Refleksi
Menatap Masa Depan Agama
Adalah sebuah kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang pesat. Hal ini
sekaligus mengantarkan umat manusia kepada sebuah tata dunia tunggal. Termasuk
di dalamnya pergeseran ke arah kesatuan kultur intelektual dunia yang ditandai
dengan penerimaan pemuka-pemuka masyarakat global terhadap dimensi sekuler dari
kultur intelektual Barat. Kendati demikian, masih terdapat perbedaan signifikan
di dalam dimensi tersebut, terutama dalam aspek agama. Lebih jelasnya,
pergeseran ke arah kesatuan kultur intelektual dunia itu menuntut semua agama
agar mengkaji kembali dirinya menuju terbentuknya kesatuan tersebut.
A. Agama dan Budaya Global
Semua mafhum bahwa
pola pikir intelektual Barat yang sekuler telah menyebar ke berbagai pelosok
dunia. Karenanya, lahirnya tata dunia tampak didominasi oleh pola pikir
tersebut. Ini tidak berarti bahwa pola pikir itu menolak kritikan dari luar.
Kritikan tetap saja tetap bisa dilakukan. Apalagi, kultur intelektual Barat
sendiri selalu terbuka dengan kritikan yang datang dari mana saja. Hanya saja,
kritikan-kritikan itu tidak akan mengubahnya secara frontal, namun secara
gradual. Kritikan yang paling efektif untuk mengubah kultur intelektual Barat
adalah kritikan yang lahir dari dunia Barat sendiri.
Salah satu
kritik yang bisa dilancarkan adalah bahwa kultur intelektual Barat telah
terjebak ke dalam “pengetahuan untuk kekuasaan”, bukan “pengetahuan untuk
kehidupan”. Pada titik inilah budaya-budaya keagamaan menunjukkan
signifikansinya, sebab agama-agama memfokuskan diri pada “pengetahuan untuk
kehidupan”, bukan “pengetahuan untuk kekuasaan”.
Penting untuk
dikemukakan bahwa satu-satunya agama yang bersinggungan erat dengan kultur
intelektual Barat yang sekuler adalah (agama) Kristen. Hingga abad ke-16,
relasi kultur sekuler Barat dan Kristen laksana pasangan suami istri yang
sedang bulan madu; kemudian pasangan itu lambat-laun merenggang; dan pada abad
belakangan ini, keduanya terlibat dalam sebuah “jalinan yang kurang harmonis” (an
uneasy cohabitation).
Meskipun
lahirnya kultur dunia didominasi oleh dimensi-dimensi sekuler dari pola pikir
intelektual Barat, ia masih terbuka terhadap para pemeluk agama-agama dunia (the
world religions) untuk melengkapinya dengan kultur keagamaan mereka
sendiri. Jika diibaratkan, pola pikir Barat yang sekuler adalah sebuah frame-work
yang di dalamnya agama-agama itu berjalan, namun di dalam frame-work itulah
terdapat peluang bagi mereka untuk mengekspresikan pengalaman-pengalaman
kehidupan mereka sendiri.
Sebelum
melangkah lebih jauh mengenai relasi agama dan lahirnya kebudayaan dunia,
penting untuk diuraikan tentang persoalan umum yang dihadapi oleh agama-agama.
Salah satunya adalah kesulitan untuk memahami bahasa ikonik (iconic
language).
Semua agama
tentu berusaha untuk menjelaskan tentang hakikat kehidupan dan dunia di mana
mereka tinggal. Namun, semua usaha itu selalu tidak sempurna. Salah satu
ketidaksempurnaannya adalah diakibatkan oleh keterbatasan bahasa manusia untuk
mengartikulasikan hakikat tersebut. Pasalnya, bahasa manusia selalu
bersinggungan dengan obyek-obyek, baik matrial maupun sosial, yang ada di
sekelililingnya. Selain itu, ketika manusia mau mengutarakan sesuatu yang tidak
memiliki ungkapan primer, ia cenderung menggunakan ungkapan sekunder, misalnya,
“a river is running” (sungai mengalir). Ungkapan a river is running itu
memiliki makna bahwa apa yang dilakukan oleh sungai adalah sesuatu
yang seperti manusia atau binatang yang sedang berlari (running).
Atas dasar
itu, tidak mengherankan ketika pemuka-pemuka agama berusaha mendeskripsikan
tentang dunia, mereka menggunakan ungkapan sekunder. Ketika mereka berbicara
tentang “Tuhan”, mereka cenderung memikirkannya sebagai “sesuatu yang
seperti” manusia, terutama manusia yang super kuat atau seorang raja.
Ketika mereka berbicara mengenai Tuhan “menciptakan” dunia, mereka
memikirkannya sebagai “sesuatu yang seperti” perbuatan manusia yang
membuat sesuatu.
Mengingat
ungkapan-ungkapan keagamaan didasarkan atas ungkapan-ungkapan sekunder, yang
muncul dipermukaan adalah bahwa ungkapan-ungkapan itu seperti “mitos”.
Sayangnya, mitos sendiri memiliki makna ganda: positif dan negatif. Karenanya,
dalam konteks agama primitif, mitos sering bermakna sebagai sesuatu yang tidak
benar (something that was not true). Pemaknaan “mitos” secara negatif
ini yang cenderung banyak digunakan oleh banyak orang, termasuk para
kontributor buku The Myth of God Incarnate yang kebanyakan menggunakan
“mitos” dalam arti negatif.
Sesungguhnya,
selain kata “mitos” ada ungkapan lain yang bisa digunakan, yaitu “simbolik”.
Namun, menurut penulis, kata ini juga mengandung sejumlah arti, dan untuk itu
sebaiknya ia dihindari. Bertolak dari ragam makna yang dikandung dua ungkapan
itu, penulis artikel ini mengusulkan ungkapan baru, yaitu ungkapan “ikonik”.
Ungkapan “ikonik” adalah “sebuah representasi dua dimensi dari sebuah obyek
tiga dimensi” (a two-dimensional representation of a three-dimensional
object), dan karenanya ia merupakan sesuatu yang tidak sempurna, namun bisa
diterima sebagai representasi dari sesuatu yang nyata. Artinya, ungkapan
“ikonik” itu memungkinkan untuk mempersepsikan bahwa apa yang sedang
dibicarakan adalah tentang sesuatu yang riil.
Konsekuensinya,
ketika kita memakai ungkapan “ikonik”, maka perbedaan yang muncul bukanlah
perbedaan yang sebenarnya. Hal inilah yang harus menjadi pijakan setiap
membincangkan tentang perbandingan agama. Suatu agama barangkali berbicara
tentang Tuhan sebagai “sesuatu yang seperti” bapak, sementara yang lain
berbicara mengenai Tuhan sebagai “sesuatu yang seperti” ibu. Lantas,
apakah dua konsepsi itu bisa dikatakan berbeda? Hal itu tentunya tidak bisa
serta merta dipandang berbeda atau identik. Ia tergantung dari cara penyamaan
terhadap seorang “bapak” atau “ibu”. Penyamaan ini pun masih belum sempurna,
sehingga ia perlu diberi keterangan lebih lanjut. Nah, karena ungkapan yang
dipakai adalah ungkapan “ikonik” sehingga apa yang diutarakan adalah “sesuatu
yang seperti” yang dikatakan, maka sangat sulit untuk berbicara tentang
kebenaran mutlak (absolute truth). Satu-satunya yang mungkin diutarakan
adalah bahwa sistem kepercayaan itu benar-benar memuaskan.
Setelah
mendiskusikan hakikat bahasa agama, selanjutnya akan dibicarakan tentang
lahirnya tata dunia dan dua aspek yang relevan dengan pola pikir intektual
sekuler dari suatu agama, yaitu: penerimaan terhadap kepastian hasil sains dan
penerimaan terhadap metodologi sejarah modern.
Penting
ditekankan kepada umat beragama bahwa kepastian hasil sains hanya bisa diterima
di dalam suatu ruang yang cocok dengan sains (within the sphere proper to
science. Meski begitu, sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles, masih
terdapat suatu ruang di balik kepastian hasil sains tersebut, yang disebut
dengan metafisika. Di dalam ruang itulah, umat beragama bisa menyatakan
bahwa Tuhan merupakan Pencipta dari dunia ini. Pada posisi ini, sarjana agama
tidak bisa melahirkan konsep-konsep bagi ilmuwan untuk digunakan di dalam ruang
sains. Apa yang bisa dilakukannya adalah menyediakan sudut pandang yang lebih
komprehensif mengenai proses kosmik yang diciptakan oleh Tuhan, yang di
dalamnya para ilmuwan dapat bekerja secara bebas.
Hal lain yang
perlu diterima oleh umat beragama terhadap pola pikir Barat yang sekuler adalah
mengenai metodologi sejarah. Ini jauh lebih kompleks dibandingkan dengan
penerimaan terhadap hasil sains. Suatu karya sejarah bukanlah sekedar paparan
tentang serangkaian fakta-fakta sejarah, sebab fakta-fakta yang dipaparkan itu
diseleksi di dalam hubungannya dengan nilai-nilai tertentu. Sejarawan menulis
dari sudut pandang tertentu, di mana nilai-nilai tertetu ada di dalamnya.
Artinya, karya sejarah itu berkelindan dengan miliu, busaya, ideologi, dan
politik di mana mereka tinggal. Karenanya, ketika dua orang melihat suatu fakta
dari sudut pandang yang berbeda, maka hasilnya akan berbeda. Yang terpenting di
sini adalah bahwa, fakta-fakta yang disampaikan oleh sejarawan—apa pun
perspektifnya— jangan dikesampingkan.
Dalam hal ini,
kita juga bisa mengajukan konsep “potret-sejarah”, “history-picture”, yaitu
sesuatu yang diyakini sebagai sejarah meskipun tidak ada fakta-fakta sejarah
yang mendukungnya. Misalnya, umat Kristiani mengemu-kakan sejarah Wise Men
(Megi) yang membawa hadiah kepada Yesus (pada saat masih bayi) di
Bethlehem, meskipun hampir tidak ada dasar-dasar obyektif yang mendukungnya.
Demikian halnya dengan kaum Muslim. Dengan merujuk kepada Al-Qur’an, mereka
mengemukakan tentang Ibrahim dan Ismail di Mekkah, kendati Ibrahim jelas-jelas
tidak pernah sampai di Mekkah. Kedua hal itu mengekspresikan suatu kebenaran
yang penting bagi pemeluk kedua agama tersebut.
Khusus bagi
umat Muslim, pertanyaan yang muncul adalah apakah mereka bersedia untuk sharing
di dalam kehidupan “satu dunia”, yang kepadanya kepada kita (baca: Barat)
terus bergerak, atau apakah mereka tetap mengisolasi diri hingga akhir
kehidupan dunia mengingat mereka meyakini bahwa Islam merupakan agama yang
sempurna. Jika mereka ingin terlibat di dalamnya, mereka harus menerima
dimensi-dimensi sekuler dari lahirnya kultur dunia (they must accept secular
aspects of the emerging world) dan mencoba menunjukkan kepada yang lain
bagaimana nilai-nilai Islam melengkapi kultur sekuler itu. Jika umat Muslim
bersedia untuk ikut ambil bagian di dalam kehidupan politik dunia, maka ada
banyak hal yang dapat mereka lakukan.
B. Membumikan Pluralisme Agama
Setiap pemeluk
agama, khususnya Islam dan Kristen, meyakini bahwa agama mereka merupakan
satu-satunya agama yang paling benar, dan agama-agama lain adalah salah; mereka
juga meyakini bahwa hanya agama merekalah yang berasal dari Tuhan, sementara
yang lain tidak lebih dari kreasi manusia; atau hanya agama merekalah yang
benar-benar masih murni, sedangkan agama lain sudah banyak terdistorsi.
Hal semacam
ini tidak bisa (dan tidak boleh) dibawa ke dalam kultur dunia, sebab ilmu-ilmu
sosial merupakan bagian dari pola pikir intelektual Barat, dan
pengamatan-pengamatan sosial-ilmiah menunjukkan bahwa masing-masing pemeluk
agama melakukan sesuatu yang kurang lebih sama dan juga dengan tujuan yang
sama.
Kendati
masing-masing pemeluk agama sekedar meyakini bahwa hanya agama merekalah yang
paling baik, namun sulit sekali bagi mereka untuk melihat pemeluk-pemeluk agama
lain sebagai kaum yang sederajat (equal). Ini terjadi karena mereka
tidak mau menyadari bahwa bahasa agama yang mereka pakai adalah bahasa
“ikonik”, sebagaimana telah disinggung di muka. Mengingat bahasa agama yang
dipakai bersifat “ikonik”, maka tidak ada kriteria intelektual dari kebenaran
keyakinan tersebut, dan doktrin yang tampaknya bertentangan itu sejatinya tidak
bertentangan, namun saling melengkapi. Jika paradigma ini yang dipegang, tidak
akan ada justifikasi rasional yang membenarkan bahwa suatu agama lebih superior
dibandingkan dengan agama lain. Dengan demikian, setiap pemeluk agama akan bisa
memandang pemeluk agama lain sederajat.
Jika
direfleksikan, apa yang muncul dipermukaan sesungguhnya merupakan “buah” dari
pemikiran-pemikiran agama-agama itu sendiri. Bagi penulis buku ini, pandangan
teolog Kriten, misalnya, bahwa perbedaan di dalam agama-agama muncul dari
respon manusia terhadap Tuhan adalah pandangan yang kurang akurat. Pasalnya,
Tuhan tidak pernah muncul dengan wujud hakikinya, tetapi hanya sebatas
pandangan manusia terhadap aktivitas dan misteri-Nya di dalam kultur mereka
sendiri. Artinya, jika mereka berbicara tentang Tuhan, mereka berbicara dalam
term kultur, bahasa, dan kategori-kategori pemikiran mereka sendiri. Berawal
dari perbedaan budaya, bahasa, dan sudut pandang keagamaan inilah masalah
pluralisme agama muncul, yaitu masalah bagaimana hidup bersama.
Salah satu
solusi penting dalam hal ini adalah melalui dialog antar agama. Persoalannya,
apakah masing-masing [pemeluk] agama itu bersedia untuk berdialog atau justru
tetap berupaya untuk mengubah keyakinan pemeluk agama lain agar berpindah
kepada agama yang dianutnya?. Yang jelas, jika ingin agama-agama itu hidup
berdampingan secara damai, maka upaya-upaya untuk mengubah keyakinan orang lain
perlu dihindari. Tujuan terpenting dari aktivitas-aktivitas keagamaan adalah
bukan untuk mengubah keyakinan agama orang lain, melainkan untuk memperkuatnya
terhadap kelompok agamanya sendiri.
Dialog antar
agama bisa dilakukan dengan beragam bentuk, baik formal maupun informal. Yang
terpenting di dalam dialog itu adalah bahwa setiap partisipan harus dipandang
secara sederajat; masing-masing pihak wajib tetap komitmen terhadap agamanya
masing-masing; dan ia seyogyanya berpikir bahwa ada yang bisa diterima dan juga
diberikan (take and give). Tujuan dialog adalah agar masing-masing pihak
memiliki pemahaman yang lebih mendalam terhadap agamanya sendiri. Apa yang bisa
diharapkan dari dialog itu adalah pemahaman terhadap kebenaran masing-masing
agama, dan akan mengartikulasikan pemahaman itu ke dalam visinya tentang dunia.
Islam melandasi hal ini dengan prinsip “Tidak ada paksaan di dalam agama,” dan
“Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”. Dengan demikian, masing-masing
agama akan melihat agama lain sebagai mitra, bukan sebagai musuh.
C. Harapan terhadap Umat Kristiani
Setelah
diuraikan tentang pluralisme agama, ada sesuatu yang juga perlu diamati secara
lebih detail, yaitu harapan-harapan terhadap umat Kristiani. Hal terpenting
adalah bahwa agama-agama lain harus diterima dipandang setara. Pandangan
kesetaraan ini tentu saja bukan perkara gampang. Pasalnya, terdapat sejumlah
aspek yang mesti ditinggalkan oleh umat Kristiani, sekalipun oleh sebagian
pihak dianggap sangat sulit atau bahkan mustahil. Salah satunya adalah
keyakinan konsep umat pilihan (the chosen people): pertama semua umat
Ibrahim, kemudian orang-orang Israel, dan selanjutnya umat Kristen.
Konsep umat
pilihan sebetulnya bisa didekati dari dua sisi. Pertama, ia berarti bahwa
umat Ibrahim, orang-orang Israel, dan umat Kristen merupakan umat pilihan sebab
mereka lebih superior dibanding dengan individu-individu atau kelompok-kelompok
lain di sekitarnya dan mereka sangat bajik. Kedua, mereka menjadi umat
pilihan karena kemampuan mereka dalam mengemban tugas-tugas di masa depan,
yaitu untuk melakukan transmisi ilmu pengetahuan Tuhan kepada generasi-generasi
masa depan dan seluruh dunia. Pendekatan yang kedua ini tidak akan menjadikan
mereka eksklusif dari agama-agama lain. Misalnya, agama Islam yang dibawa oleh
Muhammad dipandang sebagai penyempurna dari risalah-risalah Tuhan. Jika
pemahaman ini yang dipegang oleh umat Kristen, mereka tidak akan menjadi
eksklusif.
Dalam rangka
membangun kultur global dengan pluralisme agama, ada beberapa saran (baca:
harapan) yang bisa diajukan di sini, antara lain:
1.
Umat
Kristen perlu melakukan dialog-dialog secara intens perihal perbedaan pandangan
tentang diri Yesus (the sonship of Jesus) yang berbeda antara
umat Kristen dengan umat-umat lainnya.
2.
Para
teolog Kristen dan penerjemah Bible perlu menyadari bahwa bergerak menuju hidup
berdampingan dengan agama-agama lain.
3.
Untuk
menghindari eksklusivisme yang tidak beralasan, para teolog Kristen seyogyanya
meninggalkan konsep trinitas yang masih misterius dan hanya dipahami oleh elit
agawaman Kristen.
4.
Umat
Kristen perlu duduk bersama dengan umat Muslim dan pemeluk agama-agama lainnya
mengenai keyakinan mereka bahwa Tuhan itu Esa, meskipun mereka tetap memandang
Yesus sebagai Tuhan.
5.
Umat
Kristen mesti mampu menjelaskan fakta-fakta sejarah kemanusiaan Yesus, kemudian
membiarkannya dicandra oleh pemeluk-pemeluk agama lain berdasarkan sudut
pandangan mereka masing-masing.
6.
Pandangan-pandangan
para pemeluk agama lain tentang Yesus jangan dikesampingkan, tetapi harus
diterima untuk didiskusikan lebih lanjut apakah pandangan-pandangan itu bisa
dijadikan sebagai formula alternatif atau tidak.
7.
Di
dalam berdialog dengan umat Muslim, umat Kristen harus menolak segala distorsi
terhadap kesan Islam pada abad pertengahan dan harus mengembangkan apresiasi
positif terhadap nilai-nilainya.
D. Harapan terhadap Umat Muslim
Seperti halnya
umat Kristen, ada sejumlah hal penting yang perlu dilakukan oleh umat Muslim,
antara lain:
1.
Umat
Muslim harus bersikap inklusif, sebab kebenaran Islam dan agama-agama lain
kemungkinan besar saling melengkapi.
2.
Mereka
perlu menafsirkan kembali mengenai kesempurnaan Islam dan Muhammad sebagai nabi
terakhir, sebab wahyu Tuhan turun secara serial. Dengan demikian, umat Muslim
harus memandang bahwa agama Hindu dan Buda, misalnya, juga menerima wahyu dari
Tuhan meskipun cara penerimaan mereka berbeda dengan [cara penerimaan]
Muhammad.
3.
Umat
Muslim juga perlu menerima sejarah Bible dan menolak doktrin-doktrin yang telah
diselewengkan, sebab Perjanjian Lama dan Baru bagi umat Kristen adalah identik
dengan kitab suci yang menginspirasi umat Yahudi dan Kristen sejak masa lalu.
4.
Hal
terpenting yang harus diterima oleh umat Muslim di dunia ini di mana terdapat
banyak agama adalah inti dari fakta sejarah tentang ajaran-ajaran dan prestasi
Yesus sebagai manusia, yang tanpa dibumbui oleh tafsir-tafsir teologis (the
theological interpretations).
5. Tidak diragukan bahwa seorang nabi atau
pemuka-pemuka agama memiliki banyak kebaikan, namun mereka tidak perlu sempurna
di dalam banyak hal. Inilah yang perlu diterima oleh umat Muslim.
E. Merajut Harmoni Agama-agama
Mengamati
uraian-uraian di atas, terlihat jelas banyak pijakan bagi munculnya pemikiran
bahwa agama dunia yang tunggal bukanlah sesuatu yang diharapkan. Atas dasar
itu, tujuan terpenting yang harus digapai di masa mendatang adalah harmoni
agama-agama. Dengan demikian, para pemeluk agama mengartikulasikan keyakinannya
di dalam kebutuhan-kebutuhan sosial, politik, etika dan ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar