ISLAM
JAWA;
Kesalehan
Normatif Versus Kebatinan
(Judul Buku: Religion
of Java karya Clifford Geertz)
I. PENGANTAR
Studi paling penting
mengenai Islam di Indonesia adalah Religion of Java karya Clifford Geertz.
Tetapi studinya masih terpengaruh oleh madzhab Islam yang beraliran syari’ah
modern. Geertz hanya mengidentifikasikan Islam dengan madzhab modernis. Ia
menganggap bahwa segalanya berlatar belakang Hindu-Budha. Kesimpulan yang
diambil Geertz akhirnya mengidentikan keagamaan umat Islam di Jawa sebagai
Hindu. Padahal, bagi orang yang memahami Islam, dengan didukung data yang
komprehensif akan terlihat hanya sedikit tradisi Hindu yang yang diakomodir
Islam. Faktanya dengan kejayaan Islam di Jawa yang begitu sempurna.
Buku yang berjudul Islam
in Java: Normative Piety and Mysticisme yang diterjemahkan “Islam Jawa:
Kesalehan Normatif versus Kebatinan” yang ditulis Mark R. Woodward ini
merupakan ilustrasi dari berbagai pandangan yang secara diametral berlawanan
mengenai agama Jawa secara umum, dan keraton secara khusus. Buku ini bisa
dipahami sebagai suatu etnografi tandingan terhadap berbagai etnografi yang
dominan. Kalau Clifford Geertz, membuat trikotomi Islam jawa pada; kelompok
santri, abangan, dan priayi, serta yang mempengaruhinya, maka itulah bagian
penting yang dibidik dalam buku ini.
II.
TENTANG PENULIS DAN METODOLOGI
YANG DIGUNAKAN
Buku ini ditulis oleh Mark
R. Woodward, yang diselesaikannya ketika menjadi asisten profesor Islam dan
Agama-agama Asia Tenggara di Jurusan Studi Agama di Universitas Negeria
Arizona. Sebagai pelengkap dalam memperoleh gelar Ph.D di bidang antropologi
dari Universitas Illinois, ia belajar agama di Universitas of Chicago Divinity
School. Dia pernah memperoleh beasiswa dari Fulbright-Hays, Social Science
Research Council dan Smithsonian dan pernah mengajar di Bowdoin College dan
Illinois Wesleyan University.
Untuk menyempurnakan
kehadirannya sebagai seorang etnolog, Mark Woodward harus melakukan penelitian
yang maksimal. Jawa dipilihnya karena memang mempunyai daya tarik tersendiri
baginya. Tekadnya adalah menambah dan melengkapi penelitian lapangan yang sudah
dilakukan Clifford Geerz tahun 1950-an, yang memetakan aliran dalam masyarakat
Jawa; abangan, santri, priyayi. Sedangkan dalam penelitian ini, ia akan
menelusuri lebih khusus asal mula keraton Jawa dan agama rakyat dengan berbagai
prototipe India-nya.
Sebagai persiapan, ia
mengambil kuliah indologi dan belajar filsafat dan ritual Islam-Islam. Ia
datang ke Islam tepat empat hari sebelum digelar garabeg maulud, upacara
ritual keraton untuk memperingati kelahiran Nabi Islam s.a.w. Woodward mencoba
meneropong Islamunsur Islam dari ideologi dan modalitas ritual tersebut. Namun
hasilnya nihil. Upayanya lebih lanjut untuk menemukan prototipe-prototipe
Islam-Islam dalam mistisisme tradisional Jawa juga sama mengecewakan. Tidak ada
dalam kandungannya sistem Teravada, Mahayana, Siva atau Vaisnava yang
sebelumnya ia pelajari, kecuali sekadar kesamaan yang tidak signifikan. Bahkan
filsafa wayang Jawa yang secara longgar berdasarkan pada epik akbar Islam, Mahabarata
dan Ramayana, pun secara khusus tidak tampak. Akhirnya ia mencoba
jalur lain, dengan mempelajari doktrin dan ritual Islam. Ia melontarkan
pendapat bahwa ritual-ritual keraton dan mistik kejawen dideviriasi dari Islam.
Kendati memang tidak murni berasal dari roh ajaran Islam, namun tetap Islam.
Pada titik itulah ia mulai membaca segala hal di Islam yang berkait dengan
ritual, doktrin dan sejarah Islam.
Studi yang dilakukannya
berdasarkan data lapangan, sehingga penelitiannya jenis penelitian lapangan (field
research). Hasil yang didapatkan, dalam buku ini berupaya memadukan
metode etnogarfi dan tekstual. Selanjutnya, sistematika buku ini dibagi dalam
delapan bagian. Bagian pertama pendahuluan, bagian dua; teks-teks dan etnografi
dalam studi Islam jawa. Bagian tiga; Jawa dan Tradisi Islam. Bagian empat;
sufisme dan kesalehan normatif di kalangan santri tradisional. Bagian lima;
agama keraton dan agama kampung: interpretasi sosial sufisme. Bagian enam;
keraton Islam dan struktur jalan mistik. Bagian tujuh; unsur-unsur Islam di
dalam Islam Jawa dan persoalan syirik. Bagian delapan kesimpulan.
III. SINOPSIS ISI
Menurut Woodward bahwa
studi-studi etnologis, terutama dari Clifford Geertz, mengemukakan pandangan
yang berlawanan, dengan mengatakan bahwa Islam tidak pernah secara
sungguh-sungguh dipeluk di Jawa kecuali di kalangan komunitas kecil para pedagang
dan hampir tidak ada sama sekali di dalam lingkungan keraton. Geertz memilah
masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan utama; santri (yang merupakan kalangan
muslim ortodoks), priyayi (kalangan bangsawan yang dipengaruhi terutama oleh
tradisi-tradisi Islam Jawa) dan abangan (masyarakat desa pemeluk animisme).
Dalam pandangan yang mapan
tersebut, Islam dan Jawa adalah dua entitas yang dirancang terpisah, berbeda,
berlawanan dan tidak mungkin bersenyawa. Islam dikontraskan dengan Jawa yang
“dipandang dengan romantis, arkaik dan penuh pesona. Singkatnya, Islam dan Jawa
adalah antonimi. Pada gilirannya, Islam Jawa sebagai agama rakyat dipandang
sebagai penyimpangan dari Islam. Sebaliknya, Woodward menunjukkan bahwa Islam
Jawa compatable. Jika pun ada pertentangan-pertentangan yang terjadi
antara keduanya, adalah sesuatu yang bersifat permukaan dan wajar dalam
bentangan sejarah Islam yang panjang. Pertentangan ini biasa dirujuk sebagai
persoalan klasik Islam yaitu bagaimana menyeimbangkan antara dimensi hukum dan
dimensi mistik, antara “wadah” dan “isi”, antara “lahir” dan “batin”. Dengan
demikian, Islam Jawa di sini dibaca sebagai varian yang wajar dalam Islam dan
berhak hadir, sebagaimana juga ada Islam India, Islam Persia, Islam Melayu dan
seterusnya.
Perspektif lain mungkin
mencegat pemahaman yang berpusar pada konstruksi yang sudah dominan tersebut.
Pertanyaan yang perlu diajukan, dari mana akar-akar paradigma dominan tersebut,
siapa peritisnya dan apa kepentingan di baliknya? Di sini, Woodward jelas menyebut
Clifford Geertz sebagai poros utama wacana dominan tersebut. Karya Geertz, The
Religion of Java, masih jadi rujukan. Kendati telah banyak kritikan
terhadapnya, namun tidak ada penelitian lain yang memiliki pengaruh setara
dengannya. Gestalt yang dibangunnya mempunyai pengaruh penafsiran hingga
empat dekade ini. Sekian generasi telah berkenalan dengan Jawa melalui karyanya
tersebut dan hampir setiap karya serius masih merujuknya secara panjang lebar.
Mungkin ironis, mereka yang umumnya keberatan secara fundamental terhadap
kerangka berpikir dan kesimpulan karya itu terpaksa memperdebatkannya justru
pada landasan yang dipakai Geertz. Tetapi sebagai suatu konstruksi wacana,
Geertz jelas tidak sendirian dan bukan pemula.
Dalam buku klasik dan yang
cukup berpengaruh, Raffles menggambarkan Islam (Mahomatanisme) sebagai agama
kekerasan dan penuh kefanatikan. Kendati sebenarnya ia mempunyai perhatian
khusus terhadap “institusi-institusi kuno”: kesenian dan kesustraan Jawa
pra-Islam, namun ia banyak memberikan penilaian yang bernada “pejoratif”
terhadap Islam. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang meyayangkan
mengapa orang Jawa dan Melayu memeluk Islam. Berlawanan dengan itu, ia
memberikan deskripsi panjang lebar mengenai teks-teks dan candi-candi kuno Islam-Islam
demikian mengagungkan Islam-Bali sebagai “sisa-sisa masa lampau yang
manakjubkan”.
Pemahaman Raffles mengenai
Islam dan kedudukannya dalam kebudayaan Jawa dan Islam lainnya, menurut
Woodward berakar mendalam dari polemik teologis Islam melawan Islam dan telah
berkembang di Eropa selama berabad-abad. Polemik-polemik ini sendiri sebelumnya
sudah digunakan oleh para sarjana Belanda awal dan membentuk “ideologi” dan
kebijakan Belanda selama periode kolonial.
Perhatian dan minat orang
Eropa terhadap Islam Islam ini awalnya bisa ditelusuri hingga abad ke-17,
ketika para teolog dan pejabat pemerintah Belanda mulai menghadapi kesulitan
memahami dan mengawasi masyarakat Islam di Jawa, Sumatra dan Islam bagian
timur. Dalam jalinan kepentingan kolonial dan misionaris tersebutlah
kesarjanaan dan kebijakan mengenai “Islam” dan “Jawa” dibangun. Woodward
mencatat nama-nama sarjana dan teolog awal pelopor tradisi orientalisme
Islam-Belanda itu seperti Andrian Reland, Edward Gibbon, J.F.C. Gericke hingga
Snouck Gurgronje.
Hingga ke arah
pasca-kolonial representasi orientalisme Belanda mengenai Islam Islam tersebut
tetap bertahan. Persistensi ini, menurut Woodward, sebagian besar bisa
dinisbatkan pada pengaruh karya-karya Clifford Geertz dan Ben Anderson.
Keduanya menggemakan kembali tema-tema umum orientalisme Belanda, tetapi dengan
kategori analitis yang lebih weberian ketimbang orientalis. Penafsiran kedua
sarjana ini terhadap Islam dan kebudayaan Islam secara bersamaan membentuk
suatu “paradigma”.
Karya Geertz, Relegion
of Java, menggantikan karya Hurgronje The Achehnese sebagai rujukan
standar mengenai Islam Islam. Woodward melihat keterkaitan studi ini lebih
jelas dengan kesarjanaan orientalisme kolonial dari beberapa “pengakuan dan
penjelasan” Geertz dalam bukunya After the Fact yang dipublikasikan
baru-baru ini. Dalam buku ini Geertz misalnya menegaskan bahwa pernyataan
Hurgronje; bangunan Islam terutama masih didukung oleh pilar utama, tidak ada
Islam selain Islam dan Islam utusan Islam”, tetapi pilar ini sekarang
dikelilingi oleh serangkaian karya yang tidak cocok dengannya, yang menjadi
profanasi terhadap kesederhanaannya, lebih pas diterapkan untuk Jawa.
Geertz juga menyebut bahwa
ia bersama rekan-rekan “projek Mudjokuto”-nya menghabiskan waktu empat bulan di
Belanda untuk mewawancarai sarjana-sarjana Belanda tentang Islam. Maka, tidak
aneh, jika deskripsi Geertz mengenai varian abangan dalam masyarakat Jawa mirip
dengan berbagai gambaran yang dikemukakan oleh para indolog dan misionaris
Belanda sebelumnya. Analisisnya terhadap upacara slametan juga paralel
dengan analisis yang pernah dikemukakan Mayer dan van Moll. Bahkan Trikotomi
santri, abangan, priayi yang diperkenalkan Geertz sebenarnya sudah sangat
populer di kalangan para sarjana misionaris. Konsep ini sebelumnya diintrodusir
oleh Poensen, seorang sarjana misionaris, pada 1886. Kendati Geertz, tambah
Woodward, tidak disemangati oleh sentimen antri-Islam, dan bahkan membayangkan
saudagar Muslim ortodoks Jawa sebagai harapan terbaik bagi masa depan ekonomi
Islam, tetapi bukunya The Religion of Java tersebut, bisa dipahami
dengan baik sebagai pernyataan dan perumusan kembali pelukisan kolonial
terhadap Islam.
Karya
Anderson tentang “gagasan kekuasaan dalam kebudayaan Jawa”, berbeda dengan
Geertz secara eksplisit jelas merujuk pada kesarjanaan kolonial dan Weber.
Anderson sangat bersandar pada studi-studi kolonial mengenai kerajawian
Islam-Jawa dan karakterisasi Geertz mengenai Islam sebagai negara Hindia. Ia
memberikan tekanan pada masa lalu santri Jawa, dengan mendasarkan banyak
argumennya pada bacaan-bacaan yang cermat terhadap teks-teks Jawa kuno.
Pemahamannya terhadap Islam mencerminkan kembali pandangan Hurgronje dan
Geertz. Ia misalnya menyatakan bahwa “gelar-gelar Islam disandang para
penguasa, simbol-simbol keislaman dileketkan pada para pengiring mereka, dan
atribut Islam sitempelkan pada baju kebesaran mereka. Tetapi, islamisasi
simbolik ini tampaknya tidak menyebabkan perubahan terhadap jalan hidup dan
pandangan mereka. Pelukisannya terhadap kia tradisional juga sebanding dengan
pelukisannya terhadap para penguasa tersebut, “bersifat intuitif, personal dan
mistis, yang banyak dipengaruhi oleh agama pra-Islam.
Demikinlah, menurut Woodward, kendati tidak bersifat
orientalis, tetapi lebih weberian Geertz dan Anderson meneruskan dan kian
menancapkan wacana orientalisme kolonial tentang Jawa dan Islam. Di belakang
mereka beredar sarjana-sarjana yang serupa, seperti James Siegel, Ward Keller,
Shelly Errington, dan Ricklefs.
Kemudian Woodward dalam penelitiannya mendasarkan pada
perbandingan teks-teks Jawa dan data etnografis teks-teks dan tradisi-tradisi
mitologi lisan, terutama menyangkut hubungan antara kebatinan (mistisisme) dan
kesalehan Islam normatif. Pemecahan terhadap problem ini ditemukan dalam
teks-teks sejarah dan keagamaan dengan perbandingan dengan kalangan muslim Jawa
kontemporer. Tujuan bagian ini adalah untuk menjelaskan tradisi-tradisi
intelektual yang menjadi basis teks-teks Jawa dan untuk memberikan motifasi
teoritis penggunaannya dalam studi agama Jawa kontemporer. Teks-teks tersebut
juga menjadi basis bagi banyak agama pemujaan kontemporer lantaran dalam
teks-teks tersebut tokoh-tokoh besar masa lalu mendapat penghormatan sebagai
wali.
Sejarah awal Islam Jawa masih sangat kabur. Konsensus
kesarjanaan mengakui adanya problem yang signifikan berkaitan dengan asal
muasal dan ikhwal persebaran Islam di Asia Tenggara yang mungkin tidak akan
pernah dituntaskan secara utuh karena kurangnya sumber-sumber yang bisa dipercaya,
yang mencatat periode kontra dan konversi tersebut. Diakui memang sudah ada
kalangan muslim di Jawa pada akhir abad ke-14 dan juga di Keraton Majapahit.
Proses transisi dan konversi penduduk Jawa Tengah ke Islam bersifat gradual.
Data tradisional mengenai jatuhnya Majapahit, adalah tahun 1478. Sumber-sumber
Cina menunjukkan bahwa komunitas-komunitas muslim sudah ada di kawasan pantai
utara pada dekade-dekade awal abad ke-15.
Karena itu, sama sekali tidak mungkin bisa sampai pada
kesimpulan yang tegas kerkaitan dengan data kedatangan Islam menguasai
kehidupan keagamaan dan politik Jawa Tengah. Faktor lain yang mesti
diperhatikan, komunitas muslim pertama tersebut juga terdiri atas para pedagang
yang terlibat dalam perdagangan rempah-rempah lautan India. Seperi diamati
Robson (1981), para pedagang ini baru mengikutsertakan para guru agama sesudah
mereka mendirikan komunitas-komuitas yang permanen. Dengan demikian, jalinan
antara perdagangan dan konversi sangatlah erat, tetapi tidak langsung.
Sejarah Islam Jawa tidak sekadar soal konversi saja.
Tapi juga soal Islam sebagai agama kerajaan, suatu proses yang mengakibatkan
penghancuran banyak kebudayaan Islam yang ada dan subordinasi ulama atas
kekuasaan keraton. Kendati mungkin detail-detail yang tepat mengenai sejarah
Islam Jawa Tengah akan tetap diliputi misteri, akan tetapi penelusuran
sumber-sumber Islam Asia Selatan bisa banyak mengungkapkan watak proses yang
berbelit-belit tersebut.
IV. ANALISA
Temuan Woodward dalam buku
Islam in Java; Normative Piety and Mysticism (Islam Jawa; Kesalehan
Normatif Versus Kebatinan) bisa dipahami sebagai suatu etnogarfi yang bersifat
tandingan, terhadap berbagai etnografi yang berada dalam kerangka wacana
dominan selama ini. Kendati demikian, dapat diberi catatan lebih lanjut, bahwa
“pemisahan” Islam dengan segala ekspresi budaya yang bersifat lokal, atau
sebaliknya juga didorong oleh wacana pembaharuan dan pemurnian Islam. Pandangan
kalangan sarjana orientalis bahwa “muslim sejati” kurang lebih bukan “Jawa
sejati” seiring sebangun belaka dengan pandangan kalangan puritan dan reformis
akan “muslim yang sejati”, yang murni dan lepas dari segala bid’ah kebudayaan.
Buku ini sebagai upaya
awal studi-studi Islam yang berpusat pada Islam. Suatu studi yang tidak
menghadirkan Islam sebagai suatu fenomena marginal dan artifisial. Jadi buku
ini memang bukan “sekadar” bermaksud mengisi kekosongan studi antropologis
terhadap agama keraton Jawa yang selama ini banyak diisi oleh studi-studi yang
bersifat filologis, seperti yang diharapkan oleh Martin van Bruinessen dalam
revienya terhadap buki ini.
Woodward
berupaya memadukan metode atnografis dan tekstual. Ia bersandar pada
sumber-sumber sekunder dan landasan etnografis yang terbatas. Logika teoritis
dari tesisnya yang menganggap bahwa kejawen itu muslim, bukan Islam-Islam,
seperti dituduhkan banyak kalangan sarjana orientalis dan para reformis Islam,
dan bahwa wayang dan konsep kekuasaan telah mengalami islamisasi, dst. Buku ini
mungkin lebih mengena dibaca sebagai perspektif lain di antara perspektif yang
dominan. Woodward sendiri dengan jujur mengakui sumber-sumber sekunder yang
dipergunakannya amat terbatas. Selain itu, ia sendiri tidak bersifat
“hitam-putih” terhadap karya-karya yang dominan tersebut. Sebagian besar tetap
tetap dipandangnya dengan positif, seperti diperlihatkannya dengan merujuk
karya-karya Geertz, Anderson, Pigeaud, Errington, dll.
V. KESIMPULAN
Dari
deskripsi di atas dapat disimpulkan Woodward mengelaborasi bahwa Islam Jawa,
pada dasarnya juga Islam. Bukan Hindu atau Hindu-Budha, sebagaimana yang
dituduhkan kalangan puritan dan banyak sejarawan-antropolog (kolonial). Islam
Jawa bukanlah penyimpangan dari Islam, tapi merupakan varian Islam, sebagaimana
ditemukan adalah Islam India, Islam Syria, Islam Maroko, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar