Minggu, 15 Desember 2013

Liberalisme di Indonesia

"+"

JARINGAN ISLAM
LIBERAL DI INDONESIA



A.    Pendahuluan
Liberalisme dapat di intrepretasikan beranekaragam, baik yang bernada positif maupun yang bernada negatif. Walaupun demikian apapun tafsirannya tidak dapat dipungkiri bahwa istilah tersebut merupakan fenomena yang penting dan menarik untuk di kaji.
Istilah liberalisme merupakan kreasi barat sehingga oleh sebagian kalangan di anggap tidak otentik atau sekalipun benar tidak dapat di terima, hal ini tidak terlepas dari kesalahan barat dalam memahami Islam yang pada awalnya menganggap Islam sebagai agama yang paling primitif.
Istilah liberal mengandung konotatif negatif bagi sebagian umat Islam, karena di posisikan dengan dominasi asing dengan politik kolonialisme yang sangat membuat menderita umat manusia khususnya umat Islam. Sementara bila dikaji lebih dalam, konsep Islam liberal harus dilihat sebagai alat bantu analisis terhadap, keaneragaman idiologi dalam konsep itu secara mendalam. Salahnya analisis terhadap Islam liberal umumnya di hubungkan dengan liberalisme Barat, akan tetapi sejak kajian Islam liberal hanya terbatas pada dimensi keislamannya keagamaan dengan liberalisme Barat dapat dihindari.
Sebagai wacana perkembangan Islam liberal di Indonesia, dapat ditarik signifikasinya dalam mengembangkan pemikiran yang produktif, kreatif dan konserfatif di kalangan masyarakat Islam. Secara jujur kita akui bahwa meski sebagai kelompok mayoritas, semangat Islam di Indonesia masih kelihatan gugup dan gamang dalam mengaitkan dokrin agama dengan persoalan publik seperti dalam merespon persoalan politik dan dalam isu tentang kesetaraan gender.
Karena paradigma berfikir umat Islam terutama pada kalangan pemikirnya (cendekiawan muslim) belum memadai, akibatnya hasil dari pemikiran tersebut dalam merespon persoalan publik terkesan dangkal, tidak utuh dan parsial1. Karena itu Islam Liberal perlu dipertimbangkan sebagai mana paradigma dalam mengembangkan pemikiran keislaman secara utuh dan mendalam dimasa mendatang.

B.     Perkembangan Islam Liberal
          Islam liberal muncul di antara gerakan-gerakan rebibalis pada abad 18, masa yang subur bagi peradaban keislaman. Islam liberal berakar pada diri Syah Waliyullah  di India pada 1703-1762. Syah Waliyullah melihat bahwa Islam sedang dalam bahaya, ia berupaya untuk melakukan perubahan dalam komunitas Islam  dengan menggabungkan antara pembaharuan teologi dan organisasi sosial potilik, serta mengembalikan tradisi Islam yang benar sebagai sumber utama, guna mengatasi semua masalah dalam dunia Islam. Namun demikian Syah Waliyullah mengembangkan sebuah tanggapan yang lebih humanistik terhadap tradisi Islam, dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh kelompok wahabi dan para pelopor kebangkitan Islam lainnya.
            Pada abad ke 19 Islam liberal mulai membedakan dirinya secara lebih jelas dari kelompok rasionalisme. Baik secara intelektual maupun institusional. Islam liberal pada abad ini dengan tokoh-tokohnya antara lain jamaluddin al Afghani (iran, 1838-1897), Sayyid Ahmad Khan (India, 1817-1898), Muhammad Abduh (Mesir, 1849-1905). Secara umum dikenal sebagai “modernisme Islam” (Islamic Modernism). Pemahaman itu terkait dengan sikap yang memberikan pengaruh terhadap “modernitas”, yang menaruh perhatian terhadap warisan intelektual Islam pada masa lampau di samping perhatian terhadap ilmu-ilmu Barat. Lebih liberal juga diberikan kepada aliran yang muncul belakangan, yakni neo modernisme. Dikatakan misalnya neo modernisme merupakan liberalisme Islam2. Dalam ungkapan yang lain dikatakan bahwa teologi neo modernisme sering diidentikkan dengan “Islam liberal” dalam konteks kekinian3.
            Ciri-ciri neo modernisme menurut Fazlur Rahman yang diidentifikasi sebagai salah seorang dari tokoh aliran ini adalah sikapnya yang liberal, kritis sekaligus apresiatif terhadap warisan pemikiran Islam dan Barat sekaligus. Selain itu kelompok ini menekankan akan pentingnya ijtihad yang sistematis dan komperhensif. Sesuai dengan ciri-ciri tersebut Islam liberal dikatakan berjalan dalam dua konteks intelektual yaitu dunia Islam dan dunia Barat. Warisan pemikiran Islam dari masa lalu disaring secara kreatif dengan tetap berpegang teguh pada Al Qur’an dan As Sunnah. Sebagai sumber pokok dalam ajaran Islam, sejalan dengan hal tersebut pra cendekiawan Islam yang semangat pembaharuannya tersebut tetap memerlukan pikiran-pikiran Barat, mereka beranggapan bahwa tidak semua yang dari Barat itu adalah hal yang buruk/ salah.
       Aliran neo modernisme menilai metode pemahaman agama yang diterapkan oleh aliran ini sebelumnya memiliki berbagai kelemahan, misalnya dalam pola berfikirnya bersifat parsial. Untuk itu mereka menawarkan pendekatan yang sistematis dan koperhensif.
Khuzman mengidentifikasikan tiga “bentuk” (modus)utama Islam liberal. Hal ini melibatkan hubungan liberalisme dengan sumber-sumber primer Islam, yakni Al Qur’an dan As Sunnah, yang secara bersamaan menetapkan dasar hukum Islam. Bentuk pertama menggunakan posisi atau sikap liberal sebagai suatu yang secara eksplisit di dukung oleh syari’ah; bentuk kedua menyarankan bahwa kaum muslimin bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syari’ah di biarkan terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan tingkat kecerdasan manusia; bentuk ketiga memberi kesan bahwa syari’ah yang bersifat lahiriyah diperbolehkan bagi manusia  sehingga memunculkan penafsiran yang beragam4.


C.     Jaringan Islam Liberal di Indonesia
          Mengkaji eksistensi jaringan Islam liberal, sesungguhnya tak lepas dari konteks ideologi, politik, sosologis dan historis yang melingkupinya. Menurut Greg Barton, Islam liberal (dalam konteks keIndonesiaan) merupakan sintesis dari Islam tradisional dan pemikiran Barat modern, dengan penekanan modernisme atas rasionalitas dan ijtihad yang konprehensif, kontekstual dan trus menerus diantara gagasan-gagasan yang di lakukan oleh Islam liberal adalah:
1.      Menentang bentuk pemerintahan teokrasi yang menjadi cita-cita sosial politik kaum rasionalis.
2.      Memahami dan membangun demokrasi.
3.      Menggagas kesetaraan jenderkebebasan
4.      beragama dan perlindungan atas hak-hak non muslim.
5.      Kebebasan berfikir dan mengeluarkan pendapat secara lesan maupun tulisan.
6.      Pentingnya progresifitas bagi kaum muslimin.
         Dengan banyaknya bermunculan para cendekiawan muslim di negara Indonesia merupakan sebuah fenomena baru yang dapat dikatakan kemunculan mereka sebagai gelombang pembaharuan pemikir Islam di negara Indonesia ini. Dengan tipologi pemikirannya yang begitu beragam menjadi petunjuk penting bahwa mereka secara sinergis menggarap tema-tema yang juga menjadi persoalan umat Islam di Indonesia seperti pembangunan, modernisasi, sekularisasi, pembaharuan Islam, demokrasi, pluralisme, itu hanyalah sebagian dari sekian banyaknya bidang garapan para intelektual muslim tersebut, yang tentunya mempunyai pengaruh terhadap liberalisasi, perubahan dan pemikiran umat Islam.
     Perkembangan dominasi Islam liberal di tanah air agaknya telah memetakan, bahwa ia tak lebih sebagai bentuk persaingan intelektual dari komunitas tertentu yang segera akan menghadapi titik jenuh5. Nyatanya Islam liberal terus berkembang kearah yang lebih progresif,oleh sekelompok intelektual muslim muda Islam terus menerus diberi sentuhan yang lebih kontekstual dengan permasalahan dan perkembangan jaman  di tanah air. Dalam visi mereka Islam liberal adalah Islam liberal yang ramah, terbuka dan aprematif terhadap seluruh proses  demokratisasi di Indonesia. Karena keramahan pada visi ini, Islam liberal telah memperoleh dukungan penuh antara lain dari sejumlah media masa, seperti yang dilakukan oleh sebuah koran nasional Jawa Post  sehingga di semangati oleh gagasan Islam liberal, yang begitu progresif dan pada akhirnya telah menyebar luas.
       Menurut Islam liberal tersebut, dalam menghadapi persoalan-persoalan global itu umat Islam tidak harus mengambil pemikiran dari luar (pikiran Barat). Umat Islam juga tidak perlu terlampau jauh bersikap seperti kaum restorasi yang terlalu curiga terhadap segala sesuatu yang datang dari luar Islam, karena hanya akan menjadikan cemas dan akhirnya umat Islam semakin mundur dan mengalami keterputusan dengan situasi global.
          Bagi Islam liberal dalam menghadapi persoalan-persoalan global, dasar berpijak umat Islam sudah jelas, yaitu syari’ah yang bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah6. Tiga modal yang ditawarkan Islam liberal dalam memahami syari’ah, adalah  sebagai berikut:
1.      Syari’ah liberal, menurut model ini, sebenarnya syari’ah sejak awal telah memiliki sifat liberal. Wajah liberal dari syari’ah ini selain melalui pada Al Qur’an juga telah terdeteksi secara sempurna dalam sejarah Islam. Oleh karena itu Islam sebenarnya telah menyediakan argumen autentik dalam merespon persoalan-persoalan global, misalnya pengalaman Rasulullah dalam merumuskan Piagam Madinah.
2.      Syari’ah yang diam (silent sharia), yaitu umat Islam memiliki kebebasan merespon persoalan global karena syari’ah terutama yang berhubungan dengan kehidupan publik, seperti bentuk negara yang meskipun tidak memberikan argumen secara rinci, dengan demikian umat Islam memiliki keluasan dalam menghadapi dan mengadopsi bentuk-bentuk kehidupan publik secara idealnya.
3.      Syari’ah yang ditafsirkan, model ini berpandangan, bahwa dibalik keilahian syari’ah, manusia sesungguhnya mempunyai peluang dalam memberikan penafsiran secara beragam. Sehingga Islam tetap memiliki keterkaitan secara kontekstual dengan perkembangan zamannya.
         Jika kita amati secara seksama dalam kehidupan politik di tanah air, obyektifikasi doktrin agama bukan sepenuhnya diarahkan bagi pengembangan kehidupan yang lebih demokratis, yang menonjol malah kecenderungan mepolitisasi agama guna memperkuat kepentingan kelompok seperti carut marutnya suasana partai politik menjelang pemilu 2004 ini, sehingga artikulasi politik umat Islam lebih menggunakan unsur-unsur primordialistik.
       Dengan memahami model syari’ah yang ditawarkan di atas, Islam liberal memberikan banyak pilihan kepada umat Islam dalam memahami agamanya,karena Islam sendiri, merupakan agama yang multi intrepretatif. Dari segi otentisitas tidak perlu dicurigai karena Islam liberal justru tetap menjaga validitas syari’ah sebagai pijakan Islam, dan tidak dapat dihindari bahwa Islam liberal kadang-kadang bersinggungan dengan dunia luar (Barat). Hal ini karena peradapan dapat berkembang hanya karena adanya persingungan dengan dunia lain.

D.    Kesimpulan
Dari beberapa uraian tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan  sebagai berikut:
1.      Sebagai sebuah gerakan pemikir, fenomena jaringan Islam liberal  merupakan respon terhadap dinamika kehidupan masyarakat Indonesia yang semakin marak, dengan instabilitas sosial politik, ketidak adilan struktural, kesulitan relasi ekonomidan tersumbatnya proses demokratisasi serta masih kurangnya eksistensi kedamaian antar kelompok agama,karena demokrasi di Indonesia membutuhkan cara keberagamaan yang terbuka,plural dan humanis. Maka Islam liberal sebagai salah satu solusinya.
2.      Bagi Islam liberal dalam menghadapi problem-problem global, dasar berpijak umat Islam sudah jelas jaitu syari’ah.

E.     Penutup
Demikian makalah singkat ini yang dapat penulis sampaikan, yang tentunya masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran sebagai penulis, sangat diharapkan.




DAFTAR PUSTAKA


Arifin, Syamsul, Islam Indonesia, UMM Press, Malang, 2003.

Abd. ‘Ala, Dari neo Modernisme ke Islam Liberal, Paramadina, Jakarta, 2003.

Charles Kuzman, Wacana Islam Liberal, Terj. Bahrul Ulum dan Hari Junaidi, Paramadina, Jakarta, 2003.

Ltonard Binder, Islamic Libralism; A Critiqu of Development Ideologis, University of Chicago Press, Chicago, 1988.



1  Syamsul Arifin, Islam Indonesia, (UMM; Malang, 2003): hal. 180
2  Abd Ala, Dari NeoModernisme ke Islam Liberal, (Paramadina; Jakarta, 2003): hal. 6.
3 Azumardi Azra, Kata  Pengantar, Ibid, hal. XV
4 Charles Kazman, Wacana Islam Liberal, (Paramdina; Jakarta, 2003) hal. xxxiii
5. Syamsul Arifin, Op Cit, hal. 181.
6 Ibid, 178.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar