Kamis, 12 Desember 2013

Demokrasi dalam Islam

"+"

Demokrasi dalam Islam  



A. Pengantar

Sebagai agama yang diyakini membawa rahmat li al-alamin, Islam disinyalir tidak sepi dari nilai-nilai demokrasi yang lahir dari rahim Barat. Asumsi dan pandangan yang berkembang selama ini menyatakan bahwa jauh sebelum munculnya konsep demokrasi yang digaungkan Barat, Islam terlebih dahulu telah menebar semangat demokrasi kepada semua umat manusia, walaupun dengan istilah yang berbeda. Jadi, demokrasi bukan hal yang baru dalam ajaran Islam.
Pandangan demikian tidak bisa ditolak mentah-mentah, walaupun tidak serta-merta diterima apa adanya. Perlu penelaahan mendalam untuk membuktikan bahwa ajaran Islam sarat dengan konsep demokrasi yang diperkenalkan Barat. Secara pribadi, saya khawatir jangan-jangan pandangan yang bernuansa “klaim” tersebut muncul akibat “ketakutan” yang menyelimuti sebagian umat Islam apabila Barat mengungguli Islam (walaupun saat ini umat Islam jelas-jelas telah tinggal kandas). Sebab, dalam benak mereka sudah terpatri bahwa al-islam ya’lu wa la yu’la ‘alaih. Karenanya, tidak ada dan tidak boleh ada yang menandingi Islam. Sekali lagi saya hendak menegaskan bahwa ungkapan bahwa nilai-nilai demokrasi sebelumnya sudah ada dalam ajaran Islam perlu diuji keabsahannya.
Bertolak dari dasar pemikiran di atas, makalah ini hendak menelusuri dan menggambarkan konsep-konsep Islam tentang demokrasi. Dari penelusuran ini akan ditemukan apakah dalam ajaran Islam terkandung semangat demokrasi atau tidak. Artinya, penelaahan ini akan menjadi ajang pembuktian terhadap al-islam ya’lu wa laa yu’la ‘alaih. Jika tidak, maka akan memperkuat bahwa umat Islam memang suka klaim dan “rasa takut” terhadap kemajuan Barat.
Makalah ini akan diawali, walaupun sekilas, dengan pembacaan mengenai sejarah dan teori-teori demokrasi. Sekalipun demokrasi sudah menjadi kosa kata umum, uraian mengenai definisi, sejarah dan teori-teori demokrasi tetap penting. Setidak-tidaknya untuk menyamakan persepsi antara penulis dengan sidang pembaca: apa sih demokrasi? Setelah itu dilanjutkan dengan analisa tentang nilai-nilai demokrasi dalam Islam. Bagian ini merupakan inti dari pembahasan makalah ini. Dilihat dari judul di atas, memang sangat kentara bahwa makalah ini akan menghubungkan antara Islam dan demokrasi.

B. Demokrasi: Definisi, Sejarah dan Teori

Kata demokrasi memiliki varian makna yang cukup beragam. Namun, dalam dunia modern, pengertian demokrasi lebih ditekankan pada makna bahwa kekuasaan tertinggi dalam urusan-urusan politik ada di tangan rakyat. Karena itu, dalam wacana modern, demokrasi didefinisikan seperti apa yang dirumuskan oleh negarawan Amerika Serikat, Abraham Lincoln: government of the people, by the people, for the people, (sistem) pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Urofsky, 2002, 1)   
Demokrasi selalu muncul sebagai isu sentral dalam setiap episode sejarah peradaban manusia, yaitu sejak zaman Yunani Kuno. Franz Magnis Suseno (1995: xi) dalam Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis menyebutkan bahwa sejarah demokrasi sendiri muncul dimulai sekitar 2500 tahun yang lalu di kota Athena, Yunani. Tepatnya pada tahun 508 SM, Kleistenes mengadakan beberapa pembaruan dalam sistem pemerintahan kota Athena. Bentuk pemerintahan baru itu kemudian diberi nama demokratia, pemerintahan oleh rakyat.
Pada perkembangannya, demokrasi lambat laun menjadi “primadona” sistem pemerintahan di berbagai belahan dunia. Sebab demokrasi menyediakan semangat universal yang menjamin setiap individu atau golongan untuk terlibat dalam kegiatan publik dalam rangka mewujudkan tata sosial yang adil, setara dan manusiawi. Demokrasi kini telah menjadi isu yang mampu menyatukan cita-cita ideal manusia se jagad, karena demokrasi bisa melintasi batas-batas geografis, suku bangsa, agama dan kebudayaan (Masdar, 1999: 30). Namun, karena keserakahan dan kepentingan politik suatu rezim, muncul kesenjangan antara Das Sein dan Das Sollen (Hikam, 2000: 102)
Secara umum ada dua teori yang dominan dalam perbincangan demokrasi modern, yaitu teori demokrasi liberalis dan komunis. Teori demokrasi liberalis lebih menekankan pada elemen-elemen prosedural bagi sebuah struktur demokrasi. Sebaliknya, teori demokrasi komunis lebih menekankan pada elemen-elemen substantif (Ebestein, 1988: 76).
Ebestein mengilustrasikan pada kasus demokratisasi di Jerman pasca Perang Dunia (PD) kedua. Setelah berhasil melumpuhkan kekuatan Jerman pada PD kedua, Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Uni Soviet yang tergabung dalam kekuatan sekutu menguasai negeri itu. Negara-negara sekutu itu sepakat untuk mendemokratisasikan Jerman. Namun, Uni Soviet tentang apa makna dan implementasi dari gagasan demokratisasi itu. Bagi Amerika, Inggris dan Perancis, demokratisasi berarti pemberian prinsip-prinsip dasar kepada publik Jerman, seperti: pemilihan umum, kebebasan pers, persamaan dimata hukum (equality before law), kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat dan kebebasan beroposisi. Sedangkan menurut konsep komunis, demokratisasi Jerman berarti menguatkan pemerintahan yang akan mewujudkan apa yang mereka klaim sebagai “kepentingan terbaik” bagi masyarakat Jerman. Dalam kacamata Uni Soviet, kepentingan terbaik itu adalah komunisme.          
Menurut teori liberal, rakyat adalah hakim terbaik bagi kepentingan mereka sendiri. Karenanya, rakyat harus diberi kebebasan penuh untuk mengekspresikan pandangan dan aspirasinya. Sedangkan dalam teori komunis, yang mempunyai hak untuk mengambil keputusan adalah mereka yang mengetahui kebenaran, yaitu minoritas kecil yang berkuasa dalam partai komunis (Ebestein, 1988: 76). Akhirnya Jerman terpecah menjadi dua blok, Barat dan Timur, yang dipisahkan dengan “Tembok Berlin”.
Tetapi, seiring runtuhnya Tembok Berlin pada akhir dekade 1980-an, sekaligus mengakhiri kekuatan Uni Soviet, mau tidak mau membuat teori demokrasi liberal menjadi satu-satunya konsep yang dominan dan bahkan diterima oleh hampir seluruh kawasan geopolitik masyarakat se jagad. Sistem demokrasi liberal telah diterima secara luas oleh negara-negara multikultur, utamanya menyangkut prinsip persamaan, kebebasan, kekuasaan mayoritas, prinsip negara hukum dan pendelegasian kekuasaan.   

C. Nilai-Nilai Demokrasi dalam Islam

Menurut Jalaluddin Rahmat (1992: 40), demokrasi merupakan konsep bagi sistem politik yang didasarkan pada dua prinsip: partisipasi politik dan hak asasi manusia. Prinsip-prinsip ini menyebabkan rakyat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan publik dan melindungi hak-hak asasi manusia, yakni hak kebebasan berbicara, hak mengontrol kekuasaan dan persamaan di muka hukum. Konsep demokrasi semacam ini tidak hanya sesuai dengan Islam, tetapi juga merupakan perwujudan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa. Ada sejumlah nilai-nilai Islam yang secara substansial merupakan ruh sistem demokrasi, antara lain:
1.      Musyawarah
Islam mewajibkan umat Islam untuk bermusyawarah berbagai hal. Kewajiban bermusyawarah ini ditunjukkan dengan tegas dalam al-Qur’an dengan redaksi “wasyawirhum fi al-amr” (bermusyarwaralah dengan mereka dalam menyelesaikan persoalan) [Q.S. 3: 159] dan “wa amruhum syura bainahum” (mereka menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah) [Q.S. 42: 38]. Kata syawir dalam tata bahasa Arab disebut dengan amar (perintah). Dalam kaidah fiqh, kita juga mengenal al-ashl fi al-amr li al-wujub, pada dasarnya bentuk amar menunjukkan arti wajib. Allah tidak akan menggunakan bentuk amr jika musyawarah bukan sesuatu yang benar-benar penting bagi umat manusia.
Kata syura dalam dua ayat di atas merupakan suatu prinsip yang menolak elitisme. Elitisme adalah pandangan yang membenarkan bahwa hanya pemimpin (elit) yang mengetahui bagaimana mengatur dan mengelola negara, sedangkan rakyat hanyalah massa pasif yang mengikuti kehendak kaum elit. Konsep syura dapat berperan sebagai benteng yang kuat menentang pelanggaran negara, otoritarianisme, despotisme, kediktatoran dan sistem-sistem lain yang mengabaikan hak-hak politik rakyat (Rais, 1992: 47). 
Dalam konteks sistem pemerintahan, sistem monarkhi di mana raja hanya merupakan simbol kekuasaan yang sebenarnya tetap berada pada rakyat , seperti Kerajaan Inggris, jelas lebih Islami daripada sistem monarkhi Kerajaan Saudi Arabia, misalnya. Sebab, pada yang pertama kedaulatan berada di tangan rakyat karena rakyat melakukan pemilihan setiap empat tahun sekali. Sementara yang kedua, kedaulatan raja dan para bangsawan adalah pewaris negara dan tidak bertanggung jawab kepada rakyat. 
Model yang kedua itu jelas tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Sebab, sebagai contoh teladan bagi umat manusia, Nabi Muhammad telah membudayakan musyawarah dikalangan sahabatnya. Salah satu contoh yang bisa dikutip adalah ketika Nabi mendapat berita bahwa kaum Quraisy telah meninggalkan kota Makkah untuk menyerang kaum muslimin, Nabi Muhammad belum menentukan sikap sebelum mendapat kata mufakat dari para sahabat, Anshar dan Muhajirin (Pulungan, 1996: 209).
Ternyata Nabi Muhammad tidak saja bermusyawarah dengan para sahabat saja, tetapi juga dengan non muslim. Suatu ketika, seorang laki-laki dan perempuan Yahudi yang sudah berkeluarga melakukan zina. Kemudian para rahib Yahudi dari Bani Quraida berkumpul di Bait al-Midras untuk membicarakan hukuman bagi pelaku zina tersebut. Para rahib berselisih pendapat tentang hukuman apa yang harus dijatuhkan pada keduanya. Akhirnya mereka sepakat untuk membawa masalah itu kepada Nabi Muhammad untuk dimusyawarahkan (baca: dikonsultasikan). Sebelum menetapkan hukuman, Nabi Muhammad bertanya terlebih dahulu kepada para rahib Yahudi itu apakah dalam taurat ada ketentuan hukuman bagi pelaku zina yang sudah berkeluarga. Mereka mengatakan bahwa hukuman bagi pelaku zina yang sudah berkeluarga adalah hukum rajam. Atas dasar itu, Nabi Muhammad menetapkan hukuman rajam bagi keduanya (Pulungan, 1996: 213-4).
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad di atas dengan jelas menunjukkan bahwa sekalipun beliau memiliki otoritas yang luar biasa, baik sebagai rasul Allah maupun sebagai kepala negara, Nabi tidak bersikap otoriter dalam menetapkan sebuah kebijakan. Dalam posisi itu, jika mau, Nabi Muhammad bisa mengambil kebijakan sesuai dengan pemikiran dan kehendaknya. Tetapi hal itu tidak dilakukan Nabi. Beliau tetap mengedepankan musyawarah.
Inilah prinsip demokrasi dalam Islam. Musyawarah merupakan pilar utama demokrasi, walaupun dari waktu ke waktu musyawarah mengalami evolusi. Pada zaman Yunani Kuno, misalnya, dikenal istilah demokrasi langsung. Di mana anggota masyarakat berkumpul dan bermusyawarah untuk memutuskan sesuatu. Demokrasi langsung ini juga muncul pada zaman Nabi Muhammad. Beliau bermusyawarah secara tatap muka dengan para sahabatnya. Demokrasi langsung ini hanya bisa diterapkan dalam komunitas kecil.
Sebaliknya, dalam komunitas yang besar, demokrasi langsung ini tidak bisa dilakukan. Sebab, tidak mungkin jutaan orang dalam sebuah negara bermusyawarah secara bersama-sama dalam satu forum. Untuk itu, muncul demokrasi perwakilan, di mana masyarakat mewakilkan memilih orang-orang tertentu untuk dijadikan wakil yang akan membawa dan menyampaikan aspirasi konstituennya. Karena itu, mereka disebut “wakil rakyat”. Wakil-wakil inilah yang akan bermusyawarah dan memutuskan sejumlah kebijakan penting demi kepentingan rakyat. 
2.       Kebebasan
Lazimnya, kebebasan dimaknai dengan “hak seseorang untuk melakukan sesuatu asal tidak mengganggu dan tidak merugikan kebebasan orang lain”. Menurut Muhammad Husein Heikal (1993: 93), arti kebebasan semacam itu tidak berbeda dengan prinsip Islam bahwa “seorang muslim sejati adalah seorang yang tidak menyinggung atau menyakiti orang lain.” Faktanya, kata Heikal, Islam memang memberikan kebebasan penuh kepada manusia—kecuali bukan hal-hal yang dikenai sanksi oleh syara’. Dalam hal ini, Islam sama dengan semua syari’at di segala zaman, termasuk di zaman seperti sekarang ini.  
Sebagai agama yang santun, Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan bagi umat manusia. Paparan tentang musyawarah di atas telah mencerminkan adanya kebebasan berpendapat dalam Islam. Dalam musyawarah, setiap sahabat boleh mengemukakan gagasan apapun tanpa rasa takut, sekalipun berbeda dengan Nabi Muhammad.
Semangat kebebasan juga ditemukan dalam Piagam Madinah. Pada pasal 37 dinyatakan: “… dan bahwa di antara mereka saling memberi saran dan nasihat yang baik dan berbuat kebajikan, tidak dalam perbuatan dosa” (Pulungan, 1996: 161). Ketetapan ini juga mengisyaratkan kebebasan berbicara dan berpendapat bagi penduduk Madinah. Konstitusi mengakuinya sebagai hak setiap individu. Hal lain yang bisa dikemukakan dari salah satu pasal Piagam Madinah ini adalah bahwa kebebasan berpendapat harus bertujuan untuk mewujudkan kebaikan. Artinya, seseorang tidak diperkenankan mengemukakan pendapat yang mengusik ketenteraman dan mengancam integritas masyarakat. Pendek kata, kebebasan berpendapat harus didasari dengan semangat amar ma’ruf nahi mungkar [Q.S. Ali Imran: 104].  
Dalam konteks ini, Husein Heikal (1993: 93) dengan nada lantang menyatakan bahwa kebebasan yang ada dalam Islam justru dalam bentuk dan makna yang lebih luas. Dia mencontohkan munculnya sejumlah imam madzhab dalam umat Islam. Seluruh kaum muslimin menghormati madzhab-madzhab itu, kendati di antara mereka ada perbedaan pendapat dan sudut pandang. Menurutnya, jika perbedaan pendapat mengenai hukum-hukum syari’at saja diperbolehkan, dan bahkan dibenarkan untuk melakukan ijtihad, apalagi tentang pelbagai masalah yang tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum syari’at tersebut. Selain contoh perbedaan madzhab, contoh lain yang dapat diambil adalah “polemik intelektual” antar berbagai filosof muslim seperti al-Ghazali, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Farabi dan lain-lain.     
Sementara kebebasan memilih dalam Islam tercermin dalam kebebasan beragama. Islam tidak pernah memaksa umat manusia untuk memeluk agama Islam. Masing-masing orang berhak menentukan agamanya sendiri. Kebebasan beragama ini dengan tegas digambarkan dalam Al-Kafirun: 6; Al-Baqarah: 256 dan Al-Kahf: 29. Dalam konteks pemerintahan, kebebasan memilih ditunjukkan dengan proses pemilihan khalifah pengganti Rasulullah setelah beliau wafat. Kaum muslimin secara demokratis memilih sahabat Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali dengan musyawarah langsung (walaupun di balik semua itu muncul “riak-riak” kecil yang dianggap menodai proses “demokrasi” di kalangan umat Islam). 
Kebebasan berpendapat ketika itu jelas berbeda dengan kebebasan berpendapat di zaman sekarang. Saat ini, untuk menyampaikan gagasan-gagasan atau keberatannya terhadap kebijakan pemerintah, misalnya, masyarakat bisa dengan cara beraudiensi langsung, melalui media massa atau bahkan dengan cara turun jalan. Sementara pada zaman Nabi Muhammad kebebasan berpendapat diwujudkan dalam musyawarah-musyawarah langsung antara Nabi dengan sahabat, atau antar sahabat sendiri.   
3.       Kesetaraan
“Hai manusia! sesungguhnya Tuhan kalian itu Esa, dan bapak kalian juga satu. Bangsa Arab atau non-Arab, kaum kulit putih atau kaum hitam sama-sama tidak memiliki superioritas satu sama lain, kecuali taqwanya [HR. Ahmad].
“Orang yang paling dekat dan paling saya kasihi adalah orang-orang yang shalih, tidak peduli apapun ras, suku bangsa atau negara di mana mereka tinggal” [HR. Bukhari].
“Tidak ada privilege bagi seseorang atas yang lain, kecuali kualitas taqwanya. Semua manusia adalah anak cucu Adam, dan Adam sendiri diciptakan dari tanah liat” [HR. Ahmad], (Shad, 1993, 6).  
Tiga hadits tersebut menerangkan bahwa secara substansial tidak ada perbedaan sedikit pun antara seorang manusia dengan yang lain, sekalipun ras, suku, warna kulit dan bahasa mereka berbeda-beda. Semuanya mendapat perlakuan yang sama. Tidak ada satupun yang dipandang lebih superior dari yang lain. Sejarah juga menjadi saksi akan kenyataan bahwa Islam telah mengangkat manusia dari jurang yang hina dina kepada derajat yang mulia. Bangsa Arab pada mulanya tidak menghargai orang-orang Ethiopia, tetapi Islam kemudian membuk-tikan bahwa semua manusia harus dihormati, di antaranya melalui pemerdekaan dan pengangkatan Bilal bin Rabah sebagai Mu’adzdzin (Shad, 1993, 6).
Lebih dari itu, kata Heikal (1993-92), kesetaraan umat manusia yang begitu mendalam dapat disaksikan ketika beratus-ratus ribu orang melakukan shalat di sekeliling Ka’bah, di Masjid al-Haram. Di antara mereka jelas-jelas ada perbedaan, baik dari segi materi, jabatan, warna kulit, ras, budaya, suku dan sebagainya. Tetapi perbedaan itu tidak ada artinya manakala mereka secara bersama-sama menghadap Dzat Yang Maha Agung, Allah swt. Inilah kesetaraan sejati, yang tidak ada duanya di dunia ini.
Sebetulnya, lahirnya demokrasi tidak lain ditujukan untuk menghapus perlakuan diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Namun pada prakteknya, di negara yang dianggap paling demokratis pun, seperti Amerika Serikat, kesetaraan tetap menjadi masalah serius. Tidak bisa dipungkiri bahwa di Amerika Serikat ras Negro tetap “kehilangan” haknya sebagai warga negara. Keberadaan mereka acapkali masih dipandang sebelah mata. Sebetulnya saya hendak menyatakan bahwa AS yang sangat mengagung-agungkan demokrasi ternyata tidak bisa bersikap demokratis.
Di Indonesia, masalah kesetaraan dalam berdemokrasi masih bermasalah. Contoh yang bisa diambil adalah kuota 30 % perempuan. Tanpa bermaksud membela kaum perempuan, kuota 30 % itu jelas diskriminatif. Dalam demokrasi tidak dikenal pembagian prosentase untuk laki-laki dan perempuan. Dua jenis kelamin ini mendapat kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan mengaktualisasi diri dalam aktivitas politik. Untuk itu, dalam hemat saya, tidak perlu ada kuota 30 % untuk perempuan. Terkait dengan figur yang akan dipilih rakyat, laki-laki atau perempuan, serahkan saja semuanya pada rakyat. Biar rakyat yang menilai sendiri. Sebab, rakyat bisa berpikir rasional dan jernih siapa yang pantas untuk menjadi wakil mereka.
Dalam Islam pada dasarnya tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun, termasuk untuk menjadi pemimpin. Pemimpin, menurut Islam harus diserahkan kepada orang yang kompeten dan profesional. Islam meyakini bahwa apabila suatu urusan (termasuk dalam pengelolaan negara) diserahkan kepada orang yang tidak kompeten di bidangnya, maka tunggulah kehancurannya. Redaksi orang yang kompeten dan profesional sama sekali tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki. Artinya, siapapun yang kompeten dan profesional di bidangnya, ia bisa menjadi pemimpin, tidak masalah laki-laki atau perempuan.
4. Keadilan
Islam mengharuskan keadilan secara mutlak. Misalnya dalam An-Nisa: 58 disebutkan: “apabila menetapkan hukum diantara manusia, hendaklah kamu menghukumi dengan adil.” Suatu ketika Nabi Muhammad pernah bersumpah: “demi Allah, seandainya anak saya (Siti Fatimah) mencuri, maka saya akan memotong tangannya.” Ini bukti bahwa Islam sangat menghargai keadilan. Semua orang wajib mendapat perlakuan yang sama. Tidak peduli ia kaya atau miskin, penguasa atau rakyat biasa, darah biru atau darah …, dan lain sebagainya.
Keadilan yang paling penting dalam demokrasi adalah keadilan dalam hukum. Semua orang harus mendapat perlakuan yang sama dalam hukum. Siapapun yang melanggar hukum harus diproses dan diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi perlakuan semena-mena dari si kuat terhadap si lemah, si kaya kepada si miskin. Sayangya, keadilan dalam iklim demokrasi hingga kini masih tetap menjadi persoalan serius. Sebab, keadilan tidak berpihak pada masyarakat kecil. Keadilan hanya milik mereka yang berduit dan yang berkuasa. Dalam hal ini saya tidak akan mengalahkan demokrasi atau hukum.
Kondisi demikian tentunya sangat kontras dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Sebagai pemegang otoritas keagamaan dan kenegaraan, Nabi Muhammad memperlakukan semua orang sama dihadapan hukum (equality before law). Nabi Muhammad tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Siapapun yang bersalah, termasuk jika anaknya sendiri, akan diproses dan diadili sesuai hukum yang berlaku. Berbeda dengan sekarang, setiap penguasa berlomba-lomba menyembunyikan kesalahan diri, keluarga dan kelompoknya. Prinsipnya adalah apapun yang terjadi, salah atau benar, harus diselamatkan dari jeratan hukum, sekalipun dia sadar bahwa yang bersangkutan jelas-jelas melanggar hukum.
  
D. Penutup
Dari paparan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam Islam terkandung semangat demokrasi. Sejumlah prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti musyawarah, kebebasam, kesetaraan dan keadilan, dapat dijumpai dalam ajaran Islam. Namun yang jelas, di dalam ajaran tersebut hanya berupa konsep-konsep dasar yang perlu dirumuskan lagi agar menjadi aturan main yang implementatif sesuai dengan perkembangan zaman. Apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad di atas adalah bentuk penerapan demokrasi yang ada di zamannya, yang membutuhkan pembaruan-pembaruan lagi di masa sekarang dan mendatang.

Daftar Pustaka



Ebestein, William, 1988, Democracy, dalam William D. Halsey & Bernard Johnston (Eds.), Colliers’s Encyclopedia, Ney York, McMillan Educational Company.  
Heikal, Muhammad Husein, 1993, Pemerintahan Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus
Hikam, Muhammad A.S., 2000, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta, Erlangga
Masdar, Umaruddin, 1999, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Pulungan, J Suyuti, 1996, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Quran, Jakarta, Raja Grafindo Persada
Rahmat, Jalaluddin, 1992, Islam dan Demokrasi, dalam Franz Magnis Suseno et.el., Agama dan Demokrasi, Jakarta, P3M
Rais, Amin, 1992, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, Bandung, Mizan
Shad, Abdurrahman, 1993, The Right of Allah and Human Rights, Delhi, Adam Publishers
Suseno, Farnz Magnis, 1995, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

Urofsky, Melvin Indonesia, 2002, Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi, dalam Demokrasi, U.S. Info State 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar