Kamis, 19 Desember 2013

Masa Depan Agama

"+"

Refleksi 
Menatap Masa Depan Agama 




Adalah sebuah kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Hal ini sekaligus mengantarkan umat manusia kepada sebuah tata dunia tunggal. Termasuk di dalamnya pergeseran ke arah kesatuan kultur intelektual dunia yang ditandai dengan penerimaan pemuka-pemuka masyarakat global terhadap dimensi sekuler dari kultur intelektual Barat. Kendati demikian, masih terdapat perbedaan signifikan di dalam dimensi tersebut, terutama dalam aspek agama. Lebih jelasnya, pergeseran ke arah kesatuan kultur intelektual dunia itu menuntut semua agama agar mengkaji kembali dirinya menuju terbentuknya kesatuan tersebut.

A. Agama dan Budaya Global
         Semua mafhum bahwa pola pikir intelektual Barat yang sekuler telah menyebar ke berbagai pelosok dunia. Karenanya, lahirnya tata dunia tampak didominasi oleh pola pikir tersebut. Ini tidak berarti bahwa pola pikir itu menolak kritikan dari luar. Kritikan tetap saja tetap bisa dilakukan. Apalagi, kultur intelektual Barat sendiri selalu terbuka dengan kritikan yang datang dari mana saja. Hanya saja, kritikan-kritikan itu tidak akan mengubahnya secara frontal, namun secara gradual. Kritikan yang paling efektif untuk mengubah kultur intelektual Barat adalah kritikan yang lahir dari dunia Barat sendiri. 
             Salah satu kritik yang bisa dilancarkan adalah bahwa kultur intelektual Barat telah terjebak ke dalam “pengetahuan untuk kekuasaan”, bukan “pengetahuan untuk kehidupan”. Pada titik inilah budaya-budaya keagamaan menunjukkan signifikansinya, sebab agama-agama memfokuskan diri pada “pengetahuan untuk kehidupan”, bukan “pengetahuan untuk kekuasaan”.
             Penting untuk dikemukakan bahwa satu-satunya agama yang bersinggungan erat dengan kultur intelektual Barat yang sekuler adalah (agama) Kristen. Hingga abad ke-16, relasi kultur sekuler Barat dan Kristen laksana pasangan suami istri yang sedang bulan madu; kemudian pasangan itu lambat-laun merenggang; dan pada abad belakangan ini, keduanya terlibat dalam sebuah “jalinan yang kurang harmonis” (an uneasy cohabitation).
            Meskipun lahirnya kultur dunia didominasi oleh dimensi-dimensi sekuler dari pola pikir intelektual Barat, ia masih terbuka terhadap para pemeluk agama-agama dunia (the world religions) untuk melengkapinya dengan kultur keagamaan mereka sendiri. Jika diibaratkan, pola pikir Barat yang sekuler adalah sebuah frame-work yang di dalamnya agama-agama itu berjalan, namun di dalam frame-work itulah terdapat peluang bagi mereka untuk mengekspresikan pengalaman-pengalaman kehidupan mereka sendiri.
            Sebelum melangkah lebih jauh mengenai relasi agama dan lahirnya kebudayaan dunia, penting untuk diuraikan tentang persoalan umum yang dihadapi oleh agama-agama. Salah satunya adalah kesulitan untuk memahami bahasa ikonik (iconic language).
           Semua agama tentu berusaha untuk menjelaskan tentang hakikat kehidupan dan dunia di mana mereka tinggal. Namun, semua usaha itu selalu tidak sempurna. Salah satu ketidaksempurnaannya adalah diakibatkan oleh keterbatasan bahasa manusia untuk mengartikulasikan hakikat tersebut. Pasalnya, bahasa manusia selalu bersinggungan dengan obyek-obyek, baik matrial maupun sosial, yang ada di sekelililingnya. Selain itu, ketika manusia mau mengutarakan sesuatu yang tidak memiliki ungkapan primer, ia cenderung menggunakan ungkapan sekunder, misalnya, “a river is running” (sungai mengalir). Ungkapan a river is running itu memiliki makna bahwa apa yang dilakukan oleh sungai adalah sesuatu yang seperti manusia atau binatang yang sedang berlari (running).
         Atas dasar itu, tidak mengherankan ketika pemuka-pemuka agama berusaha mendeskripsikan tentang dunia, mereka menggunakan ungkapan sekunder. Ketika mereka berbicara tentang “Tuhan”, mereka cenderung memikirkannya sebagai “sesuatu yang seperti” manusia, terutama manusia yang super kuat atau seorang raja. Ketika mereka berbicara mengenai Tuhan “menciptakan” dunia, mereka memikirkannya sebagai “sesuatu yang seperti” perbuatan manusia yang membuat sesuatu.
         Mengingat ungkapan-ungkapan keagamaan didasarkan atas ungkapan-ungkapan sekunder, yang muncul dipermukaan adalah bahwa ungkapan-ungkapan itu seperti “mitos”. Sayangnya, mitos sendiri memiliki makna ganda: positif dan negatif. Karenanya, dalam konteks agama primitif, mitos sering bermakna sebagai sesuatu yang tidak benar (something that was not true). Pemaknaan “mitos” secara negatif ini yang cenderung banyak digunakan oleh banyak orang, termasuk para kontributor buku The Myth of God Incarnate yang kebanyakan menggunakan “mitos” dalam arti negatif.
          Sesungguhnya, selain kata “mitos” ada ungkapan lain yang bisa digunakan, yaitu “simbolik”. Namun, menurut penulis, kata ini juga mengandung sejumlah arti, dan untuk itu sebaiknya ia dihindari. Bertolak dari ragam makna yang dikandung dua ungkapan itu, penulis artikel ini mengusulkan ungkapan baru, yaitu ungkapan “ikonik”. Ungkapan “ikonik” adalah “sebuah representasi dua dimensi dari sebuah obyek tiga dimensi” (a two-dimensional representation of a three-dimensional object), dan karenanya ia merupakan sesuatu yang tidak sempurna, namun bisa diterima sebagai representasi dari sesuatu yang nyata. Artinya, ungkapan “ikonik” itu memungkinkan untuk mempersepsikan bahwa apa yang sedang dibicarakan adalah tentang sesuatu yang riil.     
          Konsekuensinya, ketika kita memakai ungkapan “ikonik”, maka perbedaan yang muncul bukanlah perbedaan yang sebenarnya. Hal inilah yang harus menjadi pijakan setiap membincangkan tentang perbandingan agama. Suatu agama barangkali berbicara tentang Tuhan sebagai “sesuatu yang seperti” bapak, sementara yang lain berbicara mengenai Tuhan sebagai “sesuatu yang seperti” ibu. Lantas, apakah dua konsepsi itu bisa dikatakan berbeda? Hal itu tentunya tidak bisa serta merta dipandang berbeda atau identik. Ia tergantung dari cara penyamaan terhadap seorang “bapak” atau “ibu”. Penyamaan ini pun masih belum sempurna, sehingga ia perlu diberi keterangan lebih lanjut. Nah, karena ungkapan yang dipakai adalah ungkapan “ikonik” sehingga apa yang diutarakan adalah “sesuatu yang seperti” yang dikatakan, maka sangat sulit untuk berbicara tentang kebenaran mutlak (absolute truth). Satu-satunya yang mungkin diutarakan adalah bahwa sistem kepercayaan itu benar-benar memuaskan.
          Setelah mendiskusikan hakikat bahasa agama, selanjutnya akan dibicarakan tentang lahirnya tata dunia dan dua aspek yang relevan dengan pola pikir intektual sekuler dari suatu agama, yaitu: penerimaan terhadap kepastian hasil sains dan penerimaan terhadap metodologi sejarah modern.
         Penting ditekankan kepada umat beragama bahwa kepastian hasil sains hanya bisa diterima di dalam suatu ruang yang cocok dengan sains (within the sphere proper to science. Meski begitu, sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles, masih terdapat suatu ruang di balik kepastian hasil sains tersebut, yang disebut dengan metafisika. Di dalam ruang itulah, umat beragama bisa menyatakan bahwa Tuhan merupakan Pencipta dari dunia ini. Pada posisi ini, sarjana agama tidak bisa melahirkan konsep-konsep bagi ilmuwan untuk digunakan di dalam ruang sains. Apa yang bisa dilakukannya adalah menyediakan sudut pandang yang lebih komprehensif mengenai proses kosmik yang diciptakan oleh Tuhan, yang di dalamnya para ilmuwan dapat bekerja secara bebas.
                Hal lain yang perlu diterima oleh umat beragama terhadap pola pikir Barat yang sekuler adalah mengenai metodologi sejarah. Ini jauh lebih kompleks dibandingkan dengan penerimaan terhadap hasil sains. Suatu karya sejarah bukanlah sekedar paparan tentang serangkaian fakta-fakta sejarah, sebab fakta-fakta yang dipaparkan itu diseleksi di dalam hubungannya dengan nilai-nilai tertentu. Sejarawan menulis dari sudut pandang tertentu, di mana nilai-nilai tertetu ada di dalamnya. Artinya, karya sejarah itu berkelindan dengan miliu, busaya, ideologi, dan politik di mana mereka tinggal. Karenanya, ketika dua orang melihat suatu fakta dari sudut pandang yang berbeda, maka hasilnya akan berbeda. Yang terpenting di sini adalah bahwa, fakta-fakta yang disampaikan oleh sejarawan—apa pun perspektifnya— jangan dikesampingkan.
              Dalam hal ini, kita juga bisa mengajukan konsep “potret-sejarah”, “history-picture”, yaitu sesuatu yang diyakini sebagai sejarah meskipun tidak ada fakta-fakta sejarah yang mendukungnya. Misalnya, umat Kristiani mengemu-kakan sejarah Wise Men (Megi) yang membawa hadiah kepada Yesus (pada saat masih bayi) di Bethlehem, meskipun hampir tidak ada dasar-dasar obyektif yang mendukungnya. Demikian halnya dengan kaum Muslim. Dengan merujuk kepada Al-Qur’an, mereka mengemukakan tentang Ibrahim dan Ismail di Mekkah, kendati Ibrahim jelas-jelas tidak pernah sampai di Mekkah. Kedua hal itu mengekspresikan suatu kebenaran yang penting bagi pemeluk kedua agama tersebut. 
             Khusus bagi umat Muslim, pertanyaan yang muncul adalah apakah mereka bersedia untuk sharing di dalam kehidupan “satu dunia”, yang kepadanya kepada kita (baca: Barat) terus bergerak, atau apakah mereka tetap mengisolasi diri hingga akhir kehidupan dunia mengingat mereka meyakini bahwa Islam merupakan agama yang sempurna. Jika mereka ingin terlibat di dalamnya, mereka harus menerima dimensi-dimensi sekuler dari lahirnya kultur dunia (they must accept secular aspects of the emerging world) dan mencoba menunjukkan kepada yang lain bagaimana nilai-nilai Islam melengkapi kultur sekuler itu. Jika umat Muslim bersedia untuk ikut ambil bagian di dalam kehidupan politik dunia, maka ada banyak hal yang dapat mereka lakukan.


B. Membumikan Pluralisme Agama
            Setiap pemeluk agama, khususnya Islam dan Kristen, meyakini bahwa agama mereka merupakan satu-satunya agama yang paling benar, dan agama-agama lain adalah salah; mereka juga meyakini bahwa hanya agama merekalah yang berasal dari Tuhan, sementara yang lain tidak lebih dari kreasi manusia; atau hanya agama merekalah yang benar-benar masih murni, sedangkan agama lain sudah banyak terdistorsi.
           Hal semacam ini tidak bisa (dan tidak boleh) dibawa ke dalam kultur dunia, sebab ilmu-ilmu sosial merupakan bagian dari pola pikir intelektual Barat, dan pengamatan-pengamatan sosial-ilmiah menunjukkan bahwa masing-masing pemeluk agama melakukan sesuatu yang kurang lebih sama dan juga dengan tujuan yang sama.
       Kendati masing-masing pemeluk agama sekedar meyakini bahwa hanya agama merekalah yang paling baik, namun sulit sekali bagi mereka untuk melihat pemeluk-pemeluk agama lain sebagai kaum yang sederajat (equal). Ini terjadi karena mereka tidak mau menyadari bahwa bahasa agama yang mereka pakai adalah bahasa “ikonik”, sebagaimana telah disinggung di muka. Mengingat bahasa agama yang dipakai bersifat “ikonik”, maka tidak ada kriteria intelektual dari kebenaran keyakinan tersebut, dan doktrin yang tampaknya bertentangan itu sejatinya tidak bertentangan, namun saling melengkapi. Jika paradigma ini yang dipegang, tidak akan ada justifikasi rasional yang membenarkan bahwa suatu agama lebih superior dibandingkan dengan agama lain. Dengan demikian, setiap pemeluk agama akan bisa memandang pemeluk agama lain sederajat.
        Jika direfleksikan, apa yang muncul dipermukaan sesungguhnya merupakan “buah” dari pemikiran-pemikiran agama-agama itu sendiri. Bagi penulis buku ini, pandangan teolog Kriten, misalnya, bahwa perbedaan di dalam agama-agama muncul dari respon manusia terhadap Tuhan adalah pandangan yang kurang akurat. Pasalnya, Tuhan tidak pernah muncul dengan wujud hakikinya, tetapi hanya sebatas pandangan manusia terhadap aktivitas dan misteri-Nya di dalam kultur mereka sendiri. Artinya, jika mereka berbicara tentang Tuhan, mereka berbicara dalam term kultur, bahasa, dan kategori-kategori pemikiran mereka sendiri. Berawal dari perbedaan budaya, bahasa, dan sudut pandang keagamaan inilah masalah pluralisme agama muncul, yaitu masalah bagaimana hidup bersama.
         Salah satu solusi penting dalam hal ini adalah melalui dialog antar agama. Persoalannya, apakah masing-masing [pemeluk] agama itu bersedia untuk berdialog atau justru tetap berupaya untuk mengubah keyakinan pemeluk agama lain agar berpindah kepada agama yang dianutnya?. Yang jelas, jika ingin agama-agama itu hidup berdampingan secara damai, maka upaya-upaya untuk mengubah keyakinan orang lain perlu dihindari. Tujuan terpenting dari aktivitas-aktivitas keagamaan adalah bukan untuk mengubah keyakinan agama orang lain, melainkan untuk memperkuatnya terhadap kelompok agamanya sendiri.
         Dialog antar agama bisa dilakukan dengan beragam bentuk, baik formal maupun informal. Yang terpenting di dalam dialog itu adalah bahwa setiap partisipan harus dipandang secara sederajat; masing-masing pihak wajib tetap komitmen terhadap agamanya masing-masing; dan ia seyogyanya berpikir bahwa ada yang bisa diterima dan juga diberikan (take and give). Tujuan dialog adalah agar masing-masing pihak memiliki pemahaman yang lebih mendalam terhadap agamanya sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari dialog itu adalah pemahaman terhadap kebenaran masing-masing agama, dan akan mengartikulasikan pemahaman itu ke dalam visinya tentang dunia. Islam melandasi hal ini dengan prinsip “Tidak ada paksaan di dalam agama,” dan “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”. Dengan demikian, masing-masing agama akan melihat agama lain sebagai mitra, bukan sebagai musuh.   
  

C. Harapan terhadap Umat Kristiani
         Setelah diuraikan tentang pluralisme agama, ada sesuatu yang juga perlu diamati secara lebih detail, yaitu harapan-harapan terhadap umat Kristiani. Hal terpenting adalah bahwa agama-agama lain harus diterima dipandang setara. Pandangan kesetaraan ini tentu saja bukan perkara gampang. Pasalnya, terdapat sejumlah aspek yang mesti ditinggalkan oleh umat Kristiani, sekalipun oleh sebagian pihak dianggap sangat sulit atau bahkan mustahil. Salah satunya adalah keyakinan konsep umat pilihan (the chosen people): pertama semua umat Ibrahim, kemudian orang-orang Israel, dan selanjutnya umat Kristen.
           Konsep umat pilihan sebetulnya bisa didekati dari dua sisi. Pertama, ia berarti bahwa umat Ibrahim, orang-orang Israel, dan umat Kristen merupakan umat pilihan sebab mereka lebih superior dibanding dengan individu-individu atau kelompok-kelompok lain di sekitarnya dan mereka sangat bajik. Kedua, mereka menjadi umat pilihan karena kemampuan mereka dalam mengemban tugas-tugas di masa depan, yaitu untuk melakukan transmisi ilmu pengetahuan Tuhan kepada generasi-generasi masa depan dan seluruh dunia. Pendekatan yang kedua ini tidak akan menjadikan mereka eksklusif dari agama-agama lain. Misalnya, agama Islam yang dibawa oleh Muhammad dipandang sebagai penyempurna dari risalah-risalah Tuhan. Jika pemahaman ini yang dipegang oleh umat Kristen, mereka tidak akan menjadi eksklusif.
             Dalam rangka membangun kultur global dengan pluralisme agama, ada beberapa saran (baca: harapan) yang bisa diajukan di sini, antara lain:
1.      Umat Kristen perlu melakukan dialog-dialog secara intens perihal perbedaan pandangan tentang diri Yesus (the sonship of Jesus) yang berbeda antara umat Kristen dengan umat-umat lainnya.
2.      Para teolog Kristen dan penerjemah Bible perlu menyadari bahwa bergerak menuju hidup berdampingan dengan agama-agama lain.
3.      Untuk menghindari eksklusivisme yang tidak beralasan, para teolog Kristen seyogyanya meninggalkan konsep trinitas yang masih misterius dan hanya dipahami oleh elit agawaman Kristen.
4.      Umat Kristen perlu duduk bersama dengan umat Muslim dan pemeluk agama-agama lainnya mengenai keyakinan mereka bahwa Tuhan itu Esa, meskipun mereka tetap memandang Yesus sebagai Tuhan.
5.      Umat Kristen mesti mampu menjelaskan fakta-fakta sejarah kemanusiaan Yesus, kemudian membiarkannya dicandra oleh pemeluk-pemeluk agama lain berdasarkan sudut pandangan mereka masing-masing.
6.      Pandangan-pandangan para pemeluk agama lain tentang Yesus jangan dikesampingkan, tetapi harus diterima untuk didiskusikan lebih lanjut apakah pandangan-pandangan itu bisa dijadikan sebagai formula alternatif atau tidak.
7.      Di dalam berdialog dengan umat Muslim, umat Kristen harus menolak segala distorsi terhadap kesan Islam pada abad pertengahan dan harus mengembangkan apresiasi positif terhadap nilai-nilainya.


D. Harapan terhadap Umat Muslim
           Seperti halnya umat Kristen, ada sejumlah hal penting yang perlu dilakukan oleh umat Muslim, antara lain:
1.      Umat Muslim harus bersikap inklusif, sebab kebenaran Islam dan agama-agama lain kemungkinan besar saling melengkapi.
2.      Mereka perlu menafsirkan kembali mengenai kesempurnaan Islam dan Muhammad sebagai nabi terakhir, sebab wahyu Tuhan turun secara serial. Dengan demikian, umat Muslim harus memandang bahwa agama Hindu dan Buda, misalnya, juga menerima wahyu dari Tuhan meskipun cara penerimaan mereka berbeda dengan [cara penerimaan] Muhammad.
3.      Umat Muslim juga perlu menerima sejarah Bible dan menolak doktrin-doktrin yang telah diselewengkan, sebab Perjanjian Lama dan Baru bagi umat Kristen adalah identik dengan kitab suci yang menginspirasi umat Yahudi dan Kristen sejak masa lalu.
4.      Hal terpenting yang harus diterima oleh umat Muslim di dunia ini di mana terdapat banyak agama adalah inti dari fakta sejarah tentang ajaran-ajaran dan prestasi Yesus sebagai manusia, yang tanpa dibumbui oleh tafsir-tafsir teologis (the theological interpretations).
5.      Tidak diragukan bahwa seorang nabi atau pemuka-pemuka agama memiliki banyak kebaikan, namun mereka tidak perlu sempurna di dalam banyak hal. Inilah yang perlu diterima oleh umat Muslim.


E. Merajut Harmoni Agama-agama
           Mengamati uraian-uraian di atas, terlihat jelas banyak pijakan bagi munculnya pemikiran bahwa agama dunia yang tunggal bukanlah sesuatu yang diharapkan. Atas dasar itu, tujuan terpenting yang harus digapai di masa mendatang adalah harmoni agama-agama. Dengan demikian, para pemeluk agama mengartikulasikan keyakinannya di dalam kebutuhan-kebutuhan sosial, politik, etika dan ekonomi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar