PERKEMBANGAN TASAWUF
DAN MUNCULNYA THAREKAT
DAN MUNCULNYA THAREKAT
Pendahuluan
Tasawuf merupakan aspek mistisisme Islam atau dalam istilah
Orientalis disebut sufisme, dan orang yang mengamalkan kehidupan tasawuf
disebut kaum sufi. Dari etimologi ada beberapa teori tentang asal istilah
tasawuf ini, tetapi yang paling sering dijadikan rujukan adalah Shaf, kain
yang terbuat dari bulu wol. Bahan kain wol yang dikenakan kaum sufi adalah wol
yang, kasar sebagai simbol kesederhanaan dan kemiskinan.[1]
Pada masa Nabi Muhammad SAW, telah dikenal tiga pilar ajaran
Islam, yakni Iman, Islam, dan Ihsan. Tasawuf pada
hakikatnya adalah perwujudan dari Ihsan tersebut dan menjadi ruh dari praktek
ibadah dan rukun Islam, sebagaimana didefinisikan sendiri oleh Nabi Muhammad
Saw. tentang Ihsan, yaitu "Hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya. Maka jika engkau tidak bisa melihat-Nya, ketahuilah bahwa
sesungguhnya Dia melihatmu."[2]
Oleh karena itu tasawuf atau sufisme memiliki tujuan memperoleh hubungan
langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar-benar bahwa
seseorang berada di hadirat Tuhan.[3]
Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa Nab; Muhammad
SAW, meskipun saat itu istilah tasawuf belum dikenal. Praktek hidup yang dekat
dengan praktek tasawuf pada masa itu adalah Zuhud, dan dianggap sebagai cikal
bakal gerakan tasawuf.[4]
Istilah tasawuf baru dikenal mulai pada pertengahan abad III H. oleh Abu Hasyim
al-Kufy al-Shuf (w.250 H) dengan meletakkan al-Sufi di belakang namanya,
sebagaimana menurut Nicholson, bahwa sebelum itu telah banyak ahli zuhud,
wara', tawakal dan mahabbah, tetapi dialah yang mendapatkan
julukan al-Sufi pertama kali.[5]
Beberapa faktor yang mendorong perkembangan tasawuf ini antara
lain: Ajaran Al-Qur’an dan As-Sunah yang mendorong agar umatnya beribadah, dan
berperilaku baik.[6] Reaksi rohaniawan kaum
muslim terhadap sistem sosial, politik, budaya dan ekonomi yang berkembang
tetapi juga membawa konsekuensi pertikaian intern umat Islam dan pola hidup
yang hedonis, bermewah-mewah dan dekadensi akhlak.[7]
Reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam yang lebih mementingkan formalisme dan
legalisme dalam menjalankan syari'at Islam dan mementingkan pemikiran rasional
dalam pemahaman agama Islam.[8]
Pengaruh dari tradisi agama lain dan filsafat Yunani.[9]
Selanjutnya benih tasawuf ini tumbuh dan berkembang di
kalangan umat Islam sebagai sebuah gerakan yang massif. Perkembangan tasawuf
semakin besar dan kokoh, oleh karena praktek-praktek tasawuf tidak sekedar
menjadi pengamalan ritual yang bersifat personal dan pribadi, tetapi
dimantapkan melalui teoritisasi ajaran dan pembentukan kelompok-kelompok sufi
yang dikenal dengan nama tharekat.
Perkembangan Tasawuf hingga Kemunculan Tharekat
Proses terbentuknya tharekat tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
tasawuf secara umum. Hal ini karena pondasi dari organisasi tharekat ini adalah
sistem dan hubungan mursyid (guru pembimbing) dan murid (aspiran)
dalam otoritas dan bimbingan untuk melampaui tahap-tahap (maqamat) jalan
sufi. Tokoh-tokoh sufi pada periode awal lebih memperdulikan pendalaman
dibandingkan teoritisasi teosofi. Mereka berupaya membimbing para salik
(penempuh perjalanan spiritual), bukan mengajar, dan mengarahkan murid dalam
cara-cara bermeditasi yang dengannya si murid sendiri memperoleh wawasan ke
dalam kebenaran spiritual dan terbentengi dari bahwa ilusi-ilusi.[10]
Bahkan salah satu doktrin yang harus dipegang teguh dalam belajar tasawuf
adalah "Bertasawuf tanpa guru maka gurunya adalah syetan", atau menyendiri
bagi seorang murid adalah bagaikan racun yang mematikan sebagaimana diungkapkan
oleh tokoh sufi Junayd al-Baghdadi.[11]
Berikut pembabakan perkembangan tasawuf
hingga kemunculan tharekat :
a.
Masa Awal Pembentukan Tasawuf
Masa pembentukan tasawuf berjalan sekitar
abad I - II Hijriyah, yang oleh Taftazani disebut sebagai fase zuhud (eskatisme)
dengan ditandai munculnya individuindividu yang memusatkan din pada kehidupan
akherat. Mereka menekankan pentingnya peribadahan dengan konsepsi asketis dalam
kehidupan yang dijalani dengan tidak mementingkan makanan, pakaian ataupun tempat
tinggal.[12]
Pada tahun pertama tersebutlah nama-nama
seperti Abu al-Darna, Abu Dzar al-Ghiffari, Bahlul ibn Zuaib, dan Kahmas
al-Hilali. Pada tahun kedua, gerakan zuhud sebagai gerakan protes moral yang
massif terutama yang diperlihatkan oleh para pembesar negeri dan hartawan
melalui pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal Sebagaimana
ditunjukkan oleh Hasan Al Basri (w. 110 H) dengan ajarannya khauf dan raja',
mempertebal takut dan harap hanya kepada Tuhan.[13]
Hasan al-Bash ini dalam ensiklopedi Tazkirat al-Awliya' karangan Fariduddin
Attar, disebut pertama kali.[14]
untuk menandai mulainya gerakan para 'arif dengan mengarang kitab Ri’ayat
Huquq Allah, yang menurut Nicholson menjadi kitab pertama tentang
pedoman jalan para sufi.[15]
Pada abad-abad ini tokoh-tokoh spiritualis
Islam yang terkemuka menjadi sandaran dan pusat pembelajaran untuk menempuh
jalan menuju pengetahuan dan hubungan dengan Tuhan. Sekelompok murid berkumpul
mengelilingi seorang guru sufisme terkenal, mencari pelatihan melalui persatuan
dan kebersamaan, tetapi tidak terikat oleh tali upacara tapabrata atau baiat
apapun.[16]
Proses pembelajaran tasawuf berjalan sangar longgar dan mobii; para peziarah
melaksanakan perjalanan jauh mencari guru-guru dan akhirnya pondasi-pondasi
yang berfungsi sebagai pusat-pusat bagi para musyafir ini muncul dalam bentuk
tempat-tempat perkumpulan. Di kawasan-kawasan Arab dikenal pondok-pondok yang
disebut Ribath, yang di Khurasan dikaitkan dengan rumah-rumah peristirahatan (khanaqah),
sementara yang lain adalah tempat pengucilan diri (khalwah atau zawiyyah)
seorang pembimbing spiritual. Kesemuanya ini mengandung maksud biara sufi.[17]
Ribath` yang awal didirikan di Pulau 'Abadan di teluk Persia oleh ‘Abd al-Wahid
ibn Zaid (w.177/793). Sejumlah ribath yang lain didirikan di dekat Bizantium
dan di Afrika Utara. Pusat-pusat untuk orang-orang shaleh didirikan di Damaskus
sekitar tahun 150/767, di Ramlah Ibukota Palestina, yang didirikan oleh seorang
amir Kristen sebelum 800 M., di Khurasan kurang lebih pada waktu yang sama,
sementara muncul di Alexandria suatu organisasi (tha'ifah) yang menyebut
dirinya ash-shufiyya’ pada tahun 200 H.[18]
Maraknya pertumbuhan pusat-pusat tasawuf di
antaranya adalah faktor perpindahan pusat kekuasaan dari Syam ke Irak dan
Bagdad yang merupakan pusat-pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, selain
juga karena semakin luasnya jangkauan wilayah Islam, semakin lekat
persentuhannya dengan tradisi dan agama agama lain.[19]
b.
Masa Pengembangan Tasawuf
Masa ini dilalui dalam kurun waktu abad III
dan IV Hijriyah ditandai dengan beralihnya asketisme Islam kepada pola tasawuf
(sufisme), mulai muncul dan berkembang ilmu tasawuf yang semula hanya
pengetahuan praktis dan semacam langgam keagamaan menjadi konsep intuisi, al-kasyf
dan dzauq.[20]
Terlebih pada masa tersebut dunia Islam tengah dibanjiri berbagai khazanah
filsafat Yunani yang diterjemahkan dan menjadi bacaan umum di masyarakat Muslim
serta penulisan bukubuku ilmiah.[21]
Selain itu juga pada masa ini gerakan Syiah (daulah Fathimiyyah) dan daulah
Buwaihi di Persia adalah wilayah yang lekat dengan pandangan mistisisme
tradisional, dan hal ini menambah semarak perkembangan tasawuf.[22]
Pertentangan para mutakallimin (teolog) dengan pandangan-pandangan teologinya
yang sistematis, nampaknya juga memicu kaum sufi menteoritisasikan
ajaran-ajaran tasawuf mereka.[23]
Pada abad-abad tersebut muncullah 2 corak
tasawuf, yakni pertama, aliran tasawuf sunni yaitu aliran para sufi yang
pendapat-pendapatnya moderat dengan selalu berlandaskan pada syari'ah dengan
rujukan Al-Qur'an dan As-Sunah. Dimulai dengan Junayd al-Baghdadi (w. 297 H)
yang meletakkan dasar-dasar ajaran tasawuf dan tharekat, cara mengajar dan
belajar tasawuf, syekh, mursyid, murid dan murid, sehingga ia
digelari Syekh al-Thaifah (ketua rombongan suci).[24]
Coraknya lebih Sunni, kompromistis dengan kelompok formalis, dan didasarkan
pada ketidakmabukkan yang karenanya corak inilah yang dianggap paling aman.[25]
Corak kedua, aliran tasawuf “semi” falsafi yaitu aliran para sufi
yang telah terpesona oleh keadaan-keadaan. fana' dengan syathahat,
dan di antaranya menunjukkan kecenderungan metafisis.[26]'
Tokohnya adalah Abu Yazid al-Bistami (w. 261 H) yang pertama memperkenalkan
doktrin fana', yang mewakili corak falsafi dengan ciri ghalabah (ekstase),
illuminatif, dar sukr (mabuk).[27]
Tasawuf yang semula hanyalah praktek-praktek
individual dalam pencapaian hubungan dengan Tuhan, pada masa ini menjadi lebih
jelas bentuknya oleh karena upaya teoritisasi ajaran-ajaran tasawuf terutama.
oleh tasawuf semi-falsafi, maupun sistem hubungan antara guru dan murid,
sebagaimana yang dilakukan oleh Junayd al-Baghdadi.
c.
Masa Konsolidasi Tasawuf
Masa ini berada pada abad V H. / XI M.,
dimana dua aliran tasawuf pada masa sebelumnya saling bertentangan yang akhirnya
dimenangkan oleh tasawuf Sunni. Kelompok ini terdukung oleh dominasi aliran
teologi Ahl Sunnah wal Jama'ah sang dipelopori Abu Hasan al-Asy'ary (w.
324 H) dan keras melakukan kritik terhadap keekstriman tasawuf Abu Yazid
al-Busthami, dan al-Hallaj atas ungkapannya maupun penyimpangan lainnya. Oleh
karena itu corak tasawuf pada fase ini cenderung mengalami pembaharuan dengan
mengembalikan pada landasan al-Qur’an dan as-Sunah,[28]
yang menurut Annemarie Schimmel disebut periode konsolidasi.[29]
Hal ini dapat dipahami karena setting politik pada waktu itu dipegang oleh al
Mutawakil (memerintah 232-247 H/ 847-861 M) dari Daulah Abbasiyah yang menjadikan.
"Aswaja" sebagai ideologi negara.[30]
Pada abad-abad ini, tempat-tempat
berkumpulnya para sufi yang membentuk kelompok dengan karakter berlainan tumbuh
semakin banyak, di antaranya berkat al-Ghazali (450-505 H) yang memadukan syari’ah
dan tasawuf melalui jalur Ahl Sunah wal Jama'ah sehingga benar-benar
bercorak Islam[31] dan menjadikan tasawuf
dapat diterima secara lebih luas.[32]
Meskipun demikian mereka masih mempertahankan karakter mereka sebagai
kumpulan-kumpulan individu yang menempuh jalan mereka sendiri, sesungguhpun
mereka dikaitkan dengan dan mencari bimbingan dari orang-orang yang
berpengalaman dan menundukkan diri mereka kepada bimbingan-bimbingan seperti
itu. Aturan-aturan persahabatan (shuhbah) sufi semacam itu pada akhirnya
menjadi kewajiban religius, dan menjadi dasar pembentukan tharekat pada
abad-abad setelahnya.[33]
d.
Masa Pembentukan Tharekat
Pada abad VI H, posisi tasawuf sunni semakin
menguat. Meskipun pada masa ini pula tasawuf falsafi kembali muncul dengan
mengkompromikan makna term-term filsafat dengan tasawuf,[34]
semisal tokohnya Muhyiddin Ibn al-‘Arabi (w. 638) dengan konsep ‘Wahdat al-Wujud,
Syihabuddin Surahwardi a!-Maqtul (yang terbunuh) (w. 581/590 H) dengan teori Isyraqivah
(pancaran, illuminasi), dan sebagainya.[35]
Maraknya pusat-pusat sufi ini dapat dipahami dengan melihat setting politik
pemerintahan Bani Seljuq saat itu, yang merupakan pendukung sunnah dan memusuhi
kelompok Syi'ah.[36] Pusat-pusat tasawuf pada
akhirnya membentuk sistem persahabatan yang khas dan mulailah hubungan mursyid
dan murid dalam menempuh jalan spiritual (thariq) menjadi baku.
Pada masa sebelum ini kata tharekat, Thariq
berarti jalan atau cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang
menempuh hidup sufi. Namun setelah abad V-VI H/11 M. tharekat mempunyai
pengertian suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani
dan jasmani pada segolongan kaum muslimin menurut ajaran dan keyakinan
tertentu.[37] Dalam kasus ini
sekelompok atau sejumlah sufi yang bergabung dengan seorang guru (syaikh) dan
tunduk di bawah aturan-aturan terinci dalam jalan rohaniah yang hidup secara
kolektif di berbagai zawiyah, rabath. dan khanaqah, atau
berkumpul secara periodik dalam acara-acara tertentu, sera mengadakan berbagai
pertemuan ilmiah maupun rohaniah yang teratur.[38]
Misalnya di Syiraz, kelompok Sufi menampilkan
dzikir (yukabir) di dalam masjid-masjid mereka setelah shalat Jumat dan
melantunkan shalawat atas Nabi Saw. dari atas mimbar. Bahkan suatu gerakan yang
terorganisasi, Karramiyyah pada jaman itu (sekitar 975 M) sangat efektif,
dengan mempunyai khanaqah di seluruh Asia Islam, dan tampaknya dari
merekalah kaum sufi membangun cistern khanaqah.[39]
Demikian juga dengan terjadinya perubahan
sikap kaum legalis Islam yang semula memusuhi sufisme, menjadi mengintegrasikan
sufisme dengan kaidah formal agama. Hal ini telah diawali oleh al-Sulami,
al-Qusyairi, dan al-Ghazali tentang gagasan kebutuhan-kebutuhan religius selain
ritual yang disucikan dan ditetapkan oleh hukum.[40]
Hal-hal ini semakin memantapkan corak tasawuf sunni Dan demi mengawasi
"jalan" komunikasi dengan Tuhan yang tidak tersesat, maka keberadaan
kelompok-kelompok sufi dengan seorang guru yang telah terkenal 'alim,
memiliki hubungan dengan ortodoksi dan menjamin penerimaan atas hukum dan
praktek ritual Islam. menjadi lebih dapat diterima.[41]
Sementara itu pergolakan penaklukan Mongol
atas Baghdad tahun 1258 yang dibarengi dengan migrasi besar-besaran kaum sufi
yang dengannya telah menjadi gerakan pedesaan dan perkotaan sekaligus.[42]
Pada masa-masa inilah pertumbuhan tharekat
mengalami era keemasannya. Di antara tharekat tersebut adalah Tharekat
Suhrawardiyah yang dibangun oleh Diiva' al-din abu Najib al-Surahwardi
(1097-1168 M) yang kemudian dilanjutkan Shihabuddin Suhrawardi az-Zanjani (w.
630 H). Tharekat Rifa'iyyah oleh Ahmad ibn 'Ali al-Rifa'i (1106-1182). Tharekat
Qadiriyah oleh Abd al-Qadir Jilani (1077-1166 M). Ketiganya berada di wilayah
Mesopotania. Tharekat Mawlawiyah didirikan oleh Jalal ad-Din Rumi yang bergelar
Mawlana. Tharekat Naqsyabandiyah yang namanya dinisbatkan pada sebutan
tokoh besar tharekat ini Kwaja Baha' al-Din Muhammad bin Muhammad (1318-1389).
Keduanya dari wilayah Turki. Bahkan di Asia Timur (India) muncul tharekat
Chisytiyyah oleh Mu'in al-Din Hasan Chisyti (lahir di Sijistan 537/1142) dan
Suhrawardiyyah India dengan tokohnya Nur al-Din Mubarok Ghaznawi, seorang murid
dari Syihab al-Din al-Suhrawardi, dan masih banyak lagi tharekat yang lain .[43]
Penutup
Proses terbentuknya tharekat telah menyertai perjalanan
tasawuf dan para sufi. Proses ini berjalan beriringan dengan dinamika sosial
politik masyarakat yang melingkupinya. Perjalanan spiritual yang dilakukan para
mistikus Islam atau sufi ini bermula sebagai aktivitas etik, dan personal meskipun
mereka memiliki ikatan, persaudaraan secara batin, yakni sama-sama musyafir
kehadirat Allah. Tokoh-tokoh mistikus yang terkemuka kemudian menjadi sandaran
dan pusat pembelajaran dan pembimbingan dalam perjalanan spiritual.
Pada akhirnya suatu pusat, atau jamaah menjadi terpusat pada
seorang pembimbing dalam suatu cara yang baru dan beralih menjadi sebuah aliran
yang desain untuk melestarikan namanya, tehnis pengajarannya, latihan-latihan
mistiknva dan aturan-aturan kehidupannya. Setiap tharekat diturunkan melalui
mata rantai silsilah (isnad mistikal) yang berkesinambungan. Karenanya,
syeikh-syeikh keturunan adalah pewaris-pewaris spiritual sang pendiri Mereka
membentuk hubungan silaturahim batini dalam Islam dan memperkenalkan struktur
hirarkis dan model-model wawasan spiritual dan peribadatan. Pada akhirnya,
Melalui syeikh-syeikh yang telah mendapatkan otoritas dari sang guru atau
pewaris spiritual tharekat mengembangkannya ke berbagai penjuru daerah, dengan
tetap menisbatkan pada sang guru pendiri.
[1] Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisisme dalam Imam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 57.
[2] HR. Imam Muslim
[3] Harun Nasution, Falsafat,
56.
[4] Amin Syukur, Menggugat
Tasawuf (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), 29.
[5] Ibid., 7.
[6] Abu Al-Wafa' Al-Ghanami
Al-Tailazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung : Pustaka, 1985), 59.
[7] Rivay Siregar, Tasawuf dari
Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta : Rajawali Pers, 1994), 38.
[8] Amin Syukur,
"Menggugat...", Op.Cit., hlm.28.
[9] Harun Nasution, Falsafat,
58-59, lihat juga Raynold A. Nicholson, Mistik dalam Islam (Jakarta Bumi
Aksara, 1998), 8-15. Namun hal ini ditentang Taftazani bahwa dalam Islam tidak
mengenal sistem kerahiban, demikian juga pengaruh Hindu dan Buda menjadi
mustahil mengingat kemunculan tasawuf ada di daerah Timur Tengah dan dilakukan
oleh orang bangsa Arab. Pengaruh falsafah Yunani juga bertentangan dengan
konsep intuisi yang dikembangkan dalam tasawuf. Di sini intinya Taftazani
bermaksud untuk mengemukakan bahwa tasawuf adalah orisinal berangkat dari
ajaran dan tradisi Islam yang murni. Lihat Abu Al-Wafa' Al-Ghanami
Al-Taftazani, Sufi, 22-34.
[10] J. Spencer Trimingham, Madzhah
Sufi, terjemahan The Sufi Orders in Islam oleh Lukman Hakim (Bandung
: Pustaka, 1999), 3.
[11] Fariduddin Al-Attar, Tazkirah
al-Awliya', diterjemahkan Warisan Para Awliya' (Bandung : Pustaka. 1983),
265.
[12] Abu Al-Wafa' Al-Ghanami
Al-Taftazani, Sufi, 16.
[13] Amin Syukur, Menggugat,
30.
[14] Fariduddin Al-Attar, Tazkirah,
22
[15] Mutardla Muthahhari dan S.
M.H. Thabathaba'i, Menapak Jalan Spiritual, Terj. Nasrullah (Bandung :
Pustaka Hidayah, 1997), 39.
[16] J. Spencer Triminghani, Madzhab,
3-4.
[17] J. Spencer Trimingham, Madzhab,
4
[18] Ibid, 4-5
[19] Munthoha dkk., Pemikiran
dan Peradaban Islam (Yogyakarta : UII Press. 1998), 42.
[20] Rivay Siregar, Tasawuf,
37.
[21] Munthuha, dkk, Pemikiran,
45-46.
[22] Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram
Peradaban Muslim (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), 35.
[23] Ibid., 47-48
[24] Amin Syukur, Menggugat,
35.
[25] J. Spencer Trimingham, Madzab,
4.
[26] Abu Al-Wafa' Al-Ghanami
Al-Taftazani, Sufi, 95.
[27] J. Spencer Trimingham, Madzab,
4.
[28] Abu Al-Wafa' Al-Ghanami
Al-Tafazani, Sufi. 140.
[29] Annemarie Schimmel, Dimensi
Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono dkk: (Jakarta Pustaka
Firdaus, 1986), 78.
[30] Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram,
49.
[31] Abu Al-Wafa' Al-Ghanami
Al-Taftazani, Sufi, 155-156.
[32] Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram,
55.
[33] J. Spencer Trimingham, Madzab,
5.
[34] Annemarie Schimmel, Dimensi,
39.
[35] Ibid., 40.
[36] Ibid., 7.
[37] Asmaran As., Pengantar,
97.
[38] Abu Al-Wafa' Al-Ghanami
Al-Tafazani, Sufi, 235.
[39] J. Spencer Tiimingham, Madzab,
5.
[40] Ibid., 8.
[41] Ibid, 10
[42] Ibid., 12.
[43] Tentang tharekat ini lihat Abu
Al-Wafa' Al-Ghanami Al-Taftazani, Sufi, 234-244, Amin Syukur, Menggugat,
40-41, J. Spencer Trimingham, Madzhab, 33-61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar