Demokrasi
dalam Islam
A. Pengantar
Sebagai agama yang diyakini
membawa rahmat li al-alamin, Islam disinyalir tidak sepi dari
nilai-nilai demokrasi yang lahir dari rahim Barat. Asumsi dan pandangan yang
berkembang selama ini menyatakan bahwa jauh sebelum munculnya konsep demokrasi
yang digaungkan Barat, Islam terlebih dahulu telah menebar semangat demokrasi
kepada semua umat manusia, walaupun dengan istilah yang berbeda. Jadi,
demokrasi bukan hal yang baru dalam ajaran Islam.
Pandangan demikian tidak bisa
ditolak mentah-mentah, walaupun tidak serta-merta diterima apa adanya. Perlu
penelaahan mendalam untuk membuktikan bahwa ajaran Islam sarat dengan konsep
demokrasi yang diperkenalkan Barat. Secara pribadi, saya khawatir jangan-jangan
pandangan yang bernuansa “klaim” tersebut muncul akibat “ketakutan” yang
menyelimuti sebagian umat Islam apabila Barat mengungguli Islam (walaupun saat
ini umat Islam jelas-jelas telah tinggal kandas). Sebab, dalam benak mereka
sudah terpatri bahwa al-islam ya’lu wa la yu’la ‘alaih. Karenanya, tidak
ada dan tidak boleh ada yang menandingi Islam. Sekali lagi saya hendak
menegaskan bahwa ungkapan bahwa nilai-nilai demokrasi sebelumnya sudah ada
dalam ajaran Islam perlu diuji keabsahannya.
Bertolak dari dasar pemikiran di
atas, makalah ini hendak menelusuri dan menggambarkan konsep-konsep Islam
tentang demokrasi. Dari penelusuran ini akan ditemukan apakah dalam ajaran
Islam terkandung semangat demokrasi atau tidak. Artinya, penelaahan ini akan
menjadi ajang pembuktian terhadap al-islam ya’lu wa laa yu’la ‘alaih. Jika
tidak, maka akan memperkuat bahwa umat Islam memang suka klaim dan “rasa takut”
terhadap kemajuan Barat.
Makalah ini akan diawali,
walaupun sekilas, dengan pembacaan mengenai sejarah dan teori-teori demokrasi.
Sekalipun demokrasi sudah menjadi kosa kata umum, uraian mengenai definisi,
sejarah dan teori-teori demokrasi tetap penting. Setidak-tidaknya untuk
menyamakan persepsi antara penulis dengan sidang pembaca: apa sih demokrasi?
Setelah itu dilanjutkan dengan analisa tentang nilai-nilai demokrasi dalam Islam.
Bagian ini merupakan inti dari pembahasan makalah ini. Dilihat dari judul di
atas, memang sangat kentara bahwa makalah ini akan menghubungkan antara Islam
dan demokrasi.
B. Demokrasi: Definisi, Sejarah dan Teori
Kata demokrasi memiliki varian makna yang
cukup beragam. Namun, dalam dunia modern, pengertian demokrasi lebih ditekankan
pada makna bahwa kekuasaan tertinggi dalam urusan-urusan politik ada di tangan
rakyat. Karena itu, dalam wacana modern, demokrasi didefinisikan seperti apa
yang dirumuskan oleh negarawan Amerika Serikat, Abraham Lincoln: government
of the people, by the people, for the people, (sistem) pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Urofsky, 2002, 1)
Demokrasi selalu muncul sebagai isu
sentral dalam setiap episode sejarah peradaban manusia, yaitu sejak zaman
Yunani Kuno. Franz Magnis Suseno (1995: xi) dalam Mencari Sosok Demokrasi:
Sebuah Telaah Filosofis menyebutkan bahwa sejarah demokrasi sendiri muncul
dimulai sekitar 2500 tahun yang lalu di kota Athena, Yunani. Tepatnya pada
tahun 508 SM, Kleistenes mengadakan beberapa pembaruan dalam sistem
pemerintahan kota Athena. Bentuk pemerintahan baru itu kemudian diberi nama demokratia,
pemerintahan oleh rakyat.
Pada perkembangannya, demokrasi lambat
laun menjadi “primadona” sistem pemerintahan di berbagai belahan dunia. Sebab
demokrasi menyediakan semangat universal yang menjamin setiap individu atau
golongan untuk terlibat dalam kegiatan publik dalam rangka mewujudkan tata
sosial yang adil, setara dan manusiawi. Demokrasi kini telah menjadi isu yang
mampu menyatukan cita-cita ideal manusia se jagad, karena demokrasi bisa
melintasi batas-batas geografis, suku bangsa, agama dan kebudayaan (Masdar,
1999: 30). Namun, karena keserakahan dan kepentingan politik suatu rezim,
muncul kesenjangan antara Das Sein dan Das Sollen (Hikam, 2000:
102)
Secara umum ada dua teori yang dominan
dalam perbincangan demokrasi modern, yaitu teori demokrasi liberalis dan
komunis. Teori demokrasi liberalis lebih menekankan pada elemen-elemen
prosedural bagi sebuah struktur demokrasi. Sebaliknya, teori demokrasi komunis
lebih menekankan pada elemen-elemen substantif (Ebestein, 1988: 76).
Ebestein mengilustrasikan pada kasus
demokratisasi di Jerman pasca Perang Dunia (PD) kedua. Setelah berhasil
melumpuhkan kekuatan Jerman pada PD kedua, Amerika Serikat, Inggris, Perancis
dan Uni Soviet yang tergabung dalam kekuatan sekutu menguasai negeri itu.
Negara-negara sekutu itu sepakat untuk mendemokratisasikan Jerman. Namun, Uni
Soviet tentang apa makna dan implementasi dari gagasan demokratisasi itu. Bagi
Amerika, Inggris dan Perancis, demokratisasi berarti pemberian prinsip-prinsip
dasar kepada publik Jerman, seperti: pemilihan umum, kebebasan pers, persamaan
dimata hukum (equality before law), kebebasan berpendapat, kebebasan
berserikat dan kebebasan beroposisi. Sedangkan menurut konsep komunis,
demokratisasi Jerman berarti menguatkan pemerintahan yang akan mewujudkan apa
yang mereka klaim sebagai “kepentingan terbaik” bagi masyarakat Jerman. Dalam
kacamata Uni Soviet, kepentingan terbaik itu adalah komunisme.
Menurut teori liberal, rakyat adalah hakim
terbaik bagi kepentingan mereka sendiri. Karenanya, rakyat harus diberi
kebebasan penuh untuk mengekspresikan pandangan dan aspirasinya. Sedangkan
dalam teori komunis, yang mempunyai hak untuk mengambil keputusan adalah mereka
yang mengetahui kebenaran, yaitu minoritas kecil yang berkuasa dalam partai
komunis (Ebestein, 1988: 76). Akhirnya Jerman terpecah menjadi dua blok, Barat
dan Timur, yang dipisahkan dengan “Tembok Berlin”.
Tetapi, seiring runtuhnya Tembok Berlin
pada akhir dekade 1980-an, sekaligus mengakhiri kekuatan Uni Soviet, mau tidak
mau membuat teori demokrasi liberal menjadi satu-satunya konsep yang dominan
dan bahkan diterima oleh hampir seluruh kawasan geopolitik masyarakat se jagad.
Sistem demokrasi liberal telah diterima secara luas oleh negara-negara
multikultur, utamanya menyangkut prinsip persamaan, kebebasan, kekuasaan
mayoritas, prinsip negara hukum dan pendelegasian kekuasaan.
C. Nilai-Nilai Demokrasi dalam Islam
Menurut Jalaluddin Rahmat (1992:
40), demokrasi merupakan konsep bagi sistem politik yang didasarkan pada dua
prinsip: partisipasi politik dan hak asasi manusia. Prinsip-prinsip ini
menyebabkan rakyat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan publik dan
melindungi hak-hak asasi manusia, yakni hak kebebasan berbicara, hak mengontrol
kekuasaan dan persamaan di muka hukum. Konsep demokrasi semacam ini tidak hanya
sesuai dengan Islam, tetapi juga merupakan perwujudan ajaran-ajaran Islam dalam
kehidupan berbangsa. Ada sejumlah nilai-nilai Islam yang secara substansial
merupakan ruh sistem demokrasi, antara lain:
1. Musyawarah
Islam mewajibkan umat Islam untuk bermusyawarah
berbagai hal. Kewajiban bermusyawarah ini ditunjukkan dengan tegas dalam
al-Qur’an dengan redaksi “wasyawirhum fi al-amr” (bermusyarwaralah
dengan mereka dalam menyelesaikan persoalan) [Q.S. 3: 159] dan “wa amruhum
syura bainahum” (mereka menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah) [Q.S.
42: 38]. Kata syawir dalam tata bahasa Arab disebut dengan amar
(perintah). Dalam kaidah fiqh, kita juga mengenal al-ashl fi al-amr li
al-wujub, pada dasarnya bentuk amar menunjukkan arti wajib. Allah tidak akan
menggunakan bentuk amr jika musyawarah bukan sesuatu yang benar-benar
penting bagi umat manusia.
Kata syura dalam dua ayat di atas
merupakan suatu prinsip yang menolak elitisme. Elitisme adalah pandangan yang
membenarkan bahwa hanya pemimpin (elit) yang mengetahui bagaimana mengatur dan
mengelola negara, sedangkan rakyat hanyalah massa pasif yang mengikuti kehendak
kaum elit. Konsep syura dapat berperan sebagai benteng yang kuat
menentang pelanggaran negara, otoritarianisme, despotisme, kediktatoran dan
sistem-sistem lain yang mengabaikan hak-hak politik rakyat (Rais, 1992:
47).
Dalam konteks sistem pemerintahan, sistem
monarkhi di mana raja hanya merupakan simbol kekuasaan yang sebenarnya tetap
berada pada rakyat , seperti Kerajaan Inggris, jelas lebih Islami daripada
sistem monarkhi Kerajaan Saudi Arabia, misalnya. Sebab, pada yang pertama
kedaulatan berada di tangan rakyat karena rakyat melakukan pemilihan setiap
empat tahun sekali. Sementara yang kedua, kedaulatan raja dan para bangsawan
adalah pewaris negara dan tidak bertanggung jawab kepada rakyat.
Model yang kedua itu jelas tidak sesuai
dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Sebab, sebagai contoh teladan
bagi umat manusia, Nabi Muhammad telah membudayakan musyawarah dikalangan sahabatnya.
Salah satu contoh yang bisa dikutip adalah ketika Nabi mendapat berita bahwa
kaum Quraisy telah meninggalkan kota Makkah untuk menyerang kaum muslimin, Nabi
Muhammad belum menentukan sikap sebelum mendapat kata mufakat dari para
sahabat, Anshar dan Muhajirin (Pulungan, 1996: 209).
Ternyata Nabi Muhammad tidak saja
bermusyawarah dengan para sahabat saja, tetapi juga dengan non muslim. Suatu
ketika, seorang laki-laki dan perempuan Yahudi yang sudah berkeluarga melakukan
zina. Kemudian para rahib Yahudi dari Bani Quraida berkumpul di Bait
al-Midras untuk membicarakan hukuman bagi pelaku zina tersebut. Para rahib
berselisih pendapat tentang hukuman apa yang harus dijatuhkan pada keduanya.
Akhirnya mereka sepakat untuk membawa masalah itu kepada Nabi Muhammad untuk
dimusyawarahkan (baca: dikonsultasikan). Sebelum menetapkan hukuman, Nabi
Muhammad bertanya terlebih dahulu kepada para rahib Yahudi itu apakah dalam
taurat ada ketentuan hukuman bagi pelaku zina yang sudah berkeluarga. Mereka
mengatakan bahwa hukuman bagi pelaku zina yang sudah berkeluarga adalah hukum
rajam. Atas dasar itu, Nabi Muhammad menetapkan hukuman rajam bagi keduanya
(Pulungan, 1996: 213-4).
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad di atas
dengan jelas menunjukkan bahwa sekalipun beliau memiliki otoritas yang luar
biasa, baik sebagai rasul Allah maupun sebagai kepala negara, Nabi tidak
bersikap otoriter dalam menetapkan sebuah kebijakan. Dalam posisi itu, jika
mau, Nabi Muhammad bisa mengambil kebijakan sesuai dengan pemikiran dan
kehendaknya. Tetapi hal itu tidak dilakukan Nabi. Beliau tetap mengedepankan
musyawarah.
Inilah prinsip demokrasi dalam Islam.
Musyawarah merupakan pilar utama demokrasi, walaupun dari waktu ke waktu
musyawarah mengalami evolusi. Pada zaman Yunani Kuno, misalnya, dikenal istilah
demokrasi langsung. Di mana anggota masyarakat berkumpul dan bermusyawarah
untuk memutuskan sesuatu. Demokrasi langsung ini juga muncul pada zaman Nabi
Muhammad. Beliau bermusyawarah secara tatap muka dengan para sahabatnya.
Demokrasi langsung ini hanya bisa diterapkan dalam komunitas kecil.
Sebaliknya, dalam komunitas yang besar,
demokrasi langsung ini tidak bisa dilakukan. Sebab, tidak mungkin jutaan orang
dalam sebuah negara bermusyawarah secara bersama-sama dalam satu forum. Untuk
itu, muncul demokrasi perwakilan, di mana masyarakat mewakilkan memilih
orang-orang tertentu untuk dijadikan wakil yang akan membawa dan menyampaikan
aspirasi konstituennya. Karena itu, mereka disebut “wakil rakyat”. Wakil-wakil
inilah yang akan bermusyawarah dan memutuskan sejumlah kebijakan penting demi
kepentingan rakyat.
2.
Kebebasan
Lazimnya, kebebasan dimaknai dengan “hak
seseorang untuk melakukan sesuatu asal tidak mengganggu dan tidak merugikan
kebebasan orang lain”. Menurut Muhammad Husein Heikal (1993: 93), arti
kebebasan semacam itu tidak berbeda dengan prinsip Islam bahwa “seorang muslim
sejati adalah seorang yang tidak menyinggung atau menyakiti orang lain.”
Faktanya, kata Heikal, Islam memang memberikan kebebasan penuh kepada
manusia—kecuali bukan hal-hal yang dikenai sanksi oleh syara’. Dalam hal ini,
Islam sama dengan semua syari’at di segala zaman, termasuk di zaman seperti
sekarang ini.
Sebagai agama yang santun, Islam sangat
menjunjung tinggi kebebasan bagi umat manusia. Paparan tentang musyawarah di
atas telah mencerminkan adanya kebebasan berpendapat dalam Islam. Dalam
musyawarah, setiap sahabat boleh mengemukakan gagasan apapun tanpa rasa takut,
sekalipun berbeda dengan Nabi Muhammad.
Semangat kebebasan juga ditemukan dalam
Piagam Madinah. Pada pasal 37 dinyatakan: “… dan bahwa di antara mereka saling
memberi saran dan nasihat yang baik dan berbuat kebajikan, tidak dalam
perbuatan dosa” (Pulungan, 1996: 161). Ketetapan ini juga mengisyaratkan
kebebasan berbicara dan berpendapat bagi penduduk Madinah. Konstitusi
mengakuinya sebagai hak setiap individu. Hal lain yang bisa dikemukakan dari
salah satu pasal Piagam Madinah ini adalah bahwa kebebasan berpendapat harus
bertujuan untuk mewujudkan kebaikan. Artinya, seseorang tidak diperkenankan mengemukakan
pendapat yang mengusik ketenteraman dan mengancam integritas masyarakat. Pendek
kata, kebebasan berpendapat harus didasari dengan semangat amar ma’ruf nahi
mungkar [Q.S. Ali Imran: 104].
Dalam konteks ini, Husein Heikal
(1993: 93) dengan nada lantang menyatakan bahwa kebebasan yang ada dalam Islam
justru dalam bentuk dan makna yang lebih luas. Dia mencontohkan munculnya
sejumlah imam madzhab dalam umat Islam. Seluruh kaum muslimin menghormati
madzhab-madzhab itu, kendati di antara mereka ada perbedaan pendapat dan sudut
pandang. Menurutnya, jika perbedaan pendapat mengenai hukum-hukum syari’at saja
diperbolehkan, dan bahkan dibenarkan untuk melakukan ijtihad, apalagi tentang
pelbagai masalah yang tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum syari’at tersebut.
Selain contoh perbedaan madzhab, contoh lain yang dapat diambil adalah “polemik
intelektual” antar berbagai filosof muslim seperti al-Ghazali, Ibn Sina, Ibn
Rusyd, al-Farabi dan lain-lain.
Sementara kebebasan memilih
dalam Islam tercermin dalam kebebasan beragama. Islam tidak pernah memaksa umat
manusia untuk memeluk agama Islam. Masing-masing orang berhak menentukan
agamanya sendiri. Kebebasan beragama ini dengan tegas digambarkan dalam
Al-Kafirun: 6; Al-Baqarah: 256 dan Al-Kahf: 29. Dalam konteks pemerintahan,
kebebasan memilih ditunjukkan dengan proses pemilihan khalifah pengganti
Rasulullah setelah beliau wafat. Kaum muslimin secara demokratis memilih
sahabat Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali dengan musyawarah langsung (walaupun di
balik semua itu muncul “riak-riak” kecil yang dianggap menodai proses
“demokrasi” di kalangan umat Islam).
Kebebasan berpendapat ketika itu jelas
berbeda dengan kebebasan berpendapat di zaman sekarang. Saat ini, untuk
menyampaikan gagasan-gagasan atau keberatannya terhadap kebijakan pemerintah,
misalnya, masyarakat bisa dengan cara beraudiensi langsung, melalui media massa
atau bahkan dengan cara turun jalan. Sementara pada zaman Nabi Muhammad
kebebasan berpendapat diwujudkan dalam musyawarah-musyawarah langsung antara
Nabi dengan sahabat, atau antar sahabat sendiri.
3.
Kesetaraan
“Hai manusia! sesungguhnya
Tuhan kalian itu Esa, dan bapak kalian juga satu. Bangsa Arab atau non-Arab,
kaum kulit putih atau kaum hitam sama-sama tidak memiliki superioritas satu
sama lain, kecuali taqwanya [HR. Ahmad].
“Orang yang paling dekat dan
paling saya kasihi adalah orang-orang yang shalih, tidak peduli apapun ras,
suku bangsa atau negara di mana mereka tinggal” [HR. Bukhari].
“Tidak ada privilege bagi
seseorang atas yang lain, kecuali kualitas taqwanya. Semua manusia adalah anak
cucu Adam, dan Adam sendiri diciptakan dari tanah liat” [HR. Ahmad], (Shad,
1993, 6).
Tiga hadits tersebut menerangkan bahwa secara substansial
tidak ada perbedaan sedikit pun antara seorang manusia dengan yang lain,
sekalipun ras, suku, warna kulit dan bahasa mereka berbeda-beda. Semuanya
mendapat perlakuan yang sama. Tidak ada satupun yang dipandang lebih superior
dari yang lain. Sejarah juga menjadi saksi akan kenyataan bahwa Islam telah
mengangkat manusia dari jurang yang hina dina kepada derajat yang mulia. Bangsa
Arab pada mulanya tidak menghargai orang-orang Ethiopia, tetapi Islam kemudian
membuk-tikan bahwa semua manusia harus dihormati, di antaranya melalui
pemerdekaan dan pengangkatan Bilal bin Rabah sebagai Mu’adzdzin (Shad,
1993, 6).
Lebih dari itu, kata Heikal (1993-92), kesetaraan umat
manusia yang begitu mendalam dapat disaksikan ketika beratus-ratus ribu orang
melakukan shalat di sekeliling Ka’bah, di Masjid al-Haram. Di antara mereka
jelas-jelas ada perbedaan, baik dari segi materi, jabatan, warna kulit, ras,
budaya, suku dan sebagainya. Tetapi perbedaan itu tidak ada artinya manakala
mereka secara bersama-sama menghadap Dzat Yang Maha Agung, Allah swt. Inilah
kesetaraan sejati, yang tidak ada duanya di dunia ini.
Sebetulnya, lahirnya demokrasi
tidak lain ditujukan untuk menghapus perlakuan diskriminatif terhadap kelompok
tertentu. Namun pada prakteknya, di negara yang dianggap paling demokratis pun,
seperti Amerika Serikat, kesetaraan tetap menjadi masalah serius. Tidak bisa
dipungkiri bahwa di Amerika Serikat ras Negro tetap “kehilangan” haknya sebagai
warga negara. Keberadaan mereka acapkali masih dipandang sebelah mata.
Sebetulnya saya hendak menyatakan bahwa AS yang sangat mengagung-agungkan
demokrasi ternyata tidak bisa bersikap demokratis.
Di Indonesia, masalah kesetaraan
dalam berdemokrasi masih bermasalah. Contoh yang bisa diambil adalah kuota 30 %
perempuan. Tanpa bermaksud membela kaum perempuan, kuota 30 % itu jelas
diskriminatif. Dalam demokrasi tidak dikenal pembagian prosentase untuk
laki-laki dan perempuan. Dua jenis kelamin ini mendapat kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi dan mengaktualisasi diri dalam aktivitas politik. Untuk
itu, dalam hemat saya, tidak perlu ada kuota 30 % untuk perempuan. Terkait
dengan figur yang akan dipilih rakyat, laki-laki atau perempuan, serahkan saja
semuanya pada rakyat. Biar rakyat yang menilai sendiri. Sebab, rakyat bisa
berpikir rasional dan jernih siapa yang pantas untuk menjadi wakil mereka.
Dalam Islam pada dasarnya tidak
ada diskriminasi dalam bentuk apapun, termasuk untuk menjadi pemimpin.
Pemimpin, menurut Islam harus diserahkan kepada orang yang kompeten dan
profesional. Islam meyakini bahwa apabila suatu urusan (termasuk dalam
pengelolaan negara) diserahkan kepada orang yang tidak kompeten di bidangnya,
maka tunggulah kehancurannya. Redaksi orang yang kompeten dan profesional sama
sekali tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki. Artinya, siapapun yang
kompeten dan profesional di bidangnya, ia bisa menjadi pemimpin, tidak masalah
laki-laki atau perempuan.
4. Keadilan
Islam mengharuskan keadilan
secara mutlak. Misalnya dalam An-Nisa: 58 disebutkan: “apabila menetapkan
hukum diantara manusia, hendaklah kamu menghukumi dengan adil.” Suatu
ketika Nabi Muhammad pernah bersumpah: “demi Allah, seandainya anak saya
(Siti Fatimah) mencuri, maka saya akan memotong tangannya.” Ini bukti bahwa
Islam sangat menghargai keadilan. Semua orang wajib mendapat perlakuan yang
sama. Tidak peduli ia kaya atau miskin, penguasa atau rakyat biasa, darah biru
atau darah …, dan lain sebagainya.
Keadilan yang paling penting
dalam demokrasi adalah keadilan dalam hukum. Semua orang harus mendapat
perlakuan yang sama dalam hukum. Siapapun yang melanggar hukum harus diproses
dan diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini dimaksudkan untuk
melindungi perlakuan semena-mena dari si kuat terhadap si lemah, si kaya kepada
si miskin. Sayangya, keadilan dalam iklim demokrasi hingga kini masih tetap
menjadi persoalan serius. Sebab, keadilan tidak berpihak pada masyarakat kecil.
Keadilan hanya milik mereka yang berduit dan yang berkuasa. Dalam hal ini saya
tidak akan mengalahkan demokrasi atau hukum.
Kondisi demikian tentunya sangat
kontras dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Sebagai pemegang otoritas
keagamaan dan kenegaraan, Nabi Muhammad memperlakukan semua orang sama
dihadapan hukum (equality before law). Nabi Muhammad tidak pandang bulu
dalam menegakkan hukum. Siapapun yang bersalah, termasuk jika anaknya sendiri,
akan diproses dan diadili sesuai hukum yang berlaku. Berbeda dengan sekarang,
setiap penguasa berlomba-lomba menyembunyikan kesalahan diri, keluarga dan
kelompoknya. Prinsipnya adalah apapun yang terjadi, salah atau benar, harus
diselamatkan dari jeratan hukum, sekalipun dia sadar bahwa yang bersangkutan jelas-jelas
melanggar hukum.
D. Penutup
Dari paparan di atas dapat
dikemukakan bahwa dalam Islam terkandung semangat demokrasi. Sejumlah
prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti musyawarah, kebebasam, kesetaraan dan
keadilan, dapat dijumpai dalam ajaran Islam. Namun yang jelas, di dalam ajaran
tersebut hanya berupa konsep-konsep dasar yang perlu dirumuskan lagi agar
menjadi aturan main yang implementatif sesuai dengan perkembangan zaman. Apa
yang telah dilakukan Nabi Muhammad di atas adalah bentuk penerapan demokrasi
yang ada di zamannya, yang membutuhkan pembaruan-pembaruan lagi di masa
sekarang dan mendatang.
Daftar Pustaka
Ebestein, William, 1988, Democracy, dalam
William D. Halsey & Bernard Johnston (Eds.), Colliers’s Encyclopedia, Ney
York, McMillan Educational Company.
Heikal, Muhammad Husein, 1993, Pemerintahan
Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus
Hikam, Muhammad A.S., 2000, Islam,
Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta, Erlangga
Masdar, Umaruddin, 1999, Membaca
Pikiran Gus Dur dan Amin Rais Tentang Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar
Pulungan, J Suyuti, 1996, Prinsip-Prinsip
Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Quran, Jakarta,
Raja Grafindo Persada
Rahmat, Jalaluddin, 1992, Islam dan
Demokrasi, dalam Franz Magnis Suseno et.el., Agama dan Demokrasi, Jakarta,
P3M
Rais, Amin, 1992, Cakrawala Islam,
Antara Cita dan Fakta, Bandung, Mizan
Shad, Abdurrahman, 1993, The Right of
Allah and Human Rights, Delhi, Adam Publishers
Suseno, Farnz Magnis, 1995, Mencari
Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Urofsky, Melvin Indonesia, 2002, Prinsip-Prinsip
Dasar Demokrasi, dalam Demokrasi, U.S. Info State
Tidak ada komentar:
Posting Komentar