HEGEMONI
PERADABAN BARAT
DALAM GLOBALISASI; RESPONS ISLAM
A. Pendahuluan
Munculnya peradaban
Barat ketika selesainya revolusi 17891.
Dasar-dasar kemapanan Barat ini diakibatkan oleh perubahan yang terjadi di
masyarakat melalui proses modernisasi2
yang cukup panjang3. Diketahui, bahwa pada
masa lalu suatu peradaban yang mengagumkan biasanya ditentukan oleh
perbedaan-perbedaan kuantitatif dalam sebuah kekuasaan. Tetapi, munculnya
masyarakat modern di Barat secara kualitatif memiliki bentuk kekuasaan yang lebih
berkualitas dengan menghadirkan 2 (dua) hal, yakni; pertama kemajuan
tehnologi yang di dukung dengan; kedua kemajuan ilmu pengetahuan.
Berangkat dengan berbekal dua hal tersebut cukup memungkinkan negara-negara
yang secara fisik kecil seperti Inggris, Prancis dapat mendominasi sebagian
besar negara-negara di belahan dunia manapun ketika itu.
Simak saja, salah
satu sejarah telah membuktikan ketika hadirnya rombongan Napoleon datang ke
Mesir4. Saya menganalogikan hal itu, ibarat
rombongan Napoleon mengadakan sebuah pameran di masyarakat primitif (pedalaman)
yang jauh dari informasi, dengan menyajikan berbagai karya-karya produk dari
hasil ilmu pengetahuan yang didapatkannya, dan kemudian dari salah satu
pengunjung yakni orang Mesir, bahkan dia ini adalah seorang ulama/ guru, tokoh
masyarakat, seorang cendekiawan menjadi terheran-heran, merasakan seolah ada
yang ganjil (aneh) dan terkagum-kagun yang luar biasa, sehingga sampai-sampai
dia menulis dalam buku diarenya dari
hasil kunjungannya itu dengan kalimat, “Saya
telah melihat disana (tempat pameran) benda-benda dan percobaan-percobaan
ganjil dan mampu menghasilkan yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal
seperti yang ada pada diri kita”. Demikianlah tulisan dari seorang
cendekiawan Islam waktu itu terhadap kemajuan yang dimiliki oleh bangsa Barat
saat itu, namun demikian tanpa disadari “ada udang dibalik batu”, ada sebuah
misi-misi tertentu yang tengah dilancarkan oleh Barat saat itu. Walhasil, dalam
waktu singkat Barat pun mampu menguasai hampir di seluruh negara-negara Islam,
bahkan hampir dibelahan negara-negara dunia hanya berbekal dengan dua hal
tersebut.
Gelombang ekspedisi
peradaban Barat yang hampir tidak bisa terbendung, menyadarkan dunia Islam akan
kelemahan dan ketidak berdayaannya. Serangan kultural tersebut, lebih jauh lagi
telah menempatkan bangsa-bangsa Muslim khususnya sebagai korban gerakan misi
Barat ---tanpa disadari--- masuk pada posisi yang cukup dilematis bagi umat
Islam5. Disatu sisi Umat Muslim ada
responsibilitas untuk mengembalikan kejayaan masa lalu, namun disisi lain
mereka tidak bisa lepas dari pengaruh dan ketergantungannya pada peradaban
bangsa Barat yang mulai mengurita.
Di sisi lain,
dengan hadirnya era globalisasi lebih menjadikan faktor pendukung yang kondusif
untuk lebih mengguatkan “misionaris” Barat kepada bangsa-bangsa lain diseluruh
dunia, agar negara-negara di seluruh penjuru dunia meng-“idola”-kan Barat
sebagai sebuah bangsa yang mapan, yang baik, kuat dan tidak terkalahkan.
Sehingga secara tidak langsung negara-negara lainnya pun segan dan akhirnya
tunduk pada “kebijakan” yang diinginkan Barat. Dari potret itu, makalah ini
berusaha mengungkap tentang Hegemoni Peradaban Barat dalam Globalisasi: Respon
Islam.
B. Peradaban Barat
Fenomena atas
perkembangan peradaban Barat yang demikian baik, sebenarnya berangkat dari
proses yang panjang jauh sebelum muncul peradaban-peradaban lain seperti Cina
di bawah Dinasti Tang, Sung dan Ming serta peradaban Islam6.
Dasar-dasar
kemapanan Barat atas peradaban yang dihasilkan karena didukung oleh proses
modernisasi7. Proses itu sebagaimana
dijelaskan pada pendahuluan diatas karena ditopang oleh kemajuan tehnologi dan
didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan. Modernisasi ini, melibatkan
industrialisasi dengan harapan meningkatnya masyarakat yang berdaya,
meningkatkan masyarakat yang melek huruf, majunya tingkat pendidikan,
kesejahteraan, tingginya mobilisasi sosial dan berbagai tatanan sosial yang
lebih kompleks serta beragam lainnya. Hal itu merupakan konsekwensi dari hasil
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi sejak abad XVIII yang menjadikan manusia mampu membentuk serta
mengendalikan alam melalui cara-cara yang tak terhingga. Oleh karenanya,
modernisasi diistilahkan oleh Samuel P. Huntington merupakan proses perubahan
yang terjadi secara cepat dengan didukung oleh kemajuan IPTEK dari masyarakat
primitif menuju masyarakat berperadaban8.
Sehingga pandangan
masyarakat yang berperadaban adalah identik dengan masyarakat modern dan
merupakan lawan kata dari pandangan masyarakat tradisional, gaya berfikir
masyarakat modern bercirikan; pertama berfikir secara rasional (dengan
mengutamakan akal), kedua menghargai terhadap proses/ kerja sebagai usaha,
ketiga mengedepankan yang efektif dan efisien dalam segala hal, keempat lebih
mempertimbangkan fungsionalisme dalam bekerja/ proses, sedangkan gaya berfikir
masyarakat tradisional bercirikan; pertama tidak menggunakan akal secara
maksimal (cenderung berfikir emosional), kedua
mengesampingkan proses dan lebih berfikir praktis (hasil), ketiga tidak
mempertimbangkan unsur efektif dan efisien, keempat tidak memperhatikan nilai
fungsionalnya dalam bekerja (melakukan proses)9.
Ide tentang
“peradaban” berawal dari memperlawankannya pada istilah “barbarisme”.
Masyarakat yang telah berperadaban dibedakan dari masyarakat primitif
(tradisional) karena mereka adalah masyarakat yang sudah hidup menetap dan
terpelajar10. Berperadaban adalah
baik, tidak berperadaban adalah buruk. Konsep peradaban menyajikan sebuah tolak
ukur yang dapat dijadikan acuan dalam memberikan penilaian terhadap berbagai
dinamika kehidupan masyarakat, terbukti yang selama abad XIX, orang-orang Eropa
banyak melakukan upaya intelektual, diplomatis dan politis terhadap
negara-negara non Barat.
C. Era Globalisasi: Dampak yang Muncul
Kata globalisasi
dalam kamus ilmiah, mengandung makna pengglobalan pada seluruh aspek
kehidupan secara menyeluruh di segala aspek kehidupan11.
Demikian juga menurut Ishomuddin menyampaikan bahwa globalisasi berasal
dari kata “globe” yang berarti “baca dunia”, sehingga globalisasi
disebut pula sebagai gerakan mendunia yakni suatu perkembangan pembentukan
sistem dan nilai-nilai kehidupan yang bersifat global12.
Dari pemahaman
tersebut memberikan gambaran bahwa salah satu manifestasi globalisasi adalah
terciptanya masyarakat terbuka, yakni runtuhnya sekat-sekat yang membatasi
pergaulan antar bangsa, apakah itu sekat politik, ekonomi ataupun sekat budaya13.
Bisa jadi dari
pengaruh gerakan globalisasi tersebut, perekonomian negara-negara di dunia
berkembang secara ekspansif (meluas). Hal ini akibat dari mudahnya arus
barang, jasa, modal, tehnologi dan informasi semakin meningkat, dikarenakan
banyak masyarakat negara-negara di dunia semakin terbuka14. hal itu jelas akan menimbulkan sebuah
kekhawatiran bagi negara-negara berkembang atau bahkan bagi negara miskin baik
secara kualitatif maupun kuantitatifnya. Sebab bagi negara dengan kondisi yang
demikian, mereka tidak memiliki daya saing memadai, dan hal ini tentunya akan
menimbulkan masalah baru dan bisa menjadi titik rawan dalam perkembangan bangsa
itu sendiri dimasa akan datang serta bisa juga menjadi bangsa yang semakin
memiliki ketergantungan tinggi terhadap bangsa lain. Fenomena tersebut
dikarenakan mereka akan di “dikte/ dikendalikan” oleh negara berkuasa dalam arti
negara yang memiliki “modal” cukup dalam melakukan persaingan. Ketika gerakan
globalisasi tengah melanda (mengejala) di berbagai belahan negara di dunia,
bagi negara yang memiliki modal besar akan mampu melakukan ekspansinya
secara luas diberbagai wilayah negara di dunia.
Namun demikian,
fenomena tersebut mau tidak mau harus di terima oleh berbagai negara dibelahan
dunia yang ada, sebagai sebuah kenyataan yang harus dihadapi. Bila dikaji lebih
lanjut, pada titik awal mula munculnya gerakan globalisasi ini merupakan proses
tersendiri pada suatu masyarakat di dunia guna menciptakan kemapanan bagi
kehidupannya. Ini terlihat pada awal mula gerakan globalisasi bertujuan untuk
menciptakan jaringan bisnis (perdagangan internasional) secara luas, tanpa
mempertimbangkan status dimana dan dari mana mereka berasal. Yang penting arus
barang dan jasa mampu menjangkau pelosok-pelosok dunia tanpa terkecuali dengan
kendali kekuatan ekonomi raksasa15. Dari
realitas ini jelas bahwa, bangsa-bangsa yang memiliki daya saing akan mendapat
peluang baik untuk mampu bermain dalam jaringan ekonomi global, sehingga bangsa
tersebut mendapatkan keuntungan dan selanjutnya mampu memainkan peranan yang
cukup berarti dalam kancah internasional selanjutnya. Oleh karena itu
globalisasi pada awal mulanya ingin menciptakan jaringan internasional sebagai
bentuk prosesnya.
Namun, realitas
berbalik ketika gerakan globalisasi “diboncengi” oleh kelompok masyarakat
tertentu yang mengarah pada bentuk “kolonialisme modern” atas semangat
paradigma kapitalis. Gerakan globalisasi bukan lagi menjadi sebuah proses
tersendiri untuk kemajuan umat manusia, tetapi gerakan globalisasi dimanfaatkan
oleh kelompok “pemilik modal” dialihkan sebagai bentuk idiologi tersendiri guna
menguasasi dan menindas masyarakat lain yang belum siap dengan persaingan
modern. Apalagi gerakan globalisasi juga didukung oleh kemajuan Ilmu
Pengetahuan dan Tehnologi terutama bidang komunikasi. Dengan bekal tersebut
mampu terciptanya suasana kondusif guna bangkitnya model “kolonialisme modern”.
Memang segala bentuk kolonialisme telah dikutuk untuk bangkit didunia karena
hal itu melanggar konstitusi kesepakatan internasional dalam wujud deklarasi
HAMnya. Namun demikian, persaingan bebas diperbolehkan dalam bentuk aktivitas
jaringan bisnis internasional, maka sulit terelakkan ketika terjadinya praktek
“kolonialisme modern” dalam even globalisasi. Hal ini yang mulai menggeser paradigma globalisasi
pada awal mulanya sebagai bentuk proses menjadi idiologi baru dalam
“pertarungan” internasional.
Kondusifitas
gerakan globalisasi ini memungkinkan suatu hal yang demikian karena di era
globalisasi digambarkan suatu abad (masa), dengan bentuk tatanan masyarakatnya
yang mampu menerobos tabir, wilayah, sekat walaupun jauh, sehingga manusia di dunia seolah menjadi satu
keluarga. Apa yang terjadi sekarang masyarakat di daerah kutub utara mampu
diketahui di berbagai pelosok negeri saat itu juga atas semua kejadian disuatu
masyarakat baik itu di daerah kutub selatan ataupun di tempat yang lain. Proses
komunikasi antar manusia dalam berbagai dimensi kehidupan akan bebas dari
segala hambatan yang menghalanginya16.
Hal yang demikian, menunjukkan kehidupan manusia dibelahan bumi ini seolah
mengerut, seolah kita tidak lagi bicara tentang atom tetapi lebih kecil lagi “bit”,
maka ini semakin memperkecil wilayah keberadaan manusia, namun demikian
tetap pada dimensi yang lebih luas17.
Paduan antara
kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi ini terutama kemajuan informasi semakin
terasa dampaknya diseluruh pelosok dunia. Hal itu disebabkan kemajuan di bidang
informasi akan memungkinkan tiap individu memperoleh informasi dari berbagai
belahan dunia manapun dalam waktu yang cukup singkat, akhirnya menjadikan
intensitas interaksi antar individu akan semakin meningkat.
Berdasar pada
realitas tersebut, tampak jelas bahwa globalisasi akan membawa akibat yang
cukup signifikan bagi masyarakat dunia internasional. Hal itu, tentunya akan
mampu membawa dampak baru terhadap pola fikir, budaya, nilai, gaya hidup.
Misalnya saja globalisasi di bidang informasi, akan mempercepat penambahan
wawasan khasanah pengetahuan manusia serta memperkaya masukan terhadap
bahan-bahan pertimbangan yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan guna kemaslakhatan
kehidupan manusia itu sendiri. Akan tetapi disisi lain tanpa disadari oleh
banyak fihak, akibat dengan mengglobalnya akses informasi yang diperoleh dalam
era globalisasi tidak menutup kemungkinan didalamnya memuat pula misi atau
kepentingan-kepentingan tertentu terhadap nilai-nilai budaya ataupun idiologi-idiologi
dari sekian sumber informasi yang ditampilkan.
Pengaruh-pengaruh
era globalisasi akan membawa dampak terhadap suatu kelompok masyarakat di suatu
negara terutama bagi negara berkembang terlebih lagi negara “miskin”
(terbelakang), yang tanpa disadari sebenarnya bisa masuk perangkap dari
kepentingan suatu kelompok masyarakat/ negara tertentu yang memiliki kesiapan
sebelumnya. Akibatnya, lebih ironis adalah di negara yang belum memiliki
kesiapan di era globalisasi, bisa jadi akan tercerabutnya suatu nilai, budaya,
norma, adat sebagai ciri khas identitas dari suatu kelompok masyarakat
tersebut.
D. Hegemoni Peradaban Barat Dalam Globalisasi
Berangkat dari realita yang dimunculkan di era globalisasi atas peradaban Barat tersebut, akan mampu menciptakan iklim yang kondusif guna menyebarkan pengaruhnya pada dunia internasional dengan menciptakan sistem hegomoni atas misionaris yang dikembangkan. Hal ini bisa saja terjadi agar Barat di mata negara-negara dunia internasional (khususnya bagi negara-negara non Barat) menjadi kelompok negara disegani, dikagumi dan bahkan dijadikan contoh (role model) oleh negara-negara lain, bahkan lebih jauh kedepan secara politis mampu memiliki kebijakan khusus atas negara-negara lain.Pada dasarnya hegenomi merupakan proses ingin menguasai suatu kelompok atau daerah tanpa adanya praktek kekerasan dengan menciptakan ide-ide atau gagasan maupun pola fikir tertentu. Ditinjau dari istilah bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hegemoni adalah proses mempengaruhi kekuasaan suatu negara atas negara lain18. demikian juga disampaikan oleh Komarudin Hidayat yang mengartikan bahwa hegemoni sebagai sebuah penguasaan atau dominasi terhadap fihak lain19.Berangkat atas dasar pemahaman tersebut, jelas secara implisit muncul adanya sikap intervensi yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat/ negera terhadap kekuasaan suatu wilayah di daerah lain. Sikap intervensi ini mengarah kepada proses mempengarui. Ketika suatu wilayah kekuasan negara sudah mampu terpengarui oleh suatu kelompok masyarakat/ negara dengan berbagai macam ide atau gagasan tertentu, maka pada proses demikian “misionaris politis” dari suatu kelompok masyarakat/ negara berjalan sesuai target/ rencana dan saat itu tanpa disadari oleh negara yang menjadi target sasaran untuk dikuasai telah masuk “perangkap”. Bidikan misionaris politis yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat/ negara yang berkepentingan atas wilayah kelompok masyarakat/ negara tersebut bisa jadi pada sasaran ekonomi, sosial, budaya atau bahkan kebijakan-kebijakan politis dengan maksud wilayah tersebut dapat dikuasai tanpa ada perlawanan fisik.Semua itu dilakukan karena mempertimbangkan faktor kepentingan yang didapatkan ketika pengaruh tersebut diterima oleh semua kalangan di negara-negara penjuru dunia. Memang secara nyata praktek-praktek imperialisme dan kolonialisme mendapat penolakan dari berbagai negara di dunia, bahkan Indonesia sendiri sejak kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus tahun 1945 dengan tegas menolak segala bentuk penindasan dan kekerasan diatas dunia manapun juga yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Namun demikian, tanpa disadari oleh sebagian besar umat manusia di penjuru dunia ini gaya imprealisme dan koloniasme telah masuk pada dimensi yang samar. Bagaimana tidak? Bentuk propaganda yang dimunculkan atas suatu negara mengakibatkan hilangnya sebagian hak-hak asasi manusia. Sebut saja sebagai contoh penaklukan kekuasaan rezim Saddam Husain atas Irak yang dilakukan oleh Amerika Serikat beserta dengan sekutu-sekutunya dengan dalih menghilangkan sebuah rezim yang otoriter, karena Amerika beserta sekutunya memandang rezim yang otoriter akan memasung dan menghilangkan hak asasi manusia yang sudah menjadi kesepakatan dunia internasional untuk dipelihara. Tetapi realitasnya sampai sekarang apa yang terjadi di Irak ketika rezim Saddam Husain sudah tumbang?, ini salah satu contoh persoalan ketika suatu negara merasa kuat, dan mendapat simpatik dengan nilai demokrasinya dari berbagai negara di dunia. Apakah ini bukan bagian dari sebuah hegemoni yang tengah dikembangkan oleh negara Amerika beserta dengan sekutu-sekutunya atas negara-negara lainnya.Dari proses tersebut menurut Nurbini yang mengutip pandangan dari Jalaludhin Rahmad mengungkapkan bahwa hegemoni peradaban Barat terhadap dunia internasional telah menciptakan tren 3F; yaitu Food (makanan), Fashion (pakaian) dan Fun (hiburan)20.
E.
Respon Islam
Ketika pasca
imprealisme dan kolonialisme terdapat banyak pemikir Islam yang berusaha
memetakan ---setidaknya melihat kondisi umum dunia Islam khususnya---. Respon
Islam ini sering kali diistilahkan dengan menyebutnya “kembangkitan kembali
pada dunia Islam” dengan semangat pembaharuan, sebagaimana disebutkan oleh
Fazlurrahman. Secara umum Fazlurrahman melihat pembaharuan Islam pada dasarnya
ada empat kelompok yaitu konservatisme, sekulerisme, revivalisme dan modernisme21.
Dalam sikapnya
tentang konservatisme dipandang sebagai kelompok yang berislam secara membabi
buta, sedangkan bagi kelompok sekuleris murni dipandang sebagai kelompok yang
tidak mempunyai keimanan terhadap Islam.
Revivalisme
pra-modernis khususnya gerakan wahabiyah yang dipimpin oleh Ibn Abdul Wahab
pada abad 18 di Arab, hal ini dipandang oleh Fazlurrahman sebagai gerakan murni
dari kesadaran keislaman. Diantara prinsip-prinsip pokoknya adalah:
- keprihatinan
yang mendalam terhadap degradasi sosio moral umat Islam.
- Himbauan
terhadap Islam murni dan meninggalkan tahayyul yang ditanamkan oleh
sufisme populer, meninggalkan tentang kemapanan dan finalitas
mazhab-mazhab hukum tradisional dan berusaha melaksanakan ijtihad.
- Himbauan untuk
meninggalkan faham teologi predermistik (Jabariyah).
- Himbauan untuk
melaksanakan pembaharuan (revivalis) dengan senjata (jihad) jika perlu22.
Dalam pandangan
yang lain A. Qodri Azizy menyampaikan bahwa masyarakat Islam dalam merespon
peradaban Barat, dengan dua sikap yang berbedadan satu sikap kritis dan
hati-hati. Pertama sebagian Muslim merespon secara berbalikan, yaitu dengan
sikap anti Barat. Kedua sebagian Muslim yang lain terpengaruh oleh arus peradaban
Barat dengan munculnya modernisasi dan sekulerisasi, dan itu berakibat pada
anggapan pemisahan antara agama dan politik, antara masalah uhrowi dan duniawi.
Kelompok ini menjadikan Barat sebagai kiblat dan role model dalam
masa depan dan bahkan untuk way of life mereka. Sedangkan yang ketiga
sebagian dari mereka bersikap kritis, namun tidak secara otomatis anti Barat23. Sikap pada kelompok ini, peradaban
Barat dengan sekian konsekwensi yang terjadi, dilakukan modefikasi sekiranya
tetap tidak bertentangan dengan hal-hal yang mereka anggap prinsipin dalam
pandangan agama Islam. Kelompok yang ketiga ini menganggap Barat tidak secara
otomatis sebagai musuh dan dalam waktu yang bersamaan tidak pula mengganggap
Barat sebagai role model yang hebat dalam segalanya dan harus ditiru.
Bagi mereka, Barat juga memiliki unsur kebaikan, sehingga mereka tidak
berkeberatan untuk menerima eclecticism, selama tidak harus mengorbankan
agama. Namun demikian dalam waktu bersamaan mereka juga sadar dan lihai untuk
membaca secara tepat dan tepat kejelekan-kejelekan yang muncul sebagai bentuk
kekurangan yang dimiliki oleh Barat, dan pada bagian ini harus mampu disikapi
secara kritis serta mendalam pada batas tertentu yang harus di tolak.
Sementara R. Hrair
Dekmejien, dalam tulisannya Multiple Faces of Islam telah
mengidentifikasi tantangan Islam yang muncul akibat dominasi Barat dengan
setting masyarakat Arab, yaitu; 1) Krisis identitas, 2) Krisis legitimasi, 3)
Kelas elit yang tidak jelas, 4) Konflik kelas, 5) Melemahnya militer dan 6)
Krisis budaya24. Berangkat dari
identifikasi tantangan itu, diharapkan umat Islam mampu memetakan persoalan dan
mengatasinya dengan baik.
Disisi lain Bassam
Tibbi seorang pemikir Islam kelahiran Arab mencoba membuat para fase respon
masyarakat dunia non Barat ---yang sebagian besar pun masyarakat Muslim---
terhadap peradaban Barat. Fase pertama reaksi-reaksi kekerasan, hal ini
sebagai revivalisme dan Fase kedua adalah fase pembuangan diri dan
proyeksi diri kedalam kultur asing. Fase ini adalah dengan munculnya
westernisasi dan munculnya para intelektual didikan Barat, dimana selama
pendidikan di Barat kalangan elit intektual ini mengintegrasikan nilai-nilai
Barat yang kemudian harus hidup pada masyarakat yang belum memiliki sub
struktur maju. Fase ketiga dengan retropeksi kulturalnya25.
Lebih jelasnya hal
tersebut dijelaskan oleh Samuel P. Huntinton
bahwa tokoh-tokoh politik dan intelektual dari masyarakat Muslim ini
memberikan reaksi terhadap pengaruh Barat melalui satu atau lebih dari tiga
cara, yakni; menolak peradaban Barat maupun westernisasinya, menerima keduanya,
menerima yang pertama dan menolak yang kedua26.
penolakan ini dimulai sejak tahun 1542 hingga pertengahan abad XIX, dalam Islam
hanya berlaku pada kelompok fundamentalis yang sangat ekstrim dimana telah
menolak modernisasi dan westernisasi. Mereka bisanya tidak mau menggunakan
telivisi, radio, bahkan melarang memakai jam tangan serta akribut-akribut lain
yang bermodelkan Barat, mereka sangat anti terhadap model-model Barat tersebut,
bahkan apabila ada seorang Muslim yang memakai model-model ala Barat mereka
berarti telah kafir. Sedangkan bagi kelompok kedua mereka berasumsi bahwa
peradaban Barat dan westernisasinya sangat dibutuhkan dan diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari, maka budaya pribumi yang tidak sepadan dengan
modernisasi harus ditinggalkan atau dibuang, oleh karenanya bila masyarakat
ingin mengikuti modernisasi yang bagi mereka adalah berarti mengikuti zaman,
maka masyarakat harus sepenuhnya terbaratkan. Kelompok ini disebut dengan consummatory.
Pandangan ini justru menjadi lebih populer di kalangan Barat sendiri dari pada
di kalangan elit non Barat dengan bahasa sederhananya, “Untuk meraih sukses,
kalian harus seperti kami, jalan kamilah satu-satunya jalan yang terbaik”. Pada
kelompok ketiga ini bisa disebut sebagai kelompok reformis, berusaha
menggabungkan peradaban Barat dengan warisan nilai-nilai yang telah ada.
F.
Kesimpulan.
Dari pemaparan uraian diatas
disimpulkan bahwa:
1. Dasar-dasar kemapanan Barat atas peradaban yang dihasilkan
karena didukung oleh proses modernisasi, Proses itu karena ditopang oleh
kemajuan tehnologi dan didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan secara
intens.
2. Era globalisasi menggambarkan suatu masa, dengan
bentuk tatanan masyarakatnya yang mampu menerobos tabir, wilayah, sekat
walaupun jauh, sehingga manusia di dunia
seolah menjadi satu keluarga. Dari pemahaman tersebut memberikan gambaran bahwa
salah satu manifestasi globalisasi adalah terciptanya masyarakat terbuka, yakni
runtuhnya sekat-sekat yang membatasi pergaulan antar bangsa, apakah itu sekat
politik, ekonomi ataupun sekat budaya, terlebih lagi ditopang dengan kemajuan
informasi.
3. Berangkat dari realita yang dimunculkan di era
globalisasi atas peradaban Barat tersebut, akan mampu menciptakan iklim yang
kondusif guna menyebarkan pengaruhnya pada dunia internasional dengan
menciptakan sistem hegomoni yang kuat terhadap negara-negara lain di dunia.
4. Masyarakat Islam dalam merespon peradaban Barat
diwujudkan dengan tiga bentuk sikap yakni, dengan dua sikap yang berbedadan dan
satunya sikap kritis dan hati-hati. Pertama sebagian Muslim merespon secara
berbalikan, yaitu dengan sikap anti Barat. Kedua sebagian Muslim yang lain
terpengaruh oleh arus peradaban Barat dengan munculnya modernisasi dan sekulerisasi
sedang ketiga sebagian dari mereka bersikap kritis, namun tidak secara otomatis
anti Barat, artinya masih menerima namun demikian tetap melakukan koreksi
terhadap kelemahan-kelemahan Barat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai
yang mereka warisi sebelumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Giddens, The Consequences of Modernity, Cambridge:
Polity Press, 1990.
A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi; Reinterpretasi
Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Akbar S. Ahmed dan Hastings Donnan, Islam
Globalization and Postmodernity, London: Routledge, 1994.
Achmadi, Bahan Kuliah Pengantar Pemikiran Pendidikan
Islam disampaikan, pada hari jum’at tanggal 21 Mei 2004, pukul 14-00 – 16.00.
Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban;
Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002.
Bassam Tibbi, The Crisis of Modern Islam; A
Preindustrial Culture in the Scientific Technological Age, Terj. Yudian W.
Asmin, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Dadang S. Anshori, Menggagas Pendidikan Rakyat;
Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan, Bandung: Al
Qopriat Jatinangor, 2000.
Eka Wahyu.K. dan Azis Suganda, Pendidikan Tinggi
Era Indonesia Baru, Jakarta: Grasindo, 1999.
Fazlurrahman, Islam Challangges and Opportunities, Terj.
Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Jakarta: Yayasan Obor.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah,
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan
Nasional; Dalam Perspektif abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1999.
Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam; Retropeksi
Visi dan Aksi, Malang: UMM Press, 1996.
Jhon Obert Voll, Islam Continuity an Change in the
Modern World, Terj. Ajat Sudrajat, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Komarudin Hidayat, Islam dan Hegemoni Sosial, Jakarta:
Media Citra, 2002.
M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Arkola, 1994.
Nurbini, Dakwah Islam dan Era Globalisasi, Semarang:
Jurnal Risalah IAIN Walisongo, 1997.
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations
and the Remaking of World Order, Terj. M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam,
2004.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
R. Hrair Dekmenjian, Multiple Faces of Islam, dalam
Andrew Jerichaw and Jorgen Baek Somonsen, Islam in A Changing World, Europe
and the Midle East, Surrey: Curzon Press, 1997.
1 Lihat Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam: Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), 28.
2 Lihat Jhon Obert Voll, Islam
Continuity an Change in the Modern World, Terj. Ajat Sudrajat (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1997), 123.
3 Barat dalam pengembangan peradabannya
sampai pada puncak berangkat dari keseriusannya pada bidang pengembangan ilmu
pengetahuan dan tehnologi, dalam proses panjangnya itu melibatkan berbagai
pengembangan dan transmisi pengetahuan sejak masa Yunani, Kresten, Islam dan
Eropa. Karena itu sebenarnya kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi Barat
sekarang ini berhutang pada tradisi keilmuan Judeo-Christian-Islamic.
Disitu terjadi proses pertukaran intelektuan dan keilmuan yang intens
diantara ketiga tradisi keagamaan, sosial dan kultural. Baca Azyumardi Azra, Konflik
Baru Antar Peradaban; Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), 10.
4 Lihat Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam: Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, Ibid, 28-31.
5 Bukti dari ekspedisi Napoleon ke Mesir
tersebut telah menimbulkan kesadaran baru di kalangan umat Islam. Islam yang
pada mulanya dianggap sebagai suatu kekuatan super power ternyata sudah
rapuh dan dengan mudah dikalahkan oleh lawan-lawannya, terutama oleh Bangsa
Barat. Umat Islam baru menyadari betapa lemahnya kekuatan Islam dan betapa
sudah majunya Bangsa Barat.
6 Baca Samuel P. Huntington, The Clash
of Civilizations and the Remaking of World Order, Terj. M. Sadat Ismail,
(Yogyakarta: Qalam, 2004), 56.
7 Baca Jhon Obert Voll, Islam
Continuity an Change in the Modern World, Ibid, 123.
8 Baca Samuel P. Huntington, The Clash
of Civilizations and the Remaking of World Order, Ibid, 97-98.
9 Bahan Kuliah Pengantar Pemikiran
Pendidikan Islam disampaikan oleh Prof. Dr. H. Achmadi, pada hari jum’at
tanggal 21 Mei 2004, pukul 14-00 – 16.00.
10 Samuel P. Huntington, The Clash of
Civilizations and the Remaking of World Order, Ibid, 38.
11 M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah
Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 203.
12 Lihat Ishomuddin, Spektrum
Pendidikan Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, (Malang: UMM Press, 1996), 16.
13 Baca Dadang S. Anshori, Menggagas
Pendidikan Rakyat; Otosentrisitas Pendidikan Dalam Wacana Politik Pembangunan,
(Bandung: Al Qopriat Jatinangor, 2000), 273.
14 Lihat Ishomuddin, Spektrum Pendidikan
Islam; Retropeksi Visi dan Aksi, Ibid, 16.
15 Baca Eka Wahyu.K. dan Azis Suganda, Pendidikan
Tinggi Era Indonesia Baru, (Jakarta: Grasindo, 1999), 5.
16 Sebagaimana dijelaskan oleh Akbar S.
Ahmed dan H. Donnan bahwa globalisasi pada prinsipnya mengacu pada perkembangan
yang sangat cepat dengan didukung oleh kecanggihan teknologi baik teknologi
komunikasi, transformasi dan informasi mampu membawa ke bagian sudut-sudut
dunia manapun secara mudah, Baca Akbar
S. Ahmed dan Hastings Donnan, Islam Globalization and Postmodernity, (London:
Routledge, 1994), 1-2. Baca juga A. Giddens, The Consequences of Modernity, (Cambridge:
Polity Press, 1990), 64.
17 Baca H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda
Reformasi Pendidikan Nasional; Dalam Perspektif abad 21, (Magelang: Tera Indonesia,
1999), 52.
18 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), 345.
19 Komarudin Hidayat, Islam dan
Hegemoni Sosial, (Jakarta: Media Citra, 2002), xiv.
20 Nurbini, Dakwah Islam dan Era
Globalisasi, (Semarang: Jurnal Risalah IAIN Walisongo, 1997), 2.
21 empat kelompok ini sebenarnya bisa
dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu menerima dan menolak. Bagi
kelompok konservatif dan sekuleris termasuk kelompok yang menerima dan menolak
peradaban Barat secara membabi buta, sedangkan bagi kelompok revivalis dan
modernis adalah kelompok yang menerima dan menolak dengan proses selektif.
22 Baca Fazlurrahman, Islam
Challangges and Opportunities, Terj. Harun Nasution dan Azyumardi Azra
(Jakarta: Yayasan Obor), 20-26.
23 A. Qodri Azizy, Melawan
Globalisasi; Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya
Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 28.
24 R. Hrair Dekmenjian, Multiple Faces
of Islam, dalam Andrew Jerichaw and Jorgen Baek Somonsen, Islam in A
Changing World, Europe and the Midle East, (Surrey: Curzon Press, 1997),
1-3.
25 Baca Bassam Tibbi, The Crisis of
Modern Islam; A Preindustrial Culture in the Scientific Technological Age, Terj.
Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), 19-21.
26 Samuel P. Huntington, The Clash of
Civilizations and the Remaking of World Order, Ibid, 105-106.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar