Jumat, 20 Desember 2013

Perkembangan Tasawuf

"+"

PERKEMBANGAN TASAWUF
DAN MUNCULNYA THAREKAT



Pendahuluan
Tasawuf merupakan aspek mistisisme Islam atau dalam istilah Orientalis disebut sufisme, dan orang yang mengamalkan kehidupan tasawuf disebut kaum sufi. Dari etimologi ada beberapa teori tentang asal istilah tasawuf ini, tetapi yang paling sering dijadikan rujukan adalah Shaf, kain yang terbuat dari bulu wol. Bahan kain wol yang dikenakan kaum sufi adalah wol yang, kasar sebagai simbol kesederhanaan dan kemiskinan.[1]
Pada masa Nabi Muhammad SAW, telah dikenal tiga pilar ajaran Islam, yakni Iman, Islam, dan Ihsan. Tasawuf pada hakikatnya adalah perwujudan dari Ihsan tersebut dan menjadi ruh dari praktek ibadah dan rukun Islam, sebagaimana didefinisikan sendiri oleh Nabi Muhammad Saw. tentang Ihsan, yaitu "Hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Maka jika engkau tidak bisa melihat-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihatmu."[2] Oleh karena itu tasawuf atau sufisme memiliki tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar-benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.[3]
Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa Nab; Muhammad SAW, meskipun saat itu istilah tasawuf belum dikenal. Praktek hidup yang dekat dengan praktek tasawuf pada masa itu adalah Zuhud, dan dianggap sebagai cikal bakal gerakan tasawuf.[4] Istilah tasawuf baru dikenal mulai pada pertengahan abad III H. oleh Abu Hasyim al-Kufy al-Shuf (w.250 H) dengan meletakkan al-Sufi di belakang namanya, sebagaimana menurut Nicholson, bahwa sebelum itu telah banyak ahli zuhud, wara', tawakal dan mahabbah, tetapi dialah yang mendapatkan julukan al-Sufi pertama kali.[5]
Beberapa faktor yang mendorong perkembangan tasawuf ini antara lain: Ajaran Al-Qur’an dan As-Sunah yang mendorong agar umatnya beribadah, dan berperilaku baik.[6] Reaksi rohaniawan kaum muslim terhadap sistem sosial, politik, budaya dan ekonomi yang berkembang tetapi juga membawa konsekuensi pertikaian intern umat Islam dan pola hidup yang hedonis, bermewah-mewah dan dekadensi akhlak.[7] Reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam yang lebih mementingkan formalisme dan legalisme dalam menjalankan syari'at Islam dan mementingkan pemikiran rasional dalam pemahaman agama Islam.[8] Pengaruh dari tradisi agama lain dan filsafat Yunani.[9]
Selanjutnya benih tasawuf ini tumbuh dan berkembang di kalangan umat Islam sebagai sebuah gerakan yang massif. Perkembangan tasawuf semakin besar dan kokoh, oleh karena praktek-praktek tasawuf tidak sekedar menjadi pengamalan ritual yang bersifat personal dan pribadi, tetapi dimantapkan melalui teoritisasi ajaran dan pembentukan kelompok-kelompok sufi yang dikenal dengan nama tharekat.

Perkembangan Tasawuf hingga Kemunculan Tharekat
Proses terbentuknya tharekat tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tasawuf secara umum. Hal ini karena pondasi dari organisasi tharekat ini adalah sistem dan hubungan mursyid (guru pembimbing) dan murid (aspiran) dalam otoritas dan bimbingan untuk melampaui tahap-tahap (maqamat) jalan sufi. Tokoh-tokoh sufi pada periode awal lebih memperdulikan pendalaman dibandingkan teoritisasi teosofi. Mereka berupaya membimbing para salik (penempuh perjalanan spiritual), bukan mengajar, dan mengarahkan murid dalam cara-cara bermeditasi yang dengannya si murid sendiri memperoleh wawasan ke dalam kebenaran spiritual dan terbentengi dari bahwa ilusi-ilusi.[10] Bahkan salah satu doktrin yang harus dipegang teguh dalam belajar tasawuf adalah "Bertasawuf tanpa guru maka gurunya adalah syetan", atau menyendiri bagi seorang murid adalah bagaikan racun yang mematikan sebagaimana diungkapkan oleh tokoh sufi Junayd al-Baghdadi.[11]
Berikut pembabakan perkembangan tasawuf hingga kemunculan tharekat :
a.      Masa Awal Pembentukan Tasawuf
Masa pembentukan tasawuf berjalan sekitar abad I - II Hijriyah, yang oleh Taftazani disebut sebagai fase zuhud (eskatisme) dengan ditandai munculnya individu­individu yang memusatkan din pada kehidupan akherat. Mereka menekankan pentingnya peribadahan dengan konsepsi asketis dalam kehidupan yang dijalani dengan tidak mementingkan makanan, pakaian ataupun tempat tinggal.[12]
Pada tahun pertama tersebutlah nama-nama seperti Abu al-Darna, Abu Dzar al-­Ghiffari, Bahlul ibn Zuaib, dan Kahmas al-Hilali. Pada tahun kedua, gerakan zuhud sebagai gerakan protes moral yang massif terutama yang diperlihatkan oleh para pembesar negeri dan hartawan melalui pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal Sebagaimana ditunjukkan oleh Hasan Al Basri (w. 110 H) dengan ajarannya khauf dan raja', mempertebal takut dan harap hanya kepada Tuhan.[13] Hasan al-Bash ini dalam ensiklopedi Tazkirat al-Awliya' karangan Fariduddin Attar, disebut pertama kali.[14] untuk menandai mulainya gerakan para 'arif dengan mengarang kitab Ri’ayat Huquq Allah, yang menurut Nicholson menjadi kitab pertama tentang pedoman jalan para sufi.[15]
Pada abad-abad ini tokoh-tokoh spiritualis Islam yang terkemuka menjadi sandaran dan pusat pembelajaran untuk menempuh jalan menuju pengetahuan dan hubungan dengan Tuhan. Sekelompok murid berkumpul mengelilingi seorang guru sufisme terkenal, mencari pelatihan melalui persatuan dan kebersamaan, tetapi tidak terikat oleh tali upacara tapabrata atau baiat apapun.[16] Proses pembelajaran tasawuf berjalan sangar longgar dan mobii; para peziarah melaksanakan perjalanan jauh mencari guru-guru dan akhirnya pondasi-pondasi yang berfungsi sebagai pusat-pusat bagi para musyafir ini muncul dalam bentuk tempat-tempat perkumpulan. Di kawasan­-kawasan Arab dikenal pondok-pondok yang disebut Ribath, yang di Khurasan dikaitkan dengan rumah-rumah peristirahatan (khanaqah), sementara yang lain adalah tempat pengucilan diri (khalwah atau zawiyyah) seorang pembimbing spiritual. Kesemuanya ini mengandung maksud biara sufi.[17]
Ribath` yang awal didirikan di Pulau 'Abadan di teluk Persia oleh ‘Abd al­-Wahid ibn Zaid (w.177/793). Sejumlah ribath yang lain didirikan di dekat Bizantium dan di Afrika Utara. Pusat-pusat untuk orang-orang shaleh didirikan di Damaskus sekitar tahun 150/767, di Ramlah Ibukota Palestina, yang didirikan oleh seorang amir Kristen sebelum 800 M., di Khurasan kurang lebih pada waktu yang sama, sementara muncul di Alexandria suatu organisasi (tha'ifah) yang menyebut dirinya ash-shufiyya’ pada tahun 200 H.[18]
Maraknya pertumbuhan pusat-pusat tasawuf di antaranya adalah faktor perpindahan pusat kekuasaan dari Syam ke Irak dan Bagdad yang merupakan pusat-­pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, selain juga karena semakin luasnya jangkauan wilayah Islam, semakin lekat persentuhannya dengan tradisi dan agama­ agama lain.[19]

b.      Masa Pengembangan Tasawuf
Masa ini dilalui dalam kurun waktu abad III dan IV Hijriyah ditandai dengan beralihnya asketisme Islam kepada pola tasawuf (sufisme), mulai muncul dan berkembang ilmu tasawuf yang semula hanya pengetahuan praktis dan semacam langgam keagamaan menjadi konsep intuisi, al-kasyf dan dzauq.[20] Terlebih pada masa tersebut dunia Islam tengah dibanjiri berbagai khazanah filsafat Yunani yang diterjemahkan dan menjadi bacaan umum di masyarakat Muslim serta penulisan buku­buku ilmiah.[21] Selain itu juga pada masa ini gerakan Syiah (daulah Fathimiyyah) dan daulah Buwaihi di Persia adalah wilayah yang lekat dengan pandangan mistisisme tradisional, dan hal ini menambah semarak perkembangan tasawuf.[22] Pertentangan para mutakallimin (teolog) dengan pandangan-pandangan teologinya yang sistematis, nampaknya juga memicu kaum sufi menteoritisasikan ajaran-ajaran tasawuf mereka.[23]
Pada abad-abad tersebut muncullah 2 corak tasawuf, yakni pertama, aliran tasawuf sunni yaitu aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat dengan selalu berlandaskan pada syari'ah dengan rujukan Al-Qur'an dan As-Sunah. Dimulai dengan Junayd al-Baghdadi (w. 297 H) yang meletakkan dasar-dasar ajaran tasawuf dan tharekat, cara mengajar dan belajar tasawuf, syekh, mursyid, murid dan murid, sehingga ia digelari Syekh al-Thaifah (ketua rombongan suci).[24] Coraknya lebih Sunni, kompromistis dengan kelompok formalis, dan didasarkan pada ketidakmabukkan yang karenanya corak inilah yang dianggap paling aman.[25] Corak kedua, aliran tasawuf “semi” falsafi yaitu aliran para sufi yang telah terpesona oleh keadaan-keadaan. fana' dengan syathahat, dan di antaranya menunjukkan kecenderungan metafisis.[26]' Tokohnya adalah Abu Yazid al-Bistami (w. 261 H) yang pertama memperkenalkan doktrin fana', yang mewakili corak falsafi dengan ciri ghalabah (ekstase), illuminatif, dar sukr (mabuk).[27]
Tasawuf yang semula hanyalah praktek-praktek individual dalam pencapaian hubungan dengan Tuhan, pada masa ini menjadi lebih jelas bentuknya oleh karena upaya teoritisasi ajaran-ajaran tasawuf terutama. oleh tasawuf semi-falsafi, maupun sistem hubungan antara guru dan murid, sebagaimana yang dilakukan oleh Junayd al-­Baghdadi.

c.       Masa Konsolidasi Tasawuf
Masa ini berada pada abad V H. / XI M., dimana dua aliran tasawuf pada masa sebelumnya saling bertentangan yang akhirnya dimenangkan oleh tasawuf Sunni. Kelompok ini terdukung oleh dominasi aliran teologi Ahl Sunnah wal Jama'ah sang dipelopori Abu Hasan al-Asy'ary (w. 324 H) dan keras melakukan kritik terhadap keekstriman tasawuf Abu Yazid al-Busthami, dan al-Hallaj atas ungkapannya maupun penyimpangan lainnya. Oleh karena itu corak tasawuf pada fase ini cenderung mengalami pembaharuan dengan mengembalikan pada landasan al-Qur’an dan as­-Sunah,[28] yang menurut Annemarie Schimmel disebut periode konsolidasi.[29] Hal ini dapat dipahami karena setting politik pada waktu itu dipegang oleh al Mutawakil (memerintah 232-247 H/ 847-861 M) dari Daulah Abbasiyah yang menjadikan. "Aswaja" sebagai ideologi negara.[30]
Pada abad-abad ini, tempat-tempat berkumpulnya para sufi yang membentuk kelompok dengan karakter berlainan tumbuh semakin banyak, di antaranya berkat al-­Ghazali (450-505 H) yang memadukan syari’ah dan tasawuf melalui jalur Ahl Sunah wal Jama'ah sehingga benar-benar bercorak Islam[31] dan menjadikan tasawuf dapat diterima secara lebih luas.[32] Meskipun demikian mereka masih mempertahankan karakter mereka sebagai kumpulan-kumpulan individu yang menempuh jalan mereka sendiri, sesungguhpun mereka dikaitkan dengan dan mencari bimbingan dari orang­-orang yang berpengalaman dan menundukkan diri mereka kepada bimbingan­-bimbingan seperti itu. Aturan-aturan persahabatan (shuhbah) sufi semacam itu pada akhirnya menjadi kewajiban religius, dan menjadi dasar pembentukan tharekat pada abad-abad setelahnya.[33]

d.      Masa Pembentukan Tharekat
Pada abad VI H, posisi tasawuf sunni semakin menguat. Meskipun pada masa ini pula tasawuf falsafi kembali muncul dengan mengkompromikan makna term-term filsafat dengan tasawuf,[34] semisal tokohnya Muhyiddin Ibn al-‘Arabi (w. 638) dengan konsep ‘Wahdat al-Wujud, Syihabuddin Surahwardi a!-Maqtul (yang terbunuh) (w. 581/590 H) dengan teori Isyraqivah (pancaran, illuminasi), dan sebagainya.[35] Maraknya pusat-pusat sufi ini dapat dipahami dengan melihat setting politik pemerintahan Bani Seljuq saat itu, yang merupakan pendukung sunnah dan memusuhi kelompok Syi'ah.[36] Pusat-pusat tasawuf pada akhirnya membentuk sistem persahabatan yang khas dan mulailah hubungan mursyid dan murid dalam menempuh jalan spiritual (thariq) menjadi baku.
Pada masa sebelum ini kata tharekat, Thariq berarti jalan atau cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang menempuh hidup sufi. Namun setelah abad V-VI H/11 M. tharekat mempunyai pengertian suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani pada segolongan kaum muslimin menurut ajaran dan keyakinan tertentu.[37] Dalam kasus ini sekelompok atau sejumlah sufi yang bergabung dengan seorang guru (syaikh) dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci dalam jalan rohaniah yang hidup secara kolektif di berbagai zawiyah, rabath. dan khanaqah, atau berkumpul secara periodik dalam acara-acara tertentu, sera mengadakan berbagai pertemuan ilmiah maupun rohaniah yang teratur.[38]
Misalnya di Syiraz, kelompok Sufi menampilkan dzikir (yukabir) di dalam masjid-masjid mereka setelah shalat Jumat dan melantunkan shalawat atas Nabi Saw. dari atas mimbar. Bahkan suatu gerakan yang terorganisasi, Karramiyyah pada jaman itu (sekitar 975 M) sangat efektif, dengan mempunyai khanaqah di seluruh Asia Islam, dan tampaknya dari merekalah kaum sufi membangun cistern khanaqah.[39]
Demikian juga dengan terjadinya perubahan sikap kaum legalis Islam yang semula memusuhi sufisme, menjadi mengintegrasikan sufisme dengan kaidah formal agama. Hal ini telah diawali oleh al-Sulami, al-Qusyairi, dan al-Ghazali tentang gagasan kebutuhan-kebutuhan religius selain ritual yang disucikan dan ditetapkan oleh hukum.[40] Hal-hal ini semakin memantapkan corak tasawuf sunni Dan demi mengawasi "jalan" komunikasi dengan Tuhan yang tidak tersesat, maka keberadaan kelompok-­kelompok sufi dengan seorang guru yang telah terkenal 'alim, memiliki hubungan dengan ortodoksi dan menjamin penerimaan atas hukum dan praktek ritual Islam. menjadi lebih dapat diterima.[41]
Sementara itu pergolakan penaklukan Mongol atas Baghdad tahun 1258 yang dibarengi dengan migrasi besar-besaran kaum sufi yang dengannya telah menjadi gerakan pedesaan dan perkotaan sekaligus.[42]
Pada masa-masa inilah pertumbuhan tharekat mengalami era keemasannya. Di antara tharekat tersebut adalah Tharekat Suhrawardiyah yang dibangun oleh Diiva' al­-din abu Najib al-Surahwardi (1097-1168 M) yang kemudian dilanjutkan Shihabuddin Suhrawardi az-Zanjani (w. 630 H). Tharekat Rifa'iyyah oleh Ahmad ibn 'Ali al-Rifa'i (1106-1182). Tharekat Qadiriyah oleh Abd al-Qadir Jilani (1077-1166 M). Ketiganya berada di wilayah Mesopotania. Tharekat Mawlawiyah didirikan oleh Jalal ad-Din Rumi yang bergelar Mawlana. Tharekat Naqsyabandiyah yang namanya dinisbatkan pada sebutan tokoh besar tharekat ini Kwaja Baha' al-Din Muhammad bin Muhammad (1318-1389). Keduanya dari wilayah Turki. Bahkan di Asia Timur (India) muncul tharekat Chisytiyyah oleh Mu'in al-Din Hasan Chisyti (lahir di Sijistan 537/1142) dan Suhrawardiyyah India dengan tokohnya Nur al-Din Mubarok Ghaznawi, seorang murid dari Syihab al-Din al-Suhrawardi, dan masih banyak lagi tharekat yang lain .[43]

Penutup
Proses terbentuknya tharekat telah menyertai perjalanan tasawuf dan para sufi. Proses ini berjalan beriringan dengan dinamika sosial politik masyarakat yang melingkupinya. Perjalanan spiritual yang dilakukan para mistikus Islam atau sufi ini bermula sebagai aktivitas etik, dan personal meskipun mereka memiliki ikatan, persaudaraan secara batin, yakni sama-sama musyafir kehadirat Allah. Tokoh-tokoh mistikus yang terkemuka kemudian menjadi sandaran dan pusat pembelajaran dan pembimbingan dalam perjalanan spiritual.
Pada akhirnya suatu pusat, atau jamaah menjadi terpusat pada seorang pembimbing dalam suatu cara yang baru dan beralih menjadi sebuah aliran yang desain untuk melestarikan namanya, tehnis pengajarannya, latihan-latihan mistiknva dan aturan-aturan kehidupannya. Setiap tharekat diturunkan melalui mata rantai silsilah (isnad mistikal) yang berkesinambungan. Karenanya, syeikh-syeikh keturunan adalah pewaris-pewaris spiritual sang pendiri Mereka membentuk hubungan silaturahim batini dalam Islam dan memperkenalkan struktur hirarkis dan model-model wawasan spiritual dan peribadatan. Pada akhirnya, Melalui syeikh-syeikh yang telah mendapatkan otoritas dari sang guru atau pewaris spiritual tharekat mengembangkannya ke berbagai penjuru daerah, dengan tetap menisbatkan pada sang guru pendiri.




[1] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Imam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 57.
[2] HR. Imam Muslim
[3] Harun Nasution, Falsafat, 56.
[4] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), 29.
[5] Ibid., 7.
[6] Abu Al-Wafa' Al-Ghanami Al-Tailazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung : Pustaka, 1985), 59.
[7] Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta : Rajawali Pers, 1994), 38.
[8] Amin Syukur, "Menggugat...", Op.Cit., hlm.28.
[9] Harun Nasution, Falsafat, 58-59, lihat juga Raynold A. Nicholson, Mistik dalam Islam (Jakarta Bumi Aksara, 1998), 8-15. Namun hal ini ditentang Taftazani bahwa dalam Islam tidak mengenal sistem kerahiban, demikian juga pengaruh Hindu dan Buda menjadi mustahil mengingat kemunculan tasawuf ada di daerah Timur Tengah dan dilakukan oleh orang bangsa Arab. Pengaruh falsafah Yunani juga bertentangan dengan konsep intuisi yang dikembangkan dalam tasawuf. Di sini intinya Taftazani bermaksud untuk mengemukakan bahwa tasawuf adalah orisinal berangkat dari ajaran dan tradisi Islam yang murni. Lihat Abu Al-Wafa' Al-Ghanami Al-Taftazani, Sufi, 22-34.
[10] J. Spencer Trimingham, Madzhah Sufi, terjemahan The Sufi Orders in Islam oleh Lukman Hakim (Bandung : Pustaka, 1999), 3.
[11] Fariduddin Al-Attar, Tazkirah al-Awliya', diterjemahkan Warisan Para Awliya' (Bandung : Pustaka. 1983), 265.
[12] Abu Al-Wafa' Al-Ghanami Al-Taftazani, Sufi, 16.
[13] Amin Syukur, Menggugat, 30.
[14] Fariduddin Al-Attar, Tazkirah, 22
[15] Mutardla Muthahhari dan S. M.H. Thabathaba'i, Menapak Jalan Spiritual, Terj. Nasrullah (Bandung : Pustaka Hidayah, 1997), 39.
[16] J. Spencer Triminghani, Madzhab, 3-4.
[17] J. Spencer Trimingham, Madzhab, 4
[18] Ibid, 4-5
[19] Munthoha dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta : UII Press. 1998), 42.
[20] Rivay Siregar, Tasawuf, 37.
[21] Munthuha, dkk, Pemikiran, 45-46.
[22] Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), 35.
[23] Ibid., 47-48
[24] Amin Syukur, Menggugat, 35.
[25] J. Spencer Trimingham, Madzab, 4.
[26] Abu Al-Wafa' Al-Ghanami Al-Taftazani, Sufi, 95.
[27] J. Spencer Trimingham, Madzab, 4.
[28] Abu Al-Wafa' Al-Ghanami Al-Tafazani, Sufi. 140.
[29] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono dkk: (Jakarta Pustaka Firdaus, 1986), 78.
[30] Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram, 49.
[31] Abu Al-Wafa' Al-Ghanami Al-Taftazani, Sufi, 155-156.
[32] Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram, 55.
[33] J. Spencer Trimingham, Madzab, 5.
[34] Annemarie Schimmel, Dimensi, 39.
[35] Ibid., 40.
[36] Ibid., 7.
[37] Asmaran As., Pengantar, 97.
[38] Abu Al-Wafa' Al-Ghanami Al-Tafazani, Sufi, 235.
[39] J. Spencer Tiimingham, Madzab, 5.
[40] Ibid., 8.
[41] Ibid, 10
[42] Ibid., 12.
[43] Tentang tharekat ini lihat Abu Al-Wafa' Al-Ghanami Al-Taftazani, Sufi, 234-244, Amin Syukur, Menggugat, 40-41, J. Spencer Trimingham, Madzhab, 33-61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar