerja keras. Sedangkan menurut Hans Wehr (1971:895) dalam Dictionary
of Modern Written Arabic diartikan sebagai to examine yang berarti menguji.
Pakar sejarah terkemuka mengidentikkan mihnah dengan inquisition (Harun
Nasution, 1986 : 62). Inquisition menurut Collin Cobuild (1987 : 753) adalah an
official investigation, especially one which is very thrugh and uses harsh
method of questioning artinya pengusutan resmi, khususnya yang dilakukan
secara sempurna dan menggunakan pertanyaan yang keras. Menurut Von Grunebaum
(1964 : 64) al-Mihnah diartikan sebagai test of faith yang artinya
pemeriksaan terhadap keimanan seseorang.
Berdasarkan pada ta'rif tersebut diatas, penulis dapat mengambil suatu
pokok pikiran bahwa al-Mihnah adalah upaya pemasyarakatan kaum Mu'tazilah
tentang faham kholq al-Qur'an kepada masyarakat pada masa kholifah
al-Makmun sampai dengan kholifah al-Wasia yang disertai paksaan dan kekerasan.
Dalam faham Mu'tazilah diterangkan bahwa al-Qur'an adalah makhluk dalam
arti tidak qodim. Faham kemakhlukan al-Qur'an merupakan konsekuensi dari faham
tauhid. Tuhan betul-betul Maha Esa. Allah adalah qodim. Tidak ada yang qodim
selai-Nya. Manakala al-Qur'an qodim maka terjadilah ta'addud al-qudama
Pengakuan tentang adanya yang qodim selain Allah adalah syirik (Mustofa
Muhammad al-Ghurabi, tt : 37).
Al-Mihnah diberlakukan dalam upaya memasyarakatkan faham bahwa al-Qur'an
adalah makhluk. Menurut M. Abu Zahroh (tt : 298) para qodhi yang menyatakan
berpendapat sama dengan Mu'tazilah dalam arti mengakui bahwa al-Qur'an adalah
makhluk, dapat melanjutkan jabatannya dan kesaksiannya di pengadilan dapat diterima.
III. Proses Pelaksanaan al-Mihnah
Awal pelaksanaan al-Mihnah pada masa pemerintahan kholifah al-Makmun dari
dinasti Abbasiah, Prosesnya diawali dengan pengiriman beberapa surat instruksi
pemeriksaan keimanan seseorang tentang }holy al-Qur'an, dari kholofah yang
ditujukan kepada Ishaq bin Ibrahim gubernur di Bagdad.
Surat kholifah berisi uraian tentang faham bahwa al-Qur'an adalah makhluk
dan tidak qodim. Selanjutnya gubernur Ishaq bin Ibrahim hendaknya melaksanakan
mihnah terhadap pejabat dan pembesar lembaga peradilan serta menyampaikan
laporan kepada kholifah.
Ilustrasi tentang pengiriman surat instruksi mihnah dari kholifah al-Makmun
kepada gubernur Ishaq bin Ibrahim dapat dilihat dalam buku "Ahmad Ibn
Hanbal Walmihnah" halaman 100-118.
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa kholifah al-Makmun mengirimkan
beberapa surat kepada gubernurnya di Bagdad.
Surat pertama berisi instruksi melaksanakan mihnah kepada al-qudhot dan
al-aka ir. Dalam suratnya yang pertama al-Makmun selaku amirul mukminin
menjelaskan kepada Ibrahim bahwa ia berkewajiban memelihara dan menegakkan keyakinan
yang benar (al-haq) kepada masyarakat Keyakinan yang benar menurutnya adalah
bahwa al-Qur'an merupakan makhluk dalam arti baharu dan tidak qodim. Surat
pertama disusul atau ditindaklanjuti dengan surat kedua. Surat kedua berisi
perintah supaya tujuh tokoh terkemuka dari kalangan al-Muhadditsun dikirim ke
Tarsus untuk menghadap kholifah al-Makmun. Ketujuh tokoh tersebut yaitu
Muhammad Ibn Salad, Abu Muslim Abdurrahim Ibn Yunus, Yahya Ibn Ma'in, Zuhair
Ibn Harb Abu Khoisumah, Isma'il Ibn David, Ismail Ibn Mas’ud dan Ahmad Ibn
Ibrahim al-Dauraqi (Patton, tt : 108).
Perjalanan mereka bertujuh dikawal oleh pasukan keamanan menuju Tarsus,
Ketujuh tokoh tersebut didepan kholifah al-Makmun mengakui bahwa al-Qur'an
adalah makhluk, dalam arti ciptaan Allah seperti kejadian lainnya didalam alam
semesta.
Surat kedua ditindaklanjuti dengan surat ketiga, yang isinya tidak jauh
berbeda satu sama lain. Hanya saja ada penambahan" dan uraian dasar
pemikiran tentang kemakhluqan al-Qur'an sebagaimana yang dianut oleh kholifah
al-Makmun (Patton, tt : 112). Selanjutnya gubernur Bagdad menjalankan mihnah
terhadap para al-Fuqoha' (ahli-ahli hukum), al-Hukkam (pembesar-pembesar
kehakiman) dan al-Muhadditsun (ahli-ahli hadist).
Jawaban beberapa mihnah terhadap tokoh-tokoh yang diterima oleh gubernur
membuat kholifah murka, Karena kemurkaan yang teramat mendalam, kholifah
menukis surat keempat yang berisikan perintah yang keras sekali. Kholifah
memerintahkan supaya mihnah diulang kembali. Manakala mereka masih tetap syirik
dalam arti tidak menerima faham bahwa al-Qur'an adalah makhluk, maka hendaknya
dijatuhi hukuman mati. Dengan adanya instruksi kholifah terhadap para al-Fuqoha',
al-Qudhot maupun al-Muhadditsun maka sebagian besar dari mereka mengakui al-Qur'an
itu ciptaan Allah kecuali empat tokoh yang secara terang-terangan mereka
menolak tentang faham kemakhlukan al-Qur'an. Keempat tokoh tersebut ya itu
al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, Sajjadat, al-Qorariri, dan Muhammad Ibn Nuh (Thobari,
Jilid VIII : 644). Keempat tokoh tersebut lantas dibelenggu dan dipenjarakan. Sajjadat
dan al-Qororiri sebelum diberangkatkan menuju markas ketentaraan amirul
mukminin di Asia Kecil mengakui bahwa al-Qur'an adalah ciptaan Allah. Hanya
Ahmad Ibn Hanbal dan Muhammad Ibn Nuh saja yang tetap tidak mengakui bahwa
al-Qur'an adalah makhluk (Muhammad Abu Zahroh, tt : 299).
Gubernur Ishaq Ibn Ibrahim menyampaikan laporan lengkap mengenai mihnah
ulangan kepada kholifah al-Makmun dimana pihak-pihak yang berbalik mengakui
al-Qur'an sebagai ciptaan Allah karena unsur keterpaksaan bukan karena keyakinan
diri, Mereka menyatakan “annahum mukrahuna walaisa 'alal mukrohi harojon”
yang artinya, mereka kena paksa dan seseorang terpaksa tidak dibebani tanggung
jawab dari Allah.
Surat kelima kholifah al-Makmun membantah pendirian dari beberapa pihak
yang berbalik mengakui kemakhlukan al-Qur’an dengan menyatakan: … “ayat suci
didalam al-Qur'an yang berbunyi: kecuali orang yang kena paksa tetapi hatinya
tetap teguh dengan iman (surat al-Nahl : 106) adalah cuma berlaku terhadap
orang yang pura-pura "musyrik" akan tetapi hatinya tetap
"mukmin" ayat ini bukan berlaku bagi orang yang kenyakinannya sendiri
syirik akan tetapi pura-pura beriman …" (Thobari, Jilid VIII : 645).
Surat kelima berisi perintah untuk menangkap tokoh yang menolak bahwa
al-Qur'an adalah makhluk dan menghadapkannya kepada kholifah di
Tarsus.-Se-belum tawanan tiba di Tarsus kholifah al-Makmun meninggal. Tawanan
itu dikembalikan ke Bagdad, Namun sebelum sampai ketujuan Muhammad Ibn Nuh
meninggal dunia, Ahmad Ibn Hanbal tetap ditahan karena dianggap sebagai tokoh penting
yang menolak paham kholq al-Qur'an, (Harun Nasution, 1986:63).
Salah satu dialog yang terjadi antara Ishaq Ibn Ibrahim. gubernur Bagdad
dengan al-Imam Ahmad Ibn Hanbal berjalan sebagai berikut :
Ishaq : Apa pendapatmu tentang al-Qur'an ?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan
Ishaq : Apakah ia diciptakan ?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan. Saya tak dapat mengatakan lebih dari itu
Ishaq : Apa arti ayat, Maha Mendengar (Basir) ?
dan Maha Melihat (Basir) ?
(Ishaq) ingin menguji Ibn Hanbal tentang faham
antropomrphisme) Ibn Hanbal : Tuhan mensifatkan diri-Nya (dengan kata-kata itu)
Ishaq : Apa artinya ?
Ibn Hanbal : Tidak
tahu. Tuhan adalah sebagaimana Ia sifatkan diri-Nya (Harun Nasution, 1986 : 62
).
Surat kholifah al-Makmun yang dikirimkan kepada gubernur di Bagdad yang
berisikan mihnah dapat pula dilihat dalam “Tarikh al-Thobari jilid VIII, hal;
631-648”. Menurut Ahmad Amin (1936 : 168) didalam karyanya "Dhuha al-Islam
Jilid III" kandungan inti surat al-Makmun dapat disintesiskan kedalam lima
pernyataan.
1.
Al-Makmun merasa berkewajiban
memelihara keyakinan yang dianut umat Islam dari setiap kekeliruan, apalagi
jikalau bertalian dengan pokok-pokok keyakinan yaitu mempersamakan keazalian
Allah Maha Esa dengan sesuatu yang lainnya seumpama al-Qur'an.
2.
Lapisan awam dewasa itu sangat hangat
memperbincangkan masalah kejadian al-Qur'an itu Qodim karena al-Qur'an adalah
kalam Allah, pendapat semacam ini dibantah oleh al-Makmun didalam suratnya
beralaskan pernyataan didalam al-Qur'an sendiri.
3.
Sebagian besar para hakim (al-Qudhot)
sendiri, yang menduduki jabatan-jabatan peradilan menganut keyakinan tentang
"keazalian" al-Qur'an, dan selanjutnya bertindak menerima kesaksian
setiap saksi yang mengakui keazalian al-Qur'an dan sebaliknya menolak kesaksian
setiap saksi yang mengakui kemakhlukan al-Qur'an.
4.
Al-Makmun berpendirian bahwa keputusan
seorang hakim dan kesaksian seorang saksi tidaklah dapat diterima kecuali
keyakinan yang dianutnya itu benar, Barang siapa berkeyakinan tentang keazalian
al-Qur'an maka keyakinannya sudah tidak dapat dipercaya.
5.
Al-Makmun tidak bersedia mempercayakan
jabatan-jabatan agung serupa itu kepada seorang, kecuali imannya benar dan
tauhidnya benar.
Kalau dikaji secara cermat beberapa surat al-Makmun yang dikirimkan kepada
gubernur di Bagdad tentang mihnah adalah upaya pribadi kholifah untuk menjaga
agar keimanan seseorang benar-benar bersih dari unsur kemusyrikan.
IV. Mihnah sesudah kholifah al-Makmun
Sebelum al-Makmun meninggal dunia telah berwasiat kepada penggantinya yaitu
saudaranya sendiri yang bernama al-Mu'tasim, agar meneruskan mihnah kepada para
al-Fugoha' dan al-Muhadditsun tentang faham kholq al-Qur'an (M. Abu
Zahroh, tt : 299).
Dalam melanjutkan mihnah, al-Mu'tasim bersikap lebih keras dari pendahulunya.
Diantara tokoh yang tetap bersikukuh pada pendapatnya dan menolak bahwa
al-Qur'an adalah makhluk yaitu Ahead Ibn Hanbal. Menurut Ahmad Amin dalam bukunya
"dhuha al-Islam" jilid III (1936 : 180) al-Mu'tasim memerintahkan
untuk memberikan hukuman cambuk kepada Ahmad Ibn Hanbal kurang lebih 38 kali
sehingga darahnya mengalir dan kulitnya terkelupas. Dia dimasuki ke dalam
penjara dan kholifah menyuruh seorang tabib untuk mengobatinya sampai sembuh,
Ahmad Ibn Abi Daud mempengaruhi kholifah agar Ahmad Ibn Hanbal dibunuh raja, tetapi
kholifah menolak karena khawatir akan menggoyahkan kedudukannya sebagai
khalifah.
Setelah al-Mu'tasim meninggal digantikan oleh al-Wasiq. Dalam masa
pemerintahannya al-mihnah masih tetap berjalan, akan tetapi ia tidak berani
mencambuk Ahmad Ibn Hanbal sebagaimana pada zaman al-Mu'tasim (Abu Zahroh, tt :
300). Dalam melaksanakan al-mihnah ia tetap tegas dan keras, bahkan sempat membunuh
Ahmad Ibn Nasr dengan tangannya sendiri, sedangkan Ahmad Ibn Hanbal diusir
untuk meninggalkan Bagdad (Ahmad Amin, 1936 : 182).
Al-Wasiq meninggal pada tahun 232 H/847 M. Kemudian digantikan oleh
al-Mutawakkil yang menghapuskan pelaksanaan mihnah pada tahun 848 M (Patton, tt
: 172), Setelah al-Mutawakkil membatalkan kebijakan al-Makmun tentang
penerimaan aliran al-Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara, pamor kaum
Mu'tazilah mulai menurun, apalagi setelah al-Mutawakkil menunjukkan sikap
penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ahmad Ibn Hanbal yang dikenal sebagai
lawan Mu'tazilah terbesar saat itu. Kondisinya menjadi terbalik dimana Ahmad
Ibn Hanbal dan pengikut-pengikutnya kemudian menjadi golongan yang dekat
dengan pemerintah, sedangkan kaum Mu'tazilah menjadi golongan yang jauh dari
dinasti Abbas, Umat Islam yang tak setuju dengan ajaran-ajaran Mu'tazilah
mulai merasa bebas untuk menyerang mereka (Harun Nasution, 1986 : 68).
V.
Dinamika al-Mu'tazilah pasca al-mihnah
Dengan dibatalkannya al-mihnah yang mengakibatkan kaum Mu'tazilah mulai
menurun pengaruhnya serta dari hart kehari semakin redup senarnya. Al-Mihnah
yang dijalankan oleh kaum Mu'tazilah terhadap kelompok lain yang tidak sepaham
dengannya ternyata membawa dampak negatif yang tidak menguntungkan baginya
sebagai suatu aliran. Mereka mendapat tantangan keras dark umat Islam lain
karena dalam menyebarkan faham mereka memberlakukan kekerasan bahkan
memberlakukan hukum mati bagi mereka yang menolak (Harun Nasution, 1986 : 43).
Pemikiran rasional dan kekerasan kaum Mu'tazilah melatarbelakangi timbulnya aliran-aliran
teologi baru dalam Islam.
Pada masa kekeasaan Dinasti Buwaihi (945 - 1055 M), kaum Mu'tazilah naik
daun kembali. Di masa ini orang-orang Mu'tazilah mulai menduduki posisi-posisi
penting dan strategis dalam negara. Aliran ini mendapat sokongan dari Perdana
Menteri Sahib Ibn Abbad dari Sultan Fakhr al-Daulah.
Dinasti Buwaihi beraliran Syi'ah dimana dalam teologinya mempunyai
faham-faham dasar yang sama dengan aliran al-Mu'tazilah, faktor yang melatarbelakangi
kesamaan faham dasar dalam teologi kedua aliran tidak begitu jelas. Diantara
argumen-argumen yang dimajukan sesudah kaum Mu'tazilah jatuh (dan kemudian kaum
Asy'ariah berpengaruh dalam masyarakat Islam) kedua golongan tersebut mempunyai
interest yang sama untuk menentang aliran Ahli sunnah. Disamping itu golongan
Syi'ah banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat, yang bagi Syi'ah
teologi yang berdasar pada rasio seperti dianjurkan kaum Mu'tazilah lebih
sesuai dari pada aliran teologi yang bersifat tradisional, seperti yang
ditimbulkan oleh al-Asy'ari (Harun Nasution, 1986 : 74).
Sewaktu Dinasti Buwaihi digulingkan oleh Tugril dari Dinasti Saljuk di
tahun 1055 M, kedudukan Mu'tazilah belum mengalami perubahan. Tugril mempunyai
Perdana Menteri yang beraliran Mu'tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad Ibn Mansur
al-Kunduri, Atas pengaruhnya kaum Mu'tazilah tetap dalam keadaan baik dan Ahli
sunnah sebaliknya mulai mengalami masa kesukaran, Antara golongan Asy'ariah dan
Mu'tazilah timbul permusuhan, Atas usaha al-Kunduri, Sultan Tugril mengeluarkan
perintah untuk menangkap pemuka-pemuka aliran Asy'ariah. Penangkapan terhadap
pemuka-pemuka Asy'ariah berhenti dengan wafatnya Tugril ditahun 1063 M. Penggantinya
Alp Arselan (1063 - 1092) mengangkat Nizam al-Mulk sebagai Perdana Menteri,
Perdana Menteri yang baru ini beraliran Asy'ariah, dan atas usahanya aliran ini
maju dengan pesatnya yang mengakibatkan kemunduran Mu'tazialah (Harun Nasution,
1986:75), Pemikiran-pemikiran al-Mu'tazila mulai ditimbulkan kembali oleh
pemuka-pemuka pembaharuan dalam Islam periode abad kesembilan belas M, terutama
oleh amaluddin al-Afghoni, Muhammad Abduh, dan Ahmad Khan (Harun Nasution, 1986
: 43).
Diawal abad ke sembilan belas tokoh yang populer mengembangkan faham rasionalitas
adalah Muhammad Abduh, Menurut M, Abduh karena tuntutan zaman dan suasana umat
Islam telah berbeda dari zaman klasik maka ajaran Islam perlu disesuaikan dengan
keadaan modern. Dalam ajaran Islam ada masalah ibadah dan mu'amalah. Karena hal
yang bersinggungan dengan masalah mu'amalah dijelaskan secara umum tanpa
rincian yang mendetail, maka hendaknya ia ditafsirkan sesuai dengan tuntutan
zaman. Upaya untuk menjelaskan prinsip umum menurut tuntutan zaman memerlukan
ketajaman akal pikiran. Tidak mengherankan jikalau Muhammad Abduh menegaskan
bahwa al-Qur'an berbicara kepada akal pikiran bukan kepada perasaan (Harun
Nasution, 1987 : 45).
Di Indonesia pemikiran Mu'tazilah sudah lama mendapat tempat yang
terhormat. Misal, baik Harun Nasution yang mempunyai komitment tinggi terhadap
faham rasionalitas terbukti pada tahun 1968 sempat menggegerkan persada
Indonesia ketika menulis tesis Ph.D-nya di Universitas Mc. Gill, Montreal
Canada dengan judul "The Place of Reason in Abduh's Theology, Its Impact
on His Theological System and Views", Dan banyak contoh lain seperti tokoh
pembaharu, K.H. Ahmad Dahlan, H, Agoes Salim, Norcholis Madjid yang banyak
diilhami paham rasional Muhammad Abduh. Dalam menatap dinamika kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi dewasa ini, umat Islam dipacu agar dapat berfikir kritis
analitis filosofis. Dalam upaya membudayakan berfikir sistematis filosofis dalam
teologi Islam hanya Mu'azilah yang menjadi sumber khazanah utamanya.
VI. Penutup dan Kesimpulan
Pendapat yang berkembang ditengah-tengah masyarakat dimana timbul kesan bahwa
kaum Mu'tazilah adalah kafir, ternyata ditemukan bukti autentik dalamal-Qur'an.
Secara tegas Muhammad Abu Zahroh menolak tuduhan, bahwa Mu'tazilah adalah aliran
sesat dari aliran yang telah keluar dari Islam. Perselisihan dan pertikaian
yang terjadi dengan aliran lainnya hanyalah diseputar masalah furu'iyah
dan tidak menyebabkan keluar dari Islam.
Dari pembahasan singkat makalah ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Al-Mihnah merupakan noktah hitam bagi
kaum Mu'tazilah karena mereka menggunakan jalan kekerasan didalam mensosialisasikan
ajaran-ajarannya.
2.
Al-Mihnah sebenarnya merupakan konsekuensi
dari ajaran tauhid kaum Mu'tazilah, dimana mereka ingin memurnikan faham
seorang mukmin dari syirik. Orang yang mengakui bahwa al-Qur'an qodim
dikatakan telah terjerumus dalam kategori syirik.
3.
Perkembangan dan penyiaran mihnah pada
waktu itu secara substansial dilatarbelakangi oleh intervensi pemerintah.
4.
Kaum Mu'tazilah mengalami masa pasting
surut. Masa kejayaannya pada waktu kholifah al-Makmun, Masa Kemundurannya
dimasa al-Mutawakkil, Pada masa Dinasti Buaaaihi kaum Mu'tazilah bangkit dan muncul
kembali. Kemudian kaum Mu'tazilah tenggelam lagi, baru muncul kembali pada awal
abad kesembilan belas M.
5.
Ditengah hidup yang kompetitif di era
informasi dewasa ini, “faham rasionalitas kaum Mu'tazilah” mendapatkan tempat
yang proporsional, bahkan banyak diminati dan ditumbuh kembangkan oleh kaum
intelektual.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahroh, Muhammad Tanpa Tahun. Tarikh
al-Madzahib, al-Islamiyah. Jilid III. Kairo: Dar al-Fikri.
Al-Khayyat, Abu al-Hasayn Abd
al-Rahim. 1957. Al-Ihtisar. Beirut.
Amin, Ahmad. Tanpa Tahun. Dhuha
al-Islam. Jilid III. Beirut: Darul Kitab al-Arobi.
Al-Ghurobi, Ali Mustofa. 1958. Tarikh
al-Firoq, al-Islamiyah. Mesir.
Al-Thobari, Abu Ja'far Muhammad Ibn
Jarir. Tanpa Tahun. Jilid VIII. Dar al-Fikri.
Cobuild, Collin. 1987, English,
Language, Dictionary. London: University of Birmigham.
Nasution, Haru,, 986. Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jilid II, Cetakan keenam. Jakarta: UI Press,
__________, 1987. Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah. Analisa Perbandingan. Cetakan kelima, Jakarta: UI
Press.
__________, 1995. Islam Rasional
Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan.
Gruneboum, G. E. Von. 1963. Clasical
Islam A History. London.
Madjid, Norcholis, 1963, Khasanah
Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Patton, Walter Melville. 1897. Ahmad
Ibn Hanbal walmihnah,, London.
Stringass, F. 1978. Arabic English
Dictionary. India: Cosmo Publication.
Wehr, Hans. 1987. A Dictionary of
Modern Written Arabic,. London: George Allen Ana Unwin.
Watt, W. Montgomery. 1987. Pemikiran
Teologi dan Filsafat Islam. Jakarta: P3M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar