Rabu, 18 Desember 2013

Telaah Sinetron Televisi di Indonesia

"+"

MISTIKISASI MEDIA:
Telaah Sinetron Religi Televisi Swasta
Di Indonesia




Mukadimah
Pola kehidupan masyarakat di bidang spiritual senantiasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan yang terjadi pada sektor sosial budaya dan sosial ekonomi. Pengalaman kehidupan spiritual meliputi kemampuan psikologis individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, misalnya kesiapan seseorang dalam menerima informasi serta perubahan di sekitarnya. Untuk mencapai kondisi masyarakat yang ideal, diharapkan ada keseimbangan antara perubahan di sektor lingkungan fisik dengan kemampuan akselerasi psikis individu. Tetapi senyatanya keadaan sering terjadi sebaliknya, sehingga muncul disharmoni atau disintegrasi individu, yang pada muaranya bisa menyebabkan disintegrasi sosial.
Dalam mengamati perubahan sosial ini, tidak bisa dielakkan bahwa media massa memiliki peran yang menonjol karena pada prinsipnya media massa masih tetap merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat dalam mendorong terjadinya social change (Andrik Purwasito, 2002: 296). Dengan media massa, hampir semua ide yang ada di masyarakat bisa disalurkan, baik ide yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Bisa dikatakan bahwa pada masa sekarang ini masyarakat hampir separuh tergantung pada media massa, dan karena faktor inilah maka media semakin memiliki bargaining position yang tinggi dalam sistem sosial. Dengan kekuatan yang dimiliki oleh media massa sebagai akibat dari pola ketergantungan yang pada masyarakat ini, maka memungkinkan bagi media tersebut untuk memainkan peran sebagai ‘image builder’, artinya bahwa media ‘bisa’ menciptakan citra tertentu terhadap sebuah fenomena tertentu pula.
Dilihat dari gejala sosial, televisi, sebagai salah satu bentuk media massa rupanya menjadi primadona bagi masyarakat. Oleh karenanya televisi sangat potensial untuk ikut mendorong terbentuknya budaya massa dan budaya populer. Ketika demikian, maka menu tayangan atau media content perlu dijadikan kajian yang serius, karena dalam derajat tertentu televisi mampu merubah dan menciptakan budaya baru bagi pemirsanya. Sejak era keterbukaan bergulir (Andrik Purwasito, 2001: 289), isi televisi swasta sepertinya tidak pergi jauh dari masalah kekerasan, pornografi, tayangan mistik, perjudian, gossip selebritis dan tetek bengek yang dikemas dalam bentuk hiburan. Menjelang tahun 2004, trend media mengalami tambahan agenda yaitu merekayasa kehidupan supranatural (mistik) dalam berbagai kemasan, misalnya acara Pemburu Hantu, Dunia Lain, Uji Nyali, dan sebagainya.
Kalau kita melihat fungsi televisi semata mata sebagai sarana hiburan, barangkali isi media tidak perlu terlalu dicemaskan. Kenyataannya televisi tidak hanya memiliki fungsi normatif seperti hiburan, informasi, pendidikan, persuasi, dan kontrol sosial. Ada invisible  function yang dimiliki televisi dimana fungsi itu hanya bisa ditentukan oleh pemirsanya. Fenomena inilah yang membuat ketertarikan penulis utuk membahas fenomena merebaknya sinetron religi pada beberapa televisi swasta kita belakangan ini.

Sinetron Religi

            Belakangan trend menu sajian televisi swasta di Indonesia semakin menuju ke arah kemiripan satu sama lain. Ketika satu station menuai sukses dari tema tertentu, maka station yang lain segera mengikutinya dengan tema serupa tapi tak sama. Dalam hal ini TPI nampaknya sering menjadi pemicu sebuah trend, simak saja misalnya, ketika station tersebut mempopulerkan musik dangdut dan film India maka station yang lain segera mengikutinya.
            Trend tayangan sinetron religi juga tidak lepas dari gejala ini, dengan diawalinya sinetron dengan tema Rahasia Illahi di TPI di awal tahun 2004. Setelah sukses TPI dengan tema ini maka kemudian lain seperti RCTI membuat tema serupa dengan Pintu Hidayah, SCTV menampilkan Kuasa Illahi, Lativi dengan tema yang agak mengerikan berlabel Azab Illahi, dan Trans menawarkan Istighfar.
            Sebenarnya masih banyak lagi acara dengan genre serupa dimana jalan ceritanya didominasi oleh cerita cerita mistis seperti Babi Ngepet di Indosiar dan yang sejenisnya, tetapi diskusi ini akan secara khusus difokuskan pada tema tema yang telah diklaim sebagai ‘sinetron religi’ baik oleh station yang bersangkutan maupun oleh pemirsanya. Parameter dari klaim ini berangkat dari judul tema serta hadirnya sosok ustadz dan/atau kyai yang tampil memberikan komentar di awal maupun di akhir setiap tayangan sinetron.
            Meskipun masing masing station televisi mencoba untuk membuat jalan cerita yang agak berbeda, namun pada dasarnya secara umum pesan yang disampaikan hampir serupa. Isi pesan yang menjadi ide pokok dari beberapa sinetron religi berpusar pada
(1)   Agama (Islam) adalah tempat kembali atau pelarian utama dari segala masalah kehidupan duniawi,
(2)   Kebaikan dan keburukan yang dilakukan manusia akan secara langsung mendapat ‘balasan’ dari Allah baik ketika manusia itu masih hidup maupun sudah meninggal,
(3)   Gambaran hitam putih dari karakter yang dimunculkan dimana orang yang baik selalu teraniaya sedangkan orang jahat selalu buruk dalam segala tingkah lakunya
(4)   Allah adalah Tuhan yang sadis dan pendendam dengan menghukum secara fisik karakter jahat, meskipun kadang orang tersebut sudah bertaubat –misalnya pada sinetron “Air Mata Darah Saat Sakaratul Maut”.
 
Studi Kasus:
Judul sinetron: “Jenazah Bingung”, ditayangkan TPI hari Senin tanggal 26 Juni 2006 dalam tema Rahasia Illahi.
            Sinetron diawali dengan tampilnya ustadz yang menyampaikan pesan bahwa meskipun salah satu kebutuhan manusia hidup adalah pemenuhan kebutuhan materi, namun upaya pemenuhan itu harus dilakukan dengan jalan yang halal. Untuk mencari rizki yang halal maka manusia harus menghindari jalan riba (menjadi rentenir).
            Sinetron menceritakan tentang seorang wanita yang semasa hidupnya menjadi rentenir yang jahat dan kejam, maka ketika meninggal jenazahnya tidak bisa mencapai makam dalam waktu yang lama. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menemukan makamnya, tetapi ternyata masalah baru selesai ketika ibu dan suami jenazah yang semasa hidupnya didholimi dengan tulus memohonkan ampun kepada Allah.
            Jalan cerita menggambarkan secara kontras antara karakter jahat dan karakter baik. Di satu sisi sang rentenir digambarkan judes baik di rumah terhadap suami, anak, dan ibunya, maupun ketika menagih hutang para pelanggannya. Di lain sisi, suami digambarkan sebagai pria shaleh yang selalu berpeci, berbaju koko, bersarung, rajin ke masjid, dan senantiasa berkonsultasi dengan kyai. Sedangkan para klien yang berhutang digambarkan sebagai orang orang yang sangat tidak berdaya, menderita dan pasrah terhadap segala bentuk kejahatan sang rentenir. Maka ketika saat meninggal para pengantar jenazah kesulitan mencari makamnya, ada komentar dari salah satu karakter: ‘selama masih hidup menyusahkan orang, sudah matipun masih bikin susah orang’.
            Pada umumnya, cerita yang ditawarkan dalam berbagai sinetron religi selalu berkisar pada tema pokok tentang hukuman instant dari Allah atas perbuatan jahat manusia.  Alur cerita ini menjadi stereotip dan mendominasi wajah televisi, misalnya, stereotip hukum karma yang bisa dilihat pada sinetron yang berjudul ‘Air Mata Darah Saat Sakaratul Maut’, ‘Tukang Kawin’, ‘Durhaka Kepada Ibu Tubuh Bersisik Seperti Ikan’, dan sebagainya.

Sinetron Religi dan Sektor Pasar

Sinetron, menurut Nurudin (2003: 83), dianggap sebagai sebuah gambaran yang mencerminkan keadaan masyarakat atau realitas sosial yang sebenarnya. Asumsi ini mengandung makna bahwa tayangan sinetron religi semacam ini akan menguatkan nilai nilai yang berlaku pada komunitas Islam. Tetapi, kalau kita melihat sinetron dari konteks media dan selera pasar, maka akan nampak bahwa sebenarnya masalahnya tidak sesederhana ini. Idi Subandy berargumen bahwa pada prinsipnya antara media dan masyarakat adalah dua elemen yang saling mempengaruhi. Tesis tentang media sebagai cermin masyarakat menampilkan citra yang ambigu (Idi Subandy Ibrahim, 2004: 25), sehingga bisa ditafisiri secara bermacam macam, di satu sisi media bisa dianggap sebagai cermin masyarakat, tetapi di sisi lain masyarakat (khalayak) sebenarnya memiliki andil dalam membentuk wajah media. Hubungan antara televisi dengan pemirsanya bisa dikatakan sebagai hubungan bisnis dengan efek karambol, di mana pemirsa adalah sasaran produk televisi (utamanya produk iklan, yang ditayangkan di sela produk lain). Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa keberlangsungan hidup televisi swasta sangat tergantung dari iklan (Philip Kitley, 2001).
Dengan pola hubungan seperti ini maka televisi berusaha memanjakan pemirsanya dengan menyuguhkan menu favorit (salah satunya adalah sinetron). Bagi pemirsa muslim yang merupakan mayoritas di Indonesia, maka disuguhkanlah ‘sinetron religi’ sebagai salah satu bentuk hiburan plus ‘pencerahan spiritual’ sebagaimana disebutkan di muka. Persoalan muncul ketika sinetron religi dikemas dan dikonstruksi sedemikian rupa sehingga, meminjam istilah Idi Subandy (2001) menyerupai ‘horrotainment’ atau hiburan yang dikemas dalam bentuk horror.
Meskipun sampai saat ini penulis belum menemukan referensi tentang efek negatif dari sinetron religi ini terhadap masyarakat, namun ada baiknya menyimak beberapa komentar orang tua tentang perilaku anaknya dalam Suara Merdeka edisi Minggu 1 Juli 2006. Dalam petikan hasil wawancara yang dikutip harian tersebut, terbukti bahwa beberapa orang tua khawatir terhadap perilaku anak yang tiba tiba berubah menjadi penakut setelah melihat tayangan berbau mistis di televisi swasta. Ini menunjukkan bahwa dalam derajat tertentu ternyata genre cerita semacam itu mempunyai dampak negatif terhadap pemirsanya, meskipun dalam efek yang terbatas (Nurudin, 2003).
Ketika discourse sudah sampai pada efek televisi, dalam konteks ini televisi sering menjadi barang istimewa yang dicari sekaligus dicaci manusia. Dari contoh kecil ini bukan berarti penulis sepakat sepenuhnya dengan teori Magic Bullet dan Hypodermic Needle, karena pada prinsipnya penonton televisi bukanlah mahluk dungu yang dengan pasrah menerima apa yang disodorkan oleh televisi tanpa reserve. Ada teori lain tentang media effect, yaitu uses and gratification yang menganggap bahwa pemirsa televisi adalah individu yang aktif, dan oleh karena itu mereka memiliki selera untuk mencari informasi apa yang dibutuhkan (Werner J. Severin and James W Tankard, 2005: 364). Menurut teori ini, pemirsa televisi dianggap sebagai individu dewasa yang mempunyai kemampuan untuk menyaring informasi yang sekiranya bermanfaat untuk dirinya. Oleh karenanya, apabila teori ini sekiranya secara kultural sudah aplikatif bagi masyarakat muslim, baik anak anak maupun dewasa, baik muallaf maupun yang sudah kuat imannya, maka tidak perlu muncul kehawatiran yang berlebihan.
Disamping kekhawatiran terhadap negative effect dari sinetron religi, ada hal penting yang perlu disikapi secara lebih kritis yaitu kemungkinan adanya upaya image building  televisi tentang ajaran Islam yang dibangun melalui sinetron jenis ini. Sudah tepatkah misalnya, Islam dalam konteks ini secara stereotip dicitrakan identik dengan sosok kyai yang selalu menggunakan baju koko, bersarung, bersorban, dan selalu membawa tasbih sebagai senjata?. Atau sudah tepatkah bila tasbih dan surat An Nas serta kalimat ‘Allahu Akbar’ digambarkan secara visible bisa mengalahkan kekuatan syetan?.  Ideologi semacam ini secara tidak langsung bisa membentuk opini yang dangkal mengenai sakralitas nilai nilai ajaran Islam, dan oleh karenanya bisa menimbulkan penyesatan opini terutama bagi masyarakat awam.
Kecemasan ini terutama bertambah karena ada indikasi bahwa tidak semua sinetron religi diproduksi oleh produser muslim. Tulisan ini tidak berupaya untuk secara latah menuduh kalangan non muslim (apalagi Barat) sedang melakukan pembusukan terhadap Islam. Bisa jadi sinetron religi diproduksi dengan menggunakan ideologi kapitalis dimana produsen semata mata mencari keuntungan finansial tanpa maksud lain. Namun demikian, fenomena ini setidaknya memperkuat kecurigaan kalangan yang berasumsi bahwa ada kecenderungan pembelokan atau penyesatan opini dari media tertentu (Barat) terhadap Islam (Adian Husaini, 2002 dan Edward Said 2002). Pada dataran realitas memang pembelokan dan penyesatan opini melalui media sudah sering dilakukan oleh kalangan non muslim dengan mencitrakan hal hal negatif mengenai pencitraan teroris, misalnya kasus Abu Bakar Baasyir.
Sebagai salah satu bentuk media massa, televisi, secara hukum ekonomi nampaknya sulit untuk melepaskan diri dari hukum alam kapitalisme. Untuk memenuhi tuntutan pasar kapitalisme ini maka televisi berusaha menjiplak produk Barat, termasuk produk sinetron yang lebih cenderung ‘menjual mimpi’ (Sirikit Syah, 1999: 128). Sinetron religi sebagai sebuah hiburan nampaknya tidak lepas dari hukum alam ini, yaitu menampilkan kemasan pesan yang serba instant dan nyaris kehilangan ruh Islamnya. Muara dari simplisme dan keterburuan mencapai target pesan ini pada muaranya menghasilkan produk yang mentah dan dangkal, yang anehnya disukai oleh pemirsa.
Dalam era kebebasan berekspresi, televisi memiliki wilayah yang relatif luas. Dalam arti para pelaku media memiliki keleluasaan dalam berimajinasi untuk menghasilkan produk, tetapi menurut William J. River et al (2003: 107) kebebasan yang dimiliki media itu mestinya tidak sekedar dimanfaatkan sebagai tempat mencari nafkah. Dengan kata lain ada aspek lain yang mesti dipertimbangkan oleh media, misalnya dari sisi content atau isi pesan, karena kebebasan yang dimiliki media harus diikuti dengan tanggung jawab sosial.
 

Sinetron Religi: peluang atau ancaman dakwah?

             Dua pertanyaan ini barangkali bisa dijawab dengan sederhana, yaitu sinetron religi bisa menjadi peluang sekaligus ancaman bagi kegiatan dakwah. Sinetron religi bisa dianggap sebagai sebuah peluang karena:
(1)   Tersedianya ruang atau space yang diberikan oleh televisi kepada komunitas muslim untuk menyelenggarakan kegiatan dakwahnya
(2)   Tersedianya pemirsa yang sudah terlanjur menjadi komunitas setia
(3)   Tersedianya ‘sumber ide’ dari hiburan plus
Di sisi lain sinetron religi bisa menjadi ancaman ketika:
(1)    Sinetron diproduksi oleh kalangan yang tidak banyak tahu tentang Islam (apalagi non muslim)
(2)    Pemirsa sinetron adalah orang yang baru ‘belajar’ tentang Islam, baik anak anak atau kalangan awam
(3)    Pemirsa berasumsi bahwa televisi adalan cerminan dari sebuah realitas
(4)    Sinetron dikemas dalam pola hitam putih dan serba instant

 

Bagaimana Menyikapi?

Sejak awal A Muis (2001: 201) sudah memilki anggapan bahwa televisi telah melakukan proses desakralisasi agama dengan tayangan tayangan yang membuat masyarakat (pemirsa) lebih khusyuk mencermatinya ketimbang melakukan kegiatan kegiatan ibadah. Meskipun anggapan ini tidak sepenuhnya benar, namun ada baiknya kalau umat Islam tetap waspada dengan cara menyikapi semakin melubernya arus infromasi yang pada gilirannya bisa menjadi gerusan terhadap budaya dan citra Islam. Dalam hal ini minimal ada tiga hal yang bisa dilakukan:
(1)   Bersikap selektif.
Sikap selektif ini perlu dilakukan sebagaimana telah digambarkan dalam  Q.S. Al Hujurat: 6 (Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an: 846)yang artinya : “Hai orang orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tida memimpakan musibah kepada suatu kaum tapa memngetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. Periksa dengan teliti atau tabayyun ini tentu saja dilakukan sesuai dengan kadar intelektual serta luasan pengalaman spiritual yang dimiliki masing masing individu. Meskipun demikian tulisan ini tidak berkonotasi bahwa semua pesan yang datang dari televisi (atau televisi itu sendiri) sebagai kelompok fasiq.
(2)   Bersikap kolektif
Kolektifisme dalam hal ini diasumsikan sebagai benteng utama dari perlawanan kultural. Ketika Islam dicitrakan secara negatif dalam sinetron religi, maka perlu penafsiran secara kolektif dari komunitas muslim untuk meluruskan citra yang salah tersebut. Oleh karena itu seluruh elemen Islam, tanpa memandang sisi idelogi kultural, perlu bekerjasama dalam membangun kembali citra Islam.
(3)   Membuat counter product
Hal yang paling mudah dilakukan oleh manusia adalah mengkritik, tetapi para kritikus belum tentu mampu membuat produk yang lebih baik dari yang dikritik. Dengan melihat berbagai peluang yang ditawarkan oleh televisi, maka sudah waktunya umat Islam mengekspresikan diri sesuai dengan nilai ajaran Islam sebagai aktualisasi dakwah. Dalam menyikapinya bias sinetron religi, maka umat Islam dituntut utuk membuat produk tandingan dengan motto ‘tentang Islam, dari Islam, untuk Islam’, minimal seperti telah dibuktikan oleh Deddy Miswar dalam produknya “Kiamat sudah Dekat”.

 Penutup

Fenomena maraknya sinetron religi pada beberapa televisi swasta di Indonesia menawarkan alternatif kemasan hiburan plus yang dilematis dalam konteks dakwah. Di satu pihak, pemirsa yang sudah banyak dijejali oleh tayangan produk yang menjual mimpi serta mengeksploitasi seks dan sadisme, secara bersamaan diberi ‘santapan rohani’ dengan label sinetron religi. Di lain pihak, ada gejala yang mengkhawatirkan ketika sinetron dengan label agama tersebut dikemas dengan dangkal, baik secara misi ideologis maupun sisi grafis visualnya. Informasi yang ditawarkan dikemas secara sepotong sepotong dengan skenario ‘serba kebetulan’ semakin menjauhkan sinetron religi ini dari realitas atau citra Islam yang sesungguhnya.
Kalau boleh dikatakan, gambaran secara umum sinetron religi pada televisi kita ini seperti cermin yang retak, dimana nilai nilai Islam ditampilkan secara fragmental sehingga masing masing membentuk bayangan dan gambar tersendiri sesuai degan siapa yang memandang potongan cermin tersebut. Meskipun demikian masih ada kemungkinan wajah sinetron religi ini dimodifikasi lagi lagi sehingga terdapat gambaran Islam yang utuh dan mendekatai citra Islam yang ideal.


REFERENSI

Adian Husaini (2002), Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra, Jakarta: Gema Insani

Andrik Purwasito (2002), Komunikasi Multikultural, Surakarta: Muhammadiyah University Press

Andi Abdul Muis (2001), Komunikasi Islami, Bandung: Rosda Karya

Edward Said (2002), Covering Islam: Bias Liputan Barat Atas Dunia Islam (terj. A Asnawi dan Supriyanto Abdullah), Yogyakarta: IKON.

Idi Subandy Ibrahim (2004), Sirnanya Komunikasi Empatik: Krisis Budaya Komunikasi dalam Masyarakat Kontemporer, Bandung: Pustaka Bani Quraisy

Nurudin (2003), Komunikasi Massa, Malang: Cespur

Sirikit Syah (1999), Media Massa Di Bawah Kapitalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Werner J. Severin and James W Tankard (2005), Teori Komunikasi: Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa (terj. Sugeng Hariyanto), Jakarta: Kencana

William L. River, Jay W. Jensen dan Theodore Peterson (2003), Media Massa dan Masyarakat Modern (terj Haris Munandar dan Dudy Priatna), Jakarta: Kencana

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an (1990), Al Qur’an dan Terjemahnya, Madinah; As Syarif.


Suara Merdeka edisi Minggu 1 Juli 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar