Minggu, 15 Desember 2013

Aktifitas media dan ekonomi

"+"

Media, Ekonomi dan Kapitalisme

“Kapitalisme terbukti merupakan binatang buas yang lebih beragam
dari yang pernah dipikirkan orang” (Robert W. Hefner)



A.    Kemiskinan dan Ekonomi
Apa saja dapat ditemui di dalam media massa, mulai dari masalah politik, budaya, pendidikan, hukum, hiburan, soal kehidupan selebritis dan tak ketinggalan adalah masalah ekonomi. Bahkan, di sejumlah harian lokal maupun nasional, seperti Suara Merdeka dan KOMPAS menyajikan rubrik khusus yang bertajuk “Analisis Ekonomi”. Lebih dari itu, banyak surat kabar atau majalah yang hanya fokus pada persoalan ekonomi. Ini tidak lain karena masalah perekonomian merupakan masalah primer yang menyentuh kehidupan masyarakat, mulai dari kelas terbawah hingga kelas teratas. Di antara masalah perekonomian yang sering mendapat sorotan tajam adalah masalah kemiskinan.
Pada 16 Agustus lalu, dalam pidato di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono melaporkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia menurun, dari 23,4 persen pada tahun 1999 menjadi 16 persen pada tahun 2005 (KOMPAS, 19/08/2006: 1). Data tersebut sebetulnya adalah data kadaluarsa. Dikatakan kadaluarsa karena ada data yang lebih up to date, yaitu hasil Susenas Juli 2005 dan Maret 2006 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Berdasarkan pada data BPS tersebut diketahui bahwa kemiskinan di Indonesia mencapai 23 persen (KOMPAS, 19/08/2006: 1). Jauh melampaui apa yang disampaikan oleh presiden.
Oleh karena itu, menurut pengamat ekonomi UI, Faisal Basri dalam tulisannya Akselerasi Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran (KOMPAS, 4/09/2006: 1 dan 15), data yang disampaikan presiden itu cukup “mencengangkan”. Menurutnya, “sepanjang laju pertumbuhan masih seperti sekarang, niscaya jumlah penduduk miskin akan terus bertambah. Memang demikian yang nyata-nyata terjadi, seperti data kemiskinan terbaru yang ditunjukkan oleh BPS. 
Ketidakakurasian data yang disampaikan kepada publik oleh suatu instansi, baik pemerintah maupun swasta, memang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga pernah terjadi di Australia. Pada tanggal 10 Juli 1981, salah satu surat kabar harian Sydney, Sydney Morning Herald, menurunkan sebuah berita yang “melegakan” masyarakat. Pasalnya, Organisasi untuk Koorporasi dan Pengembangan Ekonomi, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) (dalam Windschuttle, 1988: 353) menyatakan bahwa:
“Australia kini berada di ambang pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, bahkan termasuk salah satu pertumbuhan yang terbesar dalam sejarah. Lembaga tersebut kemudian menjelaskan bahwa sekarang merupakan fase pertama dari ekspansi ekonomi yang sangat cepat yang berbasis pada industri-industri berbasis sumber daya dan energi. Ia memprediksikan bahwa ekonomi akan tumbuh hingga 5,75 persen pada tahun 1981. Ia juga melaporkan kalau angka pengangguran di Australia akan menurun hingga 5,5 persen, jauh berbeda dengan angka dunia yang hanya 5,5 persen.”

Sayangnya dalam kurun waktu duabelas bulan, semua prediksi itu ternyata salah. Tidak hanya salah, tetapi benar-benar salah. Pada medio 1982, pasar tenaga kerja mengalami penurunan, dan pada Februari 1983 angka pengangguran naik menjadi 10,7 persen, bahkan 747.000 orang dilaporkan menganggur. Kondisi ini 50 persen lebih tinggi dibanding total laporan sewaktu Great Depression pada tahun 1930-an. Australia bukannya masuk pada tahapan pertumbuhan ekonomi yang besar dalam sejarahnya, akan tetapi tercebur ke lubang kehancuran ekonomi dan kemiskinan yang luar biasa (Windschuttle, 1988: 353).
Sudah barang tentu, Sydney Morning Herald, dan setiap harian lainnya yang menurunkan berita serupa pada hari itu tidak bisa dimintai pertanggung-jawaban terhadap prediksi yang tidak akurat dari para ekonom OECD. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang memaksa media itu untuk memberitakan prediksi tersebut dalam bentuk headline yang cukup transparan. Mengenai headline dan prediksi itu, pihak surat kabar hanya menyampaikan persetujuan mereka sendiri (Windschuttle, 1988: 354).
Demikian halnya dengan media massa Indonesia yang menyampaikan bermacam variasi data kemiskinan, mereka hanya melaporkan apa yang disampaikan oleh sumber berita itu. Terlepas apakah data itu akurat atau tidak, itu di luar tanggungjawab para jurnalis. Artinya, tanggungjawab terhadap berita yang dilaporkan itu sepenuhnya ada di pihak sumber berita.  



B.  Deregulasi dan Kapitalisme (New Right)
Deregulasi ekonomi merupakan salah alat kapitalisme yang memuja kebebasan pasar (free market) untuk memperkuat posisi kelas pemilik modal. Deregulasi ekonomi mengandaikan bahwa pemerintah “dilarang keras” mengatur proses perekonomian yang berlangsung di pasar. Biarlah pasar yang menentukan nasibnya sendiri. Ini merupakan inti dari doktrin pasar bebas (Azizi, 2003:45).
Adam Smith, melalui bukunya The Wealth of Nations, menegaskan bahwa campur tangan politik terhadap perdagangan atau produksi akan bertentangan dengan kepentingan nasional yang mendasar. Jika masing-masing produsen dibiarkan mengurus dirinya sendiri, mereka akan sebaik-baiknya akan memaksimalkan produksi mereka, sehingga produksi nasional akan meningkat (Fink, 2003: 106).   
Hal semacam ini mulai menyeruak di Australia pada tahun 1970-an. Para pengusaha mulai berteriak agar masalah perekonomian diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, sehingga pasarlah yang menentukan apa dan bagaimana perekonomian Australia ke depan. Mereka mulai melancarkan pemikiran-pemikiran kapitalisme melalui serangkaian publikasi, seperti buku, pamflet dan tak lupa juga surat kabar. Media ternyata memainkan peran vital di dalam penyebaran deregulasi ekonomi itu. Harian Australian, misalnya, mengeluarkan serial gagasan buku Free to Choose Milton dan Rose Friedman pada tahu 1980. Wacana yang diusung di antaranya adalah campur tangan pemerintah terhadap pasar makin lama makin tinggi, proteksi pemerintah dan tingginya pajak telah memperpuruk perekonomian negara, dan semakin memburuknya pelayanan pendidikan publik (Windschuttle, 1988: 361). Karena itu, bagi mereka, deregulasi merupakan obat mujarab yang akan mampu memperbaiki kondisi tersebut.
Jika dicermati, deregulasi ternyata tidak berpihak kepada rakyat kecil. Ia hanya menguntungkan kelas pemodal dan segelintir orang berduit. Akhir tahun lalu masyarakat kita digegerkan oleh kebijakan pemerintah untuk menarik subsidi BBM yang telah berlangsung cukup lama. Konsekuensinya, harga BBM rata-rata melonjak hingga 100 persen. Pada saat di subsidi saja daya beli masyarakat masih kecil, apalagi ketika tidak di subsidi, maka rakyat kecil akan semakin menderita.
Deregulasi ternyata tidak hanya terjadi di dalam ekonomi, akan tetapi juga soal pendidikan. Belakangan ini, media massa Indonesia sering menurunkan berita mengenai Rancangan Undang-Udang Badan Hukum Pendidikan atau RUU BHP yang sebentar lagi akan segera dilimpahkan ke DPR. Substansi RUU BHP tersebut, antara lain, melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. Semuanya dikelola di dalam sebuah model privatisasi (KOMPAS, 16/10/2006: 14).
Yang ironis, model yang ada dalam RUU BHP justru mempersempit ruang bagi seluruh warga negara untuk mengenyam layanan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.  Istilah privatisasi memang kental dengan pendekatan modal. Sebagai pranata yang lekat dengan kepentingan publik, tidaklah pantas lembaga pendidikan berhitung-hitung dengan modal seperti layaknya lembaga bisnis.
RUU BHP itu dikhawatirkan akan meligitimasi keinginan pemerintah untuk meringkus kebebasan institusi penyelenggara pendidikan. Selain itu, RUU BHP juga akan menjadi pembenaran penghindaran tanggungjawab negara dalam pembiayaan pendidikan. Privatisasi itu memang berangkat dari konsep kapitalisme, di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi kepentingan modal.
Konsekuensi logis dari privatisasi saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru untuk menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana. Saat ini saja perguruan tinggi negeri (PTN) sudah berlomba-lomba membuka program studi baru, seperti diploma dan ekstensi, yang nyata-nyata kian “membunuh” keberadaan perguruan tinggi swasta. Yang paling sengsara dari kebijakan privatisasi perguruan tinggi itu adalah anak miskin yang bodoh. Mereka semakin tersisihkan ke sisi paling tepi dari hiruk pikuk perkembangan zaman ini. Sementara yang paling untung adalah anak orang kaya yang pintar, atau minimal kaya sekalipun bodohnya minta ampun. Sebab dengan kekayaannya itu ia bisa “kongkalikong” dengan pengelola pendidikan terkait yang memang “doyan” dengan sesuatu yang sangat di murka Tuhan. Ini jelas menyalahi kodrat fitrah anak bangsa untuk mengenyam pendidikan. Menurut Mansour Fakih (2001:viii-xvi), pendidikan adalah hak asasi manusia. Karenanya komoditasi pendidikan merupakan ancaman kemanusiaan yang sangat serius. 
Karena itu, tidaklah mengherankan manakala Anthony Giddens mengutuk kapitalisme. Menurutnya, kapitalisme hanya memandang dunia sebagai hamparan padang pasir yang luas dengan janji-janji kudus, demokratisasi dan keadilan. Padahal, ia justru membawa masyarakat modern tidak tahu di dunia mana mereka berada dan apa yang sedang mereka lakukan (Dahlan, 2001: ix-x).
 

C.    Potret Buram Sektor Publik

Barangkali yang paling kurang ajar dari kampanye para kapitalis adalah usaha mereka untuk menghapus sektor publik. Pelayanan-pelayan di bidang telekomunikasi, kesehatan, pendidikan dan semacamnya dinilai kontraporuduktif. Financial Review menyebutkan bahwa para pekerja di sektor publik cenderung bermalas-malas ria, bahkan cenderung untuk berbuat korup, sekalipun tidak benar-benar korup (Windschuttle, 1988: 364-5).
Bagi masyarakat Indonesia, hal semacam ini bukan sesuatu yang asing. Lebih dari itu, di Indonesia malah muncul “budaya” yang tampaknya sudah mendarah daging,  “jika bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah”. Sehingga praktis setiap pelayanan publik, yang ditangani oleh pemerintah, susahnya minta ampun.
Contoh kecil dan sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pembuatan KTP yang sebetulnya bisa diselesaikan dalam waktu sebentar ternyata harus memakan waktu rata-rata 7 hingga 15 hari. Hal semacam ini sudah menjadi realitas yang telah diketahui oleh masyarakat kita.
Berbelit-belitnya pelayanan publik semacam itu juga menjadi salah satu alasan penting mengapa banyak investor asing yang enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Karenanya, di banyak kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu mewanti-wanti agar ada perubahan cara pandang dari para pelayan masyarakat. Jika sebelumnya berprinsip, “jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah”, kini menurut tokoh yang akrab dipanggil SBY itu harus dirubah menjadi, “jika bisa dipermudah, kenapa harus dipersulit”.
Lebih dari itu, yang paling parah di sektor pelayanan publik adalah banyaknya mafia yang suka menggunakan jalur culas, sehingga tidak mengherankan apabila banyak orang yang berusaha untuk “jujur” selalu ter(di)singkirkan. Lihat saja pengalaman mantan Dirut Pertamina, Widya Purnama. Ia harus lengser akibat tekadnya untuk memberantas mafia minyak di Pertamina (TEMPO, 25/12/2005: 12124-6). Karenanya upaya untuk memperbaiki pelayanan di sektor publik sulit untuk terealisasikan. 
Mungkin berangkat dari situasi semacam ini, Australian menyambut hangat upaya pemerintah untuk melakukan efisiensi dengan cara merampingkan jumlah karyawan yang bekerja di sektor publik atau pemerintah. Sekali lagi, perampingan itu bukan dalam rangka pemangkasan para karyawan yang bekerja untuk pemerintah maupun pelayan masyarakat, akan tetapi semata-mata demi efisiensi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan perampingan itu maka akan menghentikan laju uang yang sia dengan cara menyederhanakan birokrasi. 


D.    Problematika Sumber Daya Alam

Sering kali terdengar ungkapan bahwa “seandainya kita melemparkan tongkat ke halaman, maka ia akan jadi tanaman”. Ungkapan ini menggambarkan betapa suburnya bumi pertiwi ini. Karena kemakmurannya banyak orang asing yang ngiler dan iri melihat kemakmuran bangsa ini. Anehnya, sumber daya alam yang melimpah itu ternyata tidak serta merta menjadikan bangsa kita sebagai bangsa yang sejahtera. Bahkan kemiskinan dan kelaparan terus terjadi di mana-mana. Usut punya usut, sumber daya alam yang begitu melimpah itu ternyata tidak sepenuhnya dinikmati oleh bangsa sendiri, malah dicaplok dengan rakusnya oleh bangsa asing yang menancapkan perekonomian di bangsa yang kini tengah diterpa krisis multidimensional.
Sumber daya alam yang melimpah ruah itu, lambat laun sudah berkurang dan, jika tidak segera ditata kembali, sebentar lagi akan ludes. Contoh yang paling mutakhir barangkali adalah kebingungan pemerintah mengantisipasi menipisnya cadangan minyak bumi kita dan melambungnya harga BBM di pasar internasional. Kini pemerintah mulai melirik untuk mengembangkan apa yang disebut dengan bio-oil, khususnya dengan pembudidayaan pohon jarak yang sebelumnya tidak mendapat perhatian sama sekali.
Krisis sumber daya alam ini, salah satunya adalah akibat terpaan sistem kapitalisme yang cenderung bergerak melalui pabrik-pabrik besar yang acapkali tidak ramah lingkungan. Apa yang menjadi fokus kapitalisme adalah meraih keungtungan yang sebesar-besarnya tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan dan ketersediaan sumber daya alam. Padahal sumber daya alam, seperti minyak bumi, timah, emas, dan lain-lain tidak bisa dipulihkan dalam waktu singkat. Adapun yang menjadi korbannya adalah tentu saja orang-orang kecil yang harus selalu “tabah” menghadapi buasnya kapitalisme.
Lihat saja dicabutnya subsidi BBM untuk rakyat dengan alasan ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi subsidi tersebut akibat melambungnya harga BBM di pasaran internasional yang pada bulan Juli 2005 mencapai US 62 per barel. Padahal, di saat APBN 2005 disahkan pada Oktober 2004, harga patokan minyak ditetapkan US 45 per barel. Akibat selisih angka yang cukup besar itu, pemerintah dengan “sangat terpaksa” mencabut subsidi BBM (TEMPO, 14/8/2005: 116-8). Naiknya harga minyak itu, di antaranya, adalah diakibatkan oleh menipisnya minyak bumi akibat eksplorasi yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan BBM yang terus meningkat.   

E.     Perkembangan Teknologi dan Krisis Pertanian

Perkembangan teknologi yang begitu cepat telah memberikan kemudahan luar biasa bagi manusia, tetapi pada saat yang sama ia juga menjadi bencana bagi sejumlah masyarakat, khususnya mereka yang tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi tersebut. Dalam banyak hal, kehadiran teknologi mampu mengganti peran manusia, sehingga kinerjanya jauh lebih efektif dan efisien dibanding tenaga manusia, sehingga hal ini semakin mengukuhkan tesis bahwa kemampuan teknologi (technological capability) merupakan sarana paling pas untuk memperoleh dan mempertahankan daya saing internasional, baik ditinjau dari segi harga maupun mutu (Wie,  1996: 228)
Contoh yang paling sederhana dalam hal ini adalah adanya traktor pembajak sawah dan alat pemanen padi. Sebelum ada kedua alat tersebut para petani memanfaatkan tenaga sapi dan manusia. Tentu membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya yang lebih tinggi. Namun demikian, hal tersebut menjadi berkah tersendiri bagi para buruh tani yang kebanyakan tidak memiliki lahan satu petak pun untuk mengais rejeki di sana.
Kenyataan menjadi jauh berbeda ketika mesin pembajak dan pemanen padi mulai menyerbu pedesaan. Para buruh tani terus tersisihkan akibat kalah bersaing dengan mesin-mesin yang memang tidak mungkin disiangi dengan tenaga kasar manusia. Dengan adanya mesin-mesin itu, tenaga manusia yang dibutuhkan tidak banyak lagi. Mesin pembajak itu sudah bisa beroperasi dengan baik hanya dengan dua atau tiga orang saja. Akibatnya, para buruh tani yang kehilangan pekerjaan di kampung beramai-ramai mengadu nasib di kota, luar negeri, atau mengikuti program transmigrasi yang digulirkan oleh pemerintah.
Masih mengenai pertanian. Saat ini petani Indonesia sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia, pestisida, bibit hasil modifikasi teknologi dan semacamnya. Memang, pada awalnya, cara itu menjanjikan hasil yang lebih bagus. Akan tetapi dampak dari penggunaan bahan-bahan kimia itu terhadap pertanian sangat luar biasa.
Harian KOMPAS (13/10/2006: 17) menurunkan berita bahwa bibut Hibrida mampu meningkatkan produksi hingga 20 persen. Bahkan, sebagaimana dikutip KOMPAS, kalangan petani yang baru menggunakan padi Hibrida menyatakan penggunaan padi tersebut sangat menguntungkan dirinya. “Saya termotivasi menggunakan padi Hibrida karena mengetahui produktivitasnya tinggi”, turur salah seorang petani di Desa Gwalera, Kecamatan Paniplad, Negara Bagian Haryana, India.
Hal semacam ini sebenarnya juga sering didengar di Indonesia. Tetapi pada faktanya, dampak dari benih tersebut juga tidak kalah besar. Benih-benih itu umumnya membutuhkan pupuk yang banyak dan pestisida yang tidak sedikit. Jika dikalkulasi, antara beban pengeluaran dan hasil yang didapat sebetulnya sedikit. Padahal, kerusakan tanah akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida itu cukup siginifikan.
Hal lain yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi terhadap pertanian adalah semakin menyempitkan lahan pertanian akibat dikonversi dengan sarana lain yang sejatinya tidak bisa dinikmati oleh wong cilik. Sebagaimana disebutkan oleh Kecuk Suhariyanto melalui artikelnya yang berjudul Kemiskinan dan Konversi Lahan (KOMPAS, 16/10/2006: 6), lahan pertanian kini telah jauh menyusut. Berdasar Sensus 2003, dari tahun 1993-2003, rata-rata luas lahan pertanian turun dari 0,80 ha menjadi 0,72 ha. Di Jawa, rata-rata luas lahan pertanian turun dari 0,47 ha menjadi 0,38 ha. Akibatnya jumlah petani gurem yang menguasai lahan pertanian yang kurang dari 0,5 ha meningkat 2,17 persen per tahun. Pada tahun 2003, jumlahnya mencapai 13,3 persen.
Lahan pertanian itu banyak dikonversi ke berbagai bentuk, seperti mall, area industri, properti, lapangan golf dan sebagainya. Siapa yang menikmati semua itu? Jawabnya adalah para konglomerat dan orang-orang berduit. Sementara orang-orang miskin hanya menjadi juru parkir, cleaning service atau satpam. Itu masih mending ketimbang menjadi pengemis.
Masalah pertanian ini hanyalah salah satu contoh di antara banyak contoh mengenai dampak teknologi terhadap kehidupan masyarakat. Segala sesuatu memang memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Persoalannya adalah keuntungan dan kerugian itu dinikmati oleh siapa. Jika keuntungan hanya dinikmati oleh segelintir orang berduit, sementara kerugiaannya diderita oleh masyarakat miskin papa yang tak berpendidikan, ini jelas tidak adil.

F.     Jurnalisme dan Masa Depan Perekonomian

Media massa bukan hanya berfungsi sebagai wadah untuk menyampaikan berita kepada masyarakat, akan tetapi juga sebagai arena perdebatan gagasan yang di dalamnya sarat dengan kepentingan terselubung (hidden interests). Kepentingan di sini bisa berasal dari dalam maupun luar negeri; atau kepentingan yang secara sepintas tampak membawa kepentingan dalam negeri, tetapi pada hakikatnya adalah pesanan dari kepentingan yang jauh lebih besar, yaitu kepentingan global.
Dialektika gagasan yang terjadi di media massa mengenai suatu masalah tertentu, seperti masalah ekonomi, tidak menutup kemungkinan diliputi oleh kepentingan-kepentingan tersebut. Apalagi dengan semakin banyaknya kaki tangan negara-negara penguasa ekonomi dunia di hampir seluruh negara di muka bumi ini, baik yang berupa Trans National Corporations (TNCs) atau institusi-institusi lainnya seperti IMF, World Bank, dan lain-lain. Karenanya peran gagasan sangat menentukan kelestarian kepentingan-kepentingan itu.
Dialektika gagasan mengenai sistem perekonomian Indonesia belakangan ini sangat menarik untuk diamati, di antaranya adalah gagasan mengenai “ekonomi Islam” sebagai sistem ekonomi alternatif dari sistem ekonomi yang dikembangkan oleh Barat. Untuk itu, tidak mengherankan apabila saat ini istilah-istilah “islami” banyak menjadi embel-embel istilah-istilah perekonomian yang sudah lazim digunakan, misalnya istilah “Perbankan Syariah”. Disebutkan bahwa tujuan utamanya dari penggunaan istilah tersebut adalah dalam rangka mendasari segenap aspek kehidupan ekonomi umat muslim dengan Alquran dan Hadits (Antonio, 2001: 18).      
Fenomena ini tidak adalah artikulasi dari ideologi dan kepentingan dari kelompok besar yang mengatasnamakan muslim yang menyaingi ideologi dan kepentingan Barat yang sangat dominan. Islam, sebagai agama atau spirit perjuangan, kini memang menjadi entitas yang dipandang menjadi rival terberat dari kapitalisme, khususnya setelah “tumbangnya” sosialisme. Islam dan kapitalisme tampak terus bersaing untuk menjadi ideologi dominan dalam berbagai bidang, termasuk perekonomian.
Persaingan ideologi dan kepentingan memang sudah berkembang sejak dahulu, dan akan terus berlangsung entah hingga kapan. Di Australia, misalnya, setelah mengalami kemunduran perekonomian pada tahun 1970-an, sejumlah ekonom-jurnalis sama-sama melontarkan tawaran solusi untuk keluar dari persoalan itu, di antaranya adalah yang dikeluarkan oleh OECD dengan headline yang berbunyi “The End of the Slump”, akhir dari penderitaan. (Windschuttle, 1988: 382).
Solusi yang ditawarkan oleh OECD adalah solusi ala kapitalisme. Hal itu merujuk kepada kesuksesan Swedia sebagai satu-satunya negara kapitalis yang sanggup bertahan dari terpaan badai kapitalisme. Swedia terbukti sanggup mempertahankan hampir semua buruh yang ada (baca: tidak melakukan PHK) dan tetap mengembangkan industri-industri dengan teknologi tinggi. Kesuksesan Swedia inilah yang menjadi topik perdebatan antar ekonom dan jurnalis. Bahkan di antara mereka ada yang tidak segan-segan untuk mengolok-olok satu sama lain (Windschuttle, 1988: 384).
Padahal, sikap tersebut selain tidak dewasa juga tidak ada jaminan bahwa pandangan individu atau instansi lebih baik daripada individu atau instansi lainnya. Dalam kondisi semacam ini, yang dibutuhkan adalah bukan berasal dari mana gagasan itu. Ekonomi Barat, sosialis atau Islam, dalam hemat penulis, sebetulnya tidak terlalu substansial. Yang substansial adalah adanya gagasan atau tawaran solusi yang berangkat dari pandangan realistik terhadap masalah-masalah ekonomi yang ada. “We need a new generation of writers to put a more realistic perspective on economic matters”, kata Windschuttle.  


G.    Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Analisis ekonomi seorang ekonom atau lembaga tertentu yang diberitakan oleh media massa memiliki efek yang cukup besar terhadap masyarakat. Namun demikian, masalah yang muncul akibat pemberitaan tersebut adalah tanggungjawab ekonom atau lembaga yang bersangkutan, bukan tanggungjawab medianya,
2.      Deregulasi ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara hanya menguntungkan para kapitaslis, dan yang menjadi korbannya adalah rakyat kecil. Deregulasi sendiri memang merupakan kepanjangan tangan kapitalisme untuk mempertahankan kepentingannya,
3.      Sektor pelayanan publik yang dikelola oleh pemerintah masih jauh dari kata baik. Selain kinernya yang kurang bagus, di dalamnya juga banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan. Hal inilah yang menjadi landasan para kapitalis untuk mendesak pemerintah agar melakukan privatisasi sektor-sektor pelayanan publik, 
4.      Kebuasan kapitalisme telah merusak sumber daya alam di berbagai negara, khususnya di negara-negara dunia ketika seperti Indonesia.
5.      Di satu sisi, perkembangan teknologi memang memberikan banyak kemudahan dalam pertanian, di sisi lain ia juga menyebabkan makin hancurnya pertanian masyarakat,
6.      Media massa adalah sarana yang paling empuk untuk mentrasformasikan ideologi atau kepentingan tertentu, sehingga di sana kerap terjadi gesekan-gesekan gagasan yang di dalamnya tersembunyi kepentingan dari orang atau instansi yang melontarkankannya. Karena itu, jurnalisme turut menentukan terhadap arah perjalanan ekonomi suatu negara.







DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i, 2001, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta  
Azizy, A. Qodri, 2003, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM Menuju Terciptanya Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta  
Basri, Faisal, Akselerasi Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran KOMPAS, 4 September 2006
Dahlan, Muhidin M. (ed.), 2001, “Sosialisme Religius” Mendayung di antara Sosialisme dan Kapitalisme”, dalam Sosialisme Religius Suatu Jalan Keempat?, Kreasi Wacana, Yogyakarta
Fakih, Mansour, 2001, “Komodifikasi Pendidikan Sebagai Ancaman Kemanusiaan”, Kata Pengantar dalam Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan antara Kompetisi dan Keadilan, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Fink, Hans, 2003, Filsafat Sosial dari Feodalisme hingga Pasar Bebas, terj. Sigit Djatmiko, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Hefner, Robert William, 2000, Budaya Pasar (Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru), LP3ES, Jakarta  
Suhariyanto, Kecuk, Kemiskinan dan Konversi Lahan, KOMPAS, Jakarta, 16 Oktober 2006
Wie, Thee Kian, 1996, Industrialisasi di Indonesia, Beberapa Kajian, LP3ES, Jakarta
Windschuttle, Keith, 1988, The Media A New Analysis of The Press, Television, Radio and Advertising in Australia, Penguin Books, Victoria
KOMPAS, 19 Agustus 2006
KOMPAS, 13 Oktober 2006
KOMPAS, 16 Oktober 2006

TEMPO, 25 Desember 2005

TEMPO, 14 Agustus 2005


Tidak ada komentar:

Posting Komentar