Media, Ekonomi dan
Kapitalisme
“Kapitalisme
terbukti merupakan binatang buas yang lebih beragam
dari
yang pernah dipikirkan orang” (Robert
W. Hefner)
A. Kemiskinan
dan Ekonomi
Apa saja dapat ditemui di
dalam media massa, mulai dari masalah politik, budaya, pendidikan, hukum,
hiburan, soal kehidupan selebritis dan tak ketinggalan adalah masalah ekonomi.
Bahkan, di sejumlah harian lokal maupun nasional, seperti Suara Merdeka dan
KOMPAS menyajikan rubrik khusus yang bertajuk “Analisis Ekonomi”. Lebih
dari itu, banyak surat kabar atau majalah yang hanya fokus pada persoalan
ekonomi. Ini tidak lain karena masalah perekonomian merupakan masalah primer
yang menyentuh kehidupan masyarakat, mulai dari kelas terbawah hingga kelas
teratas. Di antara masalah perekonomian yang sering mendapat sorotan tajam
adalah masalah kemiskinan.
Pada 16 Agustus lalu,
dalam pidato di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden RI Susilo
Bambang Yudhoyono melaporkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia menurun, dari
23,4 persen pada tahun 1999 menjadi 16 persen pada tahun 2005 (KOMPAS, 19/08/2006:
1). Data tersebut sebetulnya adalah data kadaluarsa. Dikatakan kadaluarsa
karena ada data yang lebih up to date, yaitu hasil Susenas Juli 2005 dan
Maret 2006 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan pada data BPS tersebut
diketahui bahwa kemiskinan di Indonesia mencapai 23 persen (KOMPAS, 19/08/2006:
1). Jauh melampaui apa yang disampaikan oleh presiden.
Oleh karena itu, menurut
pengamat ekonomi UI, Faisal Basri dalam tulisannya Akselerasi Penanggulangan
Kemiskinan dan Pengangguran (KOMPAS, 4/09/2006: 1 dan 15), data yang
disampaikan presiden itu cukup “mencengangkan”. Menurutnya, “sepanjang laju
pertumbuhan masih seperti sekarang, niscaya jumlah penduduk miskin akan terus
bertambah. Memang demikian yang nyata-nyata terjadi, seperti data kemiskinan
terbaru yang ditunjukkan oleh BPS.
Ketidakakurasian data yang
disampaikan kepada publik oleh suatu instansi, baik pemerintah maupun swasta,
memang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga pernah terjadi di
Australia. Pada tanggal 10 Juli 1981, salah satu surat kabar harian Sydney, Sydney
Morning Herald, menurunkan sebuah berita yang “melegakan” masyarakat.
Pasalnya, Organisasi untuk Koorporasi dan Pengembangan Ekonomi, Organization
for Economic Co-operation and Development (OECD) (dalam Windschuttle, 1988:
353) menyatakan bahwa:
“Australia kini berada di
ambang pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, bahkan termasuk salah satu
pertumbuhan yang terbesar dalam sejarah. Lembaga tersebut kemudian menjelaskan
bahwa sekarang merupakan fase pertama dari ekspansi ekonomi yang sangat cepat
yang berbasis pada industri-industri berbasis sumber daya dan energi. Ia
memprediksikan bahwa ekonomi akan tumbuh hingga 5,75 persen pada tahun 1981. Ia
juga melaporkan kalau angka pengangguran di Australia akan menurun hingga 5,5
persen, jauh berbeda dengan angka dunia yang hanya 5,5 persen.”
Sayangnya dalam kurun waktu duabelas bulan, semua
prediksi itu ternyata salah. Tidak hanya salah, tetapi benar-benar salah. Pada
medio 1982, pasar tenaga kerja mengalami penurunan, dan pada Februari 1983
angka pengangguran naik menjadi 10,7 persen, bahkan 747.000 orang dilaporkan
menganggur. Kondisi ini 50 persen lebih tinggi dibanding total laporan sewaktu Great
Depression pada tahun 1930-an. Australia bukannya masuk pada tahapan
pertumbuhan ekonomi yang besar dalam sejarahnya, akan tetapi tercebur ke lubang
kehancuran ekonomi dan kemiskinan yang luar biasa (Windschuttle, 1988: 353).
Sudah barang tentu, Sydney Morning Herald, dan
setiap harian lainnya yang menurunkan berita serupa pada hari itu tidak bisa
dimintai pertanggung-jawaban terhadap prediksi yang tidak akurat dari para
ekonom OECD. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang memaksa media itu untuk
memberitakan prediksi tersebut dalam bentuk headline yang cukup
transparan. Mengenai headline dan prediksi itu, pihak surat kabar hanya
menyampaikan persetujuan mereka sendiri (Windschuttle, 1988: 354).
Demikian halnya dengan media massa Indonesia yang
menyampaikan bermacam variasi data kemiskinan, mereka hanya melaporkan apa yang
disampaikan oleh sumber berita itu. Terlepas apakah data itu akurat atau tidak,
itu di luar tanggungjawab para jurnalis. Artinya, tanggungjawab terhadap berita
yang dilaporkan itu sepenuhnya ada di pihak sumber berita.
B. Deregulasi
dan Kapitalisme (New Right)
Deregulasi ekonomi
merupakan salah alat kapitalisme yang memuja kebebasan pasar (free market) untuk
memperkuat posisi kelas pemilik modal. Deregulasi ekonomi mengandaikan bahwa
pemerintah “dilarang keras” mengatur proses perekonomian yang berlangsung di
pasar. Biarlah pasar yang menentukan nasibnya sendiri. Ini merupakan inti dari
doktrin pasar bebas (Azizi, 2003:45).
Adam Smith, melalui
bukunya The Wealth of Nations, menegaskan bahwa campur tangan politik
terhadap perdagangan atau produksi akan bertentangan dengan kepentingan
nasional yang mendasar. Jika masing-masing produsen dibiarkan mengurus dirinya
sendiri, mereka akan sebaik-baiknya akan memaksimalkan produksi mereka,
sehingga produksi nasional akan meningkat (Fink, 2003: 106).
Hal semacam ini mulai
menyeruak di Australia pada tahun 1970-an. Para pengusaha mulai berteriak agar
masalah perekonomian diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, sehingga
pasarlah yang menentukan apa dan bagaimana perekonomian Australia ke depan.
Mereka mulai melancarkan pemikiran-pemikiran kapitalisme melalui serangkaian
publikasi, seperti buku, pamflet dan tak lupa juga surat kabar. Media ternyata
memainkan peran vital di dalam penyebaran deregulasi ekonomi itu. Harian Australian,
misalnya, mengeluarkan serial gagasan buku Free to Choose Milton dan
Rose Friedman pada tahu 1980. Wacana yang diusung di antaranya adalah campur
tangan pemerintah terhadap pasar makin lama makin tinggi, proteksi pemerintah
dan tingginya pajak telah memperpuruk perekonomian negara, dan semakin
memburuknya pelayanan pendidikan publik (Windschuttle, 1988: 361). Karena itu,
bagi mereka, deregulasi merupakan obat mujarab yang akan mampu memperbaiki kondisi
tersebut.
Jika dicermati, deregulasi
ternyata tidak berpihak kepada rakyat kecil. Ia hanya menguntungkan kelas
pemodal dan segelintir orang berduit. Akhir tahun lalu masyarakat kita
digegerkan oleh kebijakan pemerintah untuk menarik subsidi BBM yang telah
berlangsung cukup lama. Konsekuensinya, harga BBM rata-rata melonjak hingga 100
persen. Pada saat di subsidi saja daya beli masyarakat masih kecil, apalagi
ketika tidak di subsidi, maka rakyat kecil akan semakin menderita.
Deregulasi ternyata tidak
hanya terjadi di dalam ekonomi, akan tetapi juga soal pendidikan. Belakangan
ini, media massa Indonesia sering menurunkan berita mengenai Rancangan
Undang-Udang Badan Hukum Pendidikan atau RUU BHP yang sebentar lagi akan segera
dilimpahkan ke DPR. Substansi RUU BHP tersebut, antara lain, melepaskan
perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak tidak ada lagi perbedaan
antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. Semuanya dikelola
di dalam sebuah model privatisasi (KOMPAS, 16/10/2006: 14).
Yang ironis, model yang
ada dalam RUU BHP justru mempersempit ruang bagi seluruh warga negara untuk
mengenyam layanan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Istilah privatisasi memang kental dengan
pendekatan modal. Sebagai pranata yang lekat dengan kepentingan publik,
tidaklah pantas lembaga pendidikan berhitung-hitung dengan modal seperti
layaknya lembaga bisnis.
RUU BHP itu dikhawatirkan
akan meligitimasi keinginan pemerintah untuk meringkus kebebasan institusi
penyelenggara pendidikan. Selain itu, RUU BHP juga akan menjadi pembenaran
penghindaran tanggungjawab negara dalam pembiayaan pendidikan. Privatisasi itu
memang berangkat dari konsep kapitalisme, di mana model pelayanan sudah
membidik segmen tertentu demi kepentingan modal.
Konsekuensi logis dari
privatisasi saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru
untuk menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana.
Saat ini saja perguruan tinggi negeri (PTN) sudah berlomba-lomba membuka
program studi baru, seperti diploma dan ekstensi, yang nyata-nyata kian
“membunuh” keberadaan perguruan tinggi swasta. Yang paling sengsara dari
kebijakan privatisasi perguruan tinggi itu adalah anak miskin yang bodoh.
Mereka semakin tersisihkan ke sisi paling tepi dari hiruk pikuk perkembangan
zaman ini. Sementara yang paling untung adalah anak orang kaya yang pintar,
atau minimal kaya sekalipun bodohnya minta ampun. Sebab dengan kekayaannya itu
ia bisa “kongkalikong” dengan pengelola pendidikan terkait yang memang “doyan”
dengan sesuatu yang sangat di murka Tuhan. Ini jelas menyalahi kodrat fitrah
anak bangsa untuk mengenyam pendidikan. Menurut Mansour Fakih (2001:viii-xvi),
pendidikan adalah hak asasi manusia. Karenanya komoditasi pendidikan merupakan
ancaman kemanusiaan yang sangat serius.
Karena itu, tidaklah
mengherankan manakala Anthony Giddens mengutuk kapitalisme. Menurutnya,
kapitalisme hanya memandang dunia sebagai hamparan padang pasir yang luas
dengan janji-janji kudus, demokratisasi dan keadilan. Padahal, ia justru membawa
masyarakat modern tidak tahu di dunia mana mereka berada dan apa yang sedang
mereka lakukan (Dahlan, 2001: ix-x).
C. Potret Buram Sektor Publik
Barangkali yang paling
kurang ajar dari kampanye para kapitalis adalah usaha mereka untuk menghapus sektor
publik. Pelayanan-pelayan di bidang telekomunikasi, kesehatan, pendidikan dan
semacamnya dinilai kontraporuduktif. Financial Review menyebutkan bahwa
para pekerja di sektor publik cenderung bermalas-malas ria, bahkan cenderung
untuk berbuat korup, sekalipun tidak benar-benar korup (Windschuttle, 1988:
364-5).
Bagi masyarakat Indonesia,
hal semacam ini bukan sesuatu yang asing. Lebih dari itu, di Indonesia malah
muncul “budaya” yang tampaknya sudah mendarah daging, “jika bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”.
Sehingga praktis setiap pelayanan publik, yang ditangani oleh pemerintah,
susahnya minta ampun.
Contoh kecil dan sangat
sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah pembuatan Kartu Tanda
Penduduk (KTP). Pembuatan KTP yang sebetulnya bisa diselesaikan dalam waktu
sebentar ternyata harus memakan waktu rata-rata 7 hingga 15 hari. Hal semacam
ini sudah menjadi realitas yang telah diketahui oleh masyarakat kita.
Berbelit-belitnya
pelayanan publik semacam itu juga menjadi salah satu alasan penting mengapa
banyak investor asing yang enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Karenanya,
di banyak kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu mewanti-wanti
agar ada perubahan cara pandang dari para pelayan masyarakat. Jika sebelumnya
berprinsip, “jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah”, kini menurut
tokoh yang akrab dipanggil SBY itu harus dirubah menjadi, “jika bisa
dipermudah, kenapa harus dipersulit”.
Lebih dari itu, yang
paling parah di sektor pelayanan publik adalah banyaknya mafia yang suka
menggunakan jalur culas, sehingga tidak mengherankan apabila banyak orang yang
berusaha untuk “jujur” selalu ter(di)singkirkan. Lihat saja pengalaman mantan
Dirut Pertamina, Widya Purnama. Ia harus lengser akibat tekadnya untuk
memberantas mafia minyak di Pertamina (TEMPO, 25/12/2005: 12124-6).
Karenanya upaya untuk memperbaiki pelayanan di sektor publik sulit untuk
terealisasikan.
Mungkin berangkat dari
situasi semacam ini, Australian menyambut hangat upaya pemerintah untuk
melakukan efisiensi dengan cara merampingkan jumlah karyawan yang bekerja di
sektor publik atau pemerintah. Sekali lagi, perampingan itu bukan dalam rangka
pemangkasan para karyawan yang bekerja untuk pemerintah maupun pelayan
masyarakat, akan tetapi semata-mata demi efisiensi yang sangat bermanfaat bagi
masyarakat secara keseluruhan. Dengan perampingan itu maka akan menghentikan
laju uang yang sia dengan cara menyederhanakan birokrasi.
D. Problematika Sumber Daya Alam
Sering kali terdengar
ungkapan bahwa “seandainya kita melemparkan tongkat ke halaman, maka ia akan
jadi tanaman”. Ungkapan ini menggambarkan betapa suburnya bumi pertiwi ini.
Karena kemakmurannya banyak orang asing yang ngiler dan iri melihat
kemakmuran bangsa ini. Anehnya, sumber daya alam yang melimpah itu ternyata
tidak serta merta menjadikan bangsa kita sebagai bangsa yang sejahtera. Bahkan
kemiskinan dan kelaparan terus terjadi di mana-mana. Usut punya usut, sumber
daya alam yang begitu melimpah itu ternyata tidak sepenuhnya dinikmati oleh
bangsa sendiri, malah dicaplok dengan rakusnya oleh bangsa asing yang
menancapkan perekonomian di bangsa yang kini tengah diterpa krisis
multidimensional.
Sumber daya alam yang
melimpah ruah itu, lambat laun sudah berkurang dan, jika tidak segera ditata
kembali, sebentar lagi akan ludes. Contoh yang paling mutakhir barangkali
adalah kebingungan pemerintah mengantisipasi menipisnya cadangan minyak bumi
kita dan melambungnya harga BBM di pasar internasional. Kini pemerintah mulai
melirik untuk mengembangkan apa yang disebut dengan bio-oil, khususnya
dengan pembudidayaan pohon jarak yang sebelumnya tidak mendapat perhatian sama
sekali.
Krisis sumber daya alam
ini, salah satunya adalah akibat terpaan sistem kapitalisme yang cenderung
bergerak melalui pabrik-pabrik besar yang acapkali tidak ramah lingkungan. Apa
yang menjadi fokus kapitalisme adalah meraih keungtungan yang sebesar-besarnya
tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan dan ketersediaan sumber daya
alam. Padahal sumber daya alam, seperti minyak bumi, timah, emas, dan lain-lain
tidak bisa dipulihkan dalam waktu singkat. Adapun yang menjadi korbannya adalah
tentu saja orang-orang kecil yang harus selalu “tabah” menghadapi buasnya
kapitalisme.
Lihat saja dicabutnya
subsidi BBM untuk rakyat dengan alasan ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi
subsidi tersebut akibat melambungnya harga BBM di pasaran internasional yang
pada bulan Juli 2005 mencapai US 62 per barel. Padahal, di saat APBN 2005
disahkan pada Oktober 2004, harga patokan minyak ditetapkan US 45 per barel.
Akibat selisih angka yang cukup besar itu, pemerintah dengan “sangat terpaksa”
mencabut subsidi BBM (TEMPO, 14/8/2005: 116-8). Naiknya harga minyak
itu, di antaranya, adalah diakibatkan oleh menipisnya minyak bumi akibat
eksplorasi yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan BBM yang terus
meningkat.
E. Perkembangan Teknologi dan Krisis Pertanian
Perkembangan teknologi
yang begitu cepat telah memberikan kemudahan luar biasa bagi manusia, tetapi
pada saat yang sama ia juga menjadi bencana bagi sejumlah masyarakat, khususnya
mereka yang tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi tersebut. Dalam banyak
hal, kehadiran teknologi mampu mengganti peran manusia, sehingga kinerjanya
jauh lebih efektif dan efisien dibanding tenaga manusia, sehingga hal ini
semakin mengukuhkan tesis bahwa kemampuan teknologi (technological
capability) merupakan sarana paling pas untuk memperoleh dan mempertahankan
daya saing internasional, baik ditinjau dari segi harga maupun mutu (Wie, 1996: 228)
Contoh yang paling sederhana
dalam hal ini adalah adanya traktor pembajak sawah dan alat pemanen padi.
Sebelum ada kedua alat tersebut para petani memanfaatkan tenaga sapi dan
manusia. Tentu membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya yang lebih tinggi.
Namun demikian, hal tersebut menjadi berkah tersendiri bagi para buruh tani
yang kebanyakan tidak memiliki lahan satu petak pun untuk mengais rejeki di
sana.
Kenyataan menjadi jauh
berbeda ketika mesin pembajak dan pemanen padi mulai menyerbu pedesaan. Para
buruh tani terus tersisihkan akibat kalah bersaing dengan mesin-mesin yang
memang tidak mungkin disiangi dengan tenaga kasar manusia. Dengan adanya
mesin-mesin itu, tenaga manusia yang dibutuhkan tidak banyak lagi. Mesin
pembajak itu sudah bisa beroperasi dengan baik hanya dengan dua atau tiga orang
saja. Akibatnya, para buruh tani yang kehilangan pekerjaan di kampung
beramai-ramai mengadu nasib di kota, luar negeri, atau mengikuti program
transmigrasi yang digulirkan oleh pemerintah.
Masih mengenai pertanian.
Saat ini petani Indonesia sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia, pestisida,
bibit hasil modifikasi teknologi dan semacamnya. Memang, pada awalnya, cara itu
menjanjikan hasil yang lebih bagus. Akan tetapi dampak dari penggunaan
bahan-bahan kimia itu terhadap pertanian sangat luar biasa.
Harian KOMPAS
(13/10/2006: 17) menurunkan berita bahwa bibut Hibrida mampu meningkatkan
produksi hingga 20 persen. Bahkan, sebagaimana dikutip KOMPAS, kalangan
petani yang baru menggunakan padi Hibrida menyatakan penggunaan padi tersebut sangat
menguntungkan dirinya. “Saya termotivasi menggunakan padi Hibrida karena
mengetahui produktivitasnya tinggi”, turur salah seorang petani di Desa
Gwalera, Kecamatan Paniplad, Negara Bagian Haryana, India.
Hal semacam ini sebenarnya
juga sering didengar di Indonesia. Tetapi pada faktanya, dampak dari benih
tersebut juga tidak kalah besar. Benih-benih itu umumnya membutuhkan pupuk yang
banyak dan pestisida yang tidak sedikit. Jika dikalkulasi, antara beban
pengeluaran dan hasil yang didapat sebetulnya sedikit. Padahal, kerusakan tanah
akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida itu cukup siginifikan.
Hal lain yang diakibatkan
oleh perkembangan teknologi terhadap pertanian adalah semakin menyempitkan
lahan pertanian akibat dikonversi dengan sarana lain yang sejatinya tidak bisa
dinikmati oleh wong cilik. Sebagaimana disebutkan oleh Kecuk Suhariyanto
melalui artikelnya yang berjudul Kemiskinan dan Konversi Lahan (KOMPAS,
16/10/2006: 6), lahan pertanian kini telah jauh menyusut. Berdasar Sensus
2003, dari tahun 1993-2003, rata-rata luas lahan pertanian turun dari 0,80 ha
menjadi 0,72 ha. Di Jawa, rata-rata luas lahan pertanian turun dari 0,47 ha
menjadi 0,38 ha. Akibatnya jumlah petani gurem yang menguasai lahan pertanian
yang kurang dari 0,5 ha meningkat 2,17 persen per tahun. Pada tahun 2003,
jumlahnya mencapai 13,3 persen.
Lahan pertanian itu banyak
dikonversi ke berbagai bentuk, seperti mall, area industri, properti, lapangan
golf dan sebagainya. Siapa yang menikmati semua itu? Jawabnya adalah para konglomerat
dan orang-orang berduit. Sementara orang-orang miskin hanya menjadi juru
parkir, cleaning service atau satpam. Itu masih mending ketimbang
menjadi pengemis.
Masalah pertanian ini
hanyalah salah satu contoh di antara banyak contoh mengenai dampak teknologi
terhadap kehidupan masyarakat. Segala sesuatu memang memiliki kelebihan dan
kekurangan tersendiri. Persoalannya adalah keuntungan dan kerugian itu
dinikmati oleh siapa. Jika keuntungan hanya dinikmati oleh segelintir orang
berduit, sementara kerugiaannya diderita oleh masyarakat miskin papa yang tak
berpendidikan, ini jelas tidak adil.
F. Jurnalisme dan Masa Depan Perekonomian
Media massa bukan hanya
berfungsi sebagai wadah untuk menyampaikan berita kepada masyarakat, akan
tetapi juga sebagai arena perdebatan gagasan yang di dalamnya sarat dengan
kepentingan terselubung (hidden interests). Kepentingan di sini bisa
berasal dari dalam maupun luar negeri; atau kepentingan yang secara sepintas
tampak membawa kepentingan dalam negeri, tetapi pada hakikatnya adalah pesanan
dari kepentingan yang jauh lebih besar, yaitu kepentingan global.
Dialektika gagasan yang
terjadi di media massa mengenai suatu masalah tertentu, seperti masalah
ekonomi, tidak menutup kemungkinan diliputi oleh kepentingan-kepentingan
tersebut. Apalagi dengan semakin banyaknya kaki tangan negara-negara penguasa
ekonomi dunia di hampir seluruh negara di muka bumi ini, baik yang berupa Trans
National Corporations (TNCs) atau institusi-institusi lainnya seperti IMF,
World Bank, dan lain-lain. Karenanya peran gagasan sangat menentukan
kelestarian kepentingan-kepentingan itu.
Dialektika gagasan
mengenai sistem perekonomian Indonesia belakangan ini sangat menarik untuk
diamati, di antaranya adalah gagasan mengenai “ekonomi Islam” sebagai sistem
ekonomi alternatif dari sistem ekonomi yang dikembangkan oleh Barat. Untuk itu,
tidak mengherankan apabila saat ini istilah-istilah “islami” banyak menjadi
embel-embel istilah-istilah perekonomian yang sudah lazim digunakan, misalnya
istilah “Perbankan Syariah”. Disebutkan bahwa tujuan utamanya dari penggunaan
istilah tersebut adalah dalam rangka mendasari segenap aspek kehidupan ekonomi
umat muslim dengan Alquran dan Hadits (Antonio, 2001: 18).
Fenomena ini tidak adalah artikulasi dari ideologi
dan kepentingan dari kelompok besar yang mengatasnamakan muslim yang menyaingi
ideologi dan kepentingan Barat yang sangat dominan. Islam, sebagai agama atau
spirit perjuangan, kini memang menjadi entitas yang dipandang menjadi rival
terberat dari kapitalisme, khususnya setelah “tumbangnya” sosialisme. Islam dan
kapitalisme tampak terus bersaing untuk menjadi ideologi dominan dalam berbagai
bidang, termasuk perekonomian.
Persaingan ideologi dan kepentingan memang sudah
berkembang sejak dahulu, dan akan terus berlangsung entah hingga kapan. Di
Australia, misalnya, setelah mengalami kemunduran perekonomian pada tahun
1970-an, sejumlah ekonom-jurnalis sama-sama melontarkan tawaran solusi untuk
keluar dari persoalan itu, di antaranya adalah yang dikeluarkan oleh OECD
dengan headline yang berbunyi “The End of the Slump”, akhir dari
penderitaan. (Windschuttle, 1988: 382).
Solusi yang ditawarkan oleh OECD adalah solusi ala
kapitalisme. Hal itu merujuk kepada kesuksesan Swedia sebagai satu-satunya
negara kapitalis yang sanggup bertahan dari terpaan badai kapitalisme. Swedia
terbukti sanggup mempertahankan hampir semua buruh yang ada (baca: tidak
melakukan PHK) dan tetap mengembangkan industri-industri dengan teknologi
tinggi. Kesuksesan Swedia inilah yang menjadi topik perdebatan antar ekonom dan
jurnalis. Bahkan di antara mereka ada yang tidak segan-segan untuk
mengolok-olok satu sama lain (Windschuttle, 1988: 384).
Padahal, sikap tersebut selain tidak dewasa juga
tidak ada jaminan bahwa pandangan individu atau instansi lebih baik daripada
individu atau instansi lainnya. Dalam kondisi semacam ini, yang dibutuhkan
adalah bukan berasal dari mana gagasan itu. Ekonomi Barat, sosialis atau Islam,
dalam hemat penulis, sebetulnya tidak terlalu substansial. Yang substansial
adalah adanya gagasan atau tawaran solusi yang berangkat dari pandangan
realistik terhadap masalah-masalah ekonomi yang ada. “We need a new
generation of writers to put a more realistic perspective on economic matters”,
kata Windschuttle.
G. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Analisis
ekonomi seorang ekonom atau lembaga tertentu yang diberitakan oleh media massa
memiliki efek yang cukup besar terhadap masyarakat. Namun demikian, masalah
yang muncul akibat pemberitaan tersebut adalah tanggungjawab ekonom atau
lembaga yang bersangkutan, bukan tanggungjawab medianya,
2. Deregulasi
ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara hanya menguntungkan para kapitaslis,
dan yang menjadi korbannya adalah rakyat kecil. Deregulasi sendiri memang
merupakan kepanjangan tangan kapitalisme untuk mempertahankan kepentingannya,
3. Sektor
pelayanan publik yang dikelola oleh pemerintah masih jauh dari kata baik.
Selain kinernya yang kurang bagus, di dalamnya juga banyak terjadi
penyelewengan-penyelewengan. Hal inilah yang menjadi landasan para kapitalis untuk
mendesak pemerintah agar melakukan privatisasi sektor-sektor pelayanan
publik,
4. Kebuasan
kapitalisme telah merusak sumber daya alam di berbagai negara, khususnya di
negara-negara dunia ketika seperti Indonesia.
5. Di
satu sisi, perkembangan teknologi memang memberikan banyak kemudahan dalam
pertanian, di sisi lain ia juga menyebabkan makin hancurnya pertanian
masyarakat,
6. Media
massa adalah sarana yang paling empuk untuk mentrasformasikan ideologi atau
kepentingan tertentu, sehingga di sana kerap terjadi gesekan-gesekan gagasan
yang di dalamnya tersembunyi kepentingan dari orang atau instansi yang
melontarkankannya. Karena itu, jurnalisme turut menentukan terhadap arah
perjalanan ekonomi suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank
Syari’ah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta
Azizy, A. Qodri, 2003, Melawan
Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM Menuju Terciptanya
Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Basri, Faisal, Akselerasi
Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran KOMPAS, 4 September 2006
Dahlan, Muhidin M. (ed.), 2001, “Sosialisme
Religius” Mendayung di antara Sosialisme dan Kapitalisme”, dalam Sosialisme
Religius Suatu Jalan Keempat?, Kreasi Wacana, Yogyakarta
Fakih, Mansour, 2001, “Komodifikasi
Pendidikan Sebagai Ancaman Kemanusiaan”, Kata Pengantar dalam Francis
Wahono, Kapitalisme Pendidikan antara Kompetisi dan Keadilan, Insist
Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Fink, Hans, 2003, Filsafat Sosial dari
Feodalisme hingga Pasar Bebas, terj. Sigit Djatmiko, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Hefner, Robert William, 2000, Budaya
Pasar (Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru), LP3ES,
Jakarta
Suhariyanto, Kecuk, Kemiskinan dan
Konversi Lahan, KOMPAS, Jakarta, 16 Oktober 2006
Wie, Thee Kian, 1996, Industrialisasi
di Indonesia, Beberapa Kajian, LP3ES, Jakarta
Windschuttle, Keith, 1988, The Media A
New Analysis of The Press, Television, Radio and Advertising in Australia, Penguin
Books, Victoria
KOMPAS, 19 Agustus 2006
KOMPAS, 13 Oktober 2006
KOMPAS, 16 Oktober 2006
TEMPO, 25 Desember 2005
TEMPO, 14 Agustus 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar