STUDI ISLAM
DALAM PENDEKATAN
ANTROPOLOGI
ABSTRACT
Dalam perspektif agama, budaya
merupakan faktor yang sangat esensial yang tidak bisa ditinggalkan. Motivasi
diturunkannya agama adalah untuk kemaslahatan kehidupan manusia. Dalam konteks
agama tersebut budaya merupakan bagian yang tak dapat diremehkan. Corak
penghayatan dan pengalaman agama sangat tergantung dengan budaya yang
melingkupinya. Sehinga sangatlah tipis membedakan keduanya. Persoalan
selanjutnya adalah manakah yang menjadi faktor penentu apakah budaya merupakan
bagian dari agama, ataukah agama justru merupakan bagian dari budaya. Secara
faktual agama dan budaya dalam relaitasnya tidak bisa dibedakan secara ketat
keduanya merupakan mata rantai yang saling memberikan pengaruh. Implikasinya
corak agama secara geografis di Timur
Tengah tentu mempunyai karakter berbeda dengan penghayatan dan pengalaman di
Eropa maupun di Amerika. Begitu juga penghayatan agama jika ditelisisk
aktualisasinya di kawasan nusantara ini. Pengamalan agama di wilayah pesisir
tentu berbeda secara signifikan dengan wilayah pedalaman. Demikianlah
aktualisasi pengalaman dan penghayatan
agama sangat kental dengan
realitasa setting historis dan setting demografis yang mengitarinya.
Pengantar
Studi agama dalam pendekatan
antropologi memposisikan agama sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan dalam sistem
kebudayaan. Meminjam istilah yang digunakan Clifford Geertz, agama merupakan
bagian dari kebudayaan yang meresap dan menyebar luas dalam perilaku sosial
masyarakat [1].
Dengan demikian maka praktek penghayatan dan pengamalan keberagamaan seseorang
dalam derajat tertentu bisa menimbulkan budaya tersendiri.
Antropologi secara harfiah
berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata antropos yang berarti “manusia”
dan logos yang berarti “studi”. Dengan demikan antropologi merupakan
suatu disiplin ilmu yang berdasarkan pada
rasa ingin tahu yang tiada henti tentang manusia[2]. Pendekatan ilmu
antropologi tentang manusia meliputi pendekatan menyeluruh yang mencakup semua
bidang kehidupan manusia.
Senada dengan argumen Geertz
di atas, Harun Nasution[3] beranggapan bahwa berbicara perspektif
agama tidak bisa dipisahkan dengan konsep budaya karena keduanya saling kait
mengkait. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa antara agama dan kebudayaan
terdapat hubungan saling mempengaruhi yang bersaifat timbal balik. Motivasi
utama diturunkannya agama adalah supaya manusia menjadi makhluk yang berbudaya
serta mampu memberikan dampak positif terhadap lingkungan dimana ia berada.
Budaya seperti apa yang dikehendaki oleh agama--khsususnya agama Islam--tentu
budaya adiluhung yang dapat mengantarkan citra dan mangangkat jati diri manusia
menjadi sebaik-baik ciptaan dibandingkan dengan makhluk ciptaan lainya.
Tulisan ini mencoba memotret agama dalam kajian antropologi, dengan satu
penekanan bahwa agama memiliki sifat mengakomodir pluralitas budaya. Agama
memberikan apresiasi ruang gerak yang sangat dinamis dan longgar bagi para
pemeluknya dalam berinteraksi antar sesama manusia. Dalam terma agama perbedaan
warna kulit, bahasa, dan budaya merupakan keniscyaan dalam realitas bermasyarakat[4]
Agama dan Budaya
Kajian tentang agama selalu berkembang dan menjadi
kajian yang cukup menarik. Agama sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dengan kehidupan masyarakat, oleh karena itu, tentang masyarakat tidak akan
lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian
tentang ilmu ilmu sosial, politik, ekonomi dan teori perubahan sosial dalam
suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan.
Tidak mengherankan jika hasil kajian yang parsial tersebut tidak dapat
menggambarkan realitas sosial yang komprehensif.
Seringkali praktik-praktik keagamaan pada
suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian
disesuaikan dengan lingkungan budaya setempat. Pertemuan antara doktrin agama
dan realitas budaya terlihat –dalam derajat tertentu— ikut mewarnai dan
membentuk pola dan praktik ritual agama para pemeluk agama. Misalnya perayaan Idul Fitri khas di Indonesia yang
dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua,
merupakan sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Sejauh
ini, umat Islam di negara bagia lain tidak mengenal tradisi sungkeman pada hari
raya Iedul Fitri sebagaimana dipraktekkan umat Islam di Indonesia. Pertautan
antara agama dan realitas budaya ini dimungkinkan terjadi karena agama tidak
berada dalam realitas kosong. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas
budaya berarti mengingkari realitas agama
yang senantiasa bersinggungan langsung dengan peradaban manusia, yang
tentunya kental dangan corak budaya yang mengelilinginya.
Kenyataan
yang demikian memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat --baik
dalam wacana maupun secara praktis sosialnya-- menunjukkan adanya unsur
konstruksi manusia. Meskipun demikian, tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa
agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan
antara konstruksi Tuhan --seperti yang tercermin dalam kitab kitab suci-- dan
konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang
direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap
ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya --primordial-- yang
telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa interpretasi
terhadap ajaran agama bisa berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya [5].
Untuk
melengkapi argumen ini, kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang
dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya, membuktikan adanya pengaruh budaya yang
cukup signifikan dalam memahami praktek simbol simbol Islam pada suatu wilayah
budaya. Di Indonesia, Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik yang
bersifat adaptif, menyerap, pragmatis, dan gradualistik sementara di Maroko
Islam mempunyai sifat tidak kenal kompromi dan fundamental yang agresif dan
penuh gairah[6] .
Perbedaan
manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh
lingkungan budaya. Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam
sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan
gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan konteks
budaya dan sosial. Misalnya proses penilaian terhadap persoalan-persoalan
tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan
dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia yang tidak jarang
membawa masalah agama sebagai argumen dasar. Dalam hal ini masalah interpretasi
agama dan penggunaan simbol-simbol agama direkayasa untuk kepentingan kehidupan
manusia yang bersifat duniawi. Tentu saja peran dan makna agama dalam konteks
ini akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
Antropologi, sebagai sebuah
ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama
dalam konteks kemasyarakatn. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala
perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Antropologi merupakan ilmu yang penting untuk
mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish
Madjid[7] mengungkapkan bahwa pendekatan
antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia
sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan
pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi penting manusia dalam
Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami
agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami
manusia adalah persoalan agama yang sebenarnya. Dengan kata lain, pergumulan sosial
dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para
antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan
membedakan apa yang mereka sebut sebagai common sense dan religious
sensee. Di satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari
yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan
teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan yang terjadi di
luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi atau supreme reality.
Dalam realitas sosial budaya
bersifat subyektif, di mana seringkali dijumpai banyak manusia yang mengklaim
bahwa budayanya merupakan budaya yang mempunyai konteks makna tinggi
dibandingkan dengan budaya orang lain. Hak ini menimbulkan persoalan ketika
beberapa budaya yang berbeda tersebut tidak selamanya mampu hidup berdampingan
serta memberikan daya dukung dan melengkapi satu dengan lainnya. Dalam kajian
antropologi, gejala ini disebut dengan etnosentrisme yang dimiliki oleh para
komunitas budaya, dimana para pemilik budaya melakukan klaim pembenaran (truth
claim) terhadap budayanya serta menganggap budaya lain tidak relevan[8] .
Sifat etnosentrime ini
kemudian membuat para penganut budaya menganut sebuah konsep “kami” untuk
menyebut penganut budaya yang sama, dan “mereka” untuk menyebut penganut budaya
yang berbeda. Dalam menyikapi sikap etnosentrisme ini, agama sangat adaptif
terhadap dinamika budaya yang senantiasa berkembang seiring dengan laju perkembangan
tuntutan zaman. Sifat etnosentrisme pemeluk Islam di Indonesia telah
menyebabkan munculnya khilafiyah yang memberikan kontribusi cukup siginifikan
dalam khasanah beragama di kalangan umat.
Agama dalam Perspektif Antropologi
Secara garis besar kajian agama
dalam perspektif antropologi dapat dikategorikan ke dalam tiga kerangka
teoritis; intellectualist, structuralist, dan symbolist[9]. Tradisi kajian agama dalam antropologi
diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba
untuk melihat konsep agama yang dipegang
teguh dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan agama tersebut dalam praktek ritual masyarakat
yang bersangkutan. Termasuk dalam tradisi ini adalah misalnya, E.B. Taylor,
yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya
kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, tetapi
setidaknya definisi ini menunjukkan kecenderungan generalisasi realitas agama
dari animisme sampai kepada agama monotheis. Oleh karena itu kecenderungan
tradisi intelektualisme ini kemudian secara epistemologis meneliti sudut
perkembangan agama dari konsep agama primitif
anismisme sampai dengan monotheisme.
Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menunjukkan adanya gejala seperti
bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian
juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan pada
suatu saat akan kembali lagi ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang
terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa secara evolutif agama
bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak.
Ketiga teori, (strukturalis,
fungsionalis dan simbolis) sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku
Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami
banyak orang dalam melihat agama. Melalui buku tersebut Durkheim ingin melihat
agama dari bentuknya yang paling sederhana yang dianut oleh suku Aborigin di
Asutralia sampai ke agama yang well-structured dan well-organised
seperti yang dimanifestasikan dalam agama monotheis. Durkheim menemukan bahwa
aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred
dan yang profan. Namun demikian ia tidak setuju dengan pendapat yang
menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama
sederhana suku Aborigin ditemukan bahwa
penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang
profan semisal binatang Kanguru.
Disamping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga
mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas
yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam
pengertian ini maka masyarakat bagi Durkheim adalah "struktur dari ikatan
sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral." Pandangan ini yang
mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam
memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah salah satu murid
Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk
mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss
agama baik dalam bentuk mitos maupun magic, adalah model bagi kerangka
bertindak setiap individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim yang
dikembangkan oleh Levi-Strauss tidak terbatas pada wacana hubungan sosial saja,
tetapi juga berkembang pada wilayah ideologi dan pikiran sebagai struktur
sosial.
Sementara itu pandangan
Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi
antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa
masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu
dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama
dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi psikologi agama, selain sebagai
penguat dari ikatan moral masyarakat, juga berfungsi sebagai penguat
solidaritas manusia yang menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme.
Branislaw Malinowski mengatakan
bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap
permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common
sense-rasionalitas serta kemampuan menggunakan teknologi. Dalam setiap kali
menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan
rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional
Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah
dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan
teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi
masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana
gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan
rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahan
masalahnya. Upaya ini dilakuakan dengan mengadakan upacara ritual dengan sesaji
sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah
yang unpredictable.
Teori simbolisme yang menjadi
teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga berakar dari teori Durkheim,
walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan
Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktivitas
untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk
menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori
tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual atau upacara
keagamaan di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah
simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep
kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendenkan (mengembalikan
kepada the supreme reality) untuk menyelesaikan konflik keseharian yang
bersifat duniawi. Oleh karena itu, ritual, terutama cult ritual (ritual
yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan atau misfortune)
mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual sebagai
media untuk mengurangi permusuhan (reducing hostility) di antara warga
masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan terhadap niat jahat
seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang
perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat. Ketiga, ritual
sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat,
ritual sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi
Turner melihat ritual tidak hanya sebagai kewajiban (obligation),
melainkan sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
Di samping tradisi intelektual
dan tiga tradisi --strukturalis, fungsionalis dan simbolis-- yang berakar dari
tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari
pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis
dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara
doktrin agama dan aktivitas duniawi manusia, seperti misalnya ekonomi dan
politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau
argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan antara
etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme
modern, Weber menunjukkan minat untuk mendiskusikan hubungan antara religious
ethic dan kapitalisme [10]. Ajaran etika tentang bekerja keras yang
selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga
menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah
sesuai dengan karakter buruh modern.
Tradisi yang dikembangkan oleh
Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika. Kajian yang
dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba melihat
hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan
oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang
dipakai oleh Weber. Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan
benar dan salahnya suatu agama, tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme
mempengaruhi perilaku sosial manusia.
Akibat yang nyata dari
pendekatan kajian di atas, agama ditempatkan pada realitas empiris yang dapat
dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu
agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan
terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di
sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris sebagaimana realitas
sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia yang bersifat empiris, persoalan empiris
menjadi perhatian kajian sosial, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal
penting.
Jika agama diperuntukkan bagi kepentingan
manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan
persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi. Secara
antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah
realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia --termasuk di dalamnya
adalah realitas sosial budayanya-- pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan
sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini
terlihat jelas betapa pentingnya kajian tentang manusia, yang menjadi pusat apresiasi ilmu antropologi yang
merupakan ilmu sosial sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian ilmu
agama.
Manusia dan Budaya
Bumi dimana kita berpijak
merupakan fasilitas, sekaligus media yang
dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi hajat kebutuhan fisiknya dengan
tetap berprinsip selalu menjaga ekologi lingkungan agar tidak membuat
kerusakan. Pesan antropologis didalam memaknai fungsi agama adalah bahwa
bumi ini hanyalah diwariskan--diberikan hak pengelolaan--oleh sang
Pencipta kepada hamba-hamba-Nya yang
saleh [11] .
Hak pengelolaan yang dimiliki
oleh manusia merupakan amanat yang terus dijaga dan dijalankan. Salah satu upaya
manusia untuk menjaga ekologi yang seimbang diwujudkan dengan cara menjadi
‘manusia yang berbudaya’, yakni yang memiliki cipta “rasa, karsa, dan karya”. Ini
berarti bahwa pada dasarnya manusia menciptakan budaya, konsekuensinya manusia juga
senantiasa dikelilingi oleh pranata sosial. Dalam kondisi apapun manusia
senantiasa terikat oleh tatanan baik yang formal maupun informal sebagai
perwujudan dari ekspresi budaya tersebut.
E B Taylor bapak Antropologi
Budaya, sebagaimana dikutip oleh Philip Harris dan Robert Moran dalam Deddy
Mulyana[12] mendefinisikan budaya sebagai ”keseluruhan
komplek yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan tata kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh
angota-anggota suatu masyarakat”. Dalam hal ini setiap kelompok budaya
menghasilkan jawaban-jawaban khususnya terhadap tantangan-tantangan seperti
kelahiran pertumbuhan, hubungan sosial, dan bahkan kematian. Ketika orang-orang
menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan ganjil yang mereka temukan di bumi,
kebiasaan hidup sehari-hari timbul, misalnya, bagaimana cara mandi, pola makan,
bekerja, kebiasaan tidur dan seterusnya. Dengan demikian budaya sangat terkait
erat dengan pola kebisaan dan pandangan hidup yang telah diyakini dan dikerjakan
secara berulang-ulang dalam tatanan kehidupan berkoloni.
Dalam kaidah agama, budaya
(termasuk di dalamnya adalah adat dan tradisi) menjadi salah satu referensi dalam menentukan kebijakan pengamalan agama. Maka muncullah kaidah
ushuliyah, al’adah muhakkamah (kebiasan adalah hukum ) yang harus
dijunjung tinggi[13] .
Tradisi atau kebiasaan yang
timbul dalam masyarakat bisa saja berupa
warisan yang telah diturunkan oleh suatu generasi ke generasi berikutnya atau
merupakan kreasi baru hasil cipta karsa manusia. Budaya ada yang diposisikan sebagai budaya “konteks tinggi” dan budaya dalam “konteks rendah” [14]. Budaya tersebut bisa muncul sebagai akibat dari persinggungan
dengan budaya lain, sehingga dalam perkembangannya sebuah budaya bisa dipengaruhi
atau mempengaruhi budaya lain. Dalam kaitannya dengan perilaku budaya manusia,
sebuah budaya ditentukan atau dikonstruk oleh manusia, tetapi sebaliknya perilaku
manusia juga dipengaruhi atau diatur oleh norma budaya (cultural norms).
Di dalam perilaku berbudaya,
individu cenderung menerima dan mempercayai apa yang sudah menjadi kesepakatan
dalam kontrak masyarakat (shared values), meskipun individu tersebut
tidak sepenuhnya menerima nilai kesepakatan tersebut. Proses penolakan individu
atas kesepakatan sosial bisa jadi hanya sebatas dalam tataran konseptual atau
dalam pendekatan pemikiran. Sedangkan dalam dataran kultural, secara tak terhindarkan
manusia senantiasa dipengaruhi oleh adat dan pengetahauan yang berkembang di masyarakat
dimana ia dibesarkan dan tinggal.
Proses terjadinya keterpengaruhan budaya
didasarkan pada peristiwa seleksi budaya (cultural selection) dimana
manusia akan menerima sebuah budaya ketika budaya tersebut dirasa cocok dengan
dirinya serta lingkungan di mana dia tinggal. Sebaliknya manusia cenderung
mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan “kebenaran” kultural atau
bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaan yang berkembang. Masalah akan muncul
bila sebuah budaya dalam sekelompok masyarakat serta pola berpikir masyarakat
tersebut tidak sejalan atau tertinggal dari fenomena penemuan-penemuan ilmiah
yang baru, dengan kata lain masyarkat budaya belum siap untuk menghadapi budaya
lain yang datang. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di beberapa wilayah, misalnya telah jauh mendahului
ajaran-ajaran kultural masyarakat pada wilayah tertentu. Ketidak seimbangan
kultural semacam ini bisa menimbulkan jurang budaya (cultural gap)
sebagai satu efek sampingan dari akselerasi perubahan sosial.
Pandangan Islam Tentang Budaya
Islam dipandang sebagai agama
sekaligus merupakan sebuah peradaban. Secara filosofis ketika al Qur’an menjelaskan pengertian
tentang manusia, yaitu basyar dan insan, dapat dideduksi bahwa
manusia dalam posisinya sebagai basyar (berdimensi lahiriyah) memiliki bawaan
kodrati yang dengannya menjadikan fungsi ‘abd (hamba Allah) yang tunduk,
patuh, terikat tanggung jawab (kepada sunnatullah). Sedangkan dalam posisi
sebagai insan (yang berdimensi ruhaniah) manusia memiliki akal yang dengannya
menjalankan fungsi khalifah yang memiliki kebebasan berbuat dan berkreasi.
Realisasi fungsi manusia
sebagai ‘abd adalah beraqidah dan beribadah (atau dengan kata lain
beragama). Sementara realisai khalifah adalah menciptakan kebudayaan/peradaban.
Karena Islam diturunkan Tuhan untuk manusia, sementara manusia memikul amanat
untuk menjalankan fungsi ‘abd dan fungsi kholifah, maka ketika
fungsi-fungsi itu direalisasikan, hal ini berarti bahwa Islam merupakan agama
sekaligus kebudayaan/peradaban [15].
Faktor Pembentuk Keragaman dalam Islam
Salah satu karakteristik yang
menonjol dalam pola perilaku keberagamaan dalam Islam adalah keragaman yang
disebabkan oleh pola persepsi yang berbeda di kalangan pemeluknya. Menurut
Fatah Santoso[16] , faktor yang menyebabkan timbulnya keragaman
dalam budaya dan perilaku beragama ini diantaranya (1) otoritas kekuasaan dalam
kerangka persaingan dan perebutan hegemoni dan dominasi kebudayaan sebagai
ekspresi politik pemeluk agama, (2) faham keagamaan, baik dalam bentuk mazhab fikih
maupun orde sufi atau tarekat, (3) ciri-ciri etnis dan rasial para pemeluk Islam,
(4) faktor sejarah, serta (5) faktor demografis dan geografis.
Pola persaingan dan perebutan
hegemoni serta dominasi kebudayaan setidaknya telah menjadi bagian dari fenomena
sosio religion yang telah membelah umat Islam di Indonesia menjadi beberapa
partai politik serta organisasi massa Islam, seperti Masyumi, Nahdhatul Ulama,
Muhammadiyah, Persis dan sebagainya. Di samping itu, kesamaan pengalaman sejarah
dan jenis kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat tertentu dimasa lampau tidak
saja berpengaruh kuat dalam membentuk identitas kebudayaan tetapi juga dalam
menetapkan pola kebudayaan regional atau sub-budaya.
Sedangkan kawasan-kawasan di
mana selama berabad-abad timbul dan
tenggelam secara terus menerus antara masyarakat nomadik dan penetap, memiliki ciri-ciri umum yang menonjol dalam beberapa
segi kebudayaan, hal ini juga terjadi pada kawasan-kawasan yang dihuni masyarakat agraris yang menetap secara
penuh. Dengan kata lain, letak geografis serta demografis sebuah masyarakat
akan memiliki pengaruh tertentu terhadap pola keberagamaan masyarakat yang
disebabkan oleh ciri serta karakteristik masyarakat yang juga berbeda.
Beberapa faktor diatas, dalam
pengalaman historisnya, tidak bekerja sendirian, misalnya, keragaman budaya
tidak bisa ditentukan oleh hanya salah satu faktor penyebab saja. Kombinasi
antar faktor biasanya bertanggungjawab atas penciptaan keragaman kebudayaan
dalam peradaban Islam.
Konteks Budaya Islam di Indonesia
Dari apa yang sudah dipaparkan, nampak bahwa ketika
harus diaktualisasikan dalam kebudayaan, Islam telah menampilkan wajahnya yang
beragam. Misalnya kasus Islam di Indonesia, dalam keragaman kebudayaan Islam
yang bersifat regional masih tersedia
tempat bagi kebudayaan Islam itu sendiri untuk dipersatukan oleh ruh dan bentuk
tradisi yang suci yang bersumber dari tauhid.
Dalam rangka menyikapi keanekaragaman
kebudayaan Islam ini, menurut Fatah Santoso[17] ada
beberapa prinsip pengembangan kebudayaan Islam, yaitu:
(1) Prinsip keterbukaan. Dengan mengacu pada prinsip
ini, kebudayaaan Islam diasumsikan tidak
dibangun dari nol. Islam datang pada sebuah kebudayaan yang sudah ada
sebelumnya —dengan berbagai faktor yang melekat pada dirinya, seperti faktor
sejarah, faktor etnis, dan rasial serta faktor demografis dan geografi— untuk
kemudian memberikan sebuah visi keagamaan, yang kemudian diamalkan sesuai dengan
faham hasil internalisasi masyarakat pendukungnya.
(2) Prinsip toleransi. Prinsip ini muncul
sebagai konsekuensi dari prinsip pertama, dimana semua sikap keterbukaan yang
dikembangkan oleh sekelompok akan senantiasa membutuhkan sikap toleran dari
komunitas tersebut. Dengan kata lain, tidak ada sikap keterbukaan yang bisa
dikembangkan tanpa adanya toleransi.
(3) Prinsip kebebasan. Prinsip ini mengandung
makna bahwa sebuah budaya perlu memberikan ruang yang longgar kepada penganut
budaya tersebut untuk mengembangkan diri. Dengan demikian maka aktualisasi dari
pemberian visi keagamaan menuntut pemberian kebebasan bagi umat atau pemeluknya
untuk mengembangkan kebudayaan sebagai proses eksistensi kreatif.
(4) Prinsip otentisitas yang tersirat dari
visi keagamaan yang mendasari bekerjanya prinsip kebebasan. Keragaman yang lahir
dari aktualisasi tiga prinsip pertama terintegrasikan dalam kesatuan
spiritualitas melalui prinsip otentisistas.
Berbicara tentang aspek keragaman
budaya dalam Islam tentunya sama dengan mamasuki lautan tak bertepi, karena
substansi dari ajaran agama Islam senantiasa menghormati dan mengakomodir semua
budaya, sepanjang budaya tersebut berorientasi menjunjung tingi harkat dan martabat manusia.
Oleh karena itu, membicarakan budaya Islam harus dititikberatkan pada salah satu aspek kajian dari beberapa aspek
manusia yang hendak dikaji, sehingga dapat mengasilkan jawaban dari persoalan budaya
yang sedang diperdebatkan. Diantara persoalan budaya Islam yang secara
kontekstual relevan dengan permasalahan kultural di Indonesia adalah budaya
mudik, budaya halal bihalal, dan tahlilan.
Budaya Mudik
Mudik atau acara pulang ke
kampung halaman merupakan acara rutinitas ritual tahunan yang senantiasa
diminati oleh seluruh masyarakat menjelang hari lebaran Idul Fitri. Dari
seluruh strata sosial, sejak dari pejabat tinggi sampai dengan masyarakat akar rumput, memanfaatkan momentum mudik
sebagai peluang emas untuk saling berkunjung dan berkumpul dengan para kerabat
maupun keluarga.
Meskipun budaya mudik secara
substansial merupakan budaya yang berakar dari ajaran Islam, tetapi pada
tataran das sollen budaya seolah olah menjadi milik semua masyarakat di
Indonesia tanpa melihat latar belakang agama mereka. Ini artinya bahwa budaya
Islam di Indonesia secara tidak disadari telah mengembangkan dan mengakomodir
prinsip keterbukaan, prinsip toleransi, serta prinsip kebebasan bagi kelompok
kelompok budaya setempat.
Mudik dengan segudang motivasi
yang melatarbelakangi para pelakunya sangat unik untuk disimak. Bahkan bisa
dikatakan bahwa budaya mudik Iedul Fitri merupakan sign of uniqueness budaya
Islam yang telah melekat dan menjadi trade mark bagi umat Islam di Indonesia. Keunikan
tersebut karena budaya mudik mengandung makna profan dan mengandung dimensi
spiritual.
Makna profan yang terkandung
dapat dijelaskan karena mudik sebagi
arena kumpul tahunan masyarakat, setelah rutinitas kesibukan harian mengakibatkan
mereka jauh dengan sanak kerabat. Sedangkan dimensi spiritualnya, bahwa
kegiatan mudik tersebut merupakan ajang pengamalan keberagamaan, yang pada
umumnya dimanfaatkan bagi para pemudik untuk kirim do’a kepada leluhur dengan cara ziarah kubur
kepada para kerabat dan leluhur serta orang tua yang telah meninggal dunia dan dilanjutkan
dengan budaya saling memaafkan diantara kerabat maupun lingkungan masyarakat yang
telah lama ditinggalkan.
Secara faktual budaya mudik merupakan
kegiatan yang mengandung dimensi ganda, yaitu (1) dimensi keduniawian yang
berupa hasrat untuk berlibur dan menumpahkan kerinduan kepada sanak kerabat,
dan (2) dimensi normatif yang berupa pemenuhan anjuran untuk menyambung
silaturahim. Untuk dimensi normatif ini, ada landasan muamalah yang merupakan anjuran Allah sebagaimana tertuang
dalam Al Qur’an surat Ali Imran 134-135.
Budaya Halal Bihalal
Halal bihalal sebenarnya
merupakan kultur khas Indonesia dalam mengisi hari raya Iedul Fitri yang secara
substantif merupakan salah satu dari perintah agama Islam yakni saling mengakui
kesalahan dan sikap berbesar hati untuk
saling mohon maaf dengan lainnya. Kegiatan
halah bihalal tersebut oleh sebagian kelompok masyarakat dijadikan suatu kegiatan
rutin tahunan yang bersifat formal ritual sebagai media permintaan maaf antar
anggota kelompok masyarakat sebagai ajang saling memaafkan secara massal.
Momentum untuk saling
memaafkan pada suasana halal bihalal, biasanya diikuti dengan acara pesta seremonial
yang tidak juga dijadikan sebagai wahana untuk saling menampilkan kemewahan.
Anggota kelompok masyarakat yang terlibat dalam suasana tersebut biasanya
terlibat dalam ikatan batin yang serba menggembirakan tanpa ada beban
psikologis. Orang yang pernah membuat kesalahan, baik disengaja maupun tidak,
maupun orang yang pernah disakiti dalam pola interaksi horizontal, kedua-duanya
saling bertegur sapa dan berpelukan saling memberi maaf dan mencoba untuk membuat
file baru dalam kehidupan esok yang lebih baik lagi.
Dalam doktrin religius sampai
sejauh ini belum ditemukan referensi yang kuat tentang perintah mnyelenggarakan
seremonial halal bihalal. Tetapi sebaliknya, belum juga ditemukan referensi
yang melarang atau mengharamkan penyelenggaraan seremonial tersebut. Spirit
yang menjiwai budaya halal bihalal ini adalah semata mata merupakan cultural
construct yang sejauh ini hanya
menjadi miliki umat Islam di Indonesia. Implikasi kultural yang muncul dari
wacana ini adalah ketika ada suatu kelompok dalam masyarakat yang tidak mempunyai
kepedulian terhadap kultur tersebut dianggap telah melakukan deviasi sosial
bahkan bisa saja diberi label abnormal.
Di negeri asal datangnya Islam
-- Mekah Madinah--budaya halal bihalal pada bulan syawal tidak menjadi fenomena
budaya, karena masyarakat setempat berpegang teguh pada doktrin Islam yang
menyatakan bahwa orang harus segera meminta maaf ketika merasa berbuat
kesalahan. Dengan demikian maka meminta maaf tidak harus menunggu sampai iedul
fitri tiba.
Budaya Tahlilan
Membaca lafadz laailaahaillallah
(tahlil) bagi umat Islam adalah merupakan ajaran Islam dalam rangka berdzikir
kepada sang Pencipta[18] . Namun dalam konteks sosio religius
di Indonesia, terminologi “tahlil” telah berkembang menjadi budaya tersendiri. Ada
sekelompok faham agama yang kemudian menjadikan “budaya tahlilan” ini sebagai
salah satu ritual keagamaan dengan melengkapi lafadz tahlil tersebut dengan
tasbih serta bacaan surat Yasin. Fenomena ritual ini kemudian disebut dengan
istilah “tahlilan” atau “yasinan”.
Dalam dataran praktek
kultural, seremonial tahlilan dijadikan sebagai media membiasakan diri untuk
memperbanyak bacaan kalimah thoyyibah yang dibaca secara kolektif dalam
rangka menggapai maghfirah dan rahmat dari Allah SWT. Kultur tersebut lazimnya dilaksanakan pada setiap malam Jum’at
atau pada peristiwa peristiwa tertentu dan pada hari-hari tertentu seperti
memperingati dan mendoakan seseorang yang sudah meninggal dunia pada hari ke
tiga, ke tujuh, ke empat puluh dan
seterusnya. Tujuan yang paling mendasar dari kegiatan tersebut adalah (a) mendoakan kepada arwah para leluhur--bisa
orang tua, kakek nenek atau para auliya’, syuhada, anbiya’ yang telah meninggal
dunia, (b) mengharapkan pahala dan ampunan dari Allah.
Feneomena tahlilan yang muncul
dewasa ini merupakan fakta sosial yang
sudah menjadi salah satu karakter budaya Islam di Indonesia dan tidak banyak
ditemukan di lingkungan komunitas Islam di negara lain. Lebih khusus lagi,
budaya tahlilan di Indonesia dianggap sebagai salah satu tatanan kehidupan beragama dan dijadikan simbol oleh kalangan ”ahlus sunnah”. Bagi kalangan
ahlus sunnah, umat Islam yang tidak mau mengerjakan tahlil dianggap sebagai umat
yang kurang mempunyai ghirah keberagamaan sebagaimana diajarkan dan diamalkan
oleh ash-shabiqun al-awwalu.
Klaim ini secara kultural
dianggap sebagai perwujudan dari sikap etnosentris sebagaimana lazim terjaadi
dalam sebuah komunitas budaya. Konsekuensinya sikap etnosentris ini menimbulkan
sikap resistensi dari komunitas budaya lain, sehingga muncul wacana pro dan
kontra. Wacana pro dan kontra ini dalam konteks Islam di Indonesia sering
disebut sebagai “khilafiyah” yang sempat mendikotomikan kelompok umat Islam
dalam dua kutub yang berbeda.
Terlepas dari pro dan kontra
yang berkembang dalam masyarakat Islam mengenai budaya tahlilan, budaya ini
sudah menjadi faktor pembeda antara umat Islam yang ada di Indonesia dengan
umat Islam di negara lain. Disamping itu, budaya tahlilan yang berkembang di
wilayah nusantara ini justru memberikan kontribusi positif terhadap diskursus
kultural pengamalan doktrin agama. Selanjutnya budaya tahlilan secara kultural
juga telah memperkaya ragam budaya Islam meskipun masih ada perbedaan pendapat
mengenai hal ini.
Dalam menyikapi perbedaan ini,
ada sebuah pertanyaan yang perlu dijawab guna menciptakan harmoni dalam
kehidupan beragama dalam perspektif kultural. Untuk mencapai kondisi ideal
kerukunan hidup dalam beragama dengan semboyan agree in disagreement,
setidaknya ada dua hal penting yang perlu dijadikan renungan bersama, yaitu
(1)
menganggap perbedaan sebagai sunatullah
(2) menganggap komunitas yang berbeda sebagai
mitra, dan bukan sebagai musuh
Dari beberapa penjelasan di
atas, terlihat bahwa Islam yang merupakan
doktrin ilahiyah cukup potensial menimbulkan perbedaan kultural dimana
perbedaan tersebut tidak harus dianggap sebagai ancaman bagi keutuhan umat
Islam. Pada hakekatnya manusia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan
kegiatan budaya masing-masing sesuai dengan belief system yang dianut.
Dengan demikian maka dalam dimensi kemanusian dan kebudayaan, para pelaku budaya
diharapkan bisa saling menghormati pluralitas budaya yang muncul dalam sebuah
realitas sosial, dengan motif satu dengan yang lainnya saling memahami dan melengkapi sehingga bisa muncul harmoni
Penutup
Islam merupakan agama yang
sangat memahami aneka ragam pesona budaya yang muncul didalam interaksi sosial dalam
kegiatan umat manusia. Realitas sosial menunjukkan, bahwa tumbuh dan berkembangnya
agama Islam justru karena kekayaan khazanah aneka ragam budaya yang melingkupinya.
Selanjutnya Islam mengapresiasi bentuk budaya tersebut, dengan sebuah jargon “setiap orang beriman tidak diperkenankan mengaku
dirinya yang paling benar serta mengklaim diri sebagai kelompok yang paling benar” atau bersikap etnosentris.
Intinya Islam mengapresiasi diskursus budaya yang berkembang di masyarakat,
karena karakter Islam sebagai rahmatal lil alamin menebarkan manfaat, menjauhi
permusuhan, dan dusta diantara sesama pemeluknya
DAFTAR
PUSTAKA
Baidhowi, Zakiyuddin (ed),
(2003), Pluralitas Agama dan Budaya Lokal, Surakarta: PSB PS UMS
Connolly, Peter (1999), Aneka
Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta: LkiS.
Departemen Agama RI,
(2001), Al Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penerjemah Al
qur’an.
Gunawan, Asep, (2004), Artikulasi
Islam Kultural: dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah, Jakarta: Srigunting
Ihromi, T.O, (1986), Pokok
pokok Antropologi Budaya, Jakarta :
Gramedia
Khollaf, Abdul Wahhab, (1968),
Ilmu Ushul Fiqih, Kuwait: Dar al Kuwaitiyah
Koentjaraningrat, (1994), Kebudayaan
Jawa, Jakarta: Balai Pustaka
Liliweri, Alo, (2003), Dasar-dasar
Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ma’arif, Ahmad Syafii, (1995), Membumikan Islam,
Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Madjid, Nurcholish, (1995),
Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina
Morris, Brian, (1991) Antropological Studies of Relegion: An
Intruduction Text, Cambriidge: Cambridge University Press
Mulyana, Deddy dan
Jalaludin Rahmat, (eds.), (1996), Komunikasi Antarbudaya: Panduan
Berkomunikasi dengan Orang Berbeda Budaya, Bandung: Rosda Karya.
Muzhar, H M Atho’, (2001), Pendekatan
Studi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Liliweri, Alo, (2003), Dasar-dasar
Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nawawi, Muhyidin Abi
Zakaria Yahya, (t.t.), Riyadhus Shalihin, Surabaya: Syirkah Maktabah wa
Mathba’ah.
Pals, Daniel L, (1996), Seven Theories of Relegion, terjemahan
Ali Noer Zaman, Yogjakarta: Qolam
Purwasito, Andrik, (2003), Komunikasi Multikultural, Surakarta:
UMS University Press
Praja, Juhaya S, (2002), Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam
Islam, Bandung: Mizan
Rachman, Budy Munawar,
(ed), (1995), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta:
Paramadina
Strinati, Dominic, (2004), Popular Culture, Bandung: Bentang
Weber, Max, (1930) The Protestant Ethic and The Spirirt of
Capitalism, London: Allen and Unwin
[1] Pals, Daniel L, (1996), Seven Theories of Relegion,
terjemahan Ali Noer Zaman, Yogjakarta: Qolam, hal 397, bandingkan pula dengan
Juhaya S Praja, (2002) Filsafat dan
Metodologi Ilmu dalam Islam, Mizan :
Bandung, hal: 59
[2] Liliweri, Alo, (2003), Dasar-dasar komunikasi
Antarbudaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal: 1
[3] Nasution, Nasution, ( 1995) Islam
Rasional, Bandung: Mizan, hal 235
[4]
Al Qur’an surat ar-Rum :22
[5]
Daniel, op.cit, hal 427
[6]
ibid
[7] Madjid, Nurcholish, (1995), Islam Doktrin dan
Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan
Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, hal : 302
[8] liliweri, Alo, op.cit hal: 138
[9] Morris, Brian, (1991) Antropological Studies of
Relegion: An Intruduction Text, Cambriidge: Cambridge University Press, hal
:145
[10]
Weber, Max (1930) The Protestant Ethic and
The Spirirt of Capitalism, London: Allen and Unwin, hal : 97
[11]
al Qur’an surat al Anbiya’ : 110
[12]
Mulyana, Deddy dan Jalaludin Rahmat, (eds.),
(1996), Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang Berbeda
Budaya, Bandung: Rosda Karya., hal 56
[14] Liliweri, Alo, op.cit, hal : 154
[15] Baidhowi, Zakiyuddin (ed), (2003), Pluralitas Agama
dan Budaya Lokal, Surakarta: PSB PS UMS, hal : 47
[16] Ibid, hal : 49
[17] Ibid, hal : 59
[18]Nawawi, Muhyidin Abi
Zakaria Yahya, (t.t.), Riyadhus Shalihin, Surabaya: Syirkah Maktabah wa
Mathba’ah, hal : 536
Tidak ada komentar:
Posting Komentar