Rabu, 18 Desember 2013

Studi Islam; Pendekatan Antropologis

"+"

STUDI  ISLAM
DALAM  PENDEKATAN ANTROPOLOGI


ABSTRACT
Dalam perspektif agama, budaya merupakan faktor yang sangat esensial yang tidak bisa ditinggalkan. Motivasi diturunkannya agama adalah untuk kemaslahatan kehidupan manusia. Dalam konteks agama tersebut budaya merupakan bagian yang tak dapat diremehkan. Corak penghayatan dan pengalaman agama sangat tergantung dengan budaya yang melingkupinya. Sehinga sangatlah tipis membedakan keduanya. Persoalan selanjutnya adalah manakah yang menjadi faktor penentu apakah budaya merupakan bagian dari agama, ataukah agama justru merupakan bagian dari budaya. Secara faktual agama dan budaya dalam relaitasnya tidak bisa dibedakan secara ketat keduanya merupakan mata rantai yang saling memberikan pengaruh. Implikasinya corak agama secara  geografis di Timur Tengah tentu mempunyai karakter berbeda dengan penghayatan dan pengalaman di Eropa maupun di Amerika. Begitu juga penghayatan agama jika ditelisisk aktualisasinya di kawasan nusantara ini. Pengamalan agama di wilayah pesisir tentu berbeda secara signifikan dengan wilayah pedalaman. Demikianlah aktualisasi pengalaman dan penghayatan  agama sangat kental dengan  realitasa setting historis dan setting demografis yang mengitarinya.

                
Pengantar
Studi agama dalam pendekatan antropologi memposisikan agama sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan dalam sistem kebudayaan. Meminjam istilah yang digunakan Clifford Geertz, agama merupakan bagian dari kebudayaan yang meresap dan menyebar luas dalam perilaku sosial masyarakat [1]. Dengan demikian maka praktek penghayatan dan pengamalan keberagamaan seseorang dalam derajat tertentu bisa menimbulkan budaya tersendiri.
Antropologi secara harfiah berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata antropos yang berarti “manusia” dan logos yang berarti “studi”. Dengan demikan antropologi merupakan suatu disiplin  ilmu yang berdasarkan pada rasa ingin tahu yang tiada henti tentang manusia[2]. Pendekatan ilmu antropologi tentang manusia meliputi pendekatan menyeluruh yang mencakup semua bidang kehidupan manusia.
Senada dengan argumen Geertz di atas, Harun Nasution[3] beranggapan bahwa berbicara perspektif agama tidak bisa dipisahkan dengan  konsep budaya karena keduanya saling kait mengkait. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa antara agama dan kebudayaan terdapat hubungan saling mempengaruhi yang bersaifat timbal balik. Motivasi utama diturunkannya agama adalah supaya manusia menjadi makhluk yang berbudaya serta mampu memberikan dampak positif terhadap lingkungan dimana ia berada. Budaya seperti apa yang dikehendaki oleh agama--khsususnya agama Islam--tentu budaya adiluhung yang dapat mengantarkan citra dan mangangkat jati diri manusia menjadi sebaik-baik ciptaan dibandingkan dengan makhluk ciptaan lainya.
Tulisan ini  mencoba memotret  agama dalam kajian antropologi, dengan satu penekanan bahwa agama memiliki sifat mengakomodir pluralitas budaya. Agama memberikan apresiasi ruang gerak yang sangat dinamis dan longgar bagi para pemeluknya dalam berinteraksi antar sesama manusia. Dalam terma agama perbedaan warna kulit, bahasa, dan budaya merupakan keniscyaan dalam realitas bermasyarakat[4]

Agama dan Budaya
 Kajian tentang agama selalu berkembang dan menjadi kajian yang cukup menarik. Agama sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat, oleh karena itu, tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang ilmu ilmu sosial, politik, ekonomi dan teori perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajian yang parsial tersebut tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang komprehensif.
             Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya setempat. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat –dalam derajat tertentu— ikut mewarnai dan membentuk pola dan praktik ritual agama para pemeluk agama. Misalnya  perayaan Idul Fitri khas di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua, merupakan sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Sejauh ini, umat Islam di negara bagia lain tidak mengenal tradisi sungkeman pada hari raya Iedul Fitri sebagaimana dipraktekkan umat Islam di Indonesia. Pertautan antara agama dan realitas budaya ini dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas kosong. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama  yang senantiasa bersinggungan langsung dengan peradaban manusia, yang tentunya kental dangan corak budaya yang mengelilinginya.
            Kenyataan yang demikian memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat --baik dalam wacana maupun secara praktis sosialnya-- menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Meskipun demikian, tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan --seperti yang tercermin dalam kitab kitab suci-- dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya --primordial-- yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa interpretasi terhadap ajaran agama bisa berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya [5].
            Untuk melengkapi argumen ini, kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya, membuktikan adanya pengaruh budaya yang cukup signifikan dalam memahami praktek simbol simbol Islam pada suatu wilayah budaya. Di Indonesia, Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik yang bersifat adaptif, menyerap, pragmatis, dan gradualistik sementara di Maroko Islam mempunyai sifat tidak kenal kompromi dan fundamental yang agresif dan penuh gairah[6] .
            Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya. Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan konteks budaya dan sosial. Misalnya proses penilaian terhadap persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia yang tidak jarang membawa masalah agama sebagai argumen dasar. Dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama direkayasa untuk kepentingan kehidupan manusia yang bersifat duniawi. Tentu saja peran dan makna agama dalam konteks ini akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama dalam konteks kemasyarakatn. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia.  Antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid[7] mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah persoalan agama yang sebenarnya. Dengan kata lain, pergumulan sosial dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai common sense dan religious sensee. Di satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi atau supreme reality.
Dalam realitas sosial budaya bersifat subyektif, di mana seringkali dijumpai banyak manusia yang mengklaim bahwa budayanya merupakan budaya yang mempunyai konteks makna tinggi dibandingkan dengan budaya orang lain. Hak ini menimbulkan persoalan ketika beberapa budaya yang berbeda tersebut tidak selamanya mampu hidup berdampingan serta memberikan daya dukung dan melengkapi satu dengan lainnya. Dalam kajian antropologi, gejala ini disebut dengan  etnosentrisme yang dimiliki oleh para komunitas budaya, dimana para pemilik budaya melakukan klaim pembenaran (truth claim) terhadap budayanya serta menganggap budaya lain tidak relevan[8] .  
Sifat etnosentrime ini kemudian membuat para penganut budaya menganut sebuah konsep “kami” untuk menyebut penganut budaya yang sama, dan “mereka” untuk menyebut penganut budaya yang berbeda. Dalam menyikapi sikap etnosentrisme ini, agama sangat adaptif terhadap dinamika budaya yang senantiasa berkembang seiring dengan laju perkembangan tuntutan zaman. Sifat etnosentrisme pemeluk Islam di Indonesia telah menyebabkan munculnya khilafiyah yang memberikan kontribusi cukup siginifikan dalam khasanah beragama di kalangan umat.


Agama dalam Perspektif Antropologi
Secara garis besar kajian agama dalam perspektif antropologi dapat dikategorikan ke dalam tiga kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, dan symbolist[9]. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat konsep  agama yang dipegang teguh dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan  agama tersebut dalam praktek ritual masyarakat yang bersangkutan. Termasuk dalam tradisi ini adalah misalnya, E.B. Taylor, yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, tetapi setidaknya definisi ini menunjukkan kecenderungan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monotheis. Oleh karena itu kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian secara epistemologis meneliti sudut perkembangan agama dari  konsep agama primitif anismisme sampai dengan  monotheisme. Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menunjukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan pada suatu saat akan kembali lagi ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa secara evolutif agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak.
Ketiga teori, (strukturalis, fungsionalis dan simbolis) sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Melalui buku tersebut Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang dianut oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured dan well-organised seperti yang dimanifestasikan dalam agama monotheis. Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin  ditemukan bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal  binatang Kanguru.
Disamping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka masyarakat bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah salah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos maupun magic, adalah model bagi kerangka bertindak setiap individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim yang dikembangkan oleh Levi-Strauss tidak terbatas pada wacana hubungan sosial saja, tetapi juga berkembang pada wilayah ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.
Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi psikologi agama, selain sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat, juga berfungsi sebagai penguat solidaritas manusia yang menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme.
Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas serta kemampuan menggunakan teknologi. Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahan masalahnya. Upaya ini dilakuakan dengan mengadakan upacara ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga berakar dari teori Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktivitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual atau upacara keagamaan di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendenkan (mengembalikan kepada the supreme reality) untuk menyelesaikan konflik keseharian yang bersifat duniawi. Oleh karena itu, ritual, terutama cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan atau misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reducing hostility) di antara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan terhadap niat jahat seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual tidak hanya sebagai kewajiban (obligation), melainkan sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi --strukturalis, fungsionalis dan simbolis-- yang berakar dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktivitas duniawi manusia, seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern, Weber menunjukkan minat untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan kapitalisme [10]. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern.
Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber. Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama, tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme mempengaruhi perilaku sosial manusia.
Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas, agama ditempatkan pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia  yang bersifat empiris, persoalan empiris menjadi perhatian kajian sosial, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting.
Jika agama diperuntukkan bagi kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah  Allah SWT di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia --termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-- pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat jelas betapa pentingnya kajian tentang manusia, yang  menjadi pusat apresiasi ilmu antropologi yang merupakan ilmu sosial sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian ilmu agama.

Manusia dan Budaya
Bumi dimana kita berpijak merupakan fasilitas, sekaligus media yang  dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi hajat kebutuhan fisiknya dengan tetap berprinsip selalu menjaga ekologi lingkungan agar tidak membuat kerusakan. Pesan antropologis didalam memaknai fungsi agama  adalah bahwa  bumi ini hanyalah diwariskan--diberikan hak pengelolaan--oleh sang Pencipta kepada  hamba-hamba-Nya yang saleh [11] .
Hak pengelolaan yang dimiliki oleh manusia merupakan amanat yang terus dijaga dan dijalankan. Salah satu upaya manusia untuk menjaga ekologi yang seimbang diwujudkan dengan cara menjadi ‘manusia yang berbudaya’, yakni yang memiliki cipta “rasa, karsa, dan karya”. Ini berarti bahwa pada dasarnya manusia menciptakan budaya, konsekuensinya manusia juga senantiasa dikelilingi oleh pranata sosial. Dalam kondisi apapun manusia senantiasa terikat oleh tatanan baik yang formal maupun informal sebagai perwujudan dari ekspresi budaya tersebut.
E B Taylor bapak Antropologi Budaya, sebagaimana dikutip oleh Philip Harris dan Robert Moran dalam Deddy Mulyana[12] mendefinisikan budaya sebagai ”keseluruhan komplek yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan tata kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh angota-anggota suatu masyarakat”. Dalam hal ini setiap kelompok budaya menghasilkan jawaban-jawaban khususnya terhadap tantangan-tantangan seperti kelahiran pertumbuhan, hubungan sosial, dan bahkan kematian. Ketika orang-orang menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan ganjil yang mereka temukan di bumi, kebiasaan hidup sehari-hari timbul, misalnya, bagaimana cara mandi, pola makan, bekerja, kebiasaan tidur dan seterusnya. Dengan demikian budaya sangat terkait erat dengan pola kebisaan dan pandangan hidup yang telah diyakini dan dikerjakan secara berulang-ulang dalam tatanan kehidupan berkoloni.
Dalam kaidah agama, budaya (termasuk di dalamnya adalah adat dan tradisi) menjadi salah satu  referensi dalam menentukan  kebijakan pengamalan agama. Maka muncullah kaidah ushuliyah, al’adah muhakkamah (kebiasan adalah hukum ) yang harus dijunjung tinggi[13] .
Tradisi atau kebiasaan yang timbul dalam masyarakat bisa saja  berupa warisan yang telah diturunkan oleh suatu generasi ke generasi berikutnya atau merupakan kreasi baru hasil cipta karsa manusia. Budaya  ada yang diposisikan sebagai budaya  “konteks tinggi” dan budaya dalam  “konteks rendah” [14]. Budaya tersebut bisa  muncul sebagai akibat dari persinggungan dengan budaya lain, sehingga dalam perkembangannya sebuah budaya bisa dipengaruhi atau mempengaruhi budaya lain. Dalam kaitannya dengan perilaku budaya manusia, sebuah budaya ditentukan atau dikonstruk oleh manusia, tetapi sebaliknya perilaku manusia juga dipengaruhi atau diatur oleh norma budaya (cultural norms).
Di dalam perilaku berbudaya, individu cenderung menerima dan mempercayai apa yang sudah menjadi kesepakatan dalam kontrak masyarakat (shared values), meskipun individu tersebut tidak sepenuhnya menerima nilai kesepakatan tersebut. Proses penolakan individu atas kesepakatan sosial bisa jadi hanya sebatas dalam tataran konseptual atau dalam pendekatan pemikiran. Sedangkan dalam dataran kultural, secara tak terhindarkan manusia senantiasa dipengaruhi oleh adat dan pengetahauan yang berkembang di masyarakat dimana ia dibesarkan dan tinggal.
 Proses terjadinya keterpengaruhan budaya didasarkan pada peristiwa seleksi budaya (cultural selection) dimana manusia akan menerima sebuah budaya ketika budaya tersebut dirasa cocok dengan dirinya serta lingkungan di mana dia tinggal. Sebaliknya manusia cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan “kebenaran” kultural atau bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaan yang berkembang. Masalah akan muncul bila sebuah budaya dalam sekelompok masyarakat serta pola berpikir masyarakat tersebut tidak sejalan atau tertinggal dari fenomena penemuan-penemuan ilmiah yang baru, dengan kata lain masyarkat budaya belum siap untuk menghadapi budaya lain yang datang.  Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di beberapa wilayah, misalnya telah jauh mendahului ajaran-ajaran kultural masyarakat pada wilayah tertentu. Ketidak seimbangan kultural semacam ini bisa menimbulkan jurang budaya (cultural gap) sebagai satu efek sampingan dari akselerasi perubahan sosial.
 

Pandangan Islam Tentang Budaya
Islam dipandang sebagai agama sekaligus merupakan sebuah peradaban. Secara filosofis  ketika al Qur’an menjelaskan pengertian tentang manusia, yaitu basyar dan insan, dapat dideduksi bahwa manusia dalam posisinya sebagai basyar       (berdimensi lahiriyah) memiliki bawaan kodrati yang dengannya menjadikan fungsi ‘abd (hamba Allah) yang tunduk, patuh, terikat tanggung jawab (kepada sunnatullah). Sedangkan dalam posisi sebagai insan (yang berdimensi ruhaniah) manusia memiliki akal yang dengannya menjalankan fungsi khalifah yang memiliki kebebasan berbuat dan berkreasi.
Realisasi fungsi manusia sebagai ‘abd adalah beraqidah dan beribadah (atau dengan kata lain beragama). Sementara realisai khalifah adalah menciptakan kebudayaan/peradaban. Karena Islam diturunkan Tuhan untuk manusia, sementara manusia memikul amanat untuk menjalankan fungsi ‘abd dan fungsi kholifah, maka ketika fungsi-fungsi itu direalisasikan, hal ini berarti bahwa Islam merupakan agama sekaligus kebudayaan/peradaban [15].

Faktor Pembentuk Keragaman dalam Islam
Salah satu karakteristik yang menonjol dalam pola perilaku keberagamaan dalam Islam adalah keragaman yang disebabkan oleh pola persepsi yang berbeda di kalangan pemeluknya. Menurut Fatah Santoso[16] , faktor yang menyebabkan timbulnya keragaman dalam budaya dan perilaku beragama ini diantaranya (1) otoritas kekuasaan dalam kerangka persaingan dan perebutan hegemoni dan dominasi kebudayaan sebagai ekspresi politik pemeluk agama, (2) faham keagamaan, baik dalam bentuk mazhab fikih maupun orde sufi atau tarekat, (3) ciri-ciri etnis dan rasial para pemeluk Islam, (4) faktor sejarah, serta (5) faktor demografis dan geografis.
Pola persaingan dan perebutan hegemoni serta dominasi kebudayaan setidaknya telah menjadi bagian dari fenomena sosio religion yang telah membelah umat Islam di Indonesia menjadi beberapa partai politik serta organisasi massa Islam, seperti Masyumi, Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis dan sebagainya. Di samping itu, kesamaan pengalaman sejarah dan jenis kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat tertentu dimasa lampau tidak saja berpengaruh kuat dalam membentuk identitas kebudayaan tetapi juga dalam menetapkan pola kebudayaan regional atau sub-budaya.
Sedangkan kawasan-kawasan di mana selama  berabad-abad timbul dan tenggelam secara terus menerus antara masyarakat nomadik dan penetap, memiliki  ciri-ciri umum yang menonjol dalam beberapa segi kebudayaan, hal ini juga terjadi pada  kawasan-kawasan yang dihuni   masyarakat agraris yang menetap secara penuh. Dengan kata lain, letak geografis serta demografis sebuah masyarakat akan memiliki pengaruh tertentu terhadap pola keberagamaan masyarakat yang disebabkan oleh ciri serta karakteristik masyarakat yang juga berbeda.
Beberapa faktor diatas, dalam pengalaman historisnya, tidak bekerja sendirian, misalnya, keragaman budaya tidak bisa ditentukan oleh hanya salah satu faktor penyebab saja. Kombinasi antar faktor biasanya bertanggungjawab atas penciptaan keragaman kebudayaan dalam peradaban Islam.


Konteks Budaya Islam di Indonesia
Dari apa  yang sudah dipaparkan, nampak bahwa ketika harus diaktualisasikan dalam kebudayaan, Islam telah menampilkan wajahnya yang beragam. Misalnya kasus Islam di Indonesia, dalam keragaman kebudayaan Islam yang bersifat regional  masih tersedia tempat bagi kebudayaan Islam itu sendiri untuk dipersatukan oleh ruh dan bentuk tradisi yang suci yang bersumber dari tauhid.
Dalam rangka menyikapi keanekaragaman kebudayaan Islam ini, menurut Fatah Santoso[17]  ada beberapa prinsip pengembangan kebudayaan Islam, yaitu:
(1)   Prinsip keterbukaan. Dengan mengacu pada prinsip ini, kebudayaaan  Islam diasumsikan tidak dibangun dari nol. Islam datang pada sebuah kebudayaan yang sudah ada sebelumnya —dengan berbagai faktor yang melekat pada dirinya, seperti faktor sejarah, faktor etnis, dan rasial serta faktor demografis dan geografi— untuk kemudian memberikan sebuah visi keagamaan, yang kemudian diamalkan sesuai dengan faham hasil internalisasi masyarakat pendukungnya.
(2)   Prinsip toleransi. Prinsip ini muncul sebagai konsekuensi dari prinsip pertama, dimana semua sikap keterbukaan yang dikembangkan oleh sekelompok akan senantiasa membutuhkan sikap toleran dari komunitas tersebut. Dengan kata lain, tidak ada sikap keterbukaan yang bisa dikembangkan tanpa adanya toleransi.
(3)   Prinsip kebebasan. Prinsip ini mengandung makna bahwa sebuah budaya perlu memberikan ruang yang longgar kepada penganut budaya tersebut untuk mengembangkan diri. Dengan demikian maka aktualisasi dari pemberian visi keagamaan menuntut pemberian kebebasan bagi umat atau pemeluknya untuk mengembangkan kebudayaan sebagai proses eksistensi kreatif.  
(4)   Prinsip otentisitas yang tersirat dari visi keagamaan yang mendasari bekerjanya prinsip kebebasan. Keragaman yang lahir dari aktualisasi tiga prinsip pertama terintegrasikan dalam kesatuan spiritualitas melalui prinsip otentisistas.

Berbicara tentang aspek keragaman budaya dalam Islam tentunya sama dengan mamasuki lautan tak bertepi, karena substansi dari ajaran agama Islam senantiasa menghormati dan mengakomodir semua budaya, sepanjang budaya tersebut berorientasi  menjunjung tingi harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, membicarakan budaya Islam harus dititikberatkan  pada salah satu aspek kajian dari beberapa aspek manusia yang hendak dikaji, sehingga dapat mengasilkan jawaban dari persoalan budaya yang sedang diperdebatkan. Diantara persoalan budaya Islam yang secara kontekstual relevan dengan permasalahan kultural di Indonesia adalah budaya mudik, budaya halal bihalal, dan tahlilan.


Budaya Mudik
Mudik atau acara pulang ke kampung halaman merupakan acara rutinitas ritual tahunan yang senantiasa diminati oleh seluruh masyarakat menjelang hari lebaran Idul Fitri. Dari seluruh strata sosial, sejak dari pejabat tinggi sampai dengan  masyarakat akar rumput, memanfaatkan momentum mudik sebagai peluang emas untuk saling berkunjung dan berkumpul dengan para kerabat maupun keluarga.
Meskipun budaya mudik secara substansial merupakan budaya yang berakar dari ajaran Islam, tetapi pada tataran das sollen budaya seolah olah menjadi milik semua masyarakat di Indonesia tanpa melihat latar belakang agama mereka. Ini artinya bahwa budaya Islam di Indonesia secara tidak disadari telah mengembangkan dan mengakomodir prinsip keterbukaan, prinsip toleransi, serta prinsip kebebasan bagi kelompok kelompok budaya setempat. 
Mudik dengan segudang motivasi yang melatarbelakangi para pelakunya sangat unik untuk disimak. Bahkan bisa dikatakan bahwa budaya mudik Iedul Fitri merupakan sign of uniqueness budaya Islam yang telah melekat dan menjadi trade mark bagi umat Islam di Indonesia. Keunikan tersebut karena budaya mudik mengandung makna profan dan mengandung dimensi spiritual.  
Makna profan yang terkandung dapat dijelaskan karena mudik  sebagi arena kumpul tahunan masyarakat, setelah rutinitas kesibukan harian mengakibatkan mereka jauh dengan sanak kerabat. Sedangkan dimensi spiritualnya, bahwa kegiatan mudik tersebut merupakan ajang pengamalan keberagamaan, yang pada umumnya dimanfaatkan bagi para pemudik untuk kirim do’a  kepada leluhur dengan cara ziarah kubur kepada para kerabat dan leluhur serta orang tua yang telah meninggal dunia dan dilanjutkan dengan budaya saling memaafkan diantara  kerabat maupun lingkungan masyarakat yang telah lama ditinggalkan.
Secara faktual budaya mudik merupakan kegiatan yang mengandung dimensi ganda, yaitu (1) dimensi keduniawian yang berupa hasrat untuk berlibur dan menumpahkan kerinduan kepada sanak kerabat, dan (2) dimensi normatif yang berupa pemenuhan anjuran untuk menyambung silaturahim. Untuk dimensi normatif ini, ada landasan muamalah yang  merupakan anjuran Allah sebagaimana tertuang dalam Al Qur’an surat Ali Imran 134-135.




Budaya Halal Bihalal
Halal bihalal sebenarnya merupakan kultur khas Indonesia dalam mengisi hari raya Iedul Fitri yang secara substantif merupakan salah satu dari perintah agama Islam yakni saling mengakui kesalahan dan sikap berbesar  hati untuk saling mohon  maaf dengan lainnya. Kegiatan halah bihalal tersebut oleh sebagian kelompok masyarakat dijadikan suatu kegiatan rutin tahunan yang bersifat formal ritual sebagai media permintaan maaf antar anggota kelompok masyarakat sebagai ajang saling memaafkan secara massal.
Momentum untuk saling memaafkan pada suasana halal bihalal, biasanya diikuti dengan acara pesta seremonial yang tidak juga dijadikan sebagai wahana untuk saling menampilkan kemewahan. Anggota kelompok masyarakat yang terlibat dalam suasana tersebut biasanya terlibat dalam ikatan batin yang serba menggembirakan tanpa ada beban psikologis. Orang yang pernah membuat kesalahan, baik disengaja maupun tidak, maupun orang yang pernah disakiti dalam pola interaksi horizontal, kedua-duanya saling bertegur sapa dan berpelukan saling memberi maaf dan mencoba untuk membuat file baru dalam kehidupan esok yang lebih baik lagi.
Dalam doktrin religius sampai sejauh ini belum ditemukan referensi yang kuat tentang perintah mnyelenggarakan seremonial halal bihalal. Tetapi sebaliknya, belum juga ditemukan referensi yang melarang atau mengharamkan penyelenggaraan seremonial tersebut. Spirit yang menjiwai budaya halal bihalal ini adalah semata mata merupakan cultural construct yang  sejauh ini hanya menjadi miliki umat Islam di Indonesia. Implikasi kultural yang muncul dari wacana ini adalah ketika ada suatu kelompok dalam masyarakat yang tidak mempunyai kepedulian terhadap kultur tersebut dianggap telah melakukan deviasi sosial bahkan bisa saja diberi label  abnormal.
Di negeri asal datangnya Islam -- Mekah Madinah--budaya halal bihalal pada bulan syawal tidak menjadi fenomena budaya, karena masyarakat setempat berpegang teguh pada doktrin Islam yang menyatakan bahwa orang harus segera meminta maaf ketika merasa berbuat kesalahan. Dengan demikian maka meminta maaf tidak harus menunggu sampai iedul fitri tiba.

Budaya Tahlilan
Membaca lafadz laailaahaillallah (tahlil) bagi umat Islam adalah merupakan ajaran Islam dalam rangka berdzikir kepada sang Pencipta[18] . Namun dalam konteks sosio religius di Indonesia, terminologi “tahlil” telah berkembang menjadi budaya tersendiri. Ada sekelompok faham agama yang kemudian menjadikan “budaya tahlilan” ini sebagai salah satu ritual keagamaan dengan melengkapi lafadz tahlil tersebut dengan tasbih serta bacaan surat Yasin. Fenomena ritual ini kemudian disebut dengan istilah “tahlilan” atau “yasinan”.
Dalam dataran praktek kultural, seremonial tahlilan dijadikan sebagai media membiasakan diri untuk memperbanyak bacaan kalimah thoyyibah yang dibaca secara kolektif dalam rangka menggapai maghfirah dan rahmat dari  Allah SWT. Kultur tersebut  lazimnya dilaksanakan pada setiap malam Jum’at atau pada peristiwa peristiwa tertentu dan pada hari-hari tertentu seperti memperingati dan mendoakan seseorang yang sudah meninggal dunia pada hari ke tiga,  ke tujuh, ke empat puluh dan seterusnya. Tujuan yang paling mendasar dari kegiatan tersebut  adalah (a) mendoakan kepada arwah para leluhur--bisa orang tua, kakek nenek atau para auliya’, syuhada, anbiya’ yang telah meninggal dunia, (b) mengharapkan pahala dan ampunan dari Allah.
Feneomena tahlilan yang muncul dewasa ini  merupakan fakta sosial yang sudah menjadi salah satu karakter budaya Islam di Indonesia dan tidak banyak ditemukan di lingkungan komunitas Islam di negara lain. Lebih khusus lagi, budaya tahlilan di Indonesia dianggap sebagai salah satu tatanan kehidupan beragama  dan dijadikan simbol  oleh kalangan ”ahlus sunnah”. Bagi kalangan ahlus sunnah, umat Islam yang tidak mau mengerjakan tahlil dianggap sebagai umat yang kurang mempunyai ghirah keberagamaan sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh ash-shabiqun al-awwalu.
Klaim ini secara kultural dianggap sebagai perwujudan dari sikap etnosentris sebagaimana lazim terjaadi dalam sebuah komunitas budaya. Konsekuensinya sikap etnosentris ini menimbulkan sikap resistensi dari komunitas budaya lain, sehingga muncul wacana pro dan kontra. Wacana pro dan kontra ini dalam konteks Islam di Indonesia sering disebut sebagai “khilafiyah” yang sempat mendikotomikan kelompok umat Islam dalam dua kutub yang berbeda.
Terlepas dari pro dan kontra yang berkembang dalam masyarakat Islam mengenai budaya tahlilan, budaya ini sudah menjadi faktor pembeda antara umat Islam yang ada di Indonesia dengan umat Islam di negara lain. Disamping itu, budaya tahlilan yang berkembang di wilayah nusantara ini justru memberikan kontribusi positif terhadap diskursus kultural pengamalan doktrin agama. Selanjutnya budaya tahlilan secara kultural juga telah memperkaya ragam budaya Islam meskipun masih ada perbedaan pendapat mengenai hal ini.
Dalam menyikapi perbedaan ini, ada sebuah pertanyaan yang perlu dijawab guna menciptakan harmoni dalam kehidupan beragama dalam perspektif kultural. Untuk mencapai kondisi ideal kerukunan hidup dalam beragama dengan semboyan agree in disagreement, setidaknya ada dua hal penting yang perlu dijadikan renungan bersama, yaitu
(1)   menganggap perbedaan sebagai sunatullah
(2)   menganggap komunitas yang berbeda sebagai mitra, dan bukan sebagai musuh
Dari beberapa penjelasan di atas, terlihat bahwa Islam yang merupakan  doktrin ilahiyah cukup potensial menimbulkan perbedaan kultural dimana perbedaan tersebut tidak harus dianggap sebagai ancaman bagi keutuhan umat Islam. Pada hakekatnya manusia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kegiatan budaya masing-masing sesuai dengan belief system yang dianut. Dengan demikian maka dalam dimensi kemanusian dan kebudayaan, para pelaku budaya diharapkan bisa saling menghormati pluralitas budaya yang muncul dalam sebuah realitas sosial, dengan motif satu dengan yang lainnya saling memahami dan melengkapi  sehingga bisa muncul harmoni

Penutup
Islam merupakan agama yang sangat memahami aneka ragam pesona budaya yang muncul didalam interaksi sosial dalam kegiatan umat manusia. Realitas sosial menunjukkan, bahwa tumbuh dan berkembangnya agama Islam justru karena kekayaan khazanah aneka ragam budaya yang melingkupinya.
Selanjutnya Islam  mengapresiasi bentuk budaya  tersebut, dengan sebuah jargon  “setiap orang beriman tidak diperkenankan mengaku dirinya yang paling benar serta mengklaim diri sebagai kelompok  yang paling benar” atau bersikap etnosentris. Intinya Islam mengapresiasi diskursus budaya yang berkembang di masyarakat, karena karakter Islam sebagai rahmatal lil alamin menebarkan manfaat, menjauhi permusuhan, dan dusta diantara sesama pemeluknya




DAFTAR PUSTAKA


Baidhowi, Zakiyuddin (ed), (2003), Pluralitas Agama dan Budaya Lokal, Surakarta: PSB PS UMS

Connolly, Peter (1999), Aneka Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta: LkiS.

Departemen Agama RI, (2001), Al Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penerjemah Al qur’an.

Gunawan, Asep, (2004), Artikulasi Islam Kultural: dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah, Jakarta: Srigunting

Ihromi, T.O, (1986), Pokok pokok  Antropologi Budaya, Jakarta : Gramedia

Khollaf, Abdul Wahhab, (1968), Ilmu Ushul Fiqih, Kuwait: Dar al Kuwaitiyah

Koentjaraningrat, (1994), Kebudayaan Jawa,  Jakarta: Balai Pustaka

Liliweri, Alo, (2003), Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ma’arif,  Ahmad Syafii, (1995), Membumikan Islam, Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Madjid, Nurcholish, (1995), Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina

Morris, Brian, (1991) Antropological Studies of Relegion: An Intruduction Text, Cambriidge: Cambridge University Press

Mulyana, Deddy dan Jalaludin Rahmat, (eds.), (1996), Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang Berbeda Budaya, Bandung: Rosda Karya.

Muzhar, H M Atho’, (2001), Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Liliweri, Alo, (2003), Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nawawi, Muhyidin Abi Zakaria Yahya, (t.t.), Riyadhus Shalihin, Surabaya: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah.

Pals, Daniel L, (1996), Seven Theories of Relegion, terjemahan Ali Noer Zaman, Yogjakarta: Qolam
Purwasito, Andrik, (2003), Komunikasi Multikultural, Surakarta: UMS University Press

Praja, Juhaya S,  (2002), Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, Bandung: Mizan

Rachman, Budy Munawar, (ed), (1995), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina

Strinati, Dominic, (2004), Popular Culture, Bandung: Bentang  
    
Weber, Max, (1930) The Protestant Ethic and The Spirirt of Capitalism, London: Allen and Unwin




[1] Pals, Daniel L, (1996), Seven Theories of Relegion, terjemahan Ali Noer Zaman, Yogjakarta: Qolam, hal 397, bandingkan pula dengan Juhaya S Praja, (2002)  Filsafat dan Metodologi  Ilmu dalam Islam, Mizan : Bandung, hal: 59
[2] Liliweri, Alo, (2003), Dasar-dasar komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal: 1
[3] Nasution, Nasution, ( 1995) Islam Rasional, Bandung: Mizan, hal 235
[4] Al Qur’an surat ar-Rum :22
[5] Daniel, op.cit, hal 427
[6] ibid
[7] Madjid, Nurcholish, (1995), Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, hal : 302
[8] liliweri, Alo, op.cit  hal: 138
[9] Morris, Brian, (1991) Antropological Studies of Relegion: An Intruduction Text, Cambriidge: Cambridge University Press, hal :145
[10] Weber, Max (1930) The Protestant Ethic and The Spirirt of Capitalism, London: Allen and Unwin, hal : 97
[11] al Qur’an surat al Anbiya’ : 110
[12] Mulyana, Deddy dan Jalaludin Rahmat, (eds.), (1996), Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang Berbeda Budaya, Bandung: Rosda Karya., hal 56
[13] Khollaf, Abdul Wahhab, (1968), Ilmu Ushul Fiqih, Kuwait: Dar al Kuwaitiyah, hal: 90
[14] Liliweri, Alo, op.cit, hal : 154
[15] Baidhowi, Zakiyuddin (ed), (2003), Pluralitas Agama dan Budaya Lokal, Surakarta: PSB PS UMS, hal :  47
[16] Ibid, hal : 49
[17] Ibid, hal : 59
[18]Nawawi, Muhyidin Abi Zakaria Yahya, (t.t.), Riyadhus Shalihin, Surabaya: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah, hal : 536


Tidak ada komentar:

Posting Komentar