Kamis, 19 Desember 2013

Kajian tentang Islam Jawa

"+"

ISLAM JAWA;
Kesalehan Normatif Versus Kebatinan
(Judul Buku: Religion of Java karya Clifford Geertz)



I.    PENGANTAR

Studi paling penting mengenai Islam di Indonesia adalah Religion of Java karya Clifford Geertz. Tetapi studinya masih terpengaruh oleh madzhab Islam yang beraliran syari’ah modern. Geertz hanya mengidentifikasikan Islam dengan madzhab modernis. Ia menganggap bahwa segalanya berlatar belakang Hindu-Budha. Kesimpulan yang diambil Geertz akhirnya mengidentikan keagamaan umat Islam di Jawa sebagai Hindu. Padahal, bagi orang yang memahami Islam, dengan didukung data yang komprehensif akan terlihat hanya sedikit tradisi Hindu yang yang diakomodir Islam. Faktanya dengan kejayaan Islam di Jawa yang begitu sempurna.
Buku yang berjudul Islam in Java: Normative Piety and Mysticisme yang diterjemahkan “Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan” yang ditulis Mark R. Woodward ini merupakan ilustrasi dari berbagai pandangan yang secara diametral berlawanan mengenai agama Jawa secara umum, dan keraton secara khusus. Buku ini bisa dipahami sebagai suatu etnografi tandingan terhadap berbagai etnografi yang dominan. Kalau Clifford Geertz, membuat trikotomi Islam jawa pada; kelompok santri, abangan, dan priayi, serta yang mempengaruhinya, maka itulah bagian penting yang dibidik dalam buku ini.

II.     TENTANG PENULIS DAN METODOLOGI YANG DIGUNAKAN
Buku ini ditulis oleh Mark R. Woodward, yang diselesaikannya ketika menjadi asisten profesor Islam dan Agama-agama Asia Tenggara di Jurusan Studi Agama di Universitas Negeria Arizona. Sebagai pelengkap dalam memperoleh gelar Ph.D di bidang antropologi dari Universitas Illinois, ia belajar agama di Universitas of Chicago Divinity School. Dia pernah memperoleh beasiswa dari Fulbright-Hays, Social Science Research Council dan Smithsonian dan pernah mengajar di Bowdoin College dan Illinois Wesleyan University.
Untuk menyempurnakan kehadirannya sebagai seorang etnolog, Mark Woodward harus melakukan penelitian yang maksimal. Jawa dipilihnya karena memang mempunyai daya tarik tersendiri baginya. Tekadnya adalah menambah dan melengkapi penelitian lapangan yang sudah dilakukan Clifford Geerz tahun 1950-an, yang memetakan aliran dalam masyarakat Jawa; abangan, santri, priyayi. Sedangkan dalam penelitian ini, ia akan menelusuri lebih khusus asal mula keraton Jawa dan agama rakyat dengan berbagai prototipe India-nya.
Sebagai persiapan, ia mengambil kuliah indologi dan belajar filsafat dan ritual Islam-Islam. Ia datang ke Islam tepat empat hari sebelum digelar garabeg maulud, upacara ritual keraton untuk memperingati kelahiran Nabi Islam s.a.w. Woodward mencoba meneropong Islamunsur Islam dari ideologi dan modalitas ritual tersebut. Namun hasilnya nihil. Upayanya lebih lanjut untuk menemukan prototipe-prototipe Islam-Islam dalam mistisisme tradisional Jawa juga sama mengecewakan. Tidak ada dalam kandungannya sistem Teravada, Mahayana, Siva atau Vaisnava yang sebelumnya ia pelajari, kecuali sekadar kesamaan yang tidak signifikan. Bahkan filsafa wayang Jawa yang secara longgar berdasarkan pada epik akbar Islam, Mahabarata dan Ramayana, pun secara khusus tidak tampak. Akhirnya ia mencoba jalur lain, dengan mempelajari doktrin dan ritual Islam. Ia melontarkan pendapat bahwa ritual-ritual keraton dan mistik kejawen dideviriasi dari Islam. Kendati memang tidak murni berasal dari roh ajaran Islam, namun tetap Islam. Pada titik itulah ia mulai membaca segala hal di Islam yang berkait dengan ritual, doktrin dan sejarah Islam.
Studi yang dilakukannya berdasarkan data lapangan, sehingga penelitiannya jenis penelitian lapangan (field research). Hasil yang didapatkan, dalam buku ini berupaya memadukan metode etnogarfi dan tekstual. Selanjutnya, sistematika buku ini dibagi dalam delapan bagian. Bagian pertama pendahuluan, bagian dua; teks-teks dan etnografi dalam studi Islam jawa. Bagian tiga; Jawa dan Tradisi Islam. Bagian empat; sufisme dan kesalehan normatif di kalangan santri tradisional. Bagian lima; agama keraton dan agama kampung: interpretasi sosial sufisme. Bagian enam; keraton Islam dan struktur jalan mistik. Bagian tujuh; unsur-unsur Islam di dalam Islam Jawa dan persoalan syirik. Bagian delapan kesimpulan.

III.  SINOPSIS ISI

Menurut Woodward bahwa studi-studi etnologis, terutama dari Clifford Geertz, mengemukakan pandangan yang berlawanan, dengan mengatakan bahwa Islam tidak pernah secara sungguh-sungguh dipeluk di Jawa kecuali di kalangan komunitas kecil para pedagang dan hampir tidak ada sama sekali di dalam lingkungan keraton. Geertz memilah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan utama; santri (yang merupakan kalangan muslim ortodoks), priyayi (kalangan bangsawan yang dipengaruhi terutama oleh tradisi-tradisi Islam Jawa) dan abangan (masyarakat desa pemeluk animisme).
Dalam pandangan yang mapan tersebut, Islam dan Jawa adalah dua entitas yang dirancang terpisah, berbeda, berlawanan dan tidak mungkin bersenyawa. Islam dikontraskan dengan Jawa yang “dipandang dengan romantis, arkaik dan penuh pesona. Singkatnya, Islam dan Jawa adalah antonimi. Pada gilirannya, Islam Jawa sebagai agama rakyat dipandang sebagai penyimpangan dari Islam. Sebaliknya, Woodward menunjukkan bahwa Islam Jawa compatable. Jika pun ada pertentangan-pertentangan yang terjadi antara keduanya, adalah sesuatu yang bersifat permukaan dan wajar dalam bentangan sejarah Islam yang panjang. Pertentangan ini biasa dirujuk sebagai persoalan klasik Islam yaitu bagaimana menyeimbangkan antara dimensi hukum dan dimensi mistik, antara “wadah” dan “isi”, antara “lahir” dan “batin”. Dengan demikian, Islam Jawa di sini dibaca sebagai varian yang wajar dalam Islam dan berhak hadir, sebagaimana juga ada Islam India, Islam Persia, Islam Melayu dan seterusnya.
Perspektif lain mungkin mencegat pemahaman yang berpusar pada konstruksi yang sudah dominan tersebut. Pertanyaan yang perlu diajukan, dari mana akar-akar paradigma dominan tersebut, siapa peritisnya dan apa kepentingan di baliknya? Di sini, Woodward jelas menyebut Clifford Geertz sebagai poros utama wacana dominan tersebut. Karya Geertz, The Religion of Java, masih jadi rujukan. Kendati telah banyak kritikan terhadapnya, namun tidak ada penelitian lain yang memiliki pengaruh setara dengannya. Gestalt yang dibangunnya mempunyai pengaruh penafsiran hingga empat dekade ini. Sekian generasi telah berkenalan dengan Jawa melalui karyanya tersebut dan hampir setiap karya serius masih merujuknya secara panjang lebar. Mungkin ironis, mereka yang umumnya keberatan secara fundamental terhadap kerangka berpikir dan kesimpulan karya itu terpaksa memperdebatkannya justru pada landasan yang dipakai Geertz. Tetapi sebagai suatu konstruksi wacana, Geertz jelas tidak sendirian dan bukan pemula.
Dalam buku klasik dan yang cukup berpengaruh, Raffles menggambarkan Islam (Mahomatanisme) sebagai agama kekerasan dan penuh kefanatikan. Kendati sebenarnya ia mempunyai perhatian khusus terhadap “institusi-institusi kuno”: kesenian dan kesustraan Jawa pra-Islam, namun ia banyak memberikan penilaian yang bernada “pejoratif” terhadap Islam. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang meyayangkan mengapa orang Jawa dan Melayu memeluk Islam. Berlawanan dengan itu, ia memberikan deskripsi panjang lebar mengenai teks-teks dan candi-candi kuno Islam-Islam demikian mengagungkan Islam-Bali sebagai “sisa-sisa masa lampau yang manakjubkan”.
Pemahaman Raffles mengenai Islam dan kedudukannya dalam kebudayaan Jawa dan Islam lainnya, menurut Woodward berakar mendalam dari polemik teologis Islam melawan Islam dan telah berkembang di Eropa selama berabad-abad. Polemik-polemik ini sendiri sebelumnya sudah digunakan oleh para sarjana Belanda awal dan membentuk “ideologi” dan kebijakan Belanda selama periode kolonial.
Perhatian dan minat orang Eropa terhadap Islam Islam ini awalnya bisa ditelusuri hingga abad ke-17, ketika para teolog dan pejabat pemerintah Belanda mulai menghadapi kesulitan memahami dan mengawasi masyarakat Islam di Jawa, Sumatra dan Islam bagian timur. Dalam jalinan kepentingan kolonial dan misionaris tersebutlah kesarjanaan dan kebijakan mengenai “Islam” dan “Jawa” dibangun. Woodward mencatat nama-nama sarjana dan teolog awal pelopor tradisi orientalisme Islam-Belanda itu seperti Andrian Reland, Edward Gibbon, J.F.C. Gericke hingga Snouck Gurgronje.
Hingga ke arah pasca-kolonial representasi orientalisme Belanda mengenai Islam Islam tersebut tetap bertahan. Persistensi ini, menurut Woodward, sebagian besar bisa dinisbatkan pada pengaruh karya-karya Clifford Geertz dan Ben Anderson. Keduanya menggemakan kembali tema-tema umum orientalisme Belanda, tetapi dengan kategori analitis yang lebih weberian ketimbang orientalis. Penafsiran kedua sarjana ini terhadap Islam dan kebudayaan Islam secara bersamaan membentuk suatu “paradigma”.
Karya Geertz, Relegion of Java, menggantikan karya Hurgronje The Achehnese sebagai rujukan standar mengenai Islam Islam. Woodward melihat keterkaitan studi ini lebih jelas dengan kesarjanaan orientalisme kolonial dari beberapa “pengakuan dan penjelasan” Geertz dalam bukunya After the Fact yang dipublikasikan baru-baru ini. Dalam buku ini Geertz misalnya menegaskan bahwa pernyataan Hurgronje; bangunan Islam terutama masih didukung oleh pilar utama, tidak ada Islam selain Islam dan Islam utusan Islam”, tetapi pilar ini sekarang dikelilingi oleh serangkaian karya yang tidak cocok dengannya, yang menjadi profanasi terhadap kesederhanaannya, lebih pas diterapkan untuk Jawa.
Geertz juga menyebut bahwa ia bersama rekan-rekan “projek Mudjokuto”-nya menghabiskan waktu empat bulan di Belanda untuk mewawancarai sarjana-sarjana Belanda tentang Islam. Maka, tidak aneh, jika deskripsi Geertz mengenai varian abangan dalam masyarakat Jawa mirip dengan berbagai gambaran yang dikemukakan oleh para indolog dan misionaris Belanda sebelumnya. Analisisnya terhadap upacara slametan juga paralel dengan analisis yang pernah dikemukakan Mayer dan van Moll. Bahkan Trikotomi santri, abangan, priayi yang diperkenalkan Geertz sebenarnya sudah sangat populer di kalangan para sarjana misionaris. Konsep ini sebelumnya diintrodusir oleh Poensen, seorang sarjana misionaris, pada 1886. Kendati Geertz, tambah Woodward, tidak disemangati oleh sentimen antri-Islam, dan bahkan membayangkan saudagar Muslim ortodoks Jawa sebagai harapan terbaik bagi masa depan ekonomi Islam, tetapi bukunya The Religion of Java tersebut, bisa dipahami dengan baik sebagai pernyataan dan perumusan kembali pelukisan kolonial terhadap Islam.
Karya Anderson tentang “gagasan kekuasaan dalam kebudayaan Jawa”, berbeda dengan Geertz secara eksplisit jelas merujuk pada kesarjanaan kolonial dan Weber. Anderson sangat bersandar pada studi-studi kolonial mengenai kerajawian Islam-Jawa dan karakterisasi Geertz mengenai Islam sebagai negara Hindia. Ia memberikan tekanan pada masa lalu santri Jawa, dengan mendasarkan banyak argumennya pada bacaan-bacaan yang cermat terhadap teks-teks Jawa kuno. Pemahamannya terhadap Islam mencerminkan kembali pandangan Hurgronje dan Geertz. Ia misalnya menyatakan bahwa “gelar-gelar Islam disandang para penguasa, simbol-simbol keislaman dileketkan pada para pengiring mereka, dan atribut Islam sitempelkan pada baju kebesaran mereka. Tetapi, islamisasi simbolik ini tampaknya tidak menyebabkan perubahan terhadap jalan hidup dan pandangan mereka. Pelukisannya terhadap kia tradisional juga sebanding dengan pelukisannya terhadap para penguasa tersebut, “bersifat intuitif, personal dan mistis, yang banyak dipengaruhi oleh agama pra-Islam.
Demikinlah, menurut Woodward, kendati tidak bersifat orientalis, tetapi lebih weberian Geertz dan Anderson meneruskan dan kian menancapkan wacana orientalisme kolonial tentang Jawa dan Islam. Di belakang mereka beredar sarjana-sarjana yang serupa, seperti James Siegel, Ward Keller, Shelly Errington, dan Ricklefs.
Kemudian Woodward dalam penelitiannya mendasarkan pada perbandingan teks-teks Jawa dan data etnografis teks-teks dan tradisi-tradisi mitologi lisan, terutama menyangkut hubungan antara kebatinan (mistisisme) dan kesalehan Islam normatif. Pemecahan terhadap problem ini ditemukan dalam teks-teks sejarah dan keagamaan dengan perbandingan dengan kalangan muslim Jawa kontemporer. Tujuan bagian ini adalah untuk menjelaskan tradisi-tradisi intelektual yang menjadi basis teks-teks Jawa dan untuk memberikan motifasi teoritis penggunaannya dalam studi agama Jawa kontemporer. Teks-teks tersebut juga menjadi basis bagi banyak agama pemujaan kontemporer lantaran dalam teks-teks tersebut tokoh-tokoh besar masa lalu mendapat penghormatan sebagai wali.
Sejarah awal Islam Jawa masih sangat kabur. Konsensus kesarjanaan mengakui adanya problem yang signifikan berkaitan dengan asal muasal dan ikhwal persebaran Islam di Asia Tenggara yang mungkin tidak akan pernah dituntaskan secara utuh karena kurangnya sumber-sumber yang bisa dipercaya, yang mencatat periode kontra dan konversi tersebut. Diakui memang sudah ada kalangan muslim di Jawa pada akhir abad ke-14 dan juga di Keraton Majapahit. Proses transisi dan konversi penduduk Jawa Tengah ke Islam bersifat gradual. Data tradisional mengenai jatuhnya Majapahit, adalah tahun 1478. Sumber-sumber Cina menunjukkan bahwa komunitas-komunitas muslim sudah ada di kawasan pantai utara pada dekade-dekade awal abad ke-15.
Karena itu, sama sekali tidak mungkin bisa sampai pada kesimpulan yang tegas kerkaitan dengan data kedatangan Islam menguasai kehidupan keagamaan dan politik Jawa Tengah. Faktor lain yang mesti diperhatikan, komunitas muslim pertama tersebut juga terdiri atas para pedagang yang terlibat dalam perdagangan rempah-rempah lautan India. Seperi diamati Robson (1981), para pedagang ini baru mengikutsertakan para guru agama sesudah mereka mendirikan komunitas-komuitas yang permanen. Dengan demikian, jalinan antara perdagangan dan konversi sangatlah erat, tetapi tidak langsung.
Sejarah Islam Jawa tidak sekadar soal konversi saja. Tapi juga soal Islam sebagai agama kerajaan, suatu proses yang mengakibatkan penghancuran banyak kebudayaan Islam yang ada dan subordinasi ulama atas kekuasaan keraton. Kendati mungkin detail-detail yang tepat mengenai sejarah Islam Jawa Tengah akan tetap diliputi misteri, akan tetapi penelusuran sumber-sumber Islam Asia Selatan bisa banyak mengungkapkan watak proses yang berbelit-belit tersebut.

IV.  ANALISA

Temuan Woodward dalam buku Islam in Java; Normative Piety and Mysticism (Islam Jawa; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan) bisa dipahami sebagai suatu etnogarfi yang bersifat tandingan, terhadap berbagai etnografi yang berada dalam kerangka wacana dominan selama ini. Kendati demikian, dapat diberi catatan lebih lanjut, bahwa “pemisahan” Islam dengan segala ekspresi budaya yang bersifat lokal, atau sebaliknya juga didorong oleh wacana pembaharuan dan pemurnian Islam. Pandangan kalangan sarjana orientalis bahwa “muslim sejati” kurang lebih bukan “Jawa sejati” seiring sebangun belaka dengan pandangan kalangan puritan dan reformis akan “muslim yang sejati”, yang murni dan lepas dari segala bid’ah kebudayaan.
Buku ini sebagai upaya awal studi-studi Islam yang berpusat pada Islam. Suatu studi yang tidak menghadirkan Islam sebagai suatu fenomena marginal dan artifisial. Jadi buku ini memang bukan “sekadar” bermaksud mengisi kekosongan studi antropologis terhadap agama keraton Jawa yang selama ini banyak diisi oleh studi-studi yang bersifat filologis, seperti yang diharapkan oleh Martin van Bruinessen dalam revienya terhadap buki ini.
Woodward berupaya memadukan metode atnografis dan tekstual. Ia bersandar pada sumber-sumber sekunder dan landasan etnografis yang terbatas. Logika teoritis dari tesisnya yang menganggap bahwa kejawen itu muslim, bukan Islam-Islam, seperti dituduhkan banyak kalangan sarjana orientalis dan para reformis Islam, dan bahwa wayang dan konsep kekuasaan telah mengalami islamisasi, dst. Buku ini mungkin lebih mengena dibaca sebagai perspektif lain di antara perspektif yang dominan. Woodward sendiri dengan jujur mengakui sumber-sumber sekunder yang dipergunakannya amat terbatas. Selain itu, ia sendiri tidak bersifat “hitam-putih” terhadap karya-karya yang dominan tersebut. Sebagian besar tetap tetap dipandangnya dengan positif, seperti diperlihatkannya dengan merujuk karya-karya Geertz, Anderson, Pigeaud, Errington, dll.

V.     KESIMPULAN

Dari deskripsi di atas dapat disimpulkan Woodward mengelaborasi bahwa Islam Jawa, pada dasarnya juga Islam. Bukan Hindu atau Hindu-Budha, sebagaimana yang dituduhkan kalangan puritan dan banyak sejarawan-antropolog (kolonial). Islam Jawa bukanlah penyimpangan dari Islam, tapi merupakan varian Islam, sebagaimana ditemukan adalah Islam India, Islam Syria, Islam Maroko, dll. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar